Belakangan ini publik NTT dan Indonesia, disuguhkan
berita tentang pendaftaran bakal calon legislatif (bacaleg) pemilu 2014 ke
KPU/KPUD, selanjutnya untuk diverivikasi sebelum penetapan daftar calon tetap.
Untuk NTT saja, telah terdaftar 555.336 bacaleg memperebutkan 65 kursi empuk
DPRD I NTT (PK, 27 April 2013). Yang menarik dari pemberitaan ini
adalah, pertama, terdapat 279 caleg perempuan. Ini menunjukkan bahwa
perempuan NTT telah terlibat aktif dalam proses demokrasi dan siap menjadi
aspirator dan artikulator rakyat NTT. Hemat saya, perempuan tidak sekadar
menggenapi target 30%, melainkan berusaha menunjukkan kepada publik bahwa
perempuan juga mempunyai kapasitas dan kapabilitas politik yang memadai. Ada 36
ibu rumah tangga (IRT) yang mendaftarkan diri sebagai bacaleg (PK, 10 Mei
2013). Terobosan positif inilah yang hemat saya mensyaratkan sebuah upaya
atau gerakan “perempuan” untuk memilih caleg perempuan. Dengan demikian,
langkah berikutnya, seperti pendidikan politik atau apapun namanya perlu
dipikirkan mengingat pola perekrutannya pun berjalan mendadak dan sekedar memenuhi
kuota administratif.
Hasrat Berkuasa
Kedua,
mencuatnya bacaleg guru honor. Fenomena ini menyiratkan betapa guru-guru honor
yang mengajar di sekolah swasta dan negeri selama ini masih “separuh hati”. Mereka
memberi tidak maksimal. Momentum bacaleg bagi mereka boleh jadi menjadi semacam
meja judi untuk sebuah eksperimen permainan baru. Kalau lolos ke caleg untung,
dan kalau tidak lolos pun, menjadi guru honorer masih menjadi pilihan. Masih
mendua. Pertanyaannya adalah mengapa banyak guru honorer kepincut mendaftarkan
diri menjadi bacaleg? Apakah pengabdian mereka selama ini biasa-biasa saja?
Ketiga,
didaftarkannya bacaleg sudah uzur (60–62) tahun. Bahkan, 90 pensiunan (PK,
10 Mei 2013). Uzur menurut KBBI, 2008: 1603) adalah (1) halangan
(yang menyebabkan orang tidak dapat pergi, bekerja, dsb); (2) berhalangan;
(3) lemah badan (karena tua); sakit-sakitan; berpenyakitan; dan (4) (sudah)
sangat tua; rusak sekali. Konsep ini hendak mengingatkan kita bahwa masih “bertenagakah”
para bacaleg ini untuk menghadapi tugas kelegislatifan yang berat dan menantang?
Atau ada “hasrat” tersembunyi? Padahal, gedung dewan minimal dihuni oleh
orang-orang yang kuat secara fisik, energik, memiliki vitalitas tinggi untuk
menghasilkan pikiran-pikiran produktif, rajin bicara, tidak diam, bila perlu
mapan secara ekonomi, dan selalu peka akan kehidupan di sekitarnya.
Keempat, fenomena
bacaleg lompat pagar atau kutu loncat bacaleg dari satu partai ke partai lain.
Lebih heboh lagi, para bacaleg menyodorkan dalil induktif sebagai pembuktian bahwa
konstituen masih “mempercayai” mereka. Apakah ini bukan pengedepanan persoalan
karena adanya hasrat atau dorongan untuk meyakinkan orang banyak dengan
melandaskan argumentasi pada orang banyak yang mengartasnamai dan bersandar
pada rakyat. Apalagi orang banyak tersebut berlaku seolah-olah menjadi bagian
dari rakyat banyak. Sugesti intelektual inilah yang oleh Rocky Gerung, untuk
prolognya dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas 2008, di bawah judul “Sastra
dan perjumpaan politik”, menyebutnya sebagai politik “hasrat” atau politik “rasa
lapar”(Smokol, 2008). Karena itu, apa yang sedang dikejar
bacaleg-bacaleg ini, kalau bukan kekuasaan? Dan, upaya mengakarkan status
quo, sambil mengabaikan proses kaderisasi karena merasa dirinya “lebih” menyalurkan
aspirasi rakyat dan “didengar” daripada kader-kader yang lain. Saya pikir
konstituen juga tahu, dan bisa menjawab masalah-masalah di atas.
Politik rasa lapar menurut Rocky Gerung ibarat jamuan
pada sebuah meja makan, seorang “ahli masak” (gastronom) selalu berusaha
meningkatkan keterampilan masaknya untuk mencapai kualitas seorang “bijak
masak” (gastrosof). Ini berarti, paham masak-memasak perlu dikuasai
secara baik, sebab hidangan yang tampak tidak sekadar teknis menggambarkan
keahlian bahkan keterampilan gastronom semata, melainkan menghadirkan
sisi kebijaksanaan cita rasa, layaknya seorang filsuf menyelidiki kebenaran,
keadilan, dan keindahan untuk menemukan kebijaksanaan hidup. Misalnya, bahwa
korupsi (hasrat pemenuhan rasa lapar pejabat publik), bukanlah sekadar
kejahatan teknis (merugikan keuangan negara, seperti bunyi undang-undang),
tetapi sebuah kejahatan etis (yaitu, menghina rasa keadilan rakyat, seperti
bunyi akal sehat publik (Smokol, 2008: xv). Oleh karena itu, banyak
kader partai, termasuk yang sedang anggota DPR/D, cukup beralasan untuk tidak dicalonkan
kembali, bila keberadaan mereka selama ini tidak berkontribusi terhadap rakyat
banyak, termasuk konstituennya. Berjuang untuk kepentingan sendiri, malas masuk
gedung dewan, atau alasan-alasan lain. Argumentasi dasar seperti inilah yang menurut
saya membuat kader partai terpental dan memilih lompat pagar ke partai lain.
Kekuasaan Cenderung Korup
Kesan dari fenomena pengajuan bacaleg di atas bahwa
ketika ada politik “hasrat” atau politik “rasa lapar” masih mencengkeram kuat
dalam benak setiap bacaleg kabupaten/kota dan Provinsi NTT, maka yang
terpikirkan adalah tempat, kedudukan, atau kekuasaan. Kalau ini benar, maka aforisme
diplomat keliling Henry Kissinger tentang, “Kekuasaan adalah perangsang nafsu yang
paling hebat” patut diwaspadai, sehingga kita tidak sedang membangun dan
menghasilkan pemimpin yang korup sebagaimana tulis sejarahwan liberal Lord
Acton, “Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut benar-benar membuat
pemimpin korup.” (Rahasia Kehidupan Seks Para Diktator Besar, Nigel Cawthorne,
2007: xi). Pada aras yang sama, semakin lama seorang pemimpin berkuasa, besar
pula kemungkinan untuk semakin menjadi pemimpin yang tidak berpihak kepada
rakyat. Dan, itulah yang tidak diinginkan rakyat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar