Halaman

Rabu, 08 November 2017

Politik Hasrat





Belakangan ini publik NTT dan Indonesia, disuguhkan berita tentang pendaftaran bakal calon legislatif (bacaleg) pemilu 2014 ke KPU/KPUD, selanjutnya untuk diverivikasi sebelum penetapan daftar calon tetap. Untuk NTT saja, telah terdaftar 555.336 bacaleg memperebutkan 65 kursi empuk DPRD I NTT (PK, 27 April 2013). Yang menarik dari pemberitaan ini adalah, pertama, terdapat 279 caleg perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan NTT telah terlibat aktif dalam proses demokrasi dan siap menjadi aspirator dan artikulator rakyat NTT. Hemat saya, perempuan tidak sekadar menggenapi target 30%, melainkan berusaha menunjukkan kepada publik bahwa perempuan juga mempunyai kapasitas dan kapabilitas politik yang memadai. Ada 36 ibu rumah tangga (IRT) yang mendaftarkan diri sebagai bacaleg (PK, 10 Mei 2013). Terobosan positif inilah yang hemat saya mensyaratkan sebuah upaya atau gerakan “perempuan” untuk memilih caleg perempuan. Dengan demikian, langkah berikutnya, seperti pendidikan politik atau apapun namanya perlu dipikirkan mengingat pola perekrutannya pun berjalan mendadak dan sekedar memenuhi kuota administratif.

Hasrat Berkuasa

Kedua, mencuatnya bacaleg guru honor. Fenomena ini menyiratkan betapa guru-guru honor yang mengajar di sekolah swasta dan negeri selama ini masih “separuh hati”. Mereka memberi tidak maksimal. Momentum bacaleg bagi mereka boleh jadi menjadi semacam meja judi untuk sebuah eksperimen permainan baru. Kalau lolos ke caleg untung, dan kalau tidak lolos pun, menjadi guru honorer masih menjadi pilihan. Masih mendua. Pertanyaannya adalah mengapa banyak guru honorer kepincut mendaftarkan diri menjadi bacaleg? Apakah pengabdian mereka selama ini biasa-biasa saja?
Ketiga, didaftarkannya bacaleg sudah uzur (60–62) tahun. Bahkan, 90 pensiunan (PK, 10 Mei 2013). Uzur menurut KBBI, 2008: 1603) adalah (1) halangan (yang menyebabkan orang tidak dapat pergi, bekerja, dsb); (2) berhalangan; (3) lemah badan (karena tua); sakit-sakitan; berpenyakitan; dan (4) (sudah) sangat tua; rusak sekali. Konsep ini hendak mengingatkan kita bahwa masih “bertenagakah” para bacaleg ini untuk menghadapi tugas kelegislatifan yang berat dan menantang? Atau ada “hasrat” tersembunyi? Padahal, gedung dewan minimal dihuni oleh orang-orang yang kuat secara fisik, energik, memiliki vitalitas tinggi untuk menghasilkan pikiran-pikiran produktif, rajin bicara, tidak diam, bila perlu mapan secara ekonomi, dan selalu peka akan kehidupan di sekitarnya.
Keempat, fenomena bacaleg lompat pagar atau kutu loncat bacaleg dari satu partai ke partai lain. Lebih heboh lagi, para bacaleg menyodorkan dalil induktif sebagai pembuktian bahwa konstituen masih “mempercayai” mereka. Apakah ini bukan pengedepanan persoalan karena adanya hasrat atau dorongan untuk meyakinkan orang banyak dengan melandaskan argumentasi pada orang banyak yang mengartasnamai dan bersandar pada rakyat. Apalagi orang banyak tersebut berlaku seolah-olah menjadi bagian dari rakyat banyak. Sugesti intelektual inilah yang oleh Rocky Gerung, untuk prolognya dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas 2008, di bawah judul “Sastra dan perjumpaan politik”, menyebutnya sebagai politik “hasrat” atau politik “rasa lapar”(Smokol, 2008). Karena itu, apa yang sedang dikejar bacaleg-bacaleg ini, kalau bukan kekuasaan? Dan, upaya mengakarkan status quo, sambil mengabaikan proses kaderisasi karena merasa dirinya “lebih” menyalurkan aspirasi rakyat dan “didengar” daripada kader-kader yang lain. Saya pikir konstituen juga tahu, dan bisa menjawab masalah-masalah di atas.
Politik rasa lapar menurut Rocky Gerung ibarat jamuan pada sebuah meja makan, seorang “ahli masak” (gastronom) selalu berusaha meningkatkan keterampilan masaknya untuk mencapai kualitas seorang “bijak masak” (gastrosof). Ini berarti, paham masak-memasak perlu dikuasai secara baik, sebab hidangan yang tampak tidak sekadar teknis menggambarkan keahlian bahkan keterampilan gastronom semata, melainkan menghadirkan sisi kebijaksanaan cita rasa, layaknya seorang filsuf menyelidiki kebenaran, keadilan, dan keindahan untuk menemukan kebijaksanaan hidup. Misalnya, bahwa korupsi (hasrat pemenuhan rasa lapar pejabat publik), bukanlah sekadar kejahatan teknis (merugikan keuangan negara, seperti bunyi undang-undang), tetapi sebuah kejahatan etis (yaitu, menghina rasa keadilan rakyat, seperti bunyi akal sehat publik (Smokol, 2008: xv). Oleh karena itu, banyak kader partai, termasuk yang sedang anggota DPR/D, cukup beralasan untuk tidak dicalonkan kembali, bila keberadaan mereka selama ini tidak berkontribusi terhadap rakyat banyak, termasuk konstituennya. Berjuang untuk kepentingan sendiri, malas masuk gedung dewan, atau alasan-alasan lain. Argumentasi dasar seperti inilah yang menurut saya membuat kader partai terpental dan memilih lompat pagar ke partai lain.

Kekuasaan Cenderung Korup

Kesan dari fenomena pengajuan bacaleg di atas bahwa ketika ada politik “hasrat” atau politik “rasa lapar” masih mencengkeram kuat dalam benak setiap bacaleg kabupaten/kota dan Provinsi NTT, maka yang terpikirkan adalah tempat, kedudukan, atau kekuasaan. Kalau ini benar, maka aforisme diplomat keliling Henry Kissinger tentang, “Kekuasaan adalah perangsang nafsu yang paling hebat” patut diwaspadai, sehingga kita tidak sedang membangun dan menghasilkan pemimpin yang korup sebagaimana tulis sejarahwan liberal Lord Acton, “Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut benar-benar membuat pemimpin korup.” (Rahasia Kehidupan Seks Para Diktator Besar, Nigel Cawthorne, 2007: xi). Pada aras yang sama, semakin lama seorang pemimpin berkuasa, besar pula kemungkinan untuk semakin menjadi pemimpin yang tidak berpihak kepada rakyat. Dan, itulah yang tidak diinginkan rakyat. (*)




[1] Artikel opini ini pernah dimuat dalam HU Flores Pos, 22 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar