Halaman

Jumat, 25 Oktober 2024

Rakyat

 

Judul tulisan ini saya ambil persis dari judul puisi yang ditulis oleh penyair Hartojo Andangdjaja yang berjudul Rakyat. Saya kutip penggalan puisi bait pertama tersebut. Rakyat ialah kita/jutaan tangan yang mengayun dalam kerja/di bumi di tanah tercinta/. Puisi Rakyat terhimpun dalam antologi puisi Buku Kita (1973). Hartojo Andangdjaja lahir pada 4 Juli 1933. Beliau seorang penyair yang juga berprofesi sebagai guru. Pada bagian awal puisi Rakyat, penyair Hartojo menulis /Hadiah hari krida/Buat siswa-siswa SMA Negeri/Simpang Empat Pasaman/. Melalui catatan awal tersebut, dipastikan puisi ini didedikasikan untuk para siswa SMA Negeri Pasaman Sumatera Barat, tempat penyair mengabdi sebagai guru pegawai negeri. Secara eksplisit kita pun tahu bahwa adalah keniscayaan peran seorang guru untuk mendidik para siswa secara khusus menyampaikan pesan dan nilai-nilai kehidupan bagi para siswanya.

Namun, apakah kehadiran dan pesan puisi tersebut hanya untuk para siswa yang disebutkan secara eksplisit dalam puisi tersebut? Atau pesan itu juga mendarat pada setiap kita yang bernama rakyat. Ya, rakyat. Rakyat adalah kita, tandas Hartojo. Tentu saja ia, karena puisi rakyat ditulis dalam bahasa rakyat yang jernih dan sederhana. Menjunam pada kedalaman makna dan suasana batin dan realitas hidup kerakyatan. Dicipta beberapa dasawarsa lalu, tetapi tentu saja pesanya masih sangat relevan bagi kehidupan kita saat ini. Penyair percaya pada sikapnya bahwa puisi yang baik justru sampai ke pembacaan pembaca dan mudah ditangkap maknanya, oleh orang awam sekalipun, termasuk oleh kita rakyat kebanyakan. Sebab, Hartojo sang penyair tahu bahwa dalam skala berbangsa (baca juga daerah) kita: rakyat merupakan sumber kedaulatan dan penentu bagi tegak dan berdirinya negara. Untuk itulah, rakyat menjadi elemen strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Puisi Rakyat saya kutip di sini untuk semacam memberikan apresiasi dan penghargaan bagi jubelan wakil rakyat di parlemen-parlemen kita dari pusat sampai daerah yang baru saja dilantik dan diambil sumpah mewakili rakyat kebanyakan. Kutipan ini pula sekaligus merupakan awasan agar para wakil rakyat terhormat tidak terlena dan jatuh dalam hedonisme dan tawaran mendadak. Apalagi, mereka telah dan sedang menempati gedung-gedung terhormat. Duduk di kursi-kursi empuk. Menikmati fasilitas-fasilitas mewah. Aduhai, bahkan mungkin dengan make up dan dandanan gemerlap. Digaji dengan hasil uang rakyat. Berpuluh-puluh juta. Ya, mereka prioritas, karena tugas mulia berpikir dan bertindak untuk rakyat. Kita mengucapkan selamat datang kepada mereka.

Jangan lupa rakyat yang telah memilih dan mengutusmu ke tempat terhormat itu. Pakailah amanat tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Bukan saja di daerah pemilihanmu. Bukan juga untuk kroni-kronimu dan keluargamu semata. Jangan pula hanya untuk para tim suksesmu yang ingin selalu di depan. Namun, untuk semua kita: rakyat. Rakyat adalah kita. Bukan tentang asal-usulmu saja.

Rakyat yang dijanjikan program sewaktu kampanye. Mereka dengan peluh keringat melawan gelombang pasang, mendayung sampan untuk istri dan anak. Mereka kaum petani mencecap daki yang menetes disergap matahari siang. Para buru tukang yang terus setia menyeruput bau bahan bangunan tanpa jedah. Rintihan anak sekolah yang sepatunya aus setelah bolak-balik berkilo mengenyam nasib pendidikan masa depan. Dan, masih banyak lagi kisah keseharian rakyat. Mereka butuh keadilan sosial agar hidup, terutama masa depan anak cucu dapat lebih baik.

Dalam konteks serupa, penyair Flores John Dami Mukese dalam bagian puisi Doa Kaum Jelata yang ditulis di Ende tahun 1983 menulis begini: /Saudaraku, kuharap kau dengar doaku malam tadi/Bukan agar kau ditimbuni harta bergudang/Atau dibanjiri rupiah berjuta/Karna hidup bukanlah timbunan barang/Tapi cumalah himpunan amal/Juga tidak gunungan uang/Tapi niscaya bukit perjuangan/ Saudaraku, kuharap kau dengar doaku malam tadi/Dan tahu kalau ada seseorang berdoa untukmu/Bukan Malaikat, bukan orang kudus/Bukan raja, bukan pula menteri/Tapi aku, sesamamu jelata/Yang tahu persis nuansa derita.

Penggalan puisi John Dami Mukese adalah juga merupakan doa bagi para wakil rakyat kita. Hari-hari ini, kita rakyat yang sama yang punya kedaulatan sedang menghadapi masa kampanye pemilihan kepala daerah langsung serentak. Pilihan kita sangat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama pada masa yang akan datang. Kita pun percaya mereka akan mendengar doa dan seruan penyair Dami Mukese, serta doa dan harapan rakyat. Rakyat dan Doa Kaum Jelata senafas dengan harapan kita bersama. (*)

Lokakarya Bahasa Daerah di Dalam Kelas

 

Bertempat di Aula FKIP Universitas Flores, Jalan Sam Ratulangi Ende dilaksanakan Lokakarya dengan topik “Bahasa Daerah di Dalam Kelas (Making Space for Local Languages in Our Classroom)”. Lokakarya menghadirkan Grace B. Wivell, PhD Candidate, Stony Brook University. Peserta lokakarya terdiri dari para guru SD, SMP, SMA, sekabupaten Ende. Lokakarya ini juga dihadiri oleh para dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores Ende. 


 

Mewakili Dekan FKIP Universitas Flores, Wakil Dekan Bidang Akademik  Yasinta Embu Ika, S.Pd., M.Pd., menyampaikan bahwa bahasa daerah tidak sekadar dipahami sebagai alat komunikasi masyarakat etnik, melainkan menjadi cerminan kekayaan budaya dan kearifan lokal. “Bahasa daerah kita tidak hanya sebagai alat komunikasi saja, melainkan cerminan budaya dan kearifan lokal,” tegas Sinta. Untuk itulah, kita juga anak-anak kita harus merasa bangga atas Bahasa daerah atau Bahasa ibu mereka.

Dalam penyampaian awal lokakarya, Grace yang sedang melakukan riset disertasi tentang A Morphosyntactic Grammar of Lio menegaskan bahwa tujuan dilaksanakan lokakarya ini adalah untuk melestarikan budaya dan pengetahuan lokal, terutama membincangkan upaya melestarikan bahasa daerah yang ada di setiap etnik. Menyitir data Kongres Bahasa Indonesia 2023, menunjukkan bahwa terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia, yang antara lain 90% di wilayah Indonesia timur, 428 di Papua, 80 di Maluku, 72 di Nusa Tenggara Timur, dan 62 di Sulawesi. Untuk itulah, menurutnya perlu ada upaya menciptakan kolaborasi antara sekolah dan masyarakat setempat. Setidaknya, generasi muda dapat berbahasa daerah dengan baik.

Grace memulai pemaparannya dengan mengulas perihal bilingualisme. Topik yang yang dari perspektif sosiolinguistik menandakan kemampuan seseorang yang menggunakan dua bahasa. Istilah ini sering disebut kedwibahasaan atau dwibahasa. Lanjutnya, fenomena ini terjadi karena adanya multilingualisme. “Seseorang memiliki kemampuan untuk menggunakan dua bahasa dalam kehidupan merupakan fakta masyarakat yang multilingualisme”, tandas Grace yang fasih berbahasa Lio Flores itu.

Setelah menyampaikan topik bilingualisme, berturut-turut Grace yang pernah mengajar Bahasa Inggris di Malang, Gorontalo Indonesia, dan New York tersebut menyajikan topik lain tentang jenis program pendidikan dwi bahasa, bahasa daerah dan pendidikan dwi bahasa, situasi di Indonesia, dan contoh proyek yang membawa bahasa daerah ke dalam kelas.

Lokakarya diakhiri dengan sesi share pengalaman mengajar para peserta. Mereka punya komitmen kuat untuk terus mengupayakan revitalisasi bahasa daerah di dalam kelas dengan maksud agar bahasa daerah yang adalah identitas etnik tidak punah. “Di sekolah saya sering menerjemahkan materi-materi tertentu ke dalam bahasa daerah setempat agar materi dimaksud lebih jelas untuk dipahami oleh siswa. Apalagi para siswa di kampung yang masih kental menggunakan bahasa daerah”, tutur Romana Mariani Ere, guru dari SDK Wolofeo Ende. 

Lokakarya sangat bermanfaat bagi para peserta. Manfaat yang sama juga diperoleh oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores yang sekaligus dipercayakan sebagai panitya lokakarya. “Lokakarya ini sangat bermanfaat bagi kami yang sebentar lagi akan menamatkan studi di kampus ini”, ungkap Muzia Devi, mahasiswa semester akhir Program Studi PBSI Universitas Flores.

Rabu, 18 September 2024

Kematian memang Manusiawi, tetapi Menyakitkan

Di saat aku harus menjawab serenteetan pertanyaan dari anak-anak dan anggota keluarga tentang mengapa Almahrumah istri dan mama dari anak-anak tercinta Mama Yulita Apolonia Sero Ringgi meninggal? Istri tercinta sakit apa? Sejak kapan dia sakit? Mengapa tidak dirawat baik-baik? Di mana dia pernah dirawat? Mengapa tidak mencari bantuan luar? Mengapa tidak memberitakan anggota keluarga yang lain untuk ikut mencari jalan keluar atas sakit yang diderita Almahrumah? Dan, berbagai pertanyaan lain yang tanpa henti dilontarkan kepada saya, Suami yang merawat dan tahu persis penyakit yang diderita Almahrumah tersayang. Belum selesai menjawab satu pertanyaan, pertanyaan berikut sudah dilontarkan. Begitu dan seterusnya. Di situlah aku kalah. Tuhan aku kalah yang pertama.

Kira-kira jam 03.00 sore, di ruang Nifas RS Umum Ende. Minggu, 04 Agustus 2024. Situasi campur aduk, padu padan antara sedih dan marah. Rindu dan sayang, mengapa Tuhan memanggil begitu cepat istri tersayang dan mama dari anak-anak yang masih kami sangat cintai dan kami butuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Tuhan mengapa bukan orang-orang tua yang Engkau renggut yang sudah berhari-hari bahkan berminggu dan berbulan berbaring lesu dan nyaris tak berdaya lagi di atas tempat tidur ruang-ruang rumah sakit? Atau mereka yang bergelimpangan nyaris pula napasnya tinggal sebentar lepas, tetapi masih bisa bernapas panjang saat menerima bantuan medis? Dan, atau mereka yang hidupnya karut marut menjadikan orang lain sebagai korban guna-guna? Setelah diagnosa terakhir dokter lakukan, dia memanggil saya dan memberitahuakan bahwa istri tercinta telah "pergi" untuk selamanya. Ia pergi menghadap Sang Khalik Penguasa Alam Semesta dan jagat raya. Saya cuma menangisi kepergiannya. Kaku kering, ibarat pohon kersen di depan ruang Nifas yang kokoh tak tergoyahkan dibadai angin. Saya sadar bahwa hidup itu sementara. Kapan saja pemilikNya akan memanggil kita pulang.

Sebagai Suami yang mendampingi Almahrumah sampai titik napas penghabisan, saya memberanikan diri untuk mengangkat handphone dan menelpon anak sulung kami yang sedang berada di Jakarta. Paling tidak saya musti melakukannya dengan konsekuensi apapun. Begitu kontak tersambung, anak sulun langsung menyambar diujung handphone, bapa tidak jaga mama, ucapnya tegas. Ya, begitulah anak sulung yang sudah gadis, sudah paham tentang hukum dan doktrin saling mengasihi dan mencintai antara suami dan isti, dan anak-anak. Di situlah, aku kalah yang kedua. Tuhan, aku kalah yang kedua.

Mengingat kembali kisah-kasih semasa hidup. Terutama, cinta suami dan istri itu semakin kuat ketika salah satu di antaranya mengalami sakit. Saat istri tersayang mulai keluar masuk rumah sakit. Dimulai sekitar Maret 2021. Ke belakang sakit terus membuat badannya tidak sekokoh dulu. Tiga sampai empat tahun terakhir ini terus jatuh. Pernah sehat kembali kira-kira sepanjang tahun 2023. Tahun penerimaan komunio suci putra kami, 12 November 2023. Sehat, badannya pulih. Gemuk dan bertenaga. Namun, sayang kepulihan itu tidak berlangsung lama. Sepertinya, dia hendak menghibur kami, terutama saya dan anak-anak. Awal tahun 2024 kami mulai dengan semangat dan gembira. Ada susah dan sedih yang kerap hadir. Dimulai April 2024, penyakit Almahrumah kambuh lagi. Keluar masuk rumah sakit silih berganti. Waktu sakit kami berdua saling sharing sampai pada semacam melakukan penolakan dan protes terhadap Tuhan pemberi hidup. Tuhan, mengapa hanya istri dan mama dari anak-anak ini mengalami sakit seperti ini? Hampir-hampir tanpa ada waktu senggang sedikitpun untuk bisa sembuh dan bercengekerama leluasa dengan kami? Namun, kamipun berefleksi tentang kehidupan dan kematian. Refeleksi tersebut menghantar kami berdua tiba pada pernyataan Tuhan, kami kalah ketiga. Tuhan kami kalah yang ketiga.

Sabtu, 06 Juli 2024

Komunitas Basis Hadir Sebagai Komunitas Cinta yang Senantiasa Solider dengan Lingkungan

 


“Hendaklah komunitas ini tumbuh menjadi komunitas cinta yang senantiasa solider dengan sesama di dalam masyarakat. Sebab itulah, kamu diutus”, demikian sari kotbah yang disampaikan Pastor Paroki St. Josef Freinademetz Mautapaga RD. Giovani Don Bosco Seso (Romo Ivan), saat melantik pengurus Komunitas Umat Basis (KUB) St. Yoseph Lingkungan V Paroki St. Josef Freinademetz Mautapaga, Senin, 3 Juni 2024. Pelantikan pengurus mengambil tema “Pergilah Engkau Diutus” dilaksanakan di Gedung Ine Pare, Jalan El Tari Ende yang dihadiri oleh undangan dari para pengurus Lingkungan V, para pengurus Komunitas Umat Basis (KUB) selingkungan V, dan seluruh umat Komunitas Umat Basis (KUB) St. Yoseph.

Bertolak dari inspirasi firman Tuhan yang diambil dari Injil Lukas, 10: 1–9 Romo Ivan menekankan betapa pentingnya tugas perutusan yang diemban para pengurus bukan karena didorong oleh hal-hal duniawi, melainkan karena dorongan cinta dan kesetiaan untuk melayani umat tanpa perhitungan. Inilah juga yang menjadi modal dasar hakikat pelayanan firman Tuhan yang sesungguhnya di tengah situasi dunia yang terus berubah. Saya sampaikan, hendaklah pula para pengurus yang dilantik tumbuh dan hidup di tengah komunitas dan menjadi garam. Ataupun menjadi biji sesawi yang selalu memberi diri walaupun berada di tengah ladang kering dengan tetap menganggap umat di komunitas ini sebagai harta gereja yang terus untuk dilayani. Jika demikian, maka sekali lagi Komunitas Umat Basis (KUB) St. Yoseph akan tumbuh dan berkembang menjadi komunitas cinta yang selalu menjaga identitas diri sebagai anak-anak Allah, pesan Romo Ivan mengakhiri kotbahnya.

Para pengurus yang dilantik meliputi Penasihat (Bertholomeus Depa, Alexander Bala Gawen, dan Damianus Djuma So), ketua Modestus Angi, wakil ketua Handrianus Kaju Fonge, dan bendahara Dimensia Elvisitas T. Todja.


Susunan Pengurus

Ketua dan anggota urusan, meliputi Bidang Pewartaan, antara lain seksi liturgi: ketua merangkap anggota Rosina Oliva Bunga, Sisilia Eta, dan Gregorius Balawala; seksi katekese ketua merangkap anggota Andreas Marsel Mana, Yosephina M.R. Kerans, dan Benedikta Indri Wadi. Sementara Bidang Pembinaan, meliputi seksi kepemudaan ketua merangkap anggota Yohanes Aprilianus Watu, Elisabeth Longga, Petrus Sarianus Tibo, dan Maria Pordanita Selvia. (*)



Jumat, 28 Juni 2024

Cerpen "Lelaki Eukaliptus"

 



Bus antarpropinsi itu berhenti di pinggir jalan negara. Di sore hari, persis warga Desa Laramata telah berada di rumahnya masing-masing, setelah sepanjang hari bergumul dengan tanah dan lahan. Biasanya, kedatangan warga yang telah lama mengais nafkah beberapa tahun di luar daerah, kepulangannya disambut gegap gempita warga. Minimal para tetangga dan sanak family. Apalagi, jika kabar kepulangan anggota keluarga sudah diberitakan sebelumnya melalui sambungan handphone. Jadinya, tidak ada selfie untuk sore itu. Tidak ada selfie. Cuma anggota keluarga saja menyambut ketibaan Lelaki Eukaliptus.

Lelaki Eukaliptus

Silakan taruh tasmu di kamar, ucap ibunya, usai Lelaki Eukaliptus merangkul dan mencecap bau keringat perempuan enam puluhan tahun itu. Mencium tangannya. Merasakkan lagi denyut nadi kasih sayang yang dulu ia alami. Ada aliran dan getaran kerinduan yang amat dalam. Jauh di lubuk hati dua manusia beda usia: ibu dan anak. Satu-persatu, berturut-turut Lelaki Eukaliptus memberi salam, menjabat tangan beberapa anggota keluarga yang datang.

Senda gurau, cerita tentang perjalanan pulang Lelaki Eukaliptus semarak dan menghibur. Semua yang hadir setia mendengar. Penuh perhatian. Tentang, jatuh dan bangun kembali di tengah derap dan hegemoni individu. Denyut nadi kehidupan di negeri jiran Malaysia. Menjanjikan, namun keras dan kompetitif.

Rumah ini terasa dingin! Itulah getaran rasa seorang Lelaki Eukaliptus yang sepuluh tahun lalu meninggalkan rumah mengais petualangan ke bumi Ringgit Malaysia. Waktu itu, selang setahun Ame Tinus, ayah kecintaannya dipanggil pulang Sang Khalik. Saat itu pula, Lelaki Eukaliptus baru tamat sekolah menengah atas di kampung. Tak bisa ke bangku kuliah. Kendatipun dia terlahir sebagai anak laki-laki tunggal di keluarganya.

Walaupun memiliki banyak lahan, tapi, ya… Lelaki Eukaliptus merasa sesak di rongga dadanya. Ya, itu bukan lahan kita seorang diri. Itu merupakan milik bersama saudara-saudara bapakmu. Dan, kabar burung yang sempat menghinggap di telinga ibu bahwa kematian ayahmu ketika itu karena ada faktor perang dingin antarbersaudara tentang lahan-lahan tidur tersebut. Perkataan ibunya semacam memercik titik api di tengah ladang kering. Menyulut naluri kelelakiannya. Lelaki Eukaliptus terhentak oleh perkataan itu. Ia mengusap wajahnya. Menarik napas dalam-dalam. Menutupi wajahnya. Membiarkan barisan gigi bawah dan atas berkelahi gerham.
***
“Anda sebagai ketua panitya pemilihan mesti bersikap adil. Jujur mendata semua warga dengan teliti. Jika ada yang perlu dibantu untuk bisa menggunakan hak pilih, maka dibantu. Disampaikan secara terbuka. Bukan sebaliknya.” Itulah suara sayup-sayup dari kejauhan dibawa angin utara. Maklum rumah kami agak sedikit ke selatan sehingga  lebih mudah menangkap suara tadi.
Suara tadi tiba-tiba makin keras dan kedengaran lebih tajam dan ramai. Sepertinya ada kerumunan massa. Lelaki Eukaliptus sedikit panik. Jangan-jangan suara tersebut adalah suara protes para warga terhadapnya. Pasal kepulangannya persis di saat menjelang pemilihan kepala desa serentak di kecamatannya. Mereka khawatir jangan-jangan saya mempertebal suara untuk calon tertentu. Calon jagoan mereka. Lelaki Eukaliptus gugup. Jika dugaannya benar adanya. Sedikit demi sedikit suara kerumunan massa tadi hilang. Seketika muncul lagi. Kali ini disertai teriakan.

Protes! Protes! Protes!
Data tersebut tidak valid. Lelaki Eukaliptus mencoba lebih tenang menyimak suara tersebut. Menyendengkan telinga ke arah sumber suara. Bapak dan ibu mohon lebih sabar. Tenang! Mari kita selesaikan soal data ini sesuai aturan. Jangan saling mempersalahkan, apalagi menghujat. Jika ada kekeliruan data, mari kita sama-sama bereskan. Kita betulkan agar menjadi lebih akurat. Suara terakhir ini teduh. Menyejukkan warga, juga Lelaki Eukaliptus yang sedang panik. Ia gelisah kalau dialah sumber keributan warga. Lelaki Eukaliptus mencoba menenangkan pikirannya.
***
Masih pagi buta Lelaki Eukaliptus sudah bangun. Menyiapkan kopi dan ala kadarnya sarapan pagi untuk dia dan ibunya. Merapikan dapur dan kamar ibunya. Maklum selama ini ibunya sendiri menghuni rumah kecil sederhana. Di bawah pohon kersen yang kokoh dan sedang meranggas. Kebiasaan yang sama ia lakukan saat masih makan gaji pada toke di Malaysia. Ia berkemas ingin melihat hamparan ladang milik keluarga besar yang masih belum diolah. Tekadnya utuh dan sempurna, mengolah lahan sebaik mungkin. Menjadi pemuda yang berguna.

Ibu, aku ingin berbicara satu hal, sapa Lelaki Eukaliptus sambil menyajikan segelas kopi Saga, kopi lokal etnik Lio yang harum wanginya. Di depan telah tersaji pula sepiring ubi kayu rebus hasil panen ibu di kebun belakang dapur. Masih hangat. Lelaki Eukaliptus memperbaiki kursinya. Mendekati telinga ibunya. Seakan berbisik. Semenjak kepergian ayahnya almahrum Ame Tinus Lelaki Eukaliptus mengganti peran ayahnya dalam keluarga. Termasuk arah dan keputusan akan masa depan keluarga mereka. Ibunya yang kini kian uzur, memaksa Lelaki Eukaliptus untuk lebih berkomitmen membawa keluarganya lebih baik.

Persis di sebelah tempat duduk Lelaki Eukaliptus, ibunya bertanya, “Ada hal apa yang ingin kamu sampaikan, Nak?” Begini Ine, sapanya. Ayah telah tiada. Saya ingin memanfaatkan lahan peninggalan ayah untuk menanaminya dengan tanaman palawija yang bermanfaat untuk kita. Aku bermimpi mengelola lahan yang oleh beberapa petani di kampung ini disebut sebagai lahan yang strategis. Jika ide ini berhasil, maka kira-kira produksi sayur-sayuran juga tanaman eukaliptus menjadi primadona konsumen. Masyarakat kota, dan tentu kita tidak mengalami kekurangan pasokan sayur untuk tiga sampai empat tahun ke depan. Dan, saya melanjutkan pembicaraan, tanaman eukaliptus akan laku terjual di pasar-pasar lokal kita. Tanaman eukaliptus oleh Lelaki Eukaliptus juga menjadi obat penawar aneka virus yang kerap kali menerpa semesta jagat raya ini.

Agak lama ibu termenung. Saya membaca kegelisahan pada pikiran dan raut wajah seorang ibu. Lusuh dan keriput. Ia menunduk lagi. Mengangkat kepala lagi. Menatapku dalam. Belum menyampaikan satu kata pun. Jauh. Ada beban pikiran di raut wajahnya yang kian keriput. Bukan tentang lahan pertanian tersebut, namun tentang kepemilikan lahan itu. Lahan itu bukan milik kami saja, tetapi milik keluarga besar. Ini tentu butuh waktu. Butuh energi dan pikiran untuk mendiskusikannya dengan keluarga besar.
“Nak, engkau satu-satunya Lelaki Eukaliptus dalam keluarga kita ini. Ibu sangat setuju dengan ide dan rencanamu. Apa yang engkau sampaikan, itu juga yang ibu idamkan. Tentang pemanfaatan lahan itu ibu sangat setuju.” Ibu memberi penegasan dan seolah-olah menyetujui apa yang disampaikan terdahulu.
Rencana itu juga menjadi rencana dan ikhtiar ayahmu. Ketika menyampaikan niat tersebut ke saudara-saudaranya, niat itu langsung dibantah. Begitulah ayahmu, tidak ingin mencari pusing. Kendati ayahmu sudah mencoba beberapa kali menyampaikannya, namun saudara-saudaranya tetap tak bergeming. Ayahmu pun mati langkah dan kehabisan kata-kata untuk membujuk mereka memanfaatkan lahan tersebut secara produktif. Lahan itu pun tak bermanfaat hingga kini, selain sekadar sebagai tempat memelihara ternak. Beberapa pohon kelapa, cengkih juga alpukat yang ditanam almahrum ayahmu dibiarkan tak terawat semenjak almahrum meninggalkan kita. Perkataan ibu persis seperti yang saya bayangkan. Inilah penghambat yang mesti coba saya selesaikan. Tekad dan semangat muda Lelaki Eukaliptus bersemi kembali. Menurutnya, tekad itu mesti diwujudkan, namun melalui urun rembuk keluarga agar tidak merasa dirugikan, tukasnya dalam hati.
***
Mendung menggelayut pekat. Rinai hujan mulai siang tak pernah berhenti. Orang-orang kampung pulang dari kebun, basah. Menggigil. Banyak memilih berdiang di tungku api. Menghangatkan badan, sedang di luar udara dingin merangsek sampai ke sum-sum.

Dengan tekad sempurna saya mampir ke rumah Bapak Besa. Selamat malam Bapak Besa, sapaku di malam itu. Maklum di kampung ini, jika ingin bertamu, waktu yang paling pas adalah malam hari. Pada siang hari, masyarakatnya berada di kebun. Mengolah lahan dan menjaga ternak. Di kampung, kami lebih akrab menyapa Bapak Besa sebagai Bapak Osep. Beliau adalah anak sulung dari keluarga almahrum nenek saya. Jika dia lahir di antara beberapa saudara pertama dan terakhir, maka akan dipanggil sebagai Bapak Tenga. Sedangkan, jika anak bungsu akan disapa Bapak Bonsu. Begitulah betapa indahnya sapaan kekerabatan sebagai rasa hormat paling intim di antara anggota keluarga. Almahrum ayah adalah anak bungsu sehingga disapa sebagai Bapak Bonsu.

Omong-omong seputar pekerjaan saya sewaktu di tanah rantau di malam itu terasa hangat. Menanti mama Besa menyeduh kopi. Kami bertiga, Bapa Besa, Mama Besa Thres, dan saya menyeruput kopi. Sedang saya menemaninya dengan rokok Surya yang saya bawa. Bapak Besa sudah berhenti merokok tiga tahunan ini akibat menderita sakit. Bapakmu juga semakin uzur, jadi berhenti merokok adalah pilihan terbaik, daras Mama Besa Thres, saat saya menyodorkan rokok kepada Bapak Besa.

Bapak Besa memang terbilang sangat rajin. Bekerja apa saja untuk menghidupi keluarganya. Memiliki rumah yang lumayan baik untuk ukuran orang di kampung adalah sesuatu yang luar biasa. Sayangnya, tidak ada satu anak pun yang berhasil mengenyam pendidikan. Semuanya putus di tengah jalan. Sedangkan kami, kendati saya cuma tamat SMA, namun adik perempuan bungsu tengah menyelesaikan tugas akhir skripsi di satu perguruan tinggi di kota. Sekarang sedang melakukan penelitian tentang bagaimana mengatasi hama tanaman di beberapa lahan di kampung ini. Dia mengambil jurusan pertanian lahan kering. Menurutnya, perkembangan penelitiannya di lapangan selalu dikonsultasikan dengan pembimbing melalui sambungan on line.  Kuliah on line belakangan ini menjadi keharusan. Sebentar lagi menjadi sarjana. Saya ikut bangga. Tentu juga bagi mama dan keluarga. Kebahagiaan tersebut juga pasti dirasakan alamahrum ayah dari tempat peristirahatannya.

Bapak dan Mama Besa, saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya membuka percakapan. Tentang apa, Nak Eukaliptus? Sampaikan saja, ujar Bapak Besa Osep. Begini bapak dan mama. Saya ingin membicarakan lahan kita yang di pinggir jalan itu. Jika bapak dan mama mengiyakan, maka saya akan coba mengolah dan memanfaatkannya dengan menanam beberapa tanaman eukaliptus untuk kebutuhan kita. Kedatangan saya ini untuk meminta persetujuan bapak dan mama.

Bapa Besa dan Mama Besa Thres saling menatap. Diam seketika menghuni kamar tamu yang tadinya sedikit ada percakapan. Mungkin saja mereka perlu membicarakannya di antara saudara-bersaudara. Setidaknya aku telah mencoba menjadi mediator atas lahan-lahan kosong milik keluarga besar tersebut.
Malam semakin larut, kamar tamu terus saja hampa. Hening tanpa pesan. Kami kaget kalau waktu sudah menunjukkan Pukul 24.00 Wita, ketika arakan pawai kemenangan jagoan kepala desa siang tadi. Dan, aku pulang tanpa jawaban. Melewati lahan tidur keluarga besar. Seberkas noktah mampir di kening bahwa di atas hamparan luas itu akan terwujud mimpi Lelaki Eukaliptus. (*)
 
Keterangan:
Toke                : panggilan untuk majikan di Malaysia
Laramata        : pinggir jalan
Ine
                   : panggilan untuk ibu/mama dalam bahasa Lio Flores


Cerpen Lelaki Eukaliptus dimuat di kompas-id, 29 Mei 2024, https://www.kompas.id/baca/sastra/2024/05/29/lelaki-eukaliptus?open_from=Cerpen_Page

Kamis, 11 April 2024

Keunikan Merayakan Hari Raya Keagamaan di Ende Flores

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia patut berbangga karena kemajemukannya tersebut menjadi titik puncak ketertarikan bangsa lain di dunia untuk melihat bangsa Indonesia. Kemajemukan tersebut semacam menjadi daya tarik dalam meneliti Indonesia secara lebih intens. Kemajemukan dibangun dari pelbagai unsur. Salah satu yang paling kasat mata dilaksanakan adalah "merayakan hari raya berbagai agama yang ada di Indonesia." 

Keunikan Merayakan Hari Raya Keagamaan

Toleransi yang diusung sebagai pilar keberagaman masyarakat adalah keunikan tersendiri dalam relasi kemasyarakatan dan keagamaan. Yang paling tampak dalam hari raya keagamaan adalah keindahan saling merayakan hari-hari raya keagamaan tersebut. Saling mengunjungi antaranggota keluarga itu merupakan sesuatu yang lazim. Biasa dalam upaya untuk terus memperkuat rasa kekeluargaan dan soliditas sebagai anggota keluarga. Yang tidak lazim adalah saling mengunjungi, memberi ucap dan selamat kepada sahabat, kenalan yang berbeda agama. Mengecup pipi kiri dan kanan dan jabat tangan antara tetangga dekat.
 
Silaturahim seperti ini tidak sekadar sebagai bagian dari perayaan hari besar keagamaan, melainkan menjadi bagian maaf-memaafkan. Memperkuat solidaritas sosial dan kemasyarakatan. Momentum ini merupakan "keunikan" penganut agama dalam merayakan kebahagiaan. Mensyukuri rahmat dan keberkahan Tuhan atas seluruh pencapaian yang telah diraih. Boleh jadi, momentum ini pula menjadi bagian dari evaluasi berkelanjutan atas derajat komunikasi, relasi, dan kekerabatan yang dibangun selama setahun. Terutama di antara warga atau umat yang berbeda agama dan keyakinan. Evaluasi seperti ini akan menjadi input positif untuk mempertebal kasih dan kesetiaan juga meneguhkan toleransi agar dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun berganti tahun, solidaritas kemanusiaan terus dan tetap terjaga. 

Itulah keunikan merayakan hari raya keagamaan di Indonesia, dan di Ende dan Flores khususnya. Perlu terus dijaga, dirawat. Dan, yang paling penting adalah terus dipraktikkan dalam kehidupan beragama.(*)

Selasa, 09 April 2024

Sekali Lagi tentang Literasi

Literasi semacam menjadi kata kunci dalam proses pembelajaran di kelas. Literasi hadir semula bertujuan untuk mengentaskan rendahnya membaca dan menulis di kalangan siswa. Tujuan itu pun telah tercapai dengan aneka program ikutan, baik yang disiapkan oleh lembaga formal (sekolah), maupun lembaga-lembaga atau komunitas-komunitas belajar yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab agar para siswa bisa mampu membaca dan menulis dengan baik.

Setakat Sudah

Hampir setakat atau dekade ini berakhir program literasi dengan tujuan mulia telah tercapai dengan sangat meyakinkan. Namun, masih ada keluhan parsial tentang sejauh mana keberhasilan program Literasi yang telah dicanangkan dan dilaksanakan tersebut. Sampai di sini keluhan tersebut benar adanya. Kita mengakui bahwa secara parsial pula, keberhasilan program literasi patut dipertanyakan. Entah itu karena faktor penghambat apa, tetapi kita pun patut mengamini bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan pelaksanaan program literasi tersebut. Misalnya, faktor demografi dan topografi yang sangat sulit memungkinkan pihak sekolah atau guru dan siswa mengakses informasi dan infrastruktur bahan bacaan. Faktor guru pun musti terus disoroti, baik soal sumber daya manusianya, faktor kesediaan atau kerelaan bekerja di luar jam sekolah, faktor ketersediaan sarana dan prasarana, faktor sumber dana uang untuk membelanjakan buku, dan faktor eksternal lainnya yang sangat mengganggu pelaksanaan program literasi.

Hemat saya, salah satu faktor yang patut direnungkan adalah ketercapaiaan literasi tidak sekadar siswa bisa membaca dan menulis, melainkan lebih dalam dari itu. Misalnya, siswa musti tau apa yang sedang dia baca dan dia tulis. Oleh karena itu, secara normatif pembelajaran di kelas yang didahului dengan membaca lima belas menit, patut pula diikuti dengan kegiatan menceriterakan kembali apa yang siswa baca, menulis kembali dalam versi berbeda tentang apa yang dia baca, dan mempraktikkan apa yang dia baca. 

Jika kita berangkat dari evaluasi dengan menggunakan perspektif ini, maka kita akan mendapat posisi pelaksanaan program literasi sekaligus menemukan posisi literasi siswa kita. Ini semacam pula menjadi otokritik bagi guru untuk mendaur ulang program literasi di sekolah. (*)