Halaman

Tampilkan postingan dengan label lisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lisan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Maret 2023

Parameter Mengukur Kualitas Penutur Berbahasa Indonesia


 

Kemampuan Berbahasa Kita

Terdapat berbagai faktor, mengapa penggunaan bahasa Indonesia pebelajar belum memuaskan, walaupun agak ironis ketika usia bahasa Indonesia yang berembrio dari dialek Melayu ini telah lama diakui dan dimerdekakan sebagai bahasa negara. Selain faktor geografi dialek, juga geopolitik, serta kemajemukan etnik, agama, budaya, lingkungan sosiokultural, dan keanekaan bahasa daerah, faktor internal pebelajar bahasa juga menjadi hambatan mengapa bahasa negara ini belum berkembang baik dalam perihal penggunaannya, sekalipun pada kalangan elite cendikiawan dan kaum terpelajar. Koentjaraningrat (Chaer,2010:8–10) mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan berbahasa seseorang dengan sikap mental para penuturnya. Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kelompok elite dan golongan intelektual dipengaruhi oleh sifat-sifat negatif yang melekat (inheren) pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat itu adalah (1) suka meremehkan mutu, (2) mental menerabas, (3) tuna harga diri, (4) tidak disiplin, (5) enggan bertanggung jawab, dan (6) suka latah atau ikut-ikutan.

Suka meremehkan mutu, tampak pada perilaku bahasa yang pokoknya mengerti. Sikap ini menyebabkan bahasa yang digunakan asal jadi. Orang lebih menggunakan bahasa untuk bisa dimengerti dengan alasan soal benar dan salah dalam berbahasa menjadi urusan guru bahasa bahasa Indonesia atau penyuluh bahasa Indonesia. Adanya sikap pragmatisme kontekstual.

Mental menerabas, tercermin dalam perilaku berbahasa yang memiliki ikhtiar untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tanpa disertai dengan keinginan untuk belajar. Mereka berpendapat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kita yang ada secara alami, yang akan bisa dikuasai tanpa belajar. Adanya klaim atau anggapan bahwa setiap penutur yang lahir di Indonesia pandai berbahasa Indonesia. Klaim ini bukan terjadi bagi masyarakat penutur tradisional, melainkan juga mengidap pada kategori kelompok masyarakat intelektualis. Bahkan, untuk kelompok ini, karena kecendikiaannya sehingga begitu gampang melakukan kesalahan.

Tuna harga diri, berarti tidak mau menghargai milik sendiri, tetapi sangat menghargai milik orang lain, orang asing atau budaya asing. Karena lebih menghargai bahasa asing, maka coba lihat saja di pintu-pintu masuk bertuliskan in bukan “masuk”, dan pintu keluar bertuliskan exit bukan “keluar”, keset-keset di depan kantor bertuliskan welcome bukan “selamat datang”, pada daun pintu yang dapat dibuka dua arah bertuliskan push dan pull, bukannya “dorong” dan “tarik”, dll. Adanya sikap memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, sikap ini justru mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap kebudayaan kita sendiri. Dapatlah kita pahami bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang merupakan kristalisasi bening dari khazanah budaya bangsa yang oleh keikhlasan dan ikhtiar para pemuda waktu itu telah menyepakati untuk dijadikan sebagai bahasa bangsa.

Tidak disiplin, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti kaidah tata bahasa. Patutlah kita amini bahwa kelupaan menggunakan bahasa Indonesia secara baik, diakibatkan juga oleh dinamika kebudayaan yang semakin pesat dan dahsyat. Kondisi demikian telah menembus tembok ketahanan diri yang telah kita bangun berabad-abad. Dinamika pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan mental dan perilaku penutur bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.

Suka latah atau ikut-ikutan, tercermin dalam perilaku berbahasa yang selalu mengikuti saja ucapan orang lain, yang biasanya pejabat atau toko masayarakat yang mungkin secara semantik atau gramatikal tidak benar. kalau boleh kita jujur, peran kelompok elite kita untuk meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya, untuk urusan naik pangkat, menempati jabatan-jabatan politk, struktural, maupun fungsional, minimal harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama ini, kalaupun ada itu hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial belaka.

Secara sosiologis kemasyarakatan ada fakta yang sangat berpengaruh. Pertama, tingkat pendidikan rakyat rendah. Fakta ini begitu kuat dirasakan di tengah peredaran dan galaunya mekanisme pembangunan yang digalakkan pemerintah. Terlebih proses pembangunan di daerha-daerah pedesaan yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Pada proses ini, pemerintah menggunakan istilah-istilah pembangunan dan politik yang formal, bahkan sangat susah diterjemahkan rakyat. Saluran komunikasi demikian akan buntu (stag) dan tak bermakna. Akhirnya, rakyat tetap tak tercerdaskan: pembangunan bangsa pun gagal dan gagal terus.

Kedua, kekurangpahaman dan kesadaran untuk berkomunikasi lisan dan tulis secara baik. Urusan ini hanya diserahkan kepada guru bahasa Indonesia. Jadi, kebanyakan hanya menjadi penonton. Tidak terlibat secara aktif dalam proses pembiasaan untuk menjadikan diri lebih baik dalam berbahasa. Kita pun diharap menyadari prinsip language arts and skill. Prinsip arts, mereferensi pada sesuatu yang original, kreatif, dan personal. Ini artinya, berbahasa merupakan kemampuan yang melekat secara imanensial dalam diri kita. Semuanya butuh kreativitas kita untuk mengembangkannya. Prinsip skill mereferensi pada sesuatu yang bersifat eksak, mekanis, dan impersonal. Ini artinya, membutuhkan keterampilan yang memadai untuk mendayagunakan kemampuan berbahasa, terutama pada aspek eksplorasi kecakapan berbahasa yang kita miliki.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas disebabkan pula oleh kepesatan teknologi dan informasi melalui kepesatan media-media berbasis online. Penutur atau pengguna bahasa memiliki kepiawaian dan kemahiran dalam berbahasa multimedia, ketimbang kecakapan dan kemahiran dalam berbahasa tulis. Atas kondisi demikian, pengguna bahasa perlu diberikan pemahaman yang lebih mumpuni tentang bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di media-media sosial. Kebenaran informasi yang disajikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar sekalipun melalui media online menjadi jaminan bahwa informasi yang disampaikan adalah baik dan benar, di samping menjadi tanda bahwa penutur bahasa Indonesia memiliki sikap loyal terhada bahasa kenegaraan kita.

Meningkatkan Kemahiran Berbicara

Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara  berarti mengatakan sesuatu atau mengucapkan atau mengatakan dengan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Berbicara menjadi aktivitas rutin manusia yang tak pernah tergantikan sepanjang hari. Misalnya, memberikan informasi, memberi motivasi, mempersuasi, dll. Oleh karena itu, Berbicara merupakan salah satu kemampuan yang inheren (melekat) pada manusia. Kemahiran berbicara memungkinkan seseorang untuk dapat terampil dalam berkomunikasi lisan dan tulis, seperti terampil berpidato, berargumentasi, berdiskusi, dan bernegosiasi (Hendrikus,1991:14). Dengan demikian, retorika merupakan kesenian untuk berbicara baik (ars bene dicendi) yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Kesenian berbicara baik berarti kemampuan untuk berbicara atau berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan, bukan sebaliknya.

Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengingkapan yang tepat dan daya pembuktian dan penilaian yang tepat. Jadi, retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara. Kesanggupan dan keterampilan untuk menguasai seni berbicara dapat dicapai dengan mencontohi para retor terkenal (imitatio), dengan mempelajari dan menggunakan hukum-hukum retorika (doctrina), dan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dituntut pula penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).

Ilmu Retorika berhubungan dengan dialektika dan elocutio. Dialektika adalah metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan debat. Dengan dialektika, orang mampu menyelami suatu masalah (intellectio), mengemukakan argumentasi (inventio), dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio). Elocutio adalah kelancaran berbicara. Elocutio menjadi prasyarat kepandaian berbicara.

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan, informasi, ide, gagasan, pendapat, penjelasan, data, berita, dari individu atau pihak tertentu ke individu atau pihak yang lain dengan suatu maksud tertentu. Pesan atau ide yang disampaikan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Pada titik ini, bahasa berfungsi sebagai enigma, bahkan suatu keajaiban. Bahasa telah memungkinkan orang untuk berkumpul dan menjadi bersama sebagai gambaran atau perwujudan kondisi eksistensial terjadinya struktur dialogis wacana apapun dan menjelma sebagai suati cara masuk untuk mengatasi kesendirian fundamental setiap manusia (Ricoeur,2003:43). Sebagai alat komunikasi, bahasa menjadi media atau saluran perumusan dan penyampaian maksud. Media melahirkan dan mengekspresikan perasaan dalam memungkinkan adanya kerja sama antara individu maupun kelompok (Keraf,2004:8). Dengan demikian, setiap orang, terutama peserta didik perlu meningkatkan frekuensi latihan berbicara secara berkelanjutan dan dilaksanakan secara efektif agar potensi dan kemahiran berbahasa tulis terus ditingkatkan. Jika demikian, maka komunikasi yang tercipta semakin memberikan peluang untuk meningkatkan kerja sama yang komunikatif dengan publik atau masyarakat luas.

Membangun Ruang Kesadaran Baru

Dalam sentra usia bahasa Negara yang kesekian ini, hendaknya menjadi momentum bersejarah. Momentum untuk berhenti sejenak dan merefleksi, sejauh mana rasa kebangsaan yang mengendap dan mengental pada kita. Mungkinkah ada ruang harapan tersisa (meminjam istilah Romo Mudji Sutrisno: sanctuary), untuk sebuah proses pembatinan dalam upaya tapak undur agar lebih menghayati bahasa Indonesia sebagai identitas tak terbantahkan dalam alur jatuh bangun dan maju mundurnya peradaban bangsa ini? Indonesia sangat beruntung karena masalah bahasa sudah tertangani secara lebih baik, jauh sebelum Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Tahun 1926, Soekarno melalui ide nasionalismenya telah mempropagandakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dan bahasa perjuangan (Bung Karno dan Pancasila,Tim Nusa Indah Ende, 2006:27).

Atas keberhasilan yang demikian, masih ada sejumlah celah yang harus ditutup agar bahasa Indonesia pada masa depan bisa lebih baik. Di antaranya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, terutama imperealisme bahasa, politik bahasa tetap mempertimbangkan keragaman   bahasa. Untuk itu, politik bahasa yang perlu dikembangkan adalah politik bahasa yang egaliter dalam menghormati keragaman-keragaman dimaksud. Ini membuktikan bahwa fungsi bahasa tetap menjadi cerminan dan refleksi realitas yang senantiasa dipertahankan sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan publik.

Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa, menurut Pateda, dapat mewujud dalam dua kenyataan, yakni bahasa Indonesia menampakkan diri sebagai identitas fonik, dan Merah Putih serta Garuda Pancasila sebagai wujud fisik. Ketika mendengar bunyi, oh…kakiku”, serta merta kita mengatakan, pembicara itu adalah orang Indonesia, tidak melihat bahwa apakah dia orang Jawa, Sumatera, Flores. Sebaliknya, ketika melihat sebuah gedung yang di sekitarnya berkibar bendera Merah Putih, dan di depan pintunya ada gambar Burung Garuda, maka kita dapat memastikan bahwa gedung tersebut adalah gedung perwakilan Republik Indonesia.

Dengan sebuah kesadaran bahwa bahasa Indonesia yang merupakan identitas bangsa juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan bangsa, yang mau atau tidak mau juga mempersoalkan tentang bahasa. Kesadaran dimaksud beirmplikasi pada kesadaran tentang identitas bangsa. Tentang identitas, Emil Salim (1990) menegaskan bahawa upaya mempertahankan identitas merupakan prioritas yang harus diperjuangkan mati-matian dengan ciri utama menjaga keseimbangan antara aspek material maupun spiritual.

Penutup

Mengacu pada berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti kenakalan remaja, premanisme penyalahgunaan kuasa dan wewenang, sesungguhnya menyiratkan adanya krisis jati diri atau identitas yang substansif. Persoalan ini ketika ditautkan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, maka pengajaran kebangsaan tetap menjadi aktual dan relevan untuk tetap menjadi pertimbangan prioritas untuk diberikan pada lembaga-lembaga formal kita, karena perihal jiwa kebangsaan hanya diikutkan pada mata pelajaran-mata pelajaran lain. Usaha mempertahankana bahasa Indonesia sebagai sebuah identitas bangsa wajib diupayakan dalam mengisi tahapan pembangunan, termasuk memajukan pendidikan bangsa ini dengan menggunakannya sebagai sarana pembangunan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, kita berangkat dengan sebuah cita-cita bahwa bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dapat membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif di atas fundasi peradaban bahasa kita sendiri. (*)

Daftar Pustaka

Chaer,Abdul.2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika: Termapil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Kanisius.

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Ende: Nusa Indah.

Ricoeur, Paul. 2003. Filsafat Wacana, Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa. Terjemahan oleh Musnur Hery. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sugono, Dendy. 2004. Berbahasa Indonesia Dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

Tim Nusa Indah Ende. 2006. Bung Karno dan Pancasila. Ende: Nusa Indah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 23 Januari 2021

Sastra Memperhalus Budi dan Nalar Anak



Pesatnya arus kehidupan yang kian kompetitif membuat kehidupan manusia sejagat semakin maju, bahkan juga saling berkompetisi merespon kemajuan dunia tersebut. Fenomena ini nyata, ketika perubahan-perubahan kehidupan yang hadir sebagai bukti perkembangan dan kemajuan zaman dimaksud menyata dalam realitas keseharian kita. Misalnya, dengan kemajuan alat-alat transportasi semakin memudahkan mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Akselerasi arus informasi yang semakin memadai, menjadikan dunia ini semakin kecil, sempit dan mudah dijangkaui. Kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun dapat kita amati, bahkan kita saksikan secara langsung (live) pada belahan dunia yang lain. Inilah bukti bahwa manusia selalu berusaha mencari dan menemukan jalan keluar permasalahan dalam kehidupannya, sekaligus memberikan warna atau batas tertentu sebagai penanda-penanda khas setiap pergantian dan perubahan zaman.

Terlepas dari perspektif positip atas kemajuan yang telah dicapai manusia, kemajuan-kemajuan yang disebutkan di atas mendatangkan mala petaka baru, apabila diteropong dari perspektif negatif. Beberapa kasus yang belakangan ini ramai diberitakan lewat berbagai media massa cetak, maupun elektronik, antara lain, pemerkosaan anak di bawah umur, perkelahian antargeng, perang tanding antardesa, tawuran antarpelajar, pembunuhan secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu?

Namun, yang pasti bahwa  perilaku-perilaku negatif yang timbul demikian semakin “menantang” peran kita (orang tua, sekolah, dan masyarakat) untuk merapatkan barisan demi memberikan peran dan tanggung jawab secara lebih terarah dan berkesinambungan. Belum cukup di sana lingkungan yang kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah generasi muda. Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan kejam lagi panas lewat televisi dan laser disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi didengar. Terhadap realitas yang kian mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah turut memberikan kontribusi negatif, bahkan menurunkan degradasi moral anak bangsa.

Terdapat asumsi yang keliru yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik sepenuhnya adalah tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika orang tua telah menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal. Gejala ini termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir dilakukan oleh generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut, bukan berarti keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya menjadi feed back yang tepat untuk melihat keberhasilan pendidikan nilai yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana pendidikan nilai itu telah memberikan sesuatu bagi kehidupan dan perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan nilai bagi generasi muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau ajaran yang dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu memberikan rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat diharapkan agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.

Sastra Bermula dari Kehidupan Anak

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di sekolah dapatlah dikatakan bahwa sastra sampai pada saat ini masih berada pada posisi yang belum banyak peminat karya sastra. Pertama, karena banyak masyarakat kita (Indonesia) tidak suka dengan sastra. Entah itu, membaca maupun menulis sastra. Kedua, pembelajaran sastra formal di sekolah pun masih belum diajarkan secara baik dan menyeluruh. Baik, maksudnya banyak guru sastra yang memang bukan guru sastra. Kalau pun mereka adalah guru sastra, minat dan perhatiannya terhadap sastra belum memadai. Menyeluruh yang dimaksudkan di sini adalah kompetensi-kompetensi pembelajaran sastra masih tumpang tindih dengan bahasa, karena sastra masih menjadi bagian dari bahasa. Kondisi pembelajaran sastra yang disebutkan di atas terjadi pada semua genre atau jenis sastra, baik puisi, prosa, maupun drama.

Keterampilan membaca sastra perlu dikembangkan di sekolah melalui kegiatan membaca sastra. Keterampilan membaca sastra yang dimaksudkan adalah keterampilan membaca sastra anak. Keterampilan membaca sastra anak ini penting karena akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk memahami berbagai wacana sastra yang ditemukan. Wacana-wacana sastra sangat bervariasi, dan pada umumnya sering ditemukan dalam pembelajaran materi-materi sastra di sekolah.

Sastra menjadi sangat penting untuk perkembangan anak karena disebabkan oleh dua hal (Kurniawan, 2009: 2–3), yakni (1) kecintaan anak terhadap karya sastra dapat meningkatkan hobby dan kesukaan anak pada membaca, yang akhirnya dapat meningkatkan kebiasaan membaca anak. Kebiasaan membaca ini merupakan kunci untuk menguasai ilmu pengetahuan apapun; dan (2) dari pembacaan karya sastra yang intens, maka karya sastra bisa meningkatkan aspek kecerdasan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak, karena dalam karya sastra ada kehidupan yang menawarkan nilai-nilai moral yang baik untuk perkembangan pikiran dan perasaan anak.

Sastra  anak tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, maupun tentang berbagai peristiwa yang melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan makhluk dari dunia lain (Nurgiyantoro, 2002: 8). Oleh karena itu, sastra anak bisa dalam bentuk lisan dan tulis. Lisan adalah karya sastra yang diceritakan dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Misalnya, cerita rakyat (folklore, nyanyian rakyat, permainan rakyat, dan lain-lain, yang tersebar di hampir setiap etnik yang ada di Indonesia. Sastra tulis, misalnya puisi, prosa, dan drama. Wacana sastra yang dimaksudkan dalam penlitian ini adalah wacana sastra tulis puisi. Dengan demikian, dalam tulisan ini peneliti menggunakan istilah wacana sastra, namun yang dimaksudkan adalah puisi.

 

Daftar Pustaka

Kurniawan,Heru. 2009. Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nurgiyantoro. 2002. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press.

 

 

 

Jumat, 31 Agustus 2018

Tradisi Lisan: Wujud Tenunan Kehidupan Manusia





                                         
Bahasa adalah suatu rekayasa teknologi untuk mengemas pengetahuan yang tertangkap manah (mind) untuk menghimpun, menyebarkan, dan mewariskan pengetahuan. Bahasa juga menjadi wadah penyimpan informasi, dan ia berkembang secara simbiosis dengan budaya dan keberlangsungan kehidupan. Perlu dikemukakan di sini bahwa fungsi utama bahasa manusia bukanlah untuk komunikasi saja, melainkan untuk simbolisasi (Piaget, 1963). Simbol adalah representasi kulltural dan ekologis dari realitas; jadi selalu sesuai dengan konteks orang, waktu, dan tempat, dalam hubungannya dengan manah (mind), pikiran, cara berpikir dan bertindak.
Sebagai pewaris dan pengguna bahasa, manusia juga dikenal sebagai makhluk naratif, yang suka berkisah, berceritera, dengan menggunakan bahasa. Bahasa adalah pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia. Karena bahasa pada dasarnya adalah lambang untuk merepresentasikan apa pun, maka manusia menggunakan bahasa untuk berpikir, berkisah, bercakap, berceritera, umumnya secara verbal, memakai kata-kata tentang apa pun yang dipikirkannya, dialaminya (optik, auditoris, taktil, olfaktoris, kecap), dan dirasakannya. Manusia juga berceritera secara visual dalam coretan, dan lukisan–yang kemudian berkembang menjadi tulisan, dan secara kinesik dalam gerak–tari, misalnya. Manusia juga bernarasi mengenai apa yang dibayangkannya sendiri, bahkan tentang apa yang tidak ada karena ia menggunakan lambang yang abstrak yang dapat mengacu apa pun. Manusia bercakap-cakap secara lisan. Percakapan membuat seseorang menjadi manusiawi, menjadi sosial dengan menyentuh orang lain dengan kata-kata. Tetapi dalam perkembangannya manusia juga menulis, dan tulisan tersebut membuatnya menjadi beradab (Gusdorf, 1965: 3–10).
Selain bahasa, juga terdapat sastra yang dapat berbentuk lisan dan tulisan. Orang berceritera secara lisan sehari-hari, dan ketika ditekankan pada nilai keindahan berceritera, lahirlah sastra. Bahasa tulisan mulai dikenal manusia kira-kira 35.000 tahun yang lalu dalam bentuk coretan dan lukisan di gua-gua (Corballis, 1991: 45). Coretan dan lukisan itu mungkin digunakan untuk membuat catatan atau meninggalkan pesan kepada orang lain; dan bagi peneliti masa kini coretan atau lukisan itu dapat digunakan untuk merekonstruksi kesadaran manusia akan dirinya, sejarahnya, dan lingkungannya (Ong, 1982: 15). Bahasa dan sastra adalah warisan sosial, kultural, dan spiritual yang khas dan tak tergantikan.
Tradisi Lisan adalah roh kehidupan manusia. Semua pengalaman hidup manusia dipatri dalam tradisi lisan mulai dari pangkuan ibu, ayah, nenek, kakek, maupun pengasuh yang lain. Seorang anak mengenal dunia melalui tradisi lisan. Sebagai pengamatdan peneliti bahasa saya selalu terbawa oleh dahsyatnya memori manusia sebagaimana dicatat di dalam bahasanya. Melalui memori kita mengingat masa lampau: semua yang kita alami dan pelajari tentang dunia; dan dengan memori kita membuat proyeksi ke masa depan. Dalam sejarah perkembangan makhluk manusia kita mengalami tiga tahap penting dalam kehidupan. Pertama, kita berevolusi karena adanya dan mengikuti DNA (deoxyribonuclieic acid), suatu ensiklopedia yang memuat informasi lengkap tentang wujud fisik genetis manusia; kedua, munculnya sistem saraf dalam otak manusia, terutama neo-korteks, yang menyimpan memori manusia sejak lahir sampai wafatnya; dan ketiga, munculnya bahasa, yang menjadi alat untuk mencatat seluruh pengetahuan manusia dan alat untuk mengkomunikasikannya dengan manusia lain dan mewariskan pengetahuan itu kepada keturunannya (Periksa Midner, Vesna. 2008. The Cognitive Neuroscience of Human Communication).
Ketiga hal di atas telah menjadi perhatian para ahli genetika, ahli neurologi, dan ahli bahasa. Dan, kita semua dibuat tertegun dengan pengetahuan itu karena di situ ditunjukkan betapa Maha Besarnya, betapa Maha Kasihnya Tuhan yang telah menciptakan manusia, yang sungguh-sungguh berbeda dengan makhluk lain, termasuk kerabat paling dekat kita secara evolusi, yaitu primata atau kera–yang menurut penelitian ahli genetika, 98 persen sama dengan kita secara fisik. Kita bersyukur bahwa ada perbedaan sekitar dua persen. Perbedaan antara “langit dan bumi”, dua persen itu adalah bahasa dan budaya.
Yang saya sebutkan di atas adalah pengantar bagi kuliah umum yang akan diberikan oleh Ibu Profesor Doktor Pudentia. Kami sangat berbangga dengan karya dan nama Anda di bidang pengkajian tentang tradisi lisan dan kami siap belajar dari pengalaman Anda, dan di masa yang akan datang bekerja sama untuk mengembangkan studi tentang tradisi lisan di Universitas Flores ini. Kami sadari betapa pentingnya tradisi lisan karena ia mengkaji dan berhubungan langsung dengan serat, fabric, yang merupakan dasar untuk membangun wujud “tenunan” text, kehidupan manusia. Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalmnya atas kesediaan Ibu mengunjungi Universitas Flores dan memberikan kuliah umum untuk menambah wawasan kami tentang tradisi lisan. (*)



[1]  Disari dari Naskah Pidato Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A.,Rektor Universitas Flores, Ende yang Disampaikan pada Acara Pelantikan Pengurus Asosiasi Tradisi Lisan Flores Ende, pada Selasa, 22 Maret 2016, di Auditorium H.J.Gadi Djou, Jl. Sam Ratulangi Ende, Artikel ini telah dimuat pada HU Flores Pos, 2 April 2016.

Kamis, 21 Desember 2017

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme: Sebuah Sentuhan Jurnalistik




Jelajahi dunia dan akhirat dengan membaca, dan
Ikatlah dengan menulisnya (anonim)

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme
Dunia jurnalistik mengajak Anda melalangbuana. Berpetualang sama ketika Anda sedang berselancar mengarungi area laut luas. Namun, saya hendak mengkapling dan mengerucutkan petualangan ini pada satu dua gagasan yang lebih merupakan sentuhan etis-psikologis-emosional untuk menginspirasi Anda dalam memahami hidup Anda (mahasiswa) sebagai satu kelompok  sosial kategorial yang “plus”.
Di dalam sebuah masyarakat, bangsa, dan negara, mahasiswa dapat di­kategorikan sebagai kelompok strategis. Ia diha­rapkan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dan memainkan peran-peran ter­tentu demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai kelompok strategis, mahasiswa dapat dikategorikan sebagai intele­gensia, bahkan intelektual (cendekiawan—cerdas, berakal, pikiran jernih berdasar ilmu pengetahuan).
             Sebagaimana umumnya kaum intelektual, mahasiswa sudah selayaknya (a) menunjukkan kemampu­an nalar (reasoning power) yang baik dan cemerlang, (b) menunjukkan ke­mampuan berpikir bebas dan kritis, (c) meminati persoalan-persoalan rohani (things of mind), dan (d) memiliki kemampuan mempertanyakan kebenaran-kebenar­an yang berlaku pada suatu saat demi kebenaran yang lebih hakiki, tinggi, dan luas.
            Di samping itu, mahasiswa sebagai kelompok intelektual harus memiliki asketisme (?) intelektual, gaya hidup atau gaya kerja yang tidak mengejar keun­tung­an-keuntung­an praktis kebendaan. Ia harus dapat hidup dan bekerja de­ngan penuh kegembiraan di segala lapangan kehidupan.
                Pemuda adalah subyek yang hidup dengan kelimpahan idealisme yang perlu dieksploitasi dalam kehidupan nyata. Namun, terkadang pemuda cenderung bersikap eksklusif dan radikal juga mengedepankan rasionalitas tujuan dan mengabaikan rasionalitas nilai. Dalam idealisme yang berkelimpahan tersebut, mesti ada signifikansi antara daya kecerdasan dan relevansi sosial, terutama relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di kepulauan di Nusantara ini. Oleh karena itu mahasiswa mesti sebagai “ragi” penggembur nilai-nilai kebaikan melalui “demonstrasi tulis”.
  Transformasi idealisme pemuda dalam membangun integritas bangsa mulai tampak pada peristiwa 28 Oktober 1928. Namun, sebuah dosa sejarah yang mesti ditanggung oleh pemuda rezim Orde Baru, bahwa posisinya yang partisan di hadapan politik penguasa. Ketika itu pemuda tidak berkembang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan penguasa. Sebagai bagian yang inheren dari rakyat, pemuda memiliki posisi tawar yang lemah, bahkan dalam banyak kasus pemuda justru tergoda dan terkooptasi dengan iming-iming pragmatisme politik dan ekonomi yang ditawar oleh rezim Orde Baru dan agen kapitalisme.
          Fakta yang menimpa pemuda dan mahasiswa semasa Orde Baru tentu saja tidak bersifat pars pro toto (generalisasi), karena dalam skala kecil dan bersifat sproradis, tumbuh pula gerakan kritis pemuda  terhadap hegemoni kekuasaan Orde Baru. Daya kritis pemuda yang terus tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu telah melahirkan gerakan reformasi 1998 yang akhirnya menggenjot dan menambah perbendaharaan peran historis pemuda. Modal terbesar pemuda adalah idealisme. Jika modal ini dipelihara, maka akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk menggilas penindasan, penipuan, kebohongan, praktik KKN, serta kebobrokan sosial lainnya. Tanpa idealisme, Ibu Pertiwi tak mungkin terlepas dari cengekeraman kolonialisme dan imperealisme. Tanpa idealisme tanah air kita akan tetap menjadi tanah jajahan tempat berkubangnya para perampok. Tanpa idealisme, negeri ini tak mungkin merdeka. Tanpa idealisme rezim represif Orde Baru yang mengingkari kedaulatan rakyat tidak mungkin lengser.
       Sajian singkat di atas, menyiratkan bahwa perlu adanya redefinisi peran pemuda. Perlu ada reorientasi paradigma terhadap eksistensi pemuda sebagai social-category. Hal demikian mengandung makna bahwa pemuda merupakan asset sosial dan asset bangsa yang paling strategis. Oleh karena itu, jiwa kepeloporan dan partisipasi perlu terus digali dan ditingkatkan kualitasnya dalam upaya pencarian dan penemuan tujuan kehidupan berbangsa dn bernegara sebagaimana teramanah dalam UUD 1945. Kesadaran pemuda dalam peta demografis bangsa amat strategis dari perspektif kuantitas. Hampir 80 juta orang dari 220 juta populasi masyarakat Indonesia terkategori sebagai pemuda atau generasi muda. Ini adalah potensi yang sungguh tinggi derajat eksistensialnya bagi konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara.



Jurnalis: Sebuah Pilihan Pekerjaan

      Menjadi Jurnalis adalah sebuah pilihan pekerjaan. Sebagaimana Anda sedang menimba ilmu sekarang ini dengan karakteristik disiplin ilmu yang berbeda. Anda sedang berorientasi menjadi guru bidang studi A, B, C, atau D. Maka, menjadi Jurnalis merupakan sebuah pilihan profesi yang menarik untuk digeluti. Sebagai guru, Anda perlu mengalami suasana tulis-menulis dan menjadikannya sebagai suasana yang lazim dan berkesinambungan. Mulai dari merancang rencana pembelajaran, penyusunan evaluasi, sampai proses dan penentuan penilaian. Itulah rangkaian kegiatan tulis-menulis seorang guru. Dengan demikian, menjadi jurnalis tidak saja harus menjadi “wartawan”, melainkan menjadi guru yang jurnalis atau guru yang wartawan.
        Hal ini penting saya ungkapkan di sini mengingat guru sekarang tidak sama dengan guru tempoe dulu. Guru sekarang adalah guru yang mesti menulis secara berkelanjutan. Untuk setiap kenaikan pangkat mulai dari Golongan IIIa ke IIIb, guru mesti menulis karya ilmiah, melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) secara reguler, menghasilkan berbagai karya ilmiah sampai menulis artikel ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal yang ber-ISSN (International Standard Serial Number).
         Inilah guru yang sebenarnya. Guru yang memiliki niat dan ikhtiar untuk maju terus dan pantang untuk mundur. Dalam mekanisme kenaikan pangkat dan golongan yang kian ketat dan menantang seperti inilah “memaksa” Anda yang masih mahasiswa ini untuk terus belajar tanpa henti. Menyiapkan diri dan mengasah kemampuan dan nalar Anda secara jernih untuk memperoleh banyak faedah dan keuntungan.
        Faedah yang paling tampak dari seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca dan menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang mahasiswa. Ingat, ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan mengayuh sepeda onthel. Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda itu. Begitu juga menulis.
        Tulisan telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan kesinnambungan hidup manusia sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275).
    Rektor Uniflor, Profesor Stephanus Djawanai juga berpendapat yang sama bahwa dunia tulis-menulis merupakan sebuah dunia yang mengekspresikan ciri keintelektualan manusia, untuk mengenal inti budaya dan kehidupan manusia universal (Flores Pos, 23 Maret 2015). Jelaslah bahwa amnesia sejarah ini terjadi lantaran tak disangga oleh tulisan. Inilah pesan penting para pemashyur, pemikir dan penulis andal yang karyanya masih tetap unggul dan relevan bagi persemaian peradaban dan ilmu pengetahuan abad ini.
 Berpikir, membaca, dan menulis menurut Bacharuddin Jusuf Habibie  merupakan terapi-diri (self-healing). Untuk mencegah apa yang disebut sebagai “black-hole”, yaitu kondisi “psiko somatic malignan”, yakni gangguan emosional berdampak negatif pada sistem organ vital manusia. Untuk memperpanjang umurnya, Habibie memilih untuk melakukan kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya dengan menulis (Habibie & Ainun, 2012: xiv). 
 Bangsa-bangsa atau negara-negara yang memiliki tradisi ilmu yang kuat selalu memiliki tradisi berpikir-menulis-membaca yang baik dan tinggi. Tradisi menulis dan membaca tentu memerlukan tradisi berpikir–terutama berpikir kritis atau kreatif yang disangga oleh penalaran. Tradisi berpikir bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga peradaban keberaksaraan (literacy) yang berfondasikan teks, bukan kelisanan (orality) yang berfondasikan tuturan.
   Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai karya khasanah fatis yang ada, hidup, terawat dan awet dalam masyarakat kita. Kapan dan siapa yang bertanggung jawab mengaksarakan berbagai karya khasanah fatis dalam tradisi lisan tadi menjadi tradisi tulis. Paling kurang generasi yang akan datang dapat mengetahui dengan runut dan runtut khasanah-khasanah fatis dimaksud melalui tulisan. Ada pesan moral yang ditinggalkan untuk mereka, yakni bagaimana menghargai kehidupan ini dengan menulisnya. Lembaga-lembaga dan satuan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu pengemban amanat tradisi ilmu. Karena itu, harus memiliki sekaligus memelihara penguasaan tradisi berpikir-menulis-membaca secara baik. Ini artinya, kegiatan berpikir-menulis-membaca sekaligus kegiatan mengasah penguasaan bahasa Indonesia, diikuti dengan memberikan pelayanan yang memadai merupakan langkah konkrit memuliakan tulisan. Tentu ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari visi dan misi membangun Indonesia sejahtera.

Merubah Kultur, Merubah Mindset

Tidak mudah bagi seseorang dapat merubah kebiasaan atau kultur, lebih-lebih kebiasaan yang kurang bagus. Merubah mindset (cara pikir, cara pandang). Diperlukan keberanian ekstra untuk usaha merubah kebiasaan jelek. Satu contoh di masyarakat kita tumbuh kultur jam karet (sering terlambat, molor, menunggu teman, cepat puas dengan apa yang ada, putus asa) kurang disiplin dan kurangnya penghargaan terhadap waktu. Tidak heran bila ada satu orang mencoba tepat waktu, maka akan banyak komentar dari sekelilingnya. Namun, bagi Anda yang mau maju ikutilah hal ini. Niscaya, Anda berhasil. Kata orang  sedikit-sedikit menjadi bukit.

Memanfaatkan sampai Mencipta Peluang

Mahasiswa sebagai subyek “kreator” yang mesti terus berusaha, mencipta, memodifikasi segala sesuatu agar bisa menemukannya. Bicara, omong atau bertutur saja tidak cukup. Akan menguap begitu saja. Alangkah lebih bijak Anda mesti menguasainya secara berimbang: omong oke, tulis pun oke. Dalam konteks ini, daya, kemampuan, dan potensi yang ada pada diri Anda mesti dieksplorasi. Tinggalkan sikap malas dan “nrimo”, menerima saja nasib. Selalu berpikir positif. Buang jauh-jauh pikiran-pikiran yang membelenggu diri. Jadilah Anda kaum intelektual—cendikia yang bermartabat. Setia pada pilihan pekerjaan Anda. Kendati menjadi GURU. Guru yang Jurnalis.

Ende, 9 Desember 2016



[1] Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Jurnalistik yang Diselenggarakan Oleh BEM FKIP Universitas Flores, Bertempat di Aula FKIP Universitas Flores, Jumad, 9 Desember 2016
[2] Dosen Universitas Flores, Ende