Halaman

Kamis, 21 Desember 2017

Soekarno–Ende: 1934–1938 Dari Nusa Naga Ke Nusantara: Sebuah Antologi



 “Pulau Bunga akan tetap melekat kuat dalam ingatanku”, kata Bung Karno mengenai Pulau Flores atau Pulau Bunga. Ungkapan nostalgik ini berbeda jauh dengan jeritan hati di awal pembuangannya di Ende. Hidup Bung Karno telah menjadi sejarah negara dan bangsa Indonesia serta tetap terpatri dalam sanubari anak cucu negara ini. Di setiap tempat yang pernah ditapakinya, BungKarno telah menoreh kenangan tersendiri. Demikian pula di sini, di Ende, sebuah kota tengah Pulau Flores. Di kota sejarah inilah Bung Karno memahat sebuah candi intelektual yang kita kenal dengan nama Pancasila. Demikianlah peribahasa lama mengingatkan kita “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. 

Politik pembuangan (internering) Soekarno [2] di Ende tahun 1934–1938 dianggap sebagai rumah pemulihan.[3] Satu pertanyaan yang tidak pernah lepas dari peristiwa pembuangan ini adalah mengapa harus Ende? Ada tiga alasan, pertama, adanya penjagaan yang cukup ketat sehingga yang ditahan tidak melarikan diri. Kedua, kesempatan kerja, dan ketiga, kepekaan masyarakat sekitar kalau sekiranya ada agitasi dari Bung Karno. Ternyata dugaan para pembesar Belanda meleset karena Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga sehingga telah melepaskan atavisme “nusa nipa nusa naga”[4] karena sudah mempertautkan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan kekuasaan kolonial Belanda yang memaksakan penaklukan dengan kekerasan senjata dan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam. Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit. Bagi orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u Jawa (orang pintar dari Jawa). Sebaliknya Soekarno sendiri memandang dirinya sebagai “seekor  burung elang yang telah dipotong sayapnya”[5].
Di Ende, Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi” [6] intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik Indonesia. Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.
Selain menjadi tempat pemulihan dan transformasi merajut candi intelektual, Ende juga menjadi tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan penjara dengan panggung merdeka. Sebab di tempat inilah, Soekarno menjalani persahabatan tanpa batas dan menemukan wajah Belanda yang lain lewat para pastor Belanda yang berkarya di Ende. Yang kalau dicermati, mereka adalah “musuh” politik Bung Karno. Namun, ternyata fakta menunjukkan lain, bahwa para pastor Belanda itu sangat akrab dan bersahabat.
Di tempat yang sama ini pulalah Bung Karno menampilkan kecemerlangan berpikir dan berkarya seni. Tercatat selama masa internering di Ende beliau mencipta duabelas naskah toneel, bahkan sempat dipentaskan di Rumah Pentas Imakulata Jalan Katedral Ende. Bahkan dari tempat inilah Bung Karno telah meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka tahun 1945 melalui sebuah toneelnya yang berjudul Tahun 1945. Dua naskah terkenal adalah Dokter Syaitan dan Rahasia Kelimutu.
Sekali lagi, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga tidaklah penting mempersoalkan mengapa Bung Karno harus di buang ke Ende. Terlepas ada kepentingan politik kaum kolonialis Belanda ketika itu, tetapi yang jelas bahwa Ende dan Flores adalah wilayah NKRI. Secara literer, Indonesia merupakan sebuah teks  yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. (*)

           









[1] Judul buku yang berisi lima tulisan masing-masing oleh (1) Dr. Daniel Dhakidae, (2) Prof.Dr.Stephanus Djawanai,MA, (3) Pater John Dami Mukese,MA,SVD, (4) Dra.Maria Matildis Banda, dan (5) Dr.Pius Pampe,M.Hum. Diberi kata pengantar oleh Prof.Dr.Stephanus Djawanai,MA, dan diterbitkan oleh CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013. Diluncurkan dan dibedah di Universitas Flores dengan pembahas Dr.Kotan Stefanus,M.H., Sabtu, 15 Maret 2014.
[2] Soekarno berarti pahlawan yang terbaik atau pahlawan sejati. Dilahirkan tanggal enam bulan enam jam setengah enam pagi tahun 1901. Tahun permulaan abad baru. Ditandai dengan meletusnya gunung Kelud di Jawa. Orang menafsirkannya sebagai pertanda yang baik, yaitu suatu “penyambutan terhadap bayi Soekarno. (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15). Dalam kepercayaan Bali, kalau gunung Agung meletus maka itu pertanda buruk. Entahlah, mana yang benar, namuun Soekarno menerima semuanya itu sebagai bagian dari nasib hidupnya. “Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran, dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah perpaduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15-16).
[3] Pendapat Dr.Daniel Dhakidae dalam subjudul “Dari Tempat Pembuangan menjadi Rumah Pemulihan: makna Soekarno bagi Ende, dan Ende bagi Soekarno”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 13–79, Penerbit CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013.

[5] Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan raya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumburnya menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari yang menghanguskan memancarkan dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 42-43).
[6] Secara historis empiris Indonesia boleh disebut sebagai negara candi. Selain karena secara kuantitas begitu banyak candi yang kita temukan (terutama di Pula Jawa dan Bali) yang merupakan hasil cipta dan karya peninggalan Hindu dan Budha, istilah ini oleh Prof.Dr.Stephanus Djawanai,MA., dalam subjudul buku “Bung Karno: Perajut mimpi Indonesia Mandiri”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 80–101, Penerbit CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013, lebih ditafsirkan sebagai sebuah proses permenungan, pergumulan. Proses demikian yang pada akhirnya mengerucut dan memuncak seperti candi. Badan candi sendiri dipahami sebagai proses. Puncak pergumulan Soekarno di Ende adalah Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar negara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar