Halaman

Senin, 06 November 2017

Selamat Datang Di Kursi Panas: (Catatan terlambat atas peristiwa pelantikan wakil rakyat 2009)




Selamat datang di kursi panas. Bagi Anda penggemar acara kuis milionare (almahrum) di stasion televisi RCTI, mungkin masih mengenang ucapan Tantowi Yahya, presenter acara tersebut, setiap kali menyapa calon milliarder yang berhasil melenggang ke babak final. Sapaan selamat datang di kursi panas, bagi penulis masih sealur dengan peristiwa akhir-akhir ini, yakni pelantikan Anggota DPR/DPRD terpilih pemilu legislatif 9 April 2009, untuk periode lima tahun ke depan: 2009 – 2013. Sebagai satu di antara sekian banyak konstituen, izinkan saya mengucapkan selamat berbahagia kepada para wakil rakyat 2009 – 2013, sembari menyapa selamat datang di kursi panas.
Alasan sederhana penulis, bahwa antara calon kuis milionare dan Anggota DPR/DPRD, anggotanya merupakan pilihan dari sekian banyak peserta atau kontestan. Mereka sama-sama datang sebagai peserta. Mereka muncul dan tampil dari sebuah populasi dan komunitas hidup yang menamakan diri sebagai rakyat. Rakyat perkotaan, rakyat pedesaan. Rakyat kaya, rakyat miskin. Pokoknya rakyat: sebuah penamaan atau label terhadap sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat. Rakyat inilah akar rumput. Asal-muasal lahirnya orang-orang pilihan: berkompeten, berkualitas, berintegritas, dan bermoral. Orang-orang pilihan itulah, di antaranya  yang kita sebut wakil rakyat. Calon milliarder datang dan kalau mampu menjawab pertanyaan sampai pada level tertentu, maka sudah jelas membawa pulang uang miliaran rupiah, tetapi wakil rakyat? Tentu dengan spontan kita mengatakan tidak. Tidak! Datang, duduk, berpikir dan artikulasikan suara rakyat, kebutuhan rakyat, dan aspirasi rakyat yang mengutusmu.

Kursi dan Cermin

Kita bisa berkaca pada Plato. Filsuf kesohor negeri dewa-dewi Yunani tersebut dalam sebuah petualangan imajinasinya pernah  menjadikan kursi sebagai ilustrasi, dalam menggambarkan realitas di sekitar kita. Plato membumikan sebuah tesis bahwa dunia dan segenap isinya yang kita diami ini sesungguhnya merupakan dunia ide. Sebuah kenyataan atau realitas kefanaan yang ada sekarang  adalah akibat proses tiruan atau mimesis dari sebuah kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam teorinya tentang tiruan atau mimesis tersebut, Plato hendak menyampaikan kepada kita tentang betapa kuatnya hubungan antara sastra yang adalah cipta, karya manusia dengan masyarakat. Populasi inilah mendapat ruang untuk mencipta dan melahirkan sekian banyak pola dan tingkah laku manusia. Pola dan tingkah laku manusia,bakal menjadi bagian pembelajaran dari proses peradaban yang kian dinamis ini. Plato akhirnya melanjutkan bahwa sastra (cipta manusia) menjadi media cermin pembelajaran bagi manusia secara universal. Cermin yang setiap saat memantulkan realitas kerakyatan, realitas kemiskinan, realitas berdemokrasi.
Dikaitkan dengan momentum pelantikan anggota DPR/DPRD, ada semacam cita-cita bersama bahwa wakil rakyat terpilih hendaknya memiliki kemampuan, ide juga kegelisahan untuk menangkap realitas. Ide mengenai realitas itu sendiri tentunya berawal dari kecermatan wakil rakyat terpilih untuk melakukan sesuatu pengamatan atas realitas di sekitarnya. Pengamatan ketika turba, juga kunjungan kerja yang lagi fenomenal di kalangan legislatif dan eksekutif akhir-akhir ini.
Kita mencatat, sepuluh tahun sudah reformasi digulirkan, tetapi masih banyak yang kekurangan. Sebut saja, pupuk untuk petani sulit didapat, kalaupun tersedia harganya cukup mahal. Pengangguran meningkat, pengobatan untuk rakyat tidak murah, kalaupun ada urusannya juga tidak mudah dan berbelit. Pendidikan pun sama. Biayanya mahal, juga faktor-faktor nonteknis yang memberatkan. Anggota dewan diharapkan mengawal reformasi yang kehadirannya adalah untuk perubahan, perbaikan segala aspek kehidupan yang dianggap timpang. Peristiwa pelantikan ini menjadi kaca cermin untuk evaluasi diri, termasuk belajar dari proses legislasi periode lalu.
Sebagai contoh lain, berdasarkan hasil survei terbaru  Lembaga Survei Indonesia (LSI), menemukan bahwa  58,9 persen masyarakat menyatakan tidak setuju bila gaji serta fasilitas anggota DPR dinaikkan. Kemudian, 61,3 persen menyatakan tidak setuju bila anggota dewan sering kunker ke luar negeri untuk studi banding. Tentang citra anggota DPR di mata publik sangat negatif karena cuma 39,8 persen menilai moral anggota DPR baik, sedangkan kasus moral dan tingkat keaktifan DPR relatif rendah, yakni hanya 40,4 persen. Perilaku DPR dalam memberantas korupsi juga hanya 51,3 persen, dan kapasitas mereka juga tidak terlalu gemilang yang hanya menanjak pada angka 55,7 persen (Jawa Pos,19 September 2009).  Data ini jelas mempresentasikan kepada kita betapa tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap anggota DPR belum pulih, bukan hanya soal kinerja, moralitas anggota dewan juga jauh dari harapan. Oleh karena itu, anggota dewan mendatang harus bekerja lebih keras. Ini gambaran anggota DPR yang menjadi parameter keberhasilan pesta demokrasi yang kita selenggarakan lima tahun sekali itu. Pertanyaannya adalah, bagaimana kinerja anggota DPRD kita lima tahun terakhir dengan beberapa indikator yang disampaikan di atas? Mudah-mudahan punya nilai rapor baik.
Kursi dan cermin dalam gagasan Plato di atas relevan, ketika kita sedang menyambut representan kita (anggota DPR/DPRD), yang antri mengikuti pelantikan sekalian mengucapkan sumpah. Dua kata yang lazim, lumrah, biasa dalam peziarahan kita. Kursi sebagai tempat duduk sehari-hari, mudah-mudahan tidak menjadi tempat yang asing dan eksklusif. Kursi rakyat, yang akan ditempati para wakil rakyat, hendaknya  membuat Anda tidak tenang. Panas. Karena kursi yang di sana telah dititipkan selusin aspirasi, selaksa harapan untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Bukan segepok uang yang membuatmu menjadi miliarder baru. Kursi, tempat berambisi, bercita-cita demi mengartikulasikan janji-janji ketika kampanye. Tempat menjadikan harapan-harapan menjadi kebenaran dari apa yang diteriakkan melalui visi dan misi kampanye dulu. Singkatnya, ‘kursi’ menjadi tantangan untuk selalu ke bawah, turun ke grass root, menjaring aspirasi dan menyuarakan aspirasi-aspirasi tersebut. Kursi ‘baru’ di gedung dewan hendaknya membuatmu bergumul tentang nasib rakyat yang Anda wakili. Tentang pengalaman keterlemparan ke tengah suka-duka rakyat. Juga tentang keberpihakan dan solidaritas dengan mereka di sekitar. Dengan demikian, kursi tidak menjadi tempat melabeli diri sebagai OKB, orang kaya baru. Tidak menjadikannya untuk mencari rezeki dan mengumpulkan harta dari kemiskinan, kemelaratan, kebodohan orang-orang yang telah memilih dan mengutusmu ke gedung dewan.
Kursi tidak membuatmu lupa, terlena dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, juga fungsi budget. Kursi yang sehari-hari Anda duduki untuk mencermini kedirian, mencermini realitas kegantengan, kecantikan, kerapihan sebelum memulai aktivitas. Cerminan realitas kedirian tersebut menuntut perbaikan. Oleh karena itu, kursi Anda di gedung dewan jangan jadi sarana kekuasaan membangun konspirasi dengan eksekutif guna mendapatkan sesuatu. Membuat deal atas regulasi-regulasi yang tidak menguntungkan rakyat. Ini fakta demokrasi kita. Tidak dapat dimungkiri. Hanya dapat menjadi kaca cermin untuk melihat dan mengkajinya. Tinggalkan fakta periodik yang dianggap tidak berpihak. Mulailah sesuatu yang baru karena bagi saya Andalah yang terbaik. Dengan demikian, yang kita harapkan adalah tidak terjadi lagi KKN berjamaah di gedung dewan. Anggota dewan tidak lagi terlibat KDRT, pelecehan seksual atau skandal seks, dan kasus-kasus kategori kelas berat lainnya. Setidaknya pergulatan pemikiran dan awasan Si Genius Plato di atas dapat menjadi cermin permenungan anggota legislatif dalam membaca dan memahami realitas masa lalu, kini dan yang akan datang. (*)



[1] Artikel ini pernah dimuat, di HU Flores Pos, 07 OKtober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar