The Linguistic Wars, sebuah buku yang gemuruh dan memikat yang ditulis Randy
Allen Haris (1995) berisi kilas balik tentang ‘peperangan’ dua kubu aliran
linguistik yang bermula dari gagasan radikal Chomsky. Perang antara guru
(Chomsky) dengan semangat semantik interpretif dan murid-muridnya yang cerdas
dan gemilang, selaku pemegang setia ajaran sang guru yang menamakan dirinya
kaum semantik generatif yang dikepalai oleh Lakoff. Ironis memang bahwa Chomsky yang bapak
linguistik generatif harus ‘berperang’ melawan para bekas muridnya sendiri yang
menamakan diri ‘kaum generatif’. Perang tersebut telah padam pada dasawarsa
1970-an dan Chomsky keluar sebagai pemenang gemilang, bahkan semantik generatif
pun telah menjadi almahrum.
Di luar urusan linguistik pun ‘peperangan’ itu telah
terdengar. Dalam konstelasi politik, masyarakat NTT sedang mengalami peperangan
dalam duel pilkada gubernur putaran kedua: Frenly vs Esthon-Paul. Dua
harian di NTT melukiskannya sebagai ‘perang’ antara dua paket ini (PK,
28/3/2013, dan FP, 3/4/2013). Bukan perang senjata, melainkan perang
verbalistik, perang kata-kata, bahkan pertarungan gagasan. Perang yang
melibatkan begitu banyak orang, terutama para elite dalam beraneka gaya dan
substansi. Dari arena ini pun lahirlah begitu banyak bahasa politik yang
dihadirkan oleh orang-orang, terutama mereka yang sedang berkepentingan.
Politik adalah Pembelaan
Ada
seorang anak bertanya kepada neneknya,
bagaimana caranya agar kita tahu kapan politisi berbohong? Neneknya menjawab,
setiap kali mereka berbohong, mereka selalu menggerakkan bibir mereka. Artinya bahwa politisi tidak pernah berhenti
berbohong dan selalu berbohong. Sekalipun Anda mungkin marah dan tidak setuju
bahwa politisi berbohong, namun Anda mungkin akan sependapat dengan George Orwell
bahwa bahasa politik adalah “pembelaan
terhadap sesuatu yang tidak pantas dibela”. Orwell mengeluhkan ketidaksetujuannya pada bahasa para
politisi dengan mengatakan begini: bahasa politik sebagian besar terdiri dari eufemisme,
pendapat-pendapat yang patut dipertanyakan dan ungkapan-ungkapan yang tidak
jelas…! Bahasa dari kalangan politik dirancang
untuk membuat dusta kedengarannya benar dan membuat pembunuhan kedengarannya
mulia, serta untuk membuat omong kosong kedengarannya meyakinkan (Wareing
&Thomas, Bahasa, Masyarakat, dan Politik,1999;Terjemahan Sunoto,Cs,
2007: 63).
Telinga terasa panas, atau muka akan menjadi merah lebam bagai
diteriki matahari selatan, ketika menyimak anekdot dan ketidaksetujuan seorang
Orwell terhadap bahasa para politisi. Bahasa politik adalah bahasa yang
digunakan oleh elite politik dalam memperjuangkan kepentingan politik tertentu.
Bahasa telah memperoleh tempat yang strategis karena pelbagai kepentingan elite
diperjuangkan melalui bahasa yang dikemas dalam cara tertentu. Sesuatu yang
sebenarnya bersifat kepentingan pribadi atau individu dikemas dalam bahasa yang
tampaknya menjadi kepentingan banyak orang. Sesuatu yang hanya kepentingan
kelompok dikemas dalam bahasa yang tampaknya menjadi kepentingan nasional atau
bersama. Dan, ini kita temukan dalam musim politik ini. Ada sejumlah isu (lagu)
lama yang sengaja dikemas dan dibungkus dalam bahasa yang baru, biar
kedengarannya baru. Pendidikan gratis, pembukaan lapangan kerja, pengentasan
kemiskinan, perlindungan tenaga kerja, kesejahteraan pegawai negeri sipil, pemerhatian
kesejahteraan guru, peningkatan kapasitas kaum buruh, tani, dan nelayan untuk membawa
NTT keluar dari jurang degradasi kemiskinan dan keterbelakangan, merupakan
contoh format bahasa yang diteriakkan elite politik kita dari periode pilkada
yang lalu ke periode sekarang. Hasilnya juga menunjukkan bahwa nyaris tak
berdaya para konstituen menagih janji yang dibahasakan pada musim ‘perang’ politik
seperti sekarang ini.
Pada aspek pandang lain, tak pelak kita jumpai di musim
ini, para tikus (tim sukses) calon pasangan cagub-cawagub, maupun
cabup-cawabup keluar masuk kampung mengelus dan menawarkan program unggulan
jagoannya. Para jurkam (juru kampanye) berperang berapi-api menggelontorkan
kata-kata dan menghipnotis massa ketika kampanye. Lain lagi misalnya, penundaan ujian nasional, cuma dibahasakan sebagai
keterlambatan naskah. Para kepala dinas pendidikan menargetkan
persentasi kelulusan di wilayahnya dengan persentasi yang tinggi. Para kepala
sekolah sangat yakin dan percaya diri mematok target kelulusan dengan angka
yang maksimal. Selanjutnya, para guru di sekolah juga tidak kehilangan muka,
memasang target persentasi sebelum ujian digelar. Atau, bolak-balik berkas
pemeriksaan perkara antara penyidik dan kejaksaan, dan macam-macam lagi.
Bukankah demikian segala urusan tetek bengek dipolitisasi untuk kepentingan
penguasa? Inilah kredo kebingungan
rakyat bangsa ini. Kebingungan kolektif tersebut kita rasakan ketika banyak
pengujar statemen menggunakan posisi dalam kapasitasnya sebagai penguasa.
Bahwa bahasa menjadi instrumen sekaligus media untuk
bersenyawanya para elite politik dengan masyarakat banyak. Karena di sanalah
ada proses sosialisasi dengan pelaku sosial lain. Ada ruang untuk mencapai
mufakat yang memungkinkan setiap orang mengikuti dan memahami aturan yang
berlaku. Bahkan lebih jauh, ruang itu dapat menjadi arena
tempat terjadinya pertarungan, adu kekuatan, tempat dominasi dan konflik
antarindividu, antarkelompok untuk mendapatkan posisinya. Akibatnya, bahasa yang mewujud melalui kata-kata dapat
terpeleset dan menjadi ‘tempat pertarungan’ (Wareing, 1999:23) memperebutkan tampuk kekuasaan. Dengan kata lain, musim politik ini ibarat sebuah
panggung hiburan yang
menghibur sekaligus
dalam kuasa ‘kata’ yang tidak pernah luput dan lepas dari kepentingan pihak
penguasa terhadap yang dikuasai. Yang terkuasai (rakyat) secara sengaja diatur, dibohongi, dikekang, dan dikungkung
oleh penguasa hanya dengan permainan-permainan bahasa. Oleh karena itu, yang kita harapkan dalam
musim politik sekarang ini adalah para calon pemimpin menggunakan bahasa
rakyat dalam aktivitas politik mereka. Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak
abstrak. Bahasa yang dekat dengan pemahaman rakyat. Bahasa yang jelas dan tidak
berbelit-belit. Bahasa rakyat bukan bahasa janji dalam orasi-orasi politik.
Bahasa rakyat bukan bahasa yang mengambang dan tidak menukik pada substansi
pemahaman rakyat, terutama persoalan-persoalan riil yang dihadapi rakyat.
Bahasa rakyat adalah bahasa yang tidak menyimpang dari kekepentingan akar rumput. Bahasa rakyat bukan bahasa feodalisme yang
senantiasa memosisikan diri di atas rakyat.
Merebut dan Mengelola Kekuasaan
Memang tujuan utama berpolitik adalah berusaha merebut
dan mengelola, bahkan memperkuat dan memperluas kekuasaan, begitulah Nicolo
Machiaveli (Saryono, 2005:3), sehingga politik selalu dimainkan oleh
penguasa untuk mengamankan kekuasaan yang ada di tangannya. Karena itu, elite
penguasa akan selalu melakukan konsolidasi kekuasaan dalam segala bidang yang
bergayut dengan kekuasaannya, termasuk bidang bahasa sebagai media instrumental
yang paling unggul untuk menguasai yang dikuasai. Namun demikian, ada ruang bersama
untuk mewujudkan politik yang sejati. Karena politik sejati merupakan sebuah seni
untuk mengurus dan merawat negara dan pemerintahan dalam tanggung jawab
melayani rakyat. Artinya, dalam tanggun jawab melayani rakyat tersebut, politik
mesti terus didayakan sebagai sarana mencapai tujuan hidup bersama (bonum
commune) kebaikan bersama yang adil dan merata (Eddy Kristiyanto,OFM,
Sakramen Politik, 2008: 3). Dengan demikian, bahasa politik di musim kampanye
ini perlu ditata agar tidak bombastis dan masuk akal. Selamat berkampanye! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar