Halaman

Tampilkan postingan dengan label Nasionalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasionalisme. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Desember 2017

Nasionalisme dan Harmonisasi




               

Mengenang Sumpah Pemuda yang ke 84 (28 Oktober 2012), anak-anak muda (pemuda) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores menggelar beberapa kegiatan: lomba debat, lomba pidato, lomba membuat mading, dan lomba menulis dan membaca puisi bagi siswa sekolah dasar se-kota Ende. Beberapa bentuk revitalisasi peran pemuda yang coba dikerjakan untuk orang-orang di sekitarnya. Pemuda adalah harapan dan tulang punggung bangsa, merupakan terminologi  yang sarat makna. Sebuah kebanggaan yang menghentak seraya membangunkan kesadaran kolektif pemuda bahwa kita sesungguhnya berpijak di atas tanah dan rahim ibu yang sama. Oleh sebab itu, gerakan kepemudaan yang ditandai dengan ikhrar Sumpah Pemuda 84 tahun silam telah memberikan sebuah format stimulasi pembaharuan dari prosesi pencarian kesadaran akan harga diri anak bangsa yang dipasung akibat ketakberdayaan politik hutang budi penjajah.
Dalam semangat, kesadaran dan idealisme tersebut, ada signifikansi konkrit yang muncul sebagai implementasi daya kecerdasan dan relevansi sosial, melalui kecerdasan mengelola perubahan dan relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di atas + 500 etnik yang menyebar pada +1377 pulau di Nusantara ini. Ruang kesadaran demikian tertanam dalam relung terdalam anak-anak kita. Mereka penerus ruang kesadaran yang sama dari orang-orang di sekitarnya. Ruang kesadaran yang sama inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk mengalami nasionalisme dan simpati yang dalam terhadap sebuah bangsa. Dengan demikian, mereka diharapkan untuk tidak terjerat dalam keganasan dan apatisme kolektif yang bernuansa kelompokisme, sekretarianisme, dan lain-lain.
Atas pertimbangan tersebut, program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores mengambil peran dalam pembangunan watak anak bangsa melalui menulis puisi. Hasil atas peran dimaksud mewujud dalam bentuk buku Antologi Puisi Anak yang sedang ada di tangan Anda ini.
***
Buku  Antologi Puisi Anak melukiskan rasa nasionalisme akan Bumi Pertiwi terhadap tanah air, alam, dan budaya bangsa Indonesia. Lukisan-lukisan anak-anak dalam puisi-puisi ini telah menghentak sekaligus membangunkan kita menuju sebuah ruang kesadaran baru, sambil mengajak kita untuk berempati akan situasi kronis bangsa ini. Namun, itulah seorang anak, mereka tetap dan bertahan bernarasi dalam sebuah piranti waktu yang riang, santai, tapi dalam. Tampil dengan gaya bercerita dengan pilihan kata yang denotatif dan kontekstual menandai keaslian memperhensi keseharian mereka. Itulah dunia anak yang nyata tanpa basa-basi.
Sebuah imajinasi nasionalisme yang utuh dari anak-anak ini. Bagi saya inilah nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme yang bening, jernih. Lahir dari kesungguhan hati, kebeningan nurani dan jiwa raganya akan sebuah nama: Indonesia. Tempatnya dan orang-orang di sekitar dia membumi. Inilah fakta faktual kecintaan mereka yang berani mempertaruhkan dan mengabdi pada Bumi Pertiwi. Bukan nasionalisme setengah-setengah atau setengah hati. Spirit, vitalitas, dan kesungguhan untuk berada dan mencintai Indonesia. Bukan basa-basi. Bukan pameran vulgar verbalistik yang bopeng, keropos, dan eufemistik. Sebagaimana yang kita amati akhir-akhir ini.
Walau diterpa dan dibombardir berbagai penyakit akut sosial, penebangan hutan, pembakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan oleh kaum kapitalis, Indonesia tetap menjadi Indonesia mereka. Begitulah dunia anak. Dunia tanpa dusta. Dunia jujur. Bening. Tenteram tanpa konflik. Lugas, bebas bermain ke sana-ke mari tanpa henti, apalagi takut disihir berbagai napsu birahi berbagai konflik interest manusia edan Indonesia. Keprihatinan santun terus membuncah mengajaknya menukil sekali lagi realitas ‘praktik orang besar’ Indonesia yang apatis akan ketercerabutan budaya bangsa yang gemah santun dan toleran, hukum yang karut-marut, harga-harga barang yang meroket, dalam baris-baris optimisme tegak seraya mengajak sekalian anak untuk tetap mencintai Indonesia.
Buku Antologi Puisi Anak juga menghadirkan sebuah harmonisasi. Nasionalisme dan harmonisasi merupakan dua hal yang jauh dan sangat berbeda. Namun, dalam konteks dunia anak, mampu dielaborasi menjadi satu-kesatuan yang kohesif dan terpadu. Letupan dan ekspresi-ekspresi imajiner yang terungkap dalam puisi-puisi anak ini boleh jadi merupakan pengalaman mimetik mereka untuk ada bersama dalam sebuah proses kultural yang sama. Proses kultural bagi dunia anak merupakan proses murni tanpa artifisial. Dalam dunia inilah mereka membangun relasi dan interaksi yang selaras dan harmonis. Mereka belajar berbudaya sekaligus belajar memelihara ketenangan hidup. Memelihara ketenangan hidup dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan diri dan sesama, dan memelihara hubungan harmonis dengan alam lingkungannya. Oleh karena itu, buku Antologi Puisi Anak, yang sedang ada di tangan para pembaca ini, sedapat mungkin menjadi cermin bagi pembaca dan masyarakat kita untuk sekali lagi berkaca tentang nasionalisme dan harmonisasi.
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada para staf dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores, yang telah menggagas dan ikut serta dalam kegiatan penilaian hingga terbitnya buku ini. Rasa bangga juga saya ucapkan kepada para kepala sekolah dan guru bidang studi Bahasa Indonesia se-Kota Ende yang telah terlibat aktif dalam mendorong dan membimbing para siswa dalam menulis puisi. Kepada Pemimpin Umum Penerbit Nusa Indah Ende yang telah bersedia menerbitkan buku Antologi Puisi Anak ini, saya ucapkan terima kasih.
Mudah-mudahan buku kecil, karya anak-anak kita ini mendapat apresiasi luas dari kalangan pembaca di Flores dan Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, menjadi langkah awal merangsang daya anak dalam mencipta karya sastra sebagai wahana penghalus budi dan rasa. Atas maksud yang sama, kehadiran buku Antologi Puisi Anak dapat memperkaya daftar referensi sastra Anda sekaligus menjadi salah satu sumber pembelajaran sastra di sekolah. *
Selamat membaca!
Ende, Tengah Februari 2013



[1] “Nasionalisasi dan Harmonisasi” dalam Antologi Puisi Anak Se Kota Ende. (Imelda Oliva Wissang, dkk. Ed). Ende: Nusa Indah. ISBN: 979-429-331-8—(2013)
[2] Pengasuh mata kuliah Sosiolinguistik pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores

Rabu, 08 November 2017

Nasionalisme dan Harmonisasi





            Mengenang Sumpah Pemuda yang ke 84, anak-anak muda (pemuda) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores menggelar beberapa kegiatan: lomba debat, lomba pidato, lomba membuat mading, dan lomba menulis dan membaca puisi bagi siswa sekolah dasar se-kota Ende. Beberapa bentuk revitalisasi peran pemuda yang coba dikerjakan untuk orang-orang di sekitarnya. Pemuda adalah harapan dan tulang punggung bangsa, merupakan terminologi  yang sarat makna. Sebuah kebanggaan yang menghentak seraya membangunkan kesadaran kolektif pemuda bahwa kita sesungguhnya berpijak di atas tanah dan rahim ibu yang sama. Oleh sebab itu, gerakan kepemudaan yang ditandai dengan ikhrar Sumpah Pemuda 84 tahun silam telah memberikan sebuah format stimulasi pembaharuan dari prosesi pencarian kesadaran akan harga diri anak bangsa yang dipasung akibat ketakberdayaan politik hutang budi penjajah.
Dalam semangat, kesadaran dan idealisme tersebut, mesti ada signifikansi konkrit yang muncul sebagai implementasi daya kecerdasan dan relevansi sosial, melalui kecerdasan mengelolah perubahan dan relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di atas + 500 etnik yang menyebar pada + 1377 pulau di Nusantara ini. Kendatipun, kekuatan kaum muda terkadang menimbulkan friksi internal, yang ditandai oleh benturan visi, persepsi, dan konsistensi. Akibatnya, kaum muda tampak terpecah-pecah dalam kelompoknya sendiri. Refleksi kekinian menunjukkan bahwa kaum muda telah terjerat dalam keganasan dan apatisme kolektif yang bernuansa kelompokisme, sekretarianisme, dan lain-lain.
            Yang menarik dari beberapa mata lomba di atas adalah lomba menulis dan membaca puisi. Setelah menggelar mata lomba ini, setidak-tidaknya membersitka dua rasa sekaligus daya dari timur (meminjam istilah Prof. Steph Djawanai), yakni nasionalisme dan harmonisasi.

Nasionalisme
Adalah seorang bocah Abdul Hamid Pua Lapu, siswa kelas IV MIS Fatimiyah Ende, menggores rasa nasionalismenya akan Bumi Pertiwi dalam sebuah puisi berjudul, Aku Cinta Indonesiaku. Lukisan Abdul Hamid Pua Lapu, anak SD telah membangunkan kita menuju sebuah ruang kesadaran baru, sambil mengajak kita untuk berempati akan situasi kronis bangsa ini. Seorang anak, Pua Lapu bernarasi dalam sebuah piranti waktu yang riang. Rasa cinta akan Indonesia, telah dimulai sejak Pak Gus Dur (masa lahir Pua Lapu?). /Sejak kaki-kakiku masih berlari di Taman Kanak-Kanak/Sejak pak Gusdur masih di Istana sampai pada masa SBY/Aku mencintaimu Indonesia/.
Sebuah imajinasi nasionalisme yang utuh dari sang bocah ini. Bagi saya inilah nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme yang bening, jernih. Lahir dari kesungguhan hati, kebeningan nurani dan jiwa raganya akan sebuah nama: Indonesia. Tempatnya dan orang-orang di sekitar dia membumi. Inilah fakta faktual kecintaan mereka yang berani mempertaruhkan dan mengabdi pada Bumi Pertiwi. Bukan nasionalisme setengah-setengah atau setengah hati. Spirit, vitalitas, dan kesungguhan untuk berada dan mencintai Indonesia. Bukan basa-basi. Bukan pameran vulgar verbalistik yang bopeng, keropos, dan eufemistik.
Walau diterpa dan dibombardir berbagai penyakit akut sosial, penebangan hutan, pembakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan oleh kaum kapitalis, membuat seorang Pua Lapu bercerita:/Sejak dulu kau masih hijau/Sampai kini kau tinggal asap/ Sejak dulu kau masih luas/ Sampai kini kau mulai menyempit/. Indonesia tetap menjadi Indonesiaku. Begitulah dunia anak. Dunia tanpa dusta. Dunia jujur. Bening. Tenteram tanpa konflik. Lugas, bebas bermain ke sana-ke mari tanpa henti, apalagi takut disihir berbagai napsu birahi berbagai konflik interest manusia edan Indonesia. Keprihatinan santun terus membuncah mengajaknya menukil sekali lagi realitas ‘praktik orang besar’ Indonesia yang apatis akan ketercerabutan budaya bangsa yang gemah santun dan toleran, hukum yang karut-marut, harga-harga barang yang meroket, dalam baris-baris optimisme tegak seraya mengajak sekalian anak untuk tetap mencintai Indonesia, dalam baris-baris: /Sejak belum ada KPK hingga ada KPK/ Sejak ada Korupsi sampai masih saja Korupsi/ Aku mencintaimu Indonesia/ Sejak padi dan sawah membentang/ Sampai apartemen menjulang/ Sejak harga bensin mahal / sampai tetap mahal/ aku cinta padamu Indonesia/.

Harmonisasi
Dari 29 puisi yang lulus seleksi dan dibacakan di Auditorium Universitas Flores, tanggal 25 Oktober 2012, bertemakan nasionalisme dan harmonisasi. Dua hal yang jauh dan sangat berbeda. Namun, dalam konteks dunia anak, mampu dielaborasi menjadi satu-kesatuan yang kohesif dan terpadu. Letupan dan ekspresi-ekspresi imajiner yang terungkap pada 29 puisi boleh jadi merupakan pengalaman mimetik mereka untuk ada bersama dalam sebuah proses kultural yang sama. Proses kultural bagi dunia anak merupakan proses murni tanpa artifisial. Dalam dunia inilah mereka membangun relasi dan interaksi yang selaras dan harmonis. Mereka belajar berbudaya sekaligus belajar memelihara ketenangan hidup. Memelihara ketenangan hidup dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan diri dan sesama, dan memelihara hubungan harmonis dengan alam lingkungannya. Oleh karena itu, 29 puisi anak sekolah dasar se-kota Ende, yang akan diterbitkan menjadi Antologi Puisi Anak, akan menjadi cermin bagi kita untuk sekali lagi berkaca tentang nasionalisme dan harmonisasi. (*)






[1] Artikel ini pernah dimuat dalam HU  Flores Pos, 10 November 2012