Halaman

Tampilkan postingan dengan label Sukarno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sukarno. Tampilkan semua postingan

Selasa, 06 Juni 2023

Sukarno Putra Sang Fajar Berbintang Gemini


Sukarno lahir pada bulan enam, tanggal enam, jam setengah enam pagi tahun 1901 di Surabaya. Serba enam. Persis ketika itu meletusnya gunung Kelud di Jawa. Orang menafsirkannya sebagai pertanda baik karena menandai permulaan abad baru. Bahkan, adapun kepercayaan yang menganggapnya sebagai pertanda buruk. Sukarno sendiri menerima saja, "Adalah nasibku terbaik dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dua sifat yang saling berlawanan. Aku bisa lunak dan bisa cerewet. Bisa keras laksana baja dan bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah perpaduan dari pikiran sehat dan getaran perasaan."

Suatu ketika, kala Sukarno masih kecil, ia sudah bangun pagi sekali. Di beranda rumahnya, ibunya menyapanya, "Engkau sedang memandang fajar, Nak. Ibu katakan padamu bahwa kelak engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita karena ibu melahirkanmu di pagi hari saat fajar mulai menyingsing. Jangan kau lupakan itu, Nak bahwa engkau ini putra sang fajar."

(Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara, Nusa Indah, 2006).

Selamat hari lahir Bung Karno, Presiden pertama RI (*)

Jumat, 26 Mei 2023

Naskah Drama Sukarno


Dua dari 12 naskah tonil (sandiwara) yang ditulis Sukarno ketika menjalani masa pembuangan di Ende. Dokter Syaitan pernah dipentaskan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores di ruang siar RRI Ende dengan dua pelaku lain, yaitu Prof. Dr. Stephanus Djawanai, Ph.D., dan Taufik Kiemas. Keduanya sudah dipanggil pulang keharibaan Tuhan Pencipta pemilik kehidupan. Kiranya mereka damai di surga.

Naskah tonil Rahasia Kelimutu juga pernah dipentaskan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores (Uniflor) tahun 2013 di Auditorium H.J. Gadi Djou Ende, di hadapan tamu dari Kementerian Pendidikan, Kementerian Pariwisata, dan tamu undangan lainnya bertepatan dengan pemugaran situs-situs Bung Karno selama pembuangannya di Ende. 

Tonil bagi Soekarno merupakan jalan lain untuk mengirim pesan kepada kaum kolonial bahwa kita bangsa Indonesia ini punya harkat dan harga diri. Oleh karena itu, Sukarno tidak hanya menulis naskah, namun ia tampil sebagai sutradara, produser, bahkan sebagai penonton untuk memberi semangat kepada penonton dan khalayak masyarakat untuk terus berjuang. (*)

Kamis, 25 Mei 2023

Kelimoetoe Toneel Club


Presiden Joko Widodo mengunjungi Ende pada tanggal 1 Juni 2022. Menurut informasi yang diperoleh RI1 akan menginap semalam di Ende. Ende punya kisah historis yang kuat. Di Ende Soekarno pernah diasingkan (1934-1938). Ada beberapa bukti sejarah Bung Karno di Ende. Salah satunya adalah Kelimoetoe Toneel Club. 



Kelimoetoe Toneel Club

Klub Tonel Kelimutu, klub yang dibentuk oleh Ir. Soekarno ketika di Ende. Klub ini dipandangnya sebagai "kampus" untuk menyelenggarakan diskusi, pementasan drama, bernyanyi, berpawai, termasuk berlatih lagu-lagu popular.  Anggotanya diperkirakan sebanyak 90 orang, ketika itu. Di hadapan massa, Soekarno tampil menjadi "singa podium".

 Semuanya tergantung pada kepemimpinan Bung Karno, sang sutradara dan seniman. Ia melatih secara rinci orang-orang tak terpelajar, seperti bagaimana memainkan orang mati di panggung sederhana. Anggota tonil pun tidak memahami dan mengerti mengapa orang hidup yang sengaja menjadi mati dipertontonkan di atas panggung. Namun, Soekarno tidak pernah lelah, berhari-hari memberikan pelatihan agar pementasan tonil berhasil.

Selama di Ende Soekarno menghasilkan beberapa naskah tonil. Tonil yang terkenal adalah Dokter Syaitan dan Rahasia Kelimutu. Properti pementasan, misalnya banner dilukis dan digambar sendiri, sebab Bung Karno juga adalah seorang pelukis. (*)

Rabu, 07 November 2018

Ende dari Masa ke Masa





Ende, tidak hanya sebuah nama, juga tidak sekadar sebuah tempat. Ende adalah sebuah tanda kultural tentang perjalanan panjang peradaban manusia yang mendiaminya. Evolusi fisik dan kultural berjalan sepadan dan selaras sikap hidup masyarakatnya karena dimungkinkan adanya inti sebuah “keterbukaan” dua etnik besar Ende dan Lio dalam memandang dirinya dan orang lain di luar, termasuk kepada pencipta-Nya, dan bumi semesta alam tempat mereka tinggal dan menafkahi hidupnya. 
Satu keterbukaan adalah ketika Ende menjadi destinasi atau tempat pembuangan Soekarno, 1934–1938, Sang Proklamator bangsa ini. Dari perspektif historis, Ende dikenal luas sehingga menjadi daya tarik sendiri dalam pembangunan bangsa. Secara kebetulan pula, topografi Ende yang terdapat di tengah pulau atau di antara kota-kota besar di Pulau Flores. Ke”di-antara”an inilah menjadi pemicu dalam melihat dirinya sebagai yang bersahabat. Di tengah-tengah Pulau Flores, Ende menjadi miniatur toleransi yang terajut jauh sebelum alam kemerdekaan Indonesia diraih. Ia menjadi pusar turbin ekonomi, politik, juga pusat religi. 
Dalam aspek ekonomi, Ende dikenal karena adanya sebuah jembatan besi (sekarang pelabuhan laut Ende) yang sangat memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi antarwarga dengan warga dari luar pulau. Ende menjadi destinasi transaksi ekonomi antara pedagang Bugis, Jawa, Sabu, Arab, Bima, dan pedagang-pedagang lainnya di daerah Flores, Solor, dan Lomblen. Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Apalagi ketika itu, di Pulau Ende (Eru Mbinge) diketahui menjadi kota beredarnya kain Sutra India yang sangat memikat hati para pedagang. Aspek politik, misalnya Bung Karno pernah mengalami politik pembuangan (internering) di Ende tahun 1934–1938. Ende, akhirnya menjadi ruang belajar toleransi. 
Visi “keterbukaan” Ende tampak dalam berbagai pilihan fitur dan nilai-nilai tertentu, seperti nilai relasional, ekspierensial, dan nilai ekspresif. Nilai relasional menggambarkan hubungan sosial manusia dalam suatu komunitas sosial. Nilai ekspierensial manusia berisikan tentang pandangan, pengetahuan, dan keyakinan tentang sesuatu, sedangkan nilai ekspresif menggambarkan penilaian atas identitas sosial dalam kehidupan berkomunitas (Fairclough, 1989: 129–141).
Aspek sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat atau juga ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan perubahannya. Aspek sosial yang digambarkan pada lirik lagu di atas menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat di Ende sangatlah akrab antara satu dengan yang lain. Masyarakat di Ende juga hidupnya berlandaskan pada persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan inilah yang membuat orang lain yang datang ke Ende merasa hidupnya nyaman, aman, tenteram, dan damai. Hal lain yang membuat orang berbondong-bondong mendatangi Ende adalah keajaiban alam danau Kelimutu dan sarung Kelimara yang kemilau, hal ini lah yang membuat nama Ende terkenal.
Dari aspek religi, Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga, “nusa nipa nusa naga” dengan tautan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan senjata dari tangan kekuasaan kolonial Belanda dengan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam (Dhakidhae, 2013). Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan yang ramah dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit
Secara sosiologis, Ende sangat kaya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal dimaknai sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang mampu memberikan komunitas tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas berada. Oleh karena itu, kearifan lokal dipandang sebagai jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal, terlebih masyarakatnya mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok demi keutuhan komunitas yang utuh dan terintegrasi. Demikianlah esensi kearifan rohaniah psikologis, kultural, dan emosional masyarakat yang  mestinya terus kukuh dipertahankan. (*)

Kamis, 21 Desember 2017

Soekarno–Ende: 1934–1938 Dari Nusa Naga Ke Nusantara: Sebuah Antologi



 “Pulau Bunga akan tetap melekat kuat dalam ingatanku”, kata Bung Karno mengenai Pulau Flores atau Pulau Bunga. Ungkapan nostalgik ini berbeda jauh dengan jeritan hati di awal pembuangannya di Ende. Hidup Bung Karno telah menjadi sejarah negara dan bangsa Indonesia serta tetap terpatri dalam sanubari anak cucu negara ini. Di setiap tempat yang pernah ditapakinya, BungKarno telah menoreh kenangan tersendiri. Demikian pula di sini, di Ende, sebuah kota tengah Pulau Flores. Di kota sejarah inilah Bung Karno memahat sebuah candi intelektual yang kita kenal dengan nama Pancasila. Demikianlah peribahasa lama mengingatkan kita “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. 

Politik pembuangan (internering) Soekarno [2] di Ende tahun 1934–1938 dianggap sebagai rumah pemulihan.[3] Satu pertanyaan yang tidak pernah lepas dari peristiwa pembuangan ini adalah mengapa harus Ende? Ada tiga alasan, pertama, adanya penjagaan yang cukup ketat sehingga yang ditahan tidak melarikan diri. Kedua, kesempatan kerja, dan ketiga, kepekaan masyarakat sekitar kalau sekiranya ada agitasi dari Bung Karno. Ternyata dugaan para pembesar Belanda meleset karena Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga sehingga telah melepaskan atavisme “nusa nipa nusa naga”[4] karena sudah mempertautkan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan kekuasaan kolonial Belanda yang memaksakan penaklukan dengan kekerasan senjata dan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam. Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit. Bagi orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u Jawa (orang pintar dari Jawa). Sebaliknya Soekarno sendiri memandang dirinya sebagai “seekor  burung elang yang telah dipotong sayapnya”[5].
Di Ende, Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi” [6] intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik Indonesia. Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.
Selain menjadi tempat pemulihan dan transformasi merajut candi intelektual, Ende juga menjadi tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan penjara dengan panggung merdeka. Sebab di tempat inilah, Soekarno menjalani persahabatan tanpa batas dan menemukan wajah Belanda yang lain lewat para pastor Belanda yang berkarya di Ende. Kalau dicermati, mereka adalah “musuh” politik Bung Karno. Namun, ternyata fakta menunjukkan lain, bahwa para pastor Belanda itu sangat akrab dan bersahabat.
Di tempat yang sama ini pulalah Bung Karno menampilkan kecemerlangan berpikir dan berkarya seni. Tercatat selama masa internering di Ende beliau mencipta duabelas naskah toneel, bahkan sempat dipentaskan di Rumah Pentas Imakulata Jalan Katedral Ende. Bahkan dari tempat inilah Bung Karno telah meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka tahun 1945 melalui sebuah toneelnya yang berjudul Tahun 1945. Dua naskah terkenal adalah Dokter Syaitan dan Rahasia Kelimutu.
Sekali lagi, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga tidaklah penting mempersoalkan mengapa Bung Karno harus di buang ke Ende. Terlepas ada kepentingan politik kaum kolonialis Belanda ketika itu, tetapi yang jelas bahwa Ende dan Flores adalah wilayah NKRI. Secara literer, Indonesia merupakan sebuah teks  yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. (*)

           









[1] Judul buku yang berisi lima tulisan masing-masing oleh (1) Dr. Daniel Dhakidae, (2) Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., (3) Pater John Dami Mukese,MA,SVD, (4) Dra.Maria Matildis Banda, dan (5) Dr. Pius Pampe, M.Hum. Diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dan diterbitkan oleh CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013. Diluncurkan dan dibedah di Universitas Flores dengan pembahas Dr. Kotan Stefanus, M.H., Sabtu, 15 Maret 2014.
[2] Soekarno berarti pahlawan yang terbaik atau pahlawan sejati. Dilahirkan tanggal enam bulan enam jam setengah enam pagi tahun 1901. Tahun permulaan abad baru. Ditandai dengan meletusnya gunung Kelud di Jawa. Orang menafsirkannya sebagai pertanda yang baik, yaitu suatu “penyambutan terhadap bayi Soekarno. (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15). Dalam kepercayaan Bali, kalau gunung Agung meletus maka itu pertanda buruk. Entahlah, mana yang benar, namuun Soekarno menerima semuanya itu sebagai bagian dari nasib hidupnya. “Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran, dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah perpaduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15-16).
[3] Pendapat Dr. Daniel Dhakidae dalam subjudul “Dari Tempat Pembuangan menjadi Rumah Pemulihan: makna Soekarno bagi Ende, dan Ende bagi Soekarno”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 13–79, Penerbit CV.Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013.

[5] Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan raya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumburnya menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari yang menghanguskan memancarkan dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 42-43).
[6] Secara historis empiris Indonesia boleh disebut sebagai negara candi. Selain karena secara kuantitas begitu banyak candi yang kita temukan (terutama di Pula Jawa dan Bali) yang merupakan hasil cipta dan karya peninggalan Hindu dan Budha, istilah ini oleh Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A., dalam subjudul buku “Bung Karno: Perajut mimpi Indonesia Mandiri”, dalam buku berjudul Soekarno–Ende, 1934–1938, halaman 80–101, Penerbit CV. Brimotry Bulaksumur Visual Yogyakarta, 2013, lebih ditafsirkan sebagai sebuah proses permenungan, pergumulan. Proses demikian yang pada akhirnya mengerucut dan memuncak seperti candi. Badan candi sendiri dipahami sebagai proses. Puncak pergumulan Soekarno di Ende adalah Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar negara Indonesia.