Halaman

Kamis, 21 Desember 2017

Drama: Koda Ata Nolon




 Pekan Pementasan Drama 2014 merupaka sebuah pendekatan kultural yang bertujuan strategis untuk kilas balik sekaligus napak tilas menguak karya-karya sastra lama di era kehidupan Plato, Aristoteles, Horatius, dan sebagainya. Karya-karya tersebut juga secara migratoris menjelma dalam kehidupan kita setiap etnis. Ini mengeksplisitkan bahwa ternyata para pendahulu kita mampu merajut dan menenun cerita, walau secara oral.
Pentradisiannyapun secara lisan tak tertulis. Namun, itulah cerita-cerita agung yang mengendap misteri dan menjadi rahasia kehidupan manusia secara universal dalam hierarki relasi dengan Tuhannya yang Mahaagung dan Bijaksana, dengan sesama, dan dengan alam semesta tempat manusia berpijak. Keterbatasan literer karena keterbatasan pengaksaraan ketika itu, tak menyurutkan ikhtiar mereka sedikitpun, tetap mencerminkan keagungan dalam mencipta untuk anak cucu sekarang.
Bagi saya, justru di sinilah keunggulan mereka dahulu (koda ata nolon) yang juga memiliki kadar kemampuan intelektual yang ulung dan tinggi. Ada aktivitas ditopang daya imajinasi dan inovasi yang kuatmenandai kehidupan mereka di masa itu.

Bapak/Ibu yang saya hormati:
Kemampuan yang termanifestasi pada diri setiap kita yang hadir pada malam ini adalah juga titisan kemampuan yang kita peroleh secara konvergensi antara faktor gen (sisa-sisa gen para leluhur kita masing-masing) dan faktor pengetahuan heuristik yang menjadikan kita boleh bertemu pada malam ini. Oleh karena itu, tidak ada kata lain selain terima kasih kepada mereka seemua yang telah mengajarkan kita kebenaran, kasish sayang, cinta, dan ketaatan akan jati diri.

Bapak/Ibu yang saya hormati,
Malam ini kita akan dibawa berlayar dengan tena (perahu, peledang penangkap ikan Paus) ke ujung timur Pulau Flores, yakni Lamalera Lembata. Kita semua diajak merenangi ganasnya Laut Sawu Selatan dalam kisah Baleo...baleo, Tite Tefaro Kae (Marilah, bangunlah, berkumpulah...kita sudah dapat). Ini pembuktian sebuah semangat dan kerja keras yang tidak pernah surut untuk mencari – mengail (leva nuang) di kedalaman Laut Sawu Selatan yang ganas dan menakutkan semata-mata untuk mempertahankan hidup. Ekosistem Lamalera adalah alamiah, sangat tergantung dari perputaran musim yang juga memengaruhi arus laut. Arus ini sangat penting bagi nelayan untuk bisa mengetahui kapan waktu ideal untuk turun ke laut. Mengenal waktu hanya dengan memperhatikan matahari di siang hari dan bulan bintang serta kokok ayam di malam hari. Daerahnya bebatuan. Namun, kenyataan tersebut telah mencuat kemustahilan spektakuler, yakni daerah bebatuan telah ditata sekian rupa – rapih menjadi daerah hunian yang menurut turis mancanegara setiap tahun musim leva nuang sebagai desa nelayan paling eksotis dan romantis dengan tatanan yang menakjubkan.
Parade Pekan Pementasan Drama yang bahannya 
diramu dari berbagai cerita rakyat pada berbagai etnis di Flores Lembata yang mulai digelar malam ini akan mampu mengajarkan kepada kita semua tentang jati diri dan eksistensi lokalitas kita yang telah berurat akar dalam ziarah sejarah di tengah realitas kehidupan Indonesia yang pluralis. (*).


[1] Sambutan pada Acara Pembukaan Pekan Pementasan Drama Mahasiswa PBSI Semester V Universitas Flores Ende, 1–5 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar