Halaman

Rabu, 08 November 2017

Nasionalisme dan Harmonisasi





            Mengenang Sumpah Pemuda yang ke 84, anak-anak muda (pemuda) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Flores menggelar beberapa kegiatan: lomba debat, lomba pidato, lomba membuat mading, dan lomba menulis dan membaca puisi bagi siswa sekolah dasar se-kota Ende. Beberapa bentuk revitalisasi peran pemuda yang coba dikerjakan untuk orang-orang di sekitarnya. Pemuda adalah harapan dan tulang punggung bangsa, merupakan terminologi  yang sarat makna. Sebuah kebanggaan yang menghentak seraya membangunkan kesadaran kolektif pemuda bahwa kita sesungguhnya berpijak di atas tanah dan rahim ibu yang sama. Oleh sebab itu, gerakan kepemudaan yang ditandai dengan ikhrar Sumpah Pemuda 84 tahun silam telah memberikan sebuah format stimulasi pembaharuan dari prosesi pencarian kesadaran akan harga diri anak bangsa yang dipasung akibat ketakberdayaan politik hutang budi penjajah.
Dalam semangat, kesadaran dan idealisme tersebut, mesti ada signifikansi konkrit yang muncul sebagai implementasi daya kecerdasan dan relevansi sosial, melalui kecerdasan mengelolah perubahan dan relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di atas + 500 etnik yang menyebar pada + 1377 pulau di Nusantara ini. Kendatipun, kekuatan kaum muda terkadang menimbulkan friksi internal, yang ditandai oleh benturan visi, persepsi, dan konsistensi. Akibatnya, kaum muda tampak terpecah-pecah dalam kelompoknya sendiri. Refleksi kekinian menunjukkan bahwa kaum muda telah terjerat dalam keganasan dan apatisme kolektif yang bernuansa kelompokisme, sekretarianisme, dan lain-lain.
            Yang menarik dari beberapa mata lomba di atas adalah lomba menulis dan membaca puisi. Setelah menggelar mata lomba ini, setidak-tidaknya membersitka dua rasa sekaligus daya dari timur (meminjam istilah Prof. Steph Djawanai), yakni nasionalisme dan harmonisasi.

Nasionalisme
Adalah seorang bocah Abdul Hamid Pua Lapu, siswa kelas IV MIS Fatimiyah Ende, menggores rasa nasionalismenya akan Bumi Pertiwi dalam sebuah puisi berjudul, Aku Cinta Indonesiaku. Lukisan Abdul Hamid Pua Lapu, anak SD telah membangunkan kita menuju sebuah ruang kesadaran baru, sambil mengajak kita untuk berempati akan situasi kronis bangsa ini. Seorang anak, Pua Lapu bernarasi dalam sebuah piranti waktu yang riang. Rasa cinta akan Indonesia, telah dimulai sejak Pak Gus Dur (masa lahir Pua Lapu?). /Sejak kaki-kakiku masih berlari di Taman Kanak-Kanak/Sejak pak Gusdur masih di Istana sampai pada masa SBY/Aku mencintaimu Indonesia/.
Sebuah imajinasi nasionalisme yang utuh dari sang bocah ini. Bagi saya inilah nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme yang bening, jernih. Lahir dari kesungguhan hati, kebeningan nurani dan jiwa raganya akan sebuah nama: Indonesia. Tempatnya dan orang-orang di sekitar dia membumi. Inilah fakta faktual kecintaan mereka yang berani mempertaruhkan dan mengabdi pada Bumi Pertiwi. Bukan nasionalisme setengah-setengah atau setengah hati. Spirit, vitalitas, dan kesungguhan untuk berada dan mencintai Indonesia. Bukan basa-basi. Bukan pameran vulgar verbalistik yang bopeng, keropos, dan eufemistik.
Walau diterpa dan dibombardir berbagai penyakit akut sosial, penebangan hutan, pembakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan oleh kaum kapitalis, membuat seorang Pua Lapu bercerita:/Sejak dulu kau masih hijau/Sampai kini kau tinggal asap/ Sejak dulu kau masih luas/ Sampai kini kau mulai menyempit/. Indonesia tetap menjadi Indonesiaku. Begitulah dunia anak. Dunia tanpa dusta. Dunia jujur. Bening. Tenteram tanpa konflik. Lugas, bebas bermain ke sana-ke mari tanpa henti, apalagi takut disihir berbagai napsu birahi berbagai konflik interest manusia edan Indonesia. Keprihatinan santun terus membuncah mengajaknya menukil sekali lagi realitas ‘praktik orang besar’ Indonesia yang apatis akan ketercerabutan budaya bangsa yang gemah santun dan toleran, hukum yang karut-marut, harga-harga barang yang meroket, dalam baris-baris optimisme tegak seraya mengajak sekalian anak untuk tetap mencintai Indonesia, dalam baris-baris: /Sejak belum ada KPK hingga ada KPK/ Sejak ada Korupsi sampai masih saja Korupsi/ Aku mencintaimu Indonesia/ Sejak padi dan sawah membentang/ Sampai apartemen menjulang/ Sejak harga bensin mahal / sampai tetap mahal/ aku cinta padamu Indonesia/.

Harmonisasi
Dari 29 puisi yang lulus seleksi dan dibacakan di Auditorium Universitas Flores, tanggal 25 Oktober 2012, bertemakan nasionalisme dan harmonisasi. Dua hal yang jauh dan sangat berbeda. Namun, dalam konteks dunia anak, mampu dielaborasi menjadi satu-kesatuan yang kohesif dan terpadu. Letupan dan ekspresi-ekspresi imajiner yang terungkap pada 29 puisi boleh jadi merupakan pengalaman mimetik mereka untuk ada bersama dalam sebuah proses kultural yang sama. Proses kultural bagi dunia anak merupakan proses murni tanpa artifisial. Dalam dunia inilah mereka membangun relasi dan interaksi yang selaras dan harmonis. Mereka belajar berbudaya sekaligus belajar memelihara ketenangan hidup. Memelihara ketenangan hidup dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan diri dan sesama, dan memelihara hubungan harmonis dengan alam lingkungannya. Oleh karena itu, 29 puisi anak sekolah dasar se-kota Ende, yang akan diterbitkan menjadi Antologi Puisi Anak, akan menjadi cermin bagi kita untuk sekali lagi berkaca tentang nasionalisme dan harmonisasi. (*)






[1] Artikel ini pernah dimuat dalam HU  Flores Pos, 10 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar