Halaman

Senin, 06 November 2017

Pangan Lokal Kita





Tersiarnya berita rawan pangan di Nusa Flobamora boleh dibilang sebagai lagu lama, sebuah kisah kusat-mesat yang selalu kita dengar di bumi Flobamora pada setiap tengah tahun. Ketika masyarakat menemui kondisi demikian, seperti yang terjadi di Belu, 22.745 KK yang tersebar pada 65 desa di 16 kecamatan di Belu terancam rawan pangan (PK,18/8/2011), Pambota Njara Sumba Timur, warga harus mencari iwi (sejenis ubi hutan) di Belukar (PK,19/8/2011), dan Kabupaten Flotim sebanyak 7.214 mengalami risiko rawan pangan tinggi (PK, 21/8/2011). Tentang kondisi di Pambota, misalnya, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menjawab bahwa “tidak serta merta satu-dua orang masuk hutan cari iwi lalu didramatisir sudah lapar atau terjadi rawan pangan”, (PK, 20/8/2011). Mungkin maksud Pak Gubernur, berita ini terlalu dilebih-lebihkan, karena cuma satu-dua warga yang ke hutan iwi, namun pers membuat generalisasi yang pars pro toto. Yang jelas bahwa pers telah ‘berupaya’ mengangkat fenomena rawan pangan ini ke publik dan serentak menjadikan kita semua, terutama pemangku kepentingan untuk bertindak cepat-lekas tentang alternatif penanggulangan masyarakat sebelum kondisi ini merebak luas. Bersamaan itu, pemberitaan menggugah sekaligus mengetuk nurani solidaritas semua kita di seantero Flobamora untuk menggalang kasih bagi sekalian sesama saudara kita yang tengah dan akan mengalami nasib serupa.

Rawan Pangan

Fenomena rawan pangan dialami para petani di berbagai daerah, termasuk pada daerah-daerah sentra produksi padi. Keadaan ini tentu tidak cukup diatasi hanya dengan retorika verbal para pemimpin bahwa produksi padi kita tahun ini surplus. Terjadinya surplus produksi lebih menggambarkan kondisi makro sehingga pemerintah daerah kita terkesan menganggap kecil angka gagal panen yang berakibat rawan pangan yang diderita petani. Padahal, kita tahu, surplus produksi belum tentu menjamin kebutuhan pangan secara merata karena tidak adanya akses langsung petani terhadap kebutuhan pangan mereka. Keadaan ini telah menggeser gaya hidup petani yang semula menjadi produsen padi berubah mendadak menjadi konsumen. Padi yang dihasilkan, begitu selesai panen, segera dijual ke tengkulak atau tempat-tempat penggilingan. Tentu berbagai alasan ekonomis yang membuat petani bertindak demikian.
Sebagian besar petani kita adalah petani monokultur, yakni hanya menanam satu jenis tanaman. Semua kebutuhan terpaksa dipenuhi dengan menjual hasil panennya. Mereka menggadaikan masa depan keluarganya pada tanaman padi musim tanam berikutnya. Kalau dipikir secara cermat, jelaslah bahwa tanaman padi yang dibudidayakan belum tentu berhasil karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi, kegagalan panen yang mengakibatkan kerugian dialami karena berbagai faktor yang berada di luar jangkauan petani. Bisa karena banjir, kekeringan, atau serangan hama dan penyakit tanaman. Tingkat kerugiannya sangat beragam, dari termasuk kategori rendah, menengah, sampai gagal total karena sama sekali tidak terpungut hasilnya atau fuso.

Kebiasaan Makan

Seyogianya kita mengembangkan pola dan kebiasaan makan (food habit) dan teknologi pangan yang berdasarkan pada keanekaragaman tanaman pangan (multi-culture), yang ada di lingkungan kita, ketimbang memaksa alam untuk hanya memproduksi tanaman tunggal (mono-culture) yang secara turun-temurun menjadi kesukaan kita. Di sinilah butuh kerja sama yang sinergis antara semua pihak–institusi swasta maupun negeri untuk melakukan rekayasa sosial bersama demi mengembalikan kultur makan makanan produk lokal. Koordinasi antara semua aspek atau sektor pembangunan di negeri ini tampaknya masih menjadi barang mewah. Dibutuhkan koordinasi yang sepadan–seimbang, dan bergayut untuk akselerasi pembangunan demi tercapainya cita-cita luhur bangsa. Dengan demikian, kendatipun sumber daya alam sebuah bangsa sangat melimpah ruah, tetapi kualitas pembangunannya lebih ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia bangsa tersebut.
Dengan demikian, kegagalan panen bagi petani bisa menjadi kematian sementara. Pertama, mereka sudah mengerahkan seluruh modal dan tenaga untuk tanaman padi musim tanam tersebut, bahkan mungkin termasuk modal pinjaman sekali pun. Di tengah harga pupuk yang mahal, irigasi yang kadang tak lancar menjadi ganjalan bagi usaha dan budi daya padi secara baik. Kedua, kemampuan bertahan sebagian besar petani pada setiap musim tanam rata-rata berkisar antara dua dan tiga bulan. Bahkan, dengan bergesernya gaya hidup dan rendahnya nilai jual petani, kemampuan itu menjadi lebih rendah lagi. Para petani kita cenderung ‘kalah’ bersaing dengan para tengkulak dan pemilik modal lain, bahakn berbagai regulasi yang tidak berpihak kepada mereka.
Ketiga, petani tidak memiliki tanaman cadangan yang cukup untuk satu tahun. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh program-program pemerintah yang instant, misalnya membagi-bagi beras miskin (raskin). Artinya, petani tidak mampu memiliki inovasi untuk menanam, terutama membudidayakan dan merevitalisasi tanaman-tanaman pangan lokal sebagai pangan cadangan yang telah teruji ketahanannya akan berbagai hama penyakit. Solusi yang tidak mencerdaskan petani ini, menjadikan generasi kita terperangkap dalam paradigma, kalau belum makan nasi, artinya belum makan. Pada titik kritis ini, perlu diupayakan usaha keras untuk mengubah dan memeperbaiki streotipe tersebut, dan lebih baik kalau dimulai dari generasi muda. Dengan demikian, dibutuhkan sebuah gerakan masif yang memprioritaskan pemberdayaan makanan-makanan lokal pada semua level. Hal ini telah terbukti bahwa dari kontribusi aasupan pangan-pangan lokal di komunitas lokal inilah telah turut melahirkan dan membesarkan orang-orang ‘besar’. *










[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Jumad, 18 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar