Halaman

Tampilkan postingan dengan label Merantau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Merantau. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Juli 2023

Bedah Cerpen Bersama Siswa SMP Negeri 2 Ndona Kabupaten Ende

 

Sebanyak 22 siswa SMP Negeri 1 Ndona Kabupaten Ende mengikuti kegiatan bedah cerpen. Kegiatan ini termasuk dalam rangkaian kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores. Kegiatan bedah cerpen dilaksanakan di Aula SMP Negeri 1 Ndona, Jumat (16/06/2023), dibuka oleh Kepala Sekolah Amin Asrakal, S.Pd., berlangsung mulai pukul 08.30 hingga selesai. Para siswa mengikuti kegiatan dengan penuh antusias.

Pemateri dalam kegiatan ini adalah Maria Adventia Ine Mere, mahasiswa semester 6 Prodi PBSI. Ine Mere membawa materi dengan judul "Ansiety tokoh utama dalam cerpen Sedihnya Berpisah karya Fanny J. Poyk.


Cerpen Sedihnya Berpisah karya Fany J. Poyk 

Cerpen Sedihnya Berpisah karya Fany J. Poyk mengisahkan tentang seorang anak perempuan Nina yang cemas akan masa depan pendidikannya. Nina cemas karena ditinggal sendiri dengan adik-adiknya dan jauh dari orang tuanya. Kehidupan ekonomi keluarga yang kurang menguntungkan. Penghasilan ayahnya yang pas-pasan memaksa ayahnya untuk merantau. Namun, nasib malang tetap mengintai ayahnya. Pekerjaan di tanah rantau pun menjadi tak tentu. Pengiriman uang untuk Nina dan adik-adiknya di kampung pun tak tentu pula. Dari sinilah kecemasan Nina bermula. Biaya pendidikan di sekolah dan masa depannya menjadi tak tentu pula. Kecemasan selalu mengintai diri Nina dan adik-adiknya, termasuk masa depan pendidikan mereka.

Bedah cerpen ini bermaksud agar para siswa bisa mengapresiasi karya sastrawan NTT. Hal ini menjadi sesuatu yang baru bagi para siswa SMP Negeri 2 Ndona. Dengan penuh keingintahuan mereka pun aktif di sesi diskusi. Sebanyak 8 pertanyaan terlontar dari siswa. Salah satu pertanyaan berbunyi, "Apa hubungan cerpen dengan psikologi sastra?", tanya John, siswa SMP Negeri 2 Ndona.

Menjawab pertanyaan ini, Ine Mere menjelaskan bahwa sastra merupakan karya kreatif imajinatif dan permenungan pengarang atas kehidupan sosial suatu masyarakat. Bahkan, karya sastra tidak saja sebuah refleksi sosial, melainkan representasi atau cerminan pikiran tentang kehidupan manusia pada umumnya. “Karya sastra adalah refleksi sosial yang  mengangkat kisah hidup manusia yang penuh gejolak dan kecemasan. Di sinilah letak keindahan karya sastra yang membuat pembaca antusias untuk mendapatkan sesuatu yang ada dalam karya sastra”, terang Ine Mere.

Ada yang menarik lagi,  siswa pun jadi mengetahui tentang ansiety atau kecemasan. Kecemasan ini ada di sekitar mereka dan terjadi dalam berbagai bentuk. "Ternyata ansiety atau perasaan cemas ada di sekitar kami, misalnya kami cemas ketika belum mengumpulkan tugas yang diberikan guru," ujar salah satu siswa.



Kegiatan bedah cerpen ditutup dengan pesan dan kesan siswa selama kegiatan berlangsung, “Terima kasih kakak-kakak yang membagi ilmunya dengan kami di sini. Hal ini menambah pengetahuan kami semuanya,” ucap Mel, sebagai perwakilan siswa. (*)

Berita ini dipublikasikan di https://www.kliktimes.com, 27 Juni 2023


Rabu, 25 Oktober 2017

Merantau







“Tidak ada lagi pekerjaan yang bisa aku andalkan,
selain menjadi pemecah batu”

Kutipan di atas saya ambil dari cerpen Wanita Pemecah Batu karya Marlin Lering yang dimuat dalam Harian Umum Pos Kupang, Minggu, 24 Januari 2016. Kutipan ini menyiratkan tentang bagaimana kesetiaan seorang wanita pemecah batu sampai akhir hidupnya, yakni saat Tuhan memanggil dia dari kehidupannya. Kematiannya bersama Kletus, anak semata wayang adalah bukti cinta seorang mama, wanita pemecah batu terhadap anaknya.
Marlin Lering menceriterakan suasana kehidupan di sebuah kampung yang para penghuni perempuannya bekerja sebagai pemecah batu. Dari penggunaan nama tokoh, misalnya Ine dan Kletus dapat saya pastikan bahwa latar penceritaan ini terjadi, berakar, dan bergerak di kampung-kampung kita di Flores dan Lembata. Dikisahkan tidak ada pilihan pekerjaan lain bagi perempuan di kampung itu, kecuali menjadi pemecah batu. Tokoh Aku sebagai tokoh utama cerpen ini mencoba berusaha dengan membuka kios, namun usaha kiospun tak bertahan lama, karena masyarakat di kampung itu bukanlah masyarakat yang konsumtif seperti masyarakat di perkotaan. Mereka bisa bertahan hanya dengan ubi-ubian dan pangan lokal lainnya, sehingga  barang-barang kios terpaksa dikonsumsi sendiri. Jalan satu-satunya untuk menyambung hidup adalah menjadi wanita pemecah batu. Demi merubah nasib keluarga, sang Suami memutuskan untuk mereguk keberuntungan di tanah rantau, negeri jiran Malaysia dengan ongkosnya menjual sawah hasil peninggalan almahrum ayah istrinya. Sedari awal istri tetap pada pendirian untuk tidak memenuhi permintaan suami untuk menjual sawah peninggalan ayahnya. Lama-kelamaan hatinya luluh juga oleh bujukan suaminya yang berpendirian keras dan harus dituruti. Tepat setahun kelahiran Kletus anak semata wayang, sang Suami berangkat. Berdasarkan cerita ini, tercatat hanya sekali Suami mengirimkan uang, setelah itu kabarpun tak terdengar hingga ketika di suatu pagi berkabut, penghuni kampung digemparkan dengan kepergian dua orang penghuninya, seorang malaikat kecil yang menantikan kepulangan ayahnya dan juga seorang perempuan pemecah batu.
Tulisan ini mengisahkan tentang “merantau yang telah menjadi semacam kebiasaan masyarakat di Pulau Flores dan masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Orang Lamaholot menyebutnya melarat. Persis dalam bahasa Indonesia berarti miskin sengsara. Marantau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1169) didefinisikan sebagai (1) berlayar untuk mencari penghidupan di sepanjang rantau (dari satu sungai ke sungai lain); (2) pergi ke pantai (pesisir);  (3) pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya). Merantau dapat pula dipersepsi sebagai proses mengembara, berlayar, berkeliling untuk mencari dan mendapatkan sesuatu yang lain, yang memenuhi harapan, keinginan, dan cita-cita.
Mulanya, merantau menjadi pilihan pekerjaan untuk membantu mengatasi berbagai kesulitan hidup, terutama kesulitan ekonomi keluarga. Secara ekonomis, hasil merantau dapat digunakan membiayai pendidikan anak, membangun rumah, untuk urusan perkawinan bagi yang masih bujang, membantu sanak keluarga, serta kebutuhan lain yang mendesak. Namun, merantau juga memberi efek negatif bagi perkembangan kehidupan keluarga, secara khusus bagi istri dan anak-anak. Beban psikologis terus menumpuk di satu pihak, dan kerasnya usaha mempertahankan hidup di pihak lain telah memaksa sosok wanita dan anak-anak yang ditinggalkan untuk setia bertahan menghadapi tantangan itu. Banyak cerita, bahkan fakta keberhasilan yang telah ditorehkan segelintir perantau di negeri orang yang patut diapresiasi dan ditiru. Tak sedikitpun cerita, bahkan fakta miris yang tersaji ke tengah masyarakat tentang kegagalan perantau yang tak perlu ditiru. Fakta miris ini sekadar untuk saling mengingatkan di antara anggota masyarakat sebelum memutuskan untuk merantau. Apalagi di zaman ini.
Misi merantau Suami untuk membantu mengatasi kebutuhan-kebutuhan istri dan Kletus di kampung halaman tidak sebagaimana yang dijanjikan Suami sebelum merantau. Malaysia sebagai tujuan pertama dan diidolakan menjadi tempat peruntungan nasib Suami, malah menjadi tempat untuk hidup enak-enak, bahkan sampai lupa diri, dan tanpa sedikitpun membawa berkat bagi mereka. Sang Suami tidak bertanggung jawab atas hidup istri dan anaknya. Mungkin dia telah mengalami situasi senang di tanah jiran Malaysia dan melupakan istri dan anaknya. Suasana batin inilah juga menjadi sesuatu yang nyata yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari kita. Banyak suami yang setelah merantau dan lupa dengan keluarganya di kampung halaman.
Sosok seorang ibu dalam konteks tulisan ini adalah figur atas ketokohan seorang ibu (mama) sebagai bangunan sikap perasaan untuk tetap sabar, kuat, memaknai, bahkan mengalami kerasnya hidup. Menjadi wanita pemecah batu yang dilukiskan dalam cerpen ini juga adalah realitas pekerjaan yang gampang kita temui dalam kehidupan nyata. Malaysia yang diidolakan menjadi surga duit ternyata tidak sebagaimana adanya. “Sementara suamiku sudah setahun ini, memilih untuk merantau ke negeri jiran Malaysia, negeri yang katanya mampu membayar gaji karyawannya dua kali lipat, dibandingkan dengan Indonesia”. Malaysia bisa berubah menjadi sebuah konflik, “Setelah setahun ia merantau, hanya sekali ia mengirimkan uang, setelah itu, kabarpun tak terdengar”.*

Opini ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Sabtu, 2 September 2017