Bola
‘panas’ pilkada telah digelindingkan ke tengah arena. Gelindingan itu pun telah
menyentak para elite politik aras
provinsi (pilkada gubernur) dan kabupaten
yang siap menyelenggarakan hajatan demokrasi langsung, untuk pertama kali ini.
Begitu banyak pernyataan politik yang digulirkan ke tengah ruang publik.
Minimal punya tujuan yang sama, yakni ingin menyedot perhatian publik dalam
memenangkan perhelatan demokrasi di depan mata ini. Perang statemen yang
dilemparkan lewat bahasa kian mencuat menambah geliat dan panasnya suksesi.
Dalam
aktivitas sehari-hari, salah satu hal yang mendominasi keseharian kita adalah
bahasa. Bahasa telah merasuk dan menjembatani kehidupan ini, termasuk di dalamnya
bahasa telah merambah, juga menuansai jagad politik dewasa ini. Bahasa tidak
sekadar sarana komunikasi dan interaksi antarindividu maupun sosial, tetapi
lebih jauh dari itu bahasa telah menjadi mediasi eksistensial yang tak pernah
terbantahkan.
Bahasa
politik merupakan bahasa samar-samar. Bukan bahasa seharian (ordinaary language). Balasa politik
padat dengan permainan bahasa, yang memperlihatkan kekacauan bahasa yang begitu
besar, dan begitu jauh dari bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, pemakaian
bahasa yang demikian haruslah dicurigai. Demikian, gagasan filsuf analitika
bahasa, Ludwig Wittgenstem (1888- 195 1) tentang language game. Bahasa tidak sekadar memberikan informasi, tetapi dapat
berfungsi memberi perintah, bersumpah, membicarakan realitas, penyakit, dan
masalah-masalah humaniora lainnya. Bahasa Indonesia misalnya, merupakan bahasa
rakyat etnik Melayu, yang telah dipakai sebagai langua franca selama berabad-abad di kawasan Indonesia, serta bahwa
pada kawasan ini tidak ada persilangan bahasa antara bahasa
daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain, sehingga bahasa Melayu yang
adalah bahasa rakyat dapat diangkat menjadi bahasa persatuan atau bahasa
nasional bangsa Indonesia, sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam
denyut pilkada 2008, ada fakta menarik untuk dicermati. Hampir semua paket
calon (gubernur dan bupati) mengakronimkan namanya. Barangkali punya tujuan
tersendiri. Namun yang pasti yaitu untuk menarik simpati massa. Ada paket FREN
(Frans Lebu Raya - Esthon Feonay), Paket GAUL (Gaspar Ehok - Yulius Bobo).
Fenomena ini menjadi daya tarik yang signifikan bagi pemilih untuk menjatuhkan
pilihan politiknya. Boleh juga sebagai mode gaya (style) bagi partai politik dalam mengusung calon-calon pemimpin
bagi kabupaten-kabupaten selanjutnya.
Pada
perhelatan pilkada ini para calon pemimpin diharapkan untuk menggunakan bahasa
rakyat dalam aktivitas politik mereka. Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak
abstrak. Bahasa yang dekat dengan pemahaman rakyat. Bahasa yang jelas dan tidak
berbelit-belit. Bahasa rakyat bukan bahasa janji dalam orasi-orasi politik.
Bahasa rakyat bukan bahasa yang mengambang dan tidak menukik pada substansi
pemahaman rakyat, terutama persoalan-persoalan riil yang dihadapi rakyat.
Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak menyimpang dari kekepentingan‘akar
rumput (grass root). Bahasa rakyat
bukan bahasa feodalisme yang senantiasa memosisikan diri di atas rakyat.
Bahasa
rakyat bukan penuh dengan jargon-jargon politik, semisal memberantas korupsi,
kolusi dari nepotisme. Ini bahasa abstrak. Bahasa usang. Akibatnya, publik
dipaksa untuk menerima tafsiran-tafsiran tunggal yang secara otomatis akan
menyumbat saluran komunikasi antara pemimpin dan rakyat, maupun antarsesama
kelompok masyarakat. Jargon-jargon seperti itu telah kehilangan kesaktian
makna. Dan, ditengarai, jargon-jargon ini juga digunakan oleh partai politik
masa lalu sebagai biang KKN. Dengan demikian, bahasa rakyat yang perlu
ditumbuhkembangkan adalah bahasa egaliter. Bahasa apa adanya. Bahasa yang tidak
ada batas. Bahasa rakyat ada dalam bingkai agregasi dari artikulasi kepentingan
rakyat.
Yang
kita idolakan adalah para calon pemimpin tidak terjebak dan tetap berkutat pada
format-format bahasa yang abstrak dan jauh dari pemahaman rakyat. Argumentasi
ini perlu diperhatikan karena ketika kita berhadapan dengan mayoritas tingkat
pendidikan rakyat yang rendah, apalagi terjadi kekurangpemahaman untuk berkomunikasi
lisan secara baik, maka akan timbul kesenjangan pemahaman. Kesenjangan dimaksud
ketika para pemimpin bersemangat menggunakan istilah-istilah politik dan
pembangunan yang tak dekat dan susah untuk ditejemahkan oleh rakyat, maka akan
membuat komunikasi tak berdaya. Komunikasi cuma satu arah. Dan pada akhirnya,
rakyat tetap tak tercerdaskan. Ingat Bung, bahwa demokrasi sesungguhnya adalah
komunikasi. Faktor inilah yang dari
perspektif bahasa disinyalir sebagai
salah satu faktor yang menjadikan pembangunan bangsa ini
gagal. Karena itu, menyitir budayawan Emha Amun Nadjib, ketika rakyat
sedang bingung ditimpa krisis, jangan lagi menjejali mereka dengan
pernyataan-pernyataan yang membingungkan.
Peran
Panwas Pilkada
Memang
bukan perkara mudah bagi daerah-daerah untuk menyelenggarakan pilkada, apalagi
ingin mencapai idealisme pilkada yang jujur dan adil. Diperlukan kepedulian
semua kita untuk menjaga dan mengawasi proses pelaksanaan pilkada tersebut.
Salah
satu indikator keberhasilan pilkada itu adalah kehadiran panwas pilkada. Guna
melakukan fungsi pengawasan, undang-undang No. 3/2004 mengatur tentang panitia
pengawas (Pasal 66 ayat 4). Sejauh ini masih banyak yang yakin bahwa, pilkada
dapat berjalan demokratis, jika ada pengawasan yang dilakukan secara terbuka,
jujur, adil dan efektif. Efektivitas panwas pilkada sangat ditentukan oleh para
pengawas dalam memahami dan mengoperasionalkan perangkat-perangkat pengawasan
di lapangan. Dalam tataran bahasa terkadang panwas pilkada berada dalam posisi
yang dilematis.
Kita
ambil contoh, panwas pilkada Sikka melayangkan surat peringatan kepada DPC PDIP
Sikka untuk tidak lagi mengoperasikan Bus AYO dijalan umum di luar jadwal
kampanye (FP 5/ 2). Kalau mobilnya saja tidak masalah, tetapi assesoris dengan
lambang partai. Ketua DPD Golkar Sikka mengancam pihaknya akan melakukan hal
yang sama dengan menempel atribut dari foto pasangan yang diusungnya untuk
dibawah keliling dengan mobil. Atas teguran panwas, Ketua DPC PDIP
mempertanyakan dasar hukum dari larangan tenhadap bus AYO. Kita minta agar
larangan dari panwas dicantumkan dasar hukum (FP 5/2). Inilah gejala bahasa
kita. Membangungkan rakyat.
Kasus
di atas mansyaratkan satu hal bahwa peserta pemilu diharapkan untuk melakukan
semacam self control. Yang mesti
diwaspadai adalah terjadinya berbagai penyimpangan oleh peserta pemilu yang
dilakukan terlebih dahulu menggunakan teknik-teknik netralisasi. Teknik ini
tercermin ketika pihak yang melanggar
proses pilkada menyatakan bahwa itu bukan kesalahannya. Ia hanyalah
korban dari keadaan sosial politik yang memang amburadul.
Para
pelaku politik uang mungkin saja menyatakan bahwa tidak seorangpun dirugikan
akibat tindakannya. Sebaliknya penerima sogokan berdalih siapapun pasti akan
melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan. Bahkan mungkin, pelaku
kecurangan politik akan merujuk pada pihak yang lain dengan menyatakan bahwa
banyak pihak melakukan kesalahan lebih buruk dibanding mereka. Tentu saja, jika
semakin banyak pihak melakukan atau mengajukan berbagai dalih netnalisasi,
kemungkinnan besar aturan-aturan ini akan banyak dilanggar.
Tugas
panwas pilkada bukan tergolong ringan karena harus menghadapi berbagai kendala.
Dari jumlah personil hingga cakupan wilayah kerja dan perundang-undangan.
Jumlah pensonil panwas pilkada adalah 5 orang, untuk kabupaten: unsur
kepolisian, kejaksaan, penguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat (Psl 105,
ayat 6, PP No.6/2005), dan 3 orang untuk kecamatan. Kita yakin dengan jumlah
personil seperti ini para anggota panwas akan dibebani cakupan
kerja yang luas. Petugas di kecamatan harus mengawasi seluruh tahapan
pelaksanaan pilkada di puluhan desa atau kelurahan yang masuk kapling kerja
mereka. Bagaimana mereka dapat mengawasi pemungutan suara di TPS-TPS yang
tersebar di wilayahnya? Bagaimana mereka dapat mengawasi jalannya penghitungan
suara serta rekapitulasi suara? Lantas pembagian tugas, jika terjadi banyak
sengketa atau pelangganan?
Inilah
kendala. Sebuah fenomena lapangan yang sedang dialami teman-teman anggota
panwas pilkada di wilayah kecamatan yang menjadi ujung tombak keberhasilan
pagelaran pilkada nanti. Oleh karena itu, kita semua, sebagai masyarakat yang
‘peduli’ dapatlah melihat keberadaan panwas pilkada sebagai sebuah alur input, proses, dan out put. Kita
berkewajiban melaporkan kecurangan dan penyimpangan di lapangan. Karena panwas
pilkada tidak menyelesaikan seluruh input, melainkan hanya menjadi pintu
gerbang berbagai laporan serta temuan pelangganan yang akan diproses melalui
sebuah kajian. Jadikan pilkada kita sebagai barometer demokrasi untuk wilayah
lain. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar