“Pulau Bunga akan
tetap melekat kuat dalam ingatanku”, kata Bung Karno mengenai Pulau Flores atau
Pulau Bunga. Ungkapan nostalgik ini berbeda jauh dengan jeritan hati di awal
pembuangannya di Ende. Hidup Bung Karno telah menjadi sejarah negara dan bangsa
Indonesia serta tetap terpatri dalam sanubari anak cucu negara ini. Di setiap
tempat yang pernah ditapakinya, BungKarno telah menoreh kenangan tersendiri.
Demikian pula di sini, di Ende, sebuah kota tengah Pulau Flores. Di kota
sejarah inilah Bung Karno memahat sebuah candi intelektual yang kita kenal
dengan nama Pancasila. Demikianlah peribahasa lama mengingatkan kita “gajah
mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati
meninggalkan nama”.
Politik pembuangan (internering) Soekarno [2] di Ende tahun
1934–1938 dianggap sebagai rumah pemulihan.[3] Satu pertanyaan
yang tidak pernah lepas dari peristiwa pembuangan ini adalah mengapa harus
Ende? Ada tiga alasan, pertama, adanya penjagaan yang cukup ketat
sehingga yang ditahan tidak melarikan diri. Kedua, kesempatan kerja, dan
ketiga, kepekaan masyarakat sekitar kalau sekiranya ada agitasi dari
Bung Karno. Ternyata dugaan para pembesar Belanda meleset karena Ende dan
Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi
yang sudah jinak laksana bunga sehingga telah melepaskan atavisme “nusa nipa
nusa naga”[4] karena sudah mempertautkan
dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan kekuasaan kolonial Belanda yang
memaksakan penaklukan dengan kekerasan senjata dan kelembutan agama Katolik
yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih
atau hitam. Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan,
melainkan sebuah kota pelabuhan dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah
Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan
seniman yang komplit. Bagi orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u
Jawa (orang pintar dari Jawa). Sebaliknya Soekarno sendiri memandang
dirinya sebagai “seekor burung elang
yang telah dipotong sayapnya”[5].
Di Ende, Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar
dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”,
mentransformasikannya, menjadi suatu “candi” [6]
intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi
dasar bangunan Negara Republik Indonesia. Yang menarik bahwa beliau mengaitkan
semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau,
untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial
budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong
meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam
membangun konsep kebangsaan Indonesia.
Selain menjadi tempat pemulihan dan transformasi merajut
candi intelektual, Ende juga menjadi tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan
penjara dengan panggung merdeka. Sebab di tempat inilah, Soekarno menjalani
persahabatan tanpa batas dan menemukan wajah Belanda yang lain lewat para
pastor Belanda yang berkarya di Ende. Yang kalau dicermati, mereka adalah
“musuh” politik Bung Karno. Namun, ternyata fakta menunjukkan lain, bahwa para
pastor Belanda itu sangat akrab dan bersahabat.
Di tempat yang sama ini pulalah Bung Karno menampilkan
kecemerlangan berpikir dan berkarya seni. Tercatat selama masa internering di
Ende beliau mencipta duabelas naskah toneel, bahkan sempat dipentaskan
di Rumah Pentas Imakulata Jalan Katedral Ende. Bahkan dari tempat inilah Bung
Karno telah meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka tahun 1945 melalui sebuah toneelnya
yang berjudul Tahun 1945. Dua naskah terkenal adalah Dokter Syaitan
dan Rahasia Kelimutu.
Sekali lagi, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang
plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga
tidaklah penting mempersoalkan mengapa Bung Karno harus di buang ke Ende.
Terlepas ada kepentingan politik kaum kolonialis Belanda ketika itu, tetapi
yang jelas bahwa Ende dan Flores adalah wilayah NKRI. Secara literer, Indonesia
merupakan sebuah teks yang sangat luas.
Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah
keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah
Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas
dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere
Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang
politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial
budaya. (*)
[1] Judul buku yang
berisi lima tulisan masing-masing oleh (1) Dr. Daniel Dhakidae, (2)
Prof.Dr.Stephanus Djawanai,MA, (3) Pater John Dami Mukese,MA,SVD, (4) Dra.Maria
Matildis Banda, dan (5) Dr.Pius Pampe,M.Hum. Diberi kata pengantar oleh
Prof.Dr.Stephanus Djawanai,MA, dan diterbitkan oleh CV.Brimotry Bulaksumur
Visual Yogyakarta, 2013. Diluncurkan dan dibedah di Universitas Flores dengan
pembahas Dr.Kotan Stefanus,M.H., Sabtu, 15 Maret 2014.
[2] Soekarno
berarti pahlawan yang terbaik atau pahlawan sejati. Dilahirkan tanggal enam
bulan enam jam setengah enam pagi tahun 1901. Tahun permulaan abad baru.
Ditandai dengan meletusnya gunung Kelud di Jawa. Orang menafsirkannya sebagai
pertanda yang baik, yaitu suatu “penyambutan terhadap bayi Soekarno. (Bung
Karno dan Pancasila, 2006: 15). Dalam kepercayaan Bali, kalau gunung Agung
meletus maka itu pertanda buruk. Entahlah, mana yang benar, namuun Soekarno
menerima semuanya itu sebagai bagian dari nasib hidupnya. “Adalah menjadi nasibku
yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran,
dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak
dan bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama.
Pembawaanku adalah perpaduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan (Bung
Karno dan Pancasila, 2006: 15-16).
[3] Pendapat Dr.Daniel Dhakidae dalam subjudul “Dari
Tempat Pembuangan menjadi Rumah Pemulihan: makna Soekarno bagi Ende, dan Ende
bagi Soekarno”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman
13–79, Penerbit CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013.
[5] Ende di Pulau
Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan raya adalah sebuah
jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumburnya
menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari yang menghanguskan memancarkan
dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan
aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja (Bung
Karno dan Pancasila, 2006: 42-43).
[6] Secara historis empiris Indonesia boleh disebut sebagai
negara candi. Selain karena secara kuantitas begitu banyak candi yang kita
temukan (terutama di Pula Jawa dan Bali) yang merupakan hasil cipta dan karya
peninggalan Hindu dan Budha, istilah ini oleh Prof.Dr.Stephanus Djawanai,MA.,
dalam subjudul buku “Bung Karno: Perajut mimpi Indonesia Mandiri”, dalam
buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 80–101, Penerbit CV.Brimotry
Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013, lebih ditafsirkan sebagai sebuah proses
permenungan, pergumulan. Proses demikian yang pada akhirnya mengerucut dan
memuncak seperti candi. Badan candi sendiri dipahami sebagai proses. Puncak
pergumulan Soekarno di Ende adalah Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi
dasar negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar