Selamat datang di kursi panas.
Bagi Anda penggemar acara kuis milionare (almahrum) di stasion televisi RCTI,
mungkin masih mengenang ucapan Tantowi Yahya, presenter acara tersebut, setiap
kali menyapa calon milliarder yang berhasil melenggang ke babak final. Sapaan selamat datang di kursi panas, bagi
penulis masih sealur dengan peristiwa akhir-akhir ini, yakni pelantikan Anggota
DPR/DPRD terpilih pemilu legislatif 9 April 2009, untuk periode lima tahun ke depan:
2009 – 2013. Sebagai satu di antara sekian banyak konstituen, izinkan saya
mengucapkan selamat berbahagia kepada para wakil rakyat 2009 – 2013, sembari
menyapa selamat datang di kursi panas.
Alasan
sederhana penulis, bahwa antara calon kuis milionare dan Anggota DPR/DPRD,
anggotanya merupakan pilihan dari sekian banyak peserta atau kontestan. Mereka
sama-sama datang sebagai peserta. Mereka muncul dan tampil dari sebuah populasi
dan komunitas hidup yang menamakan diri sebagai rakyat. Rakyat perkotaan,
rakyat pedesaan. Rakyat kaya, rakyat miskin. Pokoknya rakyat: sebuah penamaan
atau label terhadap sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat. Rakyat inilah
akar rumput. Asal-muasal lahirnya orang-orang pilihan: berkompeten,
berkualitas, berintegritas, dan bermoral. Orang-orang pilihan itulah, di
antaranya yang kita sebut wakil rakyat.
Calon milliarder datang dan kalau mampu menjawab pertanyaan sampai pada level
tertentu, maka sudah jelas membawa pulang uang miliaran rupiah, tetapi wakil
rakyat? Tentu dengan spontan kita mengatakan tidak. Tidak! Datang,
duduk, berpikir dan artikulasikan suara rakyat, kebutuhan rakyat, dan aspirasi
rakyat yang mengutusmu.
Kursi dan Cermin
Kita
bisa berkaca pada Plato. Filsuf kesohor negeri dewa-dewi Yunani tersebut dalam
sebuah petualangan imajinasinya pernah
menjadikan kursi sebagai ilustrasi, dalam menggambarkan realitas di sekitar
kita. Plato membumikan sebuah tesis bahwa dunia dan segenap isinya yang kita
diami ini sesungguhnya merupakan dunia ide. Sebuah kenyataan atau realitas
kefanaan yang ada sekarang adalah akibat
proses tiruan atau mimesis dari
sebuah kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam teorinya tentang
tiruan atau mimesis tersebut, Plato
hendak menyampaikan kepada kita tentang betapa kuatnya hubungan antara sastra
yang adalah cipta, karya manusia dengan masyarakat. Populasi inilah mendapat
ruang untuk mencipta dan melahirkan sekian banyak pola dan tingkah laku
manusia. Pola dan tingkah laku manusia,bakal menjadi bagian pembelajaran dari
proses peradaban yang kian dinamis ini. Plato akhirnya melanjutkan bahwa sastra
(cipta manusia) menjadi media cermin pembelajaran bagi manusia secara
universal. Cermin yang setiap saat memantulkan realitas kerakyatan, realitas
kemiskinan, realitas berdemokrasi.
Dikaitkan
dengan momentum pelantikan anggota DPR/DPRD, ada semacam cita-cita bersama
bahwa wakil rakyat terpilih hendaknya memiliki kemampuan, ide juga kegelisahan
untuk menangkap realitas. Ide mengenai realitas itu sendiri tentunya
berawal dari kecermatan wakil rakyat terpilih untuk melakukan sesuatu
pengamatan atas realitas di sekitarnya. Pengamatan ketika turba, juga kunjungan
kerja yang lagi fenomenal di kalangan legislatif dan eksekutif akhir-akhir ini.
Kita
mencatat, sepuluh tahun sudah reformasi digulirkan, tetapi masih banyak yang
kekurangan. Sebut saja, pupuk untuk petani sulit didapat, kalaupun tersedia
harganya cukup mahal. Pengangguran meningkat, pengobatan untuk rakyat tidak
murah, kalaupun ada urusannya juga tidak mudah dan berbelit. Pendidikan pun
sama. Biayanya mahal, juga faktor-faktor nonteknis yang memberatkan. Anggota
dewan diharapkan mengawal reformasi yang kehadirannya adalah untuk perubahan,
perbaikan segala aspek kehidupan yang dianggap timpang. Peristiwa pelantikan
ini menjadi kaca cermin untuk
evaluasi diri, termasuk belajar dari proses legislasi periode lalu.
Sebagai
contoh lain, berdasarkan hasil survei terbaru
Lembaga Survei Indonesia
(LSI), menemukan bahwa 58,9 persen masyarakat menyatakan tidak
setuju bila gaji serta fasilitas anggota DPR dinaikkan. Kemudian, 61,3 persen menyatakan tidak setuju bila
anggota dewan sering kunker ke luar negeri untuk studi banding. Tentang citra
anggota DPR di mata publik sangat negatif karena cuma 39,8 persen menilai moral anggota DPR baik, sedangkan kasus moral
dan tingkat keaktifan DPR relatif rendah, yakni hanya 40,4 persen. Perilaku DPR dalam memberantas korupsi juga hanya 51,3 persen, dan kapasitas mereka juga
tidak terlalu gemilang yang hanya menanjak pada angka 55,7 persen (Jawa Pos,19 September 2009). Data ini jelas mempresentasikan kepada kita betapa
tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap anggota DPR belum pulih,
bukan hanya soal kinerja, moralitas anggota dewan juga jauh dari harapan. Oleh
karena itu, anggota dewan mendatang harus bekerja lebih keras. Ini gambaran
anggota DPR yang menjadi parameter keberhasilan pesta demokrasi yang kita
selenggarakan lima tahun sekali itu. Pertanyaannya adalah, bagaimana kinerja
anggota DPRD kita lima tahun terakhir dengan beberapa indikator yang
disampaikan di atas? Mudah-mudahan punya nilai rapor baik.
Kursi
dan cermin dalam gagasan Plato di atas relevan, ketika kita sedang menyambut
representan kita (anggota DPR/DPRD), yang antri mengikuti pelantikan sekalian
mengucapkan sumpah. Dua kata yang lazim, lumrah, biasa dalam peziarahan kita.
Kursi sebagai tempat duduk sehari-hari, mudah-mudahan tidak menjadi tempat yang
asing dan eksklusif. Kursi rakyat, yang akan ditempati para wakil rakyat,
hendaknya membuat Anda tidak tenang. Panas.
Karena kursi yang di sana
telah dititipkan selusin aspirasi, selaksa harapan untuk sebuah perubahan yang
lebih baik. Bukan segepok uang yang membuatmu menjadi miliarder baru. Kursi,
tempat berambisi, bercita-cita demi mengartikulasikan janji-janji ketika
kampanye. Tempat menjadikan harapan-harapan menjadi kebenaran dari apa yang
diteriakkan melalui visi dan misi kampanye dulu. Singkatnya, ‘kursi’
menjadi tantangan untuk selalu ke bawah, turun ke grass root, menjaring aspirasi dan menyuarakan aspirasi-aspirasi
tersebut. Kursi ‘baru’ di gedung
dewan hendaknya membuatmu bergumul tentang nasib rakyat yang Anda wakili.
Tentang pengalaman keterlemparan ke tengah suka-duka rakyat. Juga tentang
keberpihakan dan solidaritas dengan mereka di sekitar. Dengan demikian, kursi
tidak menjadi tempat melabeli diri sebagai OKB, orang kaya baru. Tidak menjadikannya untuk mencari rezeki dan
mengumpulkan harta dari kemiskinan, kemelaratan, kebodohan orang-orang yang
telah memilih dan mengutusmu ke gedung dewan.
Kursi
tidak membuatmu lupa, terlena dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi,
juga fungsi budget. Kursi yang
sehari-hari Anda duduki untuk mencermini kedirian, mencermini realitas
kegantengan, kecantikan, kerapihan sebelum memulai aktivitas. Cerminan realitas
kedirian tersebut menuntut perbaikan. Oleh karena itu, kursi Anda di gedung
dewan jangan jadi sarana kekuasaan membangun konspirasi dengan eksekutif guna
mendapatkan sesuatu. Membuat deal atas
regulasi-regulasi yang tidak menguntungkan rakyat. Ini fakta demokrasi kita.
Tidak dapat dimungkiri. Hanya dapat menjadi kaca cermin untuk melihat dan
mengkajinya. Tinggalkan fakta periodik yang dianggap tidak berpihak. Mulailah
sesuatu yang baru karena bagi saya Andalah yang terbaik. Dengan demikian, yang
kita harapkan adalah tidak terjadi lagi KKN berjamaah di gedung dewan. Anggota
dewan tidak lagi terlibat KDRT, pelecehan seksual atau skandal seks, dan
kasus-kasus kategori kelas berat lainnya. Setidaknya pergulatan pemikiran dan
awasan Si Genius Plato di atas dapat menjadi cermin permenungan anggota
legislatif dalam membaca dan memahami realitas masa lalu, kini dan yang akan datang. (*)
[1] Artikel ini pernah dimuat, di HU Flores
Pos, 07 OKtober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar