Halaman

Rabu, 08 November 2017

Perang Politik






The Linguistic Wars, sebuah buku yang gemuruh dan memikat yang ditulis Randy Allen Haris (1995) berisi kilas balik tentang ‘peperangan’ dua kubu aliran linguistik yang bermula dari gagasan radikal Chomsky. Perang antara guru (Chomsky) dengan semangat semantik interpretif dan murid-muridnya yang cerdas dan gemilang, selaku pemegang setia ajaran sang guru yang menamakan dirinya kaum semantik generatif yang dikepalai oleh Lakoff.  Ironis memang bahwa Chomsky yang bapak linguistik generatif harus ‘berperang’ melawan para bekas muridnya sendiri yang menamakan diri ‘kaum generatif’. Perang tersebut telah padam pada dasawarsa 1970-an dan Chomsky keluar sebagai pemenang gemilang, bahkan semantik generatif pun telah menjadi almahrum.
Di luar urusan linguistik pun ‘peperangan’ itu telah terdengar. Dalam konstelasi politik, masyarakat NTT sedang mengalami peperangan dalam duel pilkada gubernur putaran kedua: Frenly vs Esthon-Paul. Dua harian di NTT melukiskannya sebagai ‘perang’ antara dua paket ini (PK, 28/3/2013, dan FP, 3/4/2013). Bukan perang senjata, melainkan perang verbalistik, perang kata-kata, bahkan pertarungan gagasan. Perang yang melibatkan begitu banyak orang, terutama para elite dalam beraneka gaya dan substansi. Dari arena ini pun lahirlah begitu banyak bahasa politik yang dihadirkan oleh orang-orang, terutama mereka yang sedang berkepentingan.

Politik adalah Pembelaan

Ada seorang anak bertanya kepada neneknya, bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong? Neneknya menjawab, setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka. Artinya bahwa politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong. Sekalipun Anda mungkin marah dan tidak setuju bahwa politisi berbohong, namun Anda mungkin akan sependapat dengan George Orwell bahwa bahasa politik adalah pembelaan terhadap sesuatu yang tidak pantas dibela”. Orwell mengeluhkan ketidaksetujuannya pada bahasa para politisi dengan mengatakan begini: bahasa politik sebagian besar terdiri dari eufemisme, pendapat-pendapat yang patut dipertanyakan dan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas…! Bahasa dari kalangan politik dirancang untuk membuat dusta kedengarannya benar dan membuat pembunuhan kedengarannya mulia, serta untuk membuat omong kosong kedengarannya meyakinkan (Wareing &Thomas, Bahasa, Masyarakat, dan Politik,1999;Terjemahan Sunoto,Cs, 2007: 63).
Telinga terasa panas, atau muka akan menjadi merah lebam bagai diteriki matahari selatan, ketika menyimak anekdot dan ketidaksetujuan seorang Orwell terhadap bahasa para politisi. Bahasa politik adalah bahasa yang digunakan oleh elite politik dalam memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Bahasa telah memperoleh tempat yang strategis karena pelbagai kepentingan elite diperjuangkan melalui bahasa yang dikemas dalam cara tertentu. Sesuatu yang sebenarnya bersifat kepentingan pribadi atau individu dikemas dalam bahasa yang tampaknya menjadi kepentingan banyak orang. Sesuatu yang hanya kepentingan kelompok dikemas dalam bahasa yang tampaknya menjadi kepentingan nasional atau bersama. Dan, ini kita temukan dalam musim politik ini. Ada sejumlah isu (lagu) lama yang sengaja dikemas dan dibungkus dalam bahasa yang baru, biar kedengarannya baru. Pendidikan gratis, pembukaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, perlindungan tenaga kerja, kesejahteraan pegawai negeri sipil, pemerhatian kesejahteraan guru, peningkatan kapasitas kaum buruh, tani, dan nelayan untuk membawa NTT keluar dari jurang degradasi kemiskinan dan keterbelakangan, merupakan contoh format bahasa yang diteriakkan elite politik kita dari periode pilkada yang lalu ke periode sekarang. Hasilnya juga menunjukkan bahwa nyaris tak berdaya para konstituen menagih janji yang dibahasakan pada musim ‘perang’ politik seperti sekarang ini.
Pada aspek pandang lain, tak pelak kita jumpai di musim ini, para tikus (tim sukses) calon pasangan cagub-cawagub, maupun cabup-cawabup keluar masuk kampung mengelus dan menawarkan program unggulan jagoannya. Para jurkam (juru kampanye) berperang berapi-api menggelontorkan kata-kata dan menghipnotis massa ketika kampanye. Lain lagi misalnya, penundaan ujian nasional, cuma dibahasakan sebagai keterlambatan naskah. Para kepala dinas pendidikan menargetkan persentasi kelulusan di wilayahnya dengan persentasi yang tinggi. Para kepala sekolah sangat yakin dan percaya diri mematok target kelulusan dengan angka yang maksimal. Selanjutnya, para guru di sekolah juga tidak kehilangan muka, memasang target persentasi sebelum ujian digelar. Atau, bolak-balik berkas pemeriksaan perkara antara penyidik dan kejaksaan, dan macam-macam lagi. Bukankah demikian segala urusan tetek bengek dipolitisasi untuk kepentingan penguasa? Inilah kredo kebingungan rakyat bangsa ini. Kebingungan kolektif tersebut kita rasakan ketika banyak pengujar statemen menggunakan posisi dalam kapasitasnya sebagai penguasa. 
Bahwa bahasa menjadi instrumen sekaligus media untuk bersenyawanya para elite politik dengan masyarakat banyak. Karena di sanalah ada proses sosialisasi dengan pelaku sosial lain. Ada ruang untuk mencapai mufakat yang memungkinkan setiap orang mengikuti dan memahami aturan yang berlaku. Bahkan lebih jauh, ruang itu dapat menjadi arena tempat terjadinya pertarungan, adu kekuatan, tempat dominasi dan konflik antarindividu, antarkelompok untuk mendapatkan posisinya. Akibatnya, bahasa yang mewujud melalui kata-kata dapat terpeleset dan menjadi tempat pertarungan(Wareing, 1999:23) memperebutkan tampuk kekuasaan. Dengan kata lain, musim politik ini ibarat sebuah panggung hiburan yang menghibur sekaligus dalam kuasa ‘kata’ yang tidak pernah luput dan lepas dari kepentingan pihak penguasa terhadap yang dikuasai. Yang terkuasai (rakyat) secara sengaja diatur, dibohongi, dikekang, dan dikungkung oleh penguasa hanya dengan permainan-permainan bahasa. Oleh karena itu, yang kita harapkan dalam musim politik sekarang ini adalah para calon pemimpin menggunakan bahasa rakyat dalam aktivitas politik mereka. Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak abstrak. Bahasa yang dekat dengan pemahaman rakyat. Bahasa yang jelas dan tidak berbelit-belit. Bahasa rakyat bukan bahasa janji dalam orasi-orasi politik. Bahasa rakyat bukan bahasa yang mengambang dan tidak menukik pada substansi pemahaman rakyat, terutama persoalan-persoalan riil yang dihadapi rakyat. Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak menyimpang dari kekepentingan akar rumput. Bahasa rakyat bukan bahasa feodalisme yang senantiasa memosisikan diri di atas rakyat.

Merebut dan Mengelola Kekuasaan

Memang tujuan utama berpolitik adalah berusaha merebut dan mengelola, bahkan memperkuat dan memperluas kekuasaan, begitulah Nicolo Machiaveli (Saryono, 2005:3), sehingga politik selalu dimainkan oleh penguasa untuk mengamankan kekuasaan yang ada di tangannya. Karena itu, elite penguasa akan selalu melakukan konsolidasi kekuasaan dalam segala bidang yang bergayut dengan kekuasaannya, termasuk bidang bahasa sebagai media instrumental yang paling unggul untuk menguasai yang dikuasai. Namun demikian, ada ruang bersama untuk mewujudkan politik yang sejati. Karena politik sejati merupakan sebuah seni untuk mengurus dan merawat negara dan pemerintahan dalam tanggung jawab melayani rakyat. Artinya, dalam tanggun jawab melayani rakyat tersebut, politik mesti terus didayakan sebagai sarana mencapai tujuan hidup bersama (bonum commune) kebaikan bersama yang adil dan merata (Eddy Kristiyanto,OFM, Sakramen Politik, 2008: 3). Dengan demikian, bahasa politik di musim kampanye ini perlu ditata agar tidak bombastis dan masuk akal. Selamat berkampanye! (*)



[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Senin, 6 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar