Halaman

Senin, 06 November 2017

Bahasa Rakyat




Bola ‘panas’ pilkada telah digelindingkan ke tengah arena. Gelindingan itu pun telah menyentak para elite politik aras provinsi  (pilkada gubernur) dan kabupaten yang siap menyelenggarakan hajatan demokrasi langsung, untuk pertama kali ini. Begitu banyak pernyataan politik yang digulirkan ke tengah ruang publik. Minimal punya tujuan yang sama, yakni ingin menyedot perhatian publik dalam memenangkan perhelatan demokrasi di depan mata ini. Perang statemen yang dilemparkan lewat bahasa kian mencuat menambah geliat dan panasnya suksesi.
Dalam aktivitas sehari-hari, salah satu hal yang mendominasi keseharian kita adalah bahasa. Bahasa telah merasuk dan menjembatani kehidupan ini, termasuk di dalamnya bahasa telah merambah, juga menuansai jagad politik dewasa ini. Bahasa tidak sekadar sarana komunikasi dan interaksi antarindividu maupun sosial, tetapi lebih jauh dari itu bahasa telah menjadi mediasi eksistensial yang tak pernah terbantahkan.
Bahasa politik merupakan bahasa samar-samar. Bukan bahasa seharian (ordinaary language). Balasa politik padat dengan permainan bahasa, yang memperlihatkan kekacauan bahasa yang begitu besar, dan begitu jauh dari bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang demikian haruslah dicurigai. Demikian, gagasan filsuf analitika bahasa, Ludwig Wittgenstem (1888- 195 1) tentang language game. Bahasa tidak sekadar memberikan informasi, tetapi dapat berfungsi memberi perintah, bersumpah, membicarakan realitas, penyakit, dan masalah-masalah humaniora lainnya. Bahasa Indonesia misalnya, merupakan bahasa rakyat etnik Melayu, yang telah dipakai sebagai langua franca selama berabad-abad di kawasan Indonesia, serta bahwa pada kawasan  ini  tidak ada persilangan bahasa antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain, sehingga bahasa Melayu yang adalah bahasa rakyat dapat diangkat menjadi bahasa persatuan atau bahasa nasional bangsa Indonesia, sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam denyut pilkada 2008, ada fakta menarik untuk dicermati. Hampir semua paket calon (gubernur dan bupati) mengakronimkan namanya. Barangkali punya tujuan tersendiri. Namun yang pasti yaitu untuk menarik simpati massa. Ada paket FREN (Frans Lebu Raya - Esthon Feonay), Paket GAUL (Gaspar Ehok - Yulius Bobo). Fenomena ini menjadi daya tarik yang signifikan bagi pemilih untuk menjatuhkan pilihan politiknya. Boleh juga sebagai mode gaya (style) bagi partai politik dalam mengusung calon-calon pemimpin bagi kabupaten-kabupaten selanjutnya.
Pada perhelatan pilkada ini para calon pemimpin diharapkan untuk menggunakan bahasa rakyat dalam aktivitas politik mereka. Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak abstrak. Bahasa yang dekat dengan pemahaman rakyat. Bahasa yang jelas dan tidak berbelit-belit. Bahasa rakyat bukan bahasa janji dalam orasi-orasi politik. Bahasa rakyat bukan bahasa yang mengambang dan tidak menukik pada substansi pemahaman rakyat, terutama persoalan-persoalan riil yang dihadapi rakyat. Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak menyimpang dari kekepentingan‘akar rumput (grass root). Bahasa rakyat bukan bahasa feodalisme yang senantiasa memosisikan diri di atas rakyat.
Bahasa rakyat bukan penuh dengan jargon-jargon politik, semisal memberantas korupsi, kolusi dari nepotisme. Ini bahasa abstrak. Bahasa usang. Akibatnya, publik dipaksa untuk menerima tafsiran-tafsiran tunggal yang secara otomatis akan menyumbat saluran komunikasi antara pemimpin dan rakyat, maupun antarsesama kelompok masyarakat. Jargon-jargon seperti itu telah kehilangan kesaktian makna. Dan, ditengarai, jargon-jargon ini juga digunakan oleh partai politik masa lalu sebagai biang KKN. Dengan demikian, bahasa rakyat yang perlu ditumbuhkembangkan adalah bahasa egaliter. Bahasa apa adanya. Bahasa yang tidak ada batas. Bahasa rakyat ada dalam bingkai agregasi dari artikulasi kepentingan rakyat.
Yang kita idolakan adalah para calon pemimpin tidak terjebak dan tetap berkutat pada format-format bahasa yang abstrak dan jauh dari pemahaman rakyat. Argumentasi ini perlu diperhatikan karena ketika kita berhadapan dengan mayoritas tingkat pendidikan rakyat yang rendah, apalagi terjadi kekurangpemahaman untuk berkomunikasi lisan secara baik, maka akan timbul kesenjangan pemahaman. Kesenjangan dimaksud ketika para pemimpin bersemangat menggunakan istilah-istilah politik dan pembangunan yang tak dekat dan susah untuk ditejemahkan oleh rakyat, maka akan membuat komunikasi tak berdaya. Komunikasi cuma satu arah. Dan pada akhirnya, rakyat tetap tak tercerdaskan. Ingat Bung, bahwa demokrasi sesungguhnya adalah komunikasi. Faktor  inilah yang dari perspektif bahasa disinyalir  sebagai salah satu faktor yang menjadikan pembangunan bangsa  ini  gagal. Karena itu, menyitir budayawan Emha Amun Nadjib, ketika rakyat sedang bingung ditimpa krisis, jangan lagi menjejali mereka dengan pernyataan-pernyataan yang membingungkan.

Peran Panwas Pilkada
Memang bukan perkara mudah bagi daerah-daerah untuk menyelenggarakan pilkada, apalagi ingin mencapai idealisme pilkada yang jujur dan adil. Diperlukan kepedulian semua kita untuk menjaga dan mengawasi proses pelaksanaan pilkada tersebut.
Salah satu indikator keberhasilan pilkada itu adalah kehadiran panwas pilkada. Guna melakukan fungsi pengawasan, undang-undang No. 3/2004 mengatur tentang panitia pengawas (Pasal 66 ayat 4). Sejauh ini masih banyak yang yakin bahwa, pilkada dapat berjalan demokratis, jika ada pengawasan yang dilakukan secara terbuka, jujur, adil dan efektif. Efektivitas panwas pilkada sangat ditentukan oleh para pengawas dalam memahami dan mengoperasionalkan perangkat-perangkat pengawasan di lapangan. Dalam tataran bahasa terkadang panwas pilkada berada dalam posisi yang dilematis.
Kita ambil contoh, panwas pilkada Sikka melayangkan surat peringatan kepada DPC PDIP Sikka untuk tidak lagi mengoperasikan Bus AYO dijalan umum di luar jadwal kampanye (FP 5/ 2). Kalau mobilnya saja tidak masalah, tetapi assesoris dengan lambang partai. Ketua DPD Golkar Sikka mengancam pihaknya akan melakukan hal yang sama dengan menempel atribut dari foto pasangan yang diusungnya untuk dibawah keliling dengan mobil. Atas teguran panwas, Ketua DPC PDIP mempertanyakan dasar hukum dari larangan tenhadap bus AYO. Kita minta agar larangan dari panwas dicantumkan dasar hukum (FP 5/2). Inilah gejala bahasa kita. Membangungkan rakyat.
Kasus di atas mansyaratkan satu hal bahwa peserta pemilu diharapkan untuk melakukan semacam self control. Yang mesti diwaspadai adalah terjadinya berbagai penyimpangan oleh peserta pemilu yang dilakukan terlebih dahulu menggunakan teknik-teknik netralisasi. Teknik ini tercermin ketika pihak yang melanggar  proses pilkada menyatakan bahwa itu bukan kesalahannya. Ia hanyalah korban dari keadaan sosial politik yang memang amburadul.
Para pelaku politik uang mungkin saja menyatakan bahwa tidak seorangpun dirugikan akibat tindakannya. Sebaliknya penerima sogokan berdalih siapapun pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan. Bahkan mungkin, pelaku kecurangan politik akan merujuk pada pihak yang lain dengan menyatakan bahwa banyak pihak melakukan kesalahan lebih buruk dibanding mereka. Tentu saja, jika semakin banyak pihak melakukan atau mengajukan berbagai dalih netnalisasi, kemungkinnan besar aturan-aturan ini akan banyak dilanggar.
Tugas panwas pilkada bukan tergolong ringan karena harus menghadapi berbagai kendala. Dari jumlah personil hingga cakupan wilayah kerja dan perundang-undangan. Jumlah pensonil panwas pilkada adalah 5 orang, untuk kabupaten: unsur kepolisian, kejaksaan, penguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat (Psl 105, ayat 6, PP No.6/2005), dan 3 orang untuk kecamatan. Kita yakin dengan jumlah personil seperti  ini  para anggota panwas akan dibebani cakupan kerja yang luas. Petugas di kecamatan harus mengawasi seluruh tahapan pelaksanaan pilkada di puluhan desa atau kelurahan yang masuk kapling kerja mereka. Bagaimana mereka dapat mengawasi pemungutan suara di TPS-TPS yang tersebar di wilayahnya? Bagaimana mereka dapat mengawasi jalannya penghitungan suara serta rekapitulasi suara? Lantas pembagian tugas, jika terjadi banyak sengketa atau pelangganan?
Inilah kendala. Sebuah fenomena lapangan yang sedang dialami teman-teman anggota panwas pilkada di wilayah kecamatan yang menjadi ujung tombak keberhasilan pagelaran pilkada nanti. Oleh karena itu, kita semua, sebagai masyarakat yang ‘peduli’ dapatlah melihat keberadaan panwas pilkada sebagai sebuah alur input, proses, dan out put. Kita berkewajiban melaporkan kecurangan dan penyimpangan di lapangan. Karena panwas pilkada tidak menyelesaikan seluruh input, melainkan hanya menjadi pintu gerbang berbagai laporan serta temuan pelangganan yang akan diproses melalui sebuah kajian. Jadikan pilkada kita sebagai barometer demokrasi untuk wilayah lain. *


[1] Tulisan ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 23 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar