Tersiarnya berita rawan pangan di Nusa Flobamora boleh
dibilang sebagai lagu lama, sebuah kisah kusat-mesat yang selalu kita dengar di
bumi Flobamora pada setiap tengah tahun. Ketika masyarakat menemui kondisi
demikian, seperti yang terjadi di Belu, 22.745 KK yang tersebar pada 65 desa di
16 kecamatan di Belu terancam rawan pangan (PK,18/8/2011), Pambota Njara
Sumba Timur, warga harus mencari iwi (sejenis ubi hutan) di Belukar (PK,19/8/2011),
dan Kabupaten Flotim sebanyak 7.214 mengalami risiko rawan pangan tinggi (PK,
21/8/2011). Tentang kondisi di Pambota, misalnya, Gubernur NTT, Drs. Frans
Lebu Raya menjawab bahwa “tidak serta merta satu-dua orang masuk hutan cari iwi
lalu didramatisir sudah lapar atau terjadi rawan pangan”, (PK, 20/8/2011).
Mungkin maksud Pak Gubernur, berita ini terlalu dilebih-lebihkan, karena cuma
satu-dua warga yang ke hutan iwi, namun pers membuat generalisasi yang pars
pro toto. Yang jelas bahwa pers telah ‘berupaya’ mengangkat fenomena rawan
pangan ini ke publik dan serentak menjadikan kita semua, terutama pemangku
kepentingan untuk bertindak cepat-lekas tentang alternatif penanggulangan
masyarakat sebelum kondisi ini merebak luas. Bersamaan itu, pemberitaan
menggugah sekaligus mengetuk nurani solidaritas semua kita di seantero
Flobamora untuk menggalang kasih bagi sekalian sesama saudara kita yang tengah
dan akan mengalami nasib serupa.
Rawan Pangan
Fenomena rawan pangan dialami para petani di berbagai
daerah, termasuk pada daerah-daerah sentra produksi padi. Keadaan
ini tentu tidak
cukup diatasi hanya dengan retorika verbal
para pemimpin bahwa produksi padi kita tahun ini surplus. Terjadinya
surplus produksi lebih menggambarkan kondisi makro sehingga pemerintah daerah kita terkesan menganggap kecil
angka gagal panen yang berakibat rawan
pangan yang diderita petani. Padahal, kita tahu, surplus produksi
belum tentu menjamin kebutuhan pangan secara merata karena tidak adanya akses
langsung petani terhadap kebutuhan pangan mereka. Keadaan
ini telah menggeser gaya hidup petani yang semula menjadi produsen padi berubah mendadak menjadi konsumen. Padi yang
dihasilkan, begitu selesai panen, segera dijual ke tengkulak atau tempat-tempat
penggilingan. Tentu berbagai
alasan ekonomis yang membuat petani bertindak demikian.
Sebagian besar petani kita adalah petani monokultur, yakni hanya
menanam satu jenis tanaman.
Semua kebutuhan terpaksa dipenuhi dengan menjual hasil
panennya. Mereka menggadaikan masa depan keluarganya pada tanaman padi musim
tanam berikutnya. Kalau
dipikir secara cermat, jelaslah bahwa tanaman padi yang dibudidayakan belum
tentu berhasil karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi, kegagalan panen yang
mengakibatkan kerugian dialami karena berbagai faktor yang berada di luar
jangkauan petani. Bisa karena banjir, kekeringan, atau
serangan hama dan penyakit tanaman. Tingkat kerugiannya sangat beragam, dari
termasuk kategori rendah, menengah, sampai gagal total karena sama sekali tidak
terpungut hasilnya atau fuso.
Kebiasaan Makan
Seyogianya
kita mengembangkan pola dan kebiasaan makan (food habit) dan teknologi pangan yang berdasarkan pada
keanekaragaman tanaman pangan (multi-culture),
yang ada di lingkungan kita, ketimbang memaksa alam untuk hanya memproduksi
tanaman tunggal (mono-culture) yang
secara turun-temurun menjadi kesukaan kita. Di sinilah butuh kerja sama yang
sinergis antara semua pihak–institusi swasta maupun negeri untuk melakukan
rekayasa sosial bersama demi mengembalikan kultur makan makanan produk lokal. Koordinasi antara semua aspek atau sektor pembangunan
di negeri ini tampaknya masih menjadi barang mewah. Dibutuhkan koordinasi yang
sepadan–seimbang, dan bergayut untuk akselerasi pembangunan demi tercapainya
cita-cita luhur bangsa. Dengan demikian, kendatipun sumber daya alam sebuah
bangsa sangat melimpah ruah, tetapi kualitas pembangunannya lebih ditentukan
oleh ketersediaan sumber daya manusia bangsa tersebut.
Dengan demikian, kegagalan panen bagi petani bisa menjadi kematian sementara. Pertama,
mereka sudah mengerahkan seluruh modal dan tenaga untuk tanaman padi musim tanam
tersebut, bahkan mungkin termasuk
modal pinjaman sekali pun. Di
tengah harga pupuk yang mahal, irigasi yang kadang tak lancar menjadi ganjalan
bagi usaha dan budi daya padi secara baik. Kedua,
kemampuan bertahan sebagian besar petani pada setiap musim tanam rata-rata
berkisar antara dua dan tiga bulan. Bahkan, dengan bergesernya gaya hidup dan
rendahnya nilai jual
petani, kemampuan itu menjadi lebih rendah lagi. Para petani kita cenderung ‘kalah’ bersaing dengan para
tengkulak dan pemilik modal lain, bahakn berbagai regulasi yang tidak berpihak
kepada mereka.
Ketiga,
petani tidak memiliki tanaman cadangan yang cukup untuk satu tahun. Hal ini
mungkin juga dipengaruhi oleh program-program pemerintah yang instant,
misalnya membagi-bagi beras miskin (raskin). Artinya, petani tidak mampu
memiliki inovasi untuk menanam, terutama membudidayakan dan merevitalisasi
tanaman-tanaman pangan lokal sebagai pangan cadangan yang telah teruji
ketahanannya akan berbagai hama penyakit. Solusi yang tidak mencerdaskan petani
ini, menjadikan generasi kita terperangkap dalam paradigma,
kalau belum makan nasi, artinya belum makan. Pada titik kritis ini, perlu diupayakan
usaha keras untuk mengubah dan memeperbaiki streotipe tersebut, dan lebih baik
kalau dimulai dari generasi muda.
Dengan demikian, dibutuhkan sebuah gerakan masif yang memprioritaskan
pemberdayaan makanan-makanan lokal pada semua level. Hal ini telah terbukti
bahwa dari kontribusi aasupan pangan-pangan lokal di komunitas lokal inilah
telah turut melahirkan dan membesarkan orang-orang ‘besar’. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar