Mengenang Sumpah Pemuda
yang ke 84, anak-anak muda (pemuda) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Flores menggelar beberapa kegiatan: lomba debat,
lomba pidato, lomba membuat mading, dan lomba menulis dan membaca puisi bagi
siswa sekolah dasar se-kota Ende. Beberapa bentuk revitalisasi peran pemuda
yang coba dikerjakan untuk orang-orang di sekitarnya. Pemuda adalah harapan dan tulang
punggung bangsa, merupakan terminologi
yang sarat makna. Sebuah kebanggaan yang menghentak seraya membangunkan
kesadaran kolektif pemuda bahwa kita sesungguhnya berpijak di atas tanah dan
rahim ibu yang sama. Oleh sebab itu, gerakan
kepemudaan yang ditandai dengan
ikhrar Sumpah Pemuda 84 tahun
silam telah memberikan sebuah format stimulasi pembaharuan dari prosesi pencarian kesadaran akan harga diri
anak bangsa yang dipasung akibat ketakberdayaan politik hutang budi penjajah.
Dalam semangat,
kesadaran dan idealisme
tersebut, mesti ada signifikansi konkrit yang muncul sebagai implementasi daya kecerdasan dan relevansi
sosial, melalui kecerdasan mengelolah perubahan dan relevansi untuk menjaga persatuan
dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di atas + 500 etnik yang
menyebar pada + 1377 pulau di Nusantara ini. Kendatipun, kekuatan
kaum muda terkadang menimbulkan friksi internal, yang ditandai oleh benturan
visi, persepsi, dan konsistensi. Akibatnya, kaum muda tampak terpecah-pecah
dalam kelompoknya sendiri. Refleksi kekinian menunjukkan bahwa kaum muda telah
terjerat dalam keganasan dan apatisme kolektif yang bernuansa kelompokisme,
sekretarianisme, dan lain-lain.
Yang menarik dari beberapa
mata lomba di atas adalah lomba menulis dan membaca puisi. Setelah menggelar
mata lomba ini, setidak-tidaknya membersitka dua rasa sekaligus daya dari timur
(meminjam istilah Prof. Steph Djawanai), yakni nasionalisme dan harmonisasi.
Nasionalisme
Adalah seorang bocah Abdul Hamid Pua Lapu, siswa kelas IV
MIS Fatimiyah Ende, menggores rasa nasionalismenya akan Bumi Pertiwi dalam
sebuah puisi berjudul, Aku Cinta Indonesiaku. Lukisan Abdul Hamid Pua
Lapu, anak SD telah membangunkan kita menuju sebuah ruang kesadaran baru, sambil
mengajak kita untuk berempati akan situasi kronis bangsa ini. Seorang anak, Pua
Lapu bernarasi dalam sebuah piranti waktu yang riang. Rasa cinta akan
Indonesia, telah dimulai sejak Pak Gus Dur (masa lahir Pua Lapu?). /Sejak
kaki-kakiku masih berlari di Taman Kanak-Kanak/Sejak pak Gusdur masih di Istana
sampai pada masa SBY/Aku mencintaimu Indonesia/.
Sebuah imajinasi nasionalisme yang utuh dari sang bocah
ini. Bagi saya inilah nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme yang bening,
jernih. Lahir dari kesungguhan hati, kebeningan nurani dan jiwa raganya akan
sebuah nama: Indonesia. Tempatnya dan orang-orang di sekitar dia membumi.
Inilah fakta faktual kecintaan mereka yang berani mempertaruhkan dan mengabdi
pada Bumi Pertiwi. Bukan nasionalisme setengah-setengah atau setengah hati. Spirit,
vitalitas, dan kesungguhan untuk berada dan mencintai Indonesia. Bukan
basa-basi. Bukan pameran vulgar verbalistik yang bopeng, keropos, dan
eufemistik.
Walau diterpa dan dibombardir berbagai penyakit akut
sosial, penebangan hutan, pembakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan
oleh kaum kapitalis, membuat seorang Pua Lapu bercerita:/Sejak dulu kau
masih hijau/Sampai kini kau tinggal asap/ Sejak dulu kau masih luas/ Sampai
kini kau mulai menyempit/. Indonesia tetap menjadi Indonesiaku. Begitulah
dunia anak. Dunia tanpa dusta. Dunia jujur. Bening. Tenteram tanpa konflik.
Lugas, bebas bermain ke sana-ke mari tanpa henti, apalagi takut disihir
berbagai napsu birahi berbagai konflik interest manusia edan Indonesia.
Keprihatinan santun terus membuncah mengajaknya menukil sekali lagi realitas
‘praktik orang besar’ Indonesia yang apatis akan ketercerabutan budaya bangsa
yang gemah santun dan toleran, hukum yang karut-marut, harga-harga barang yang
meroket, dalam baris-baris optimisme tegak seraya mengajak sekalian anak untuk tetap
mencintai Indonesia, dalam baris-baris: /Sejak belum ada KPK hingga ada KPK/
Sejak ada Korupsi sampai masih saja Korupsi/ Aku mencintaimu Indonesia/ Sejak
padi dan sawah membentang/ Sampai apartemen menjulang/ Sejak harga bensin mahal
/ sampai tetap mahal/ aku cinta padamu Indonesia/.
Harmonisasi
Dari 29 puisi yang lulus seleksi dan dibacakan di
Auditorium Universitas Flores, tanggal 25 Oktober 2012, bertemakan nasionalisme
dan harmonisasi. Dua hal yang jauh dan sangat berbeda. Namun, dalam konteks
dunia anak, mampu dielaborasi menjadi satu-kesatuan yang kohesif dan terpadu. Letupan
dan ekspresi-ekspresi imajiner yang terungkap pada 29 puisi boleh jadi
merupakan pengalaman mimetik mereka untuk ada bersama dalam sebuah proses
kultural yang sama. Proses kultural bagi dunia anak merupakan proses murni
tanpa artifisial. Dalam dunia inilah mereka membangun relasi dan interaksi yang
selaras dan harmonis. Mereka belajar berbudaya sekaligus belajar memelihara
ketenangan hidup. Memelihara ketenangan hidup dengan Tuhan, menjaga hubungan
baik dengan diri dan sesama, dan memelihara hubungan harmonis dengan alam
lingkungannya. Oleh karena itu, 29 puisi anak sekolah dasar se-kota Ende, yang
akan diterbitkan menjadi Antologi Puisi Anak, akan menjadi cermin bagi
kita untuk sekali lagi berkaca tentang nasionalisme dan harmonisasi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar