Dari Kabupaten Sikka diturunkan
berita, Kepala SDK Hikong dilaporkan tilep dana BOS (FP 26/4/2006). Kemudian
dari Manggarai dilaporkan penyimpangan dana BOS dari dana komite di SMPN 2
Pocoranaka (FP 25/4/2006). Permenungan ini berawal dari “kegelisahan” ketika
menyimak berita di media massa terkait penyimpangan dan tidak tranparansinya
pengelolaan dana BOS di sekolah-sekolah. Haruslah diakui bahwa banyak fenomena
penyimpangan seperti ini, hanya saja tidak sempat direkam atau luput dari
pemberitaan media massa.
Semenjak kenaikan harga BBM tanggal
1 Maret 2005, pemerintah mengalihkan sebagian subsidi BBM untuk membiayai
sektor pendidikan, sektor yang diakui sangat urgen pada Negara kita. Kepada
sekolah-sekolah, dana subsidi diberikan melalui Program Kompensansi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyakk (PKPSBBM) dalam model BOS (Bantuan Operasional
Sekolah). Tentu ini sebuah langkah bijak, ketika aspek ini didera berbagai
persoalan rumit dan pelik. Sebuah kegelisahan yang tidak pernah bertepi
dihêmpas gelombang permasalahan di republik ini. Akibatnya, pendidikan kita
dirasakan seperti sebuah beban berat. Sindhunata lalu menyebutnya sebagai “Kegelisahan Sepanjang Zaman”. Dana
triliunan rupiah pun diplot untuk lembaga-lembaga formal kita dari sekolah
dasar hingga sekolah lanjutan atas. Persoalannya, seberapa besar efektivitas
penggunaan dana tersebut untuk kemajuan dari pengangkatan sektor ini adalah
masalah besar yang mesti kita hadapi secara bersama.
Pendasaran di atas penting dan beralasan
karena aspek pendidikan menjadi salah satu tugas negara yang terpenting.
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia yang istimewa. Manusia Indonesia
tentu tidak ingin tercerabut dari akar kebutuhan pokoknya untuk mengembangkan
hidupnya lebih bermutu dan berdaya guna. Pendidikan merupakan pengejawantahan
demokrasi. Karenä dari padanya setiap orang akan masuk ke gerbang kemerdekaan
untuk menyingkirkan keterbelakangan, kebodohan, pesimisme demi menggapai
persamaan. yang diharapkan bahwa out put
generasi kita adalah generasi yang memiliki integritas yang tinggi, unggul
serta memiliki budaya sangat tinggi (kompetitif).
Negara mempunyai tugas dan peran
yang sangat penting untuk mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Kebijakan dana
BOS sesungguhnya adalah tindak lanjut dari tugas dari tanggung jawab pemerintah
yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 (1). Dijelaskan ketika kenyataan faktual
menunjukkan angka drop out kita yang
tinggi. Di Kabupaten Ngada, misalnya, tahun 2005 tercatat angka drop out cukup
besar, yakni 1.197 anak. SD! INI adalah 306 anak, SMP INITs 537 anak, dari
SMA/SMKINIA sebanyak 354 anak. Penyebab utamanya adalah masalah ekonomi
keluarga (FP, 6/3/ 2006).
Bahwa pendidikan merupakan aspek
fundamental belum secara merata dialami oleh seluruh warga negara ini. Ada
sekian banyak sesama Saudara kita yang rela tinggal di rumah karena
ketidakberdayaan dana. Ada sesama bangsa ini yang secara potensial mempunyai
kemampuan intelektual yang memadai tetapi tidak dapat bersekolah karena biaya
pendidikan mahal. Atau lembaga-lembaga pendidikan formal kita kian dikemas
menjadi sangat ekslusif dan menjauh dari masyarakat. Ada sekian banyak pemilik
bangsa ini yang nasibnya telah diredusir dan hanya mampu jual-jualan di pinggir
jalan kemudian menghabiskan waktunya untuk duduk di deker tanpa tujuan yang
jelas. Masih ada anak negeri ini yang oleh faktor finansial terpaksa frustasi
akhirnya terlibat dalam kubangan narkotika dan kekerasan sosial lainnya. Juga
ratap tangis sebagian generasi kita yang terpaksa pulang ketika sekolah semakin
didesain secara elite yang akhirnya bermuara pada disparitas prioritas
pendidikan dalam masyarakat kita. Masih juga ada desah nafas lepas dari
bibir-bibir estafet zamrud khatulistiwa,
saat menyaksikan bagaimana pemerintah tidak konsisten dan setengah hati
merealisasikan ucapan dan komitmen mereka. Menjadi semakin ruwet, ketika dana
BOS yang sudah kecil dan notabene adalah
dana kompensasi ditilep dan “dimakan” oleh pengelola lapangan. Sebeginikah
komitmen kita untuk mengentaskan pendidikan menuju citra pendidikan kita yang
merata, unggul, berkualitas dan kompetitif?
Secara empiris, tujuan pendidikan
ini tidak realistis dengan kondisi faktual kita sekarang. Kalau boleh jujur,
tujuan ini masih sebatas utopia,
ketika fenomena di sekitar aspek yang disebut sebagai lokomotif pembangunan
tersebut masih belum memuaskan. Tuaian tahunan kita masih dikeluhkan rendah.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
pendidikan tidak pemah diposisikan sebagai proses rekayasa pembudayaan manusia.
Pendidikan sebagai paideia (Yun),
dengan tujuan agar manusia benar-benar dibebaskan dari ketidakmatangan,
kebodohan untuk menjadi seorang yang berbudaya dan memiliki humanitas yang
matang secara intelek maupun kultural, sehingga turut terlibat secara optimal
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat.
Kedua, pelaku kebijakan pendidikan
termotivasi oleh perilaku dari pemerintah yang semi militer cenderung bekerja
berdasarkan komando. Oleh sebab itu, pendidikan lebih diarahkan pada kemenangan
politik pragmatis untuk menggapai tujuan-tujuan terselubung, sehingga kita
terdepak dalam siklus target-targetan dalam penentuan kualitas pendidikan.
Gejala “makan’ uang, tilep, tidak
tepat sasaran dan tidak transparansinya pengelolaan, seperti beberapa contoh kasus
di sekitar kita adalah warna dasar kegelisahan kita. Bukti kita enggan maju,
beranjak dari situasi kita yang sekarang menuju pendidikan yang bebas dan
mencerdaskan. Terkait dengan penyimpangan dana BOS dimana-mana, beberapa saran berikut
perlu diperhatikan. Pertama, perlu
dilakukan sosialisasi secara transparansi kepada para guru, juga masyarakat
tentang kekuatan dana, termasuk siapa-siapa (siswa) yang pantas menerima dana
tersebut. Artinya, dana tersebut benar-benar dana kompensasi bagi masyarakat
untuk meringankan beban rakyat kecil dalam mengenyam pendidikan. Hal ini
penting karena sejarah negeri kepulauan ini telah menunjukkan bahwa birokrasi
yang ditugaskan untuk menata sistem pelayanan publik secara baik justru kadang
bersikap arogan dan berbelit-belit kepada rakyat yang harus dilayani. Demikian
sosialisasi perlu dijalankan secara sistematika, terstruktur dan teratur.
Kedua, komite sekolah sedapatnya
memberikan kontrol yang intensif terhadap dana yang ada untuk mencegah
penyalahgunaan dan penyimpangan. Ini
adalah tindak lanjut komite sebagai lembaga kontrol yang mendudukkan posisinyaa
sebagai lembaga yang netral. Ketiga,
dewan guru juga secara kelembagaan perlu menempatkan dirinya secara aktif untuk
memantau secara bersama-sama atau melakukan pengawasan yang ketat terdahap
penggunaan dana demi kemajuan dan pengembangan sekolah. Keempat, kalangan LSM yang menaruh perhatian besar terhadap sektor
pendidikan agar mengambil bagian dalam proses ini. Tentu tujuannya untuk
perbaikan kualitas dan pemerataan kesempatan belajar bagi masyarakat kita.
Dalam tataran mikro, bersediakah
kita mengurangi kebiasaan-kebjasaan di sekitar kita yang dibaca sebagai
investasi yang tak jelas sasarannya, Pesta dan kegiatan-kegiatan yang bersifat
hiburan lainnya? Juga mampukah kita melepaskan kebiasaan-kebiasaan lain untuk
mendahulukan pendidikan anak-anak kita, mabuk-mäbukan, judi serta selera lain yang
egoistis?
Atas pelbagal ketimpangan sosial
(korupsi, penyalahgunaan jabatan, dll.), maka dalam epiliog tulisan ini,
izinkan saya mengutip sebuah sajak yang diterbitkan oleh S.G. Stop No. 163
September 1973 di bawah judul, Aku Ingin Tanya. /Siapa yang paling banyak dosa/pelacur/
garong/koruptor/atau aku/. Mari kita berrefleksi sembari mengintrospeksi
diri sambil merenda jawaban bersama penyanyi kondang kita Ebiet G. Ade dalam
kuplet lagu berikut: Barangkali di sana
ada jawabnya/mengapa di tanahku terjadi bencana/mungkin Tuhan mulai
bosan/melihat tingkah kita/yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa/atau
alain mulai enggan/bersahabat dengan kita/coba kita bertanya pada rumput yang
bergoyang.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar