Halaman

Senin, 06 November 2017

BOS dan Kegelisahan Pendidikan Kita



Dari Kabupaten Sikka diturunkan berita, Kepala SDK Hikong dilaporkan tilep dana BOS (FP 26/4/2006). Kemudian dari Manggarai dilaporkan penyimpangan dana BOS dari dana komite di SMPN 2 Pocoranaka (FP 25/4/2006). Permenungan ini berawal dari “kegelisahan” ketika menyimak berita di media massa terkait penyimpangan dan tidak tranparansinya pengelolaan dana BOS di sekolah-sekolah. Haruslah diakui bahwa banyak fenomena penyimpangan seperti ini, hanya saja tidak sempat direkam atau luput dari pemberitaan media massa.
Semenjak kenaikan harga BBM tanggal 1 Maret 2005, pemerintah mengalihkan sebagian subsidi BBM untuk membiayai sektor pendidikan, sektor yang diakui sangat urgen pada Negara kita. Kepada sekolah-sekolah, dana subsidi diberikan melalui Program Kompensansi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyakk (PKPSBBM) dalam model BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Tentu ini sebuah langkah bijak, ketika aspek ini didera berbagai persoalan rumit dan pelik. Sebuah kegelisahan yang tidak pernah bertepi dihêmpas gelombang permasalahan di republik ini. Akibatnya, pendidikan kita dirasakan seperti sebuah beban berat. Sindhunata lalu menyebutnya sebagai “Kegelisahan Sepanjang Zaman”. Dana triliunan rupiah pun diplot untuk lembaga-lembaga formal kita dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas. Persoalannya, seberapa besar efektivitas penggunaan dana tersebut untuk kemajuan dari pengangkatan sektor ini adalah masalah besar yang mesti kita hadapi secara bersama.
 Pendasaran di atas penting dan beralasan karena aspek pendidikan menjadi salah satu tugas negara yang terpenting. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia yang istimewa. Manusia Indonesia tentu tidak ingin tercerabut dari akar kebutuhan pokoknya untuk mengembangkan hidupnya lebih bermutu dan berdaya guna. Pendidikan merupakan pengejawantahan demokrasi. Karenä dari padanya setiap orang akan masuk ke gerbang kemerdekaan untuk menyingkirkan keterbelakangan, kebodohan, pesimisme demi menggapai persamaan. yang diharapkan bahwa out put generasi kita adalah generasi yang memiliki integritas yang tinggi, unggul serta memiliki budaya sangat tinggi  (kompetitif).
Negara mempunyai tugas dan peran yang sangat penting untuk mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Kebijakan dana BOS sesungguhnya adalah tindak lanjut dari tugas dari tanggung jawab pemerintah yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 (1). Dijelaskan ketika kenyataan faktual menunjukkan angka drop out kita yang tinggi. Di Kabupaten Ngada, misalnya, tahun 2005 tercatat angka drop out cukup besar, yakni 1.197 anak. SD! INI adalah 306 anak, SMP INITs 537 anak, dari SMA/SMKINIA sebanyak 354 anak. Penyebab utamanya adalah masalah ekonomi keluarga (FP, 6/3/ 2006).
Bahwa pendidikan merupakan aspek fundamental belum secara merata dialami oleh seluruh warga negara ini. Ada sekian banyak sesama Saudara kita yang rela tinggal di rumah karena ketidakberdayaan dana. Ada sesama bangsa ini yang secara potensial mempunyai kemampuan intelektual yang memadai tetapi tidak dapat bersekolah karena biaya pendidikan mahal. Atau lembaga-lembaga pendidikan formal kita kian dikemas menjadi sangat ekslusif dan menjauh dari masyarakat. Ada sekian banyak pemilik bangsa ini yang nasibnya telah diredusir dan hanya mampu jual-jualan di pinggir jalan kemudian menghabiskan waktunya untuk duduk di deker tanpa tujuan yang jelas. Masih ada anak negeri ini yang oleh faktor finansial terpaksa frustasi akhirnya terlibat dalam kubangan narkotika dan kekerasan sosial lainnya. Juga ratap tangis sebagian generasi kita yang terpaksa pulang ketika sekolah semakin didesain secara elite yang akhirnya bermuara pada disparitas prioritas pendidikan dalam masyarakat kita. Masih juga ada desah nafas lepas dari bibir-bibir estafet zamrud khatulistiwa, saat menyaksikan bagaimana pemerintah tidak konsisten dan setengah hati merealisasikan ucapan dan komitmen mereka. Menjadi semakin ruwet, ketika dana BOS yang sudah kecil dan notabene adalah dana kompensasi ditilep dan “dimakan” oleh pengelola lapangan. Sebeginikah komitmen kita untuk mengentaskan pendidikan menuju citra pendidikan kita yang merata, unggul, berkualitas dan kompetitif?
Secara empiris, tujuan pendidikan ini tidak realistis dengan kondisi faktual kita sekarang. Kalau boleh jujur, tujuan ini masih sebatas utopia, ketika fenomena di sekitar aspek yang disebut sebagai lokomotif pembangunan tersebut masih belum memuaskan. Tuaian tahunan kita masih dikeluhkan rendah. Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pendidikan tidak pemah diposisikan sebagai proses rekayasa pembudayaan manusia. Pendidikan sebagai paideia (Yun), dengan tujuan agar manusia benar-benar dibebaskan dari ketidakmatangan, kebodohan untuk menjadi seorang yang berbudaya dan memiliki humanitas yang matang secara intelek maupun kultural, sehingga turut terlibat secara optimal dalam kehidupan sosial budaya masyarakat.
Kedua, pelaku kebijakan pendidikan termotivasi oleh perilaku dari pemerintah yang semi militer cenderung bekerja berdasarkan komando. Oleh sebab itu, pendidikan lebih diarahkan pada kemenangan politik pragmatis untuk menggapai tujuan-tujuan terselubung, sehingga kita terdepak dalam siklus target-targetan dalam penentuan kualitas pendidikan.
Gejala “makan’ uang, tilep, tidak tepat sasaran dan tidak transparansinya pengelolaan, seperti beberapa contoh kasus di sekitar kita adalah warna dasar kegelisahan kita. Bukti kita enggan maju, beranjak dari situasi kita yang sekarang menuju pendidikan yang bebas dan mencerdaskan. Terkait dengan penyimpangan dana BOS dimana-mana, beberapa saran berikut perlu diperhatikan. Pertama, perlu dilakukan sosialisasi secara transparansi kepada para guru, juga masyarakat tentang kekuatan dana, termasuk siapa-siapa (siswa) yang pantas menerima dana tersebut. Artinya, dana tersebut benar-benar dana kompensasi bagi masyarakat untuk meringankan beban rakyat kecil dalam mengenyam pendidikan. Hal ini penting karena sejarah negeri kepulauan ini telah menunjukkan bahwa birokrasi yang ditugaskan untuk menata sistem pelayanan publik secara baik justru kadang bersikap arogan dan berbelit-belit kepada rakyat yang harus dilayani. Demikian sosialisasi perlu dijalankan secara sistematika, terstruktur dan teratur.
Kedua, komite sekolah sedapatnya memberikan kontrol yang intensif terhadap dana yang ada untuk mencegah penyalahgunaan dan  penyimpangan. Ini adalah tindak lanjut komite sebagai lembaga kontrol yang mendudukkan posisinyaa sebagai lembaga yang netral. Ketiga, dewan guru juga secara kelembagaan perlu menempatkan dirinya secara aktif untuk memantau secara bersama-sama atau melakukan pengawasan yang ketat terdahap penggunaan dana demi kemajuan dan pengembangan sekolah. Keempat, kalangan LSM yang menaruh perhatian besar terhadap sektor pendidikan agar mengambil bagian dalam proses ini. Tentu tujuannya untuk perbaikan kualitas dan pemerataan kesempatan belajar bagi masyarakat kita.
Dalam tataran mikro, bersediakah kita mengurangi kebiasaan-kebjasaan di sekitar kita yang dibaca sebagai investasi yang tak jelas sasarannya, Pesta dan kegiatan-kegiatan yang bersifat hiburan lainnya? Juga mampukah kita melepaskan kebiasaan-kebiasaan lain untuk mendahulukan pendidikan anak-anak kita, mabuk-mäbukan, judi serta selera lain yang egoistis?
Atas pelbagal ketimpangan sosial (korupsi, penyalahgunaan jabatan, dll.), maka dalam epiliog tulisan ini, izinkan saya mengutip sebuah sajak yang diterbitkan oleh S.G. Stop No. 163 September 1973 di bawah judul, Aku Ingin Tanya. /Siapa yang paling banyak dosa/pelacur/ garong/koruptor/atau aku/. Mari kita berrefleksi sembari mengintrospeksi diri sambil merenda jawaban bersama penyanyi kondang kita Ebiet G. Ade dalam kuplet lagu berikut: Barangkali di sana ada jawabnya/mengapa di tanahku terjadi bencana/mungkin Tuhan mulai bosan/melihat tingkah kita/yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa/atau alain mulai enggan/bersahabat dengan kita/coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.*





[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 8 Juni 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar