Fabregas. Francesc Fabregas Soler. Pria 25 tahun yang
lahir pada 4 Mei 1987, dengan tinggi badan 179 cm, berkebangsaan Spanyol,
tampil “luar biasa” ketika laga semifinal Euro 2012, Kamis, 28 Juni 2012,
mempertemukan Spanyol dengan Portugal. Pada saat laga tersebut harus ditentukan
melalui adu pinalti 12 pas, mulut Fabregas komat-kamit saat berjalan sembari
memegang bola menuju titik putih. Apakah ia sedang mengucapkan doa atau mantra
sebelum eksekusi pinalti? Ternyata tidak. Pemain Timnas Spanyol ini mengaku
saat itu dirinya sedang bicara dengan bola. “Aku bilang pada bola itu, kita
harus membuat sejarah dan jangan bikin aku kecewa” (Pos Kupang, 29 Juni
2012). Permintaan Fabregas dikabulkan sang bola. Setelah sempat membentur
tiang bawah, bola kemudian menggelinding masuk ke dalam gawang Rui Patricio,
penjaga gawang Portugal. Fabregas, akhirnya menjadi penentu kemenangan saat Espana Spanyol
unggul 4–2 atas Portugal pada drama adu pinalti di Donboss Arena, Donetsk
Ukraina, pada laga semifinal Euro 2012, Kamis, 28 Juni 2012. Si jenius Fabregas
pulalah yang berhasil memberikan asist kepada David Silva untuk menceploskan
bola ke gawang Buffon, pada laga final Euro 2012, mempertemukan Timnas negeri
Matador Spanyol vs Nerazuri Italia. Fabregas,Cs, akhirnya menjadi jawara Euro
2012, setelah empat tahun silam menjuarai pesta bola di Benua Biru itu.
Komat-kamit Sang gelandang serang visioner negeri Matador
di atas semakin mengabsahkan tesis bahwa bahasa merupakan sebuah organisme yang
hidup, berkecambah, menjalar, dan menalari kehidupan manusia. Bagi saya, inilah
fenomena bahasa bola. Bahwa bola, tidak sekadar fenomena fisik yang menuntut skill,
kepiawaian dan ketepatan pemain untuk menahan dan menggulir dari satu sisi lapangan
ke sisi lapangan yang lain. Dari tengah lapangan menjangkau pojok yang lain,
melainkan telah menghadirkan intensi, doa, dan permohonan pemain dan kesatuan tim yang
dibela. Inilah faktor “X”, ekstralinguistik bahasa bola yang telah memainkan peran
penting dan menempati posisi sentral dalam peziarahan manusia.
Bahasa Bola
Komat-kamit Fabregas mengemban fungsi dan nilai
komunikatif. Fungsi ini memandang “bola” sebagai teman bicaranya. Bahasa
sebagai sarana komunikasi, simbol kehadiran dan kehidupan sosial. Komunikasi
merupakan fungsi utama bahasa. Bahasa pulalah yang membuat orang dapat
berkata-kata. Karena kata mampu menempatkan dua pribadi dalam komunikasi,
menciptakan relasi timbal balik, dalam satu waktu yang sama. Inilah pribadi manusia yang terrepresentasi lewat Fabregas, untuk mengungkapkan
secara tuntas maksud dan kehendaknya
melalui bahasa.
Kita percaya bahwa komat-kamit Fabregas di atas
menghadirkan sebuah kekuatan
verbalistik, kekuatan kata. Dalam konstelasi sosial yang lebih universal, bahasa menjadi instrumen
bagi pelaku sosial untuk dapat bersosialisasi dengan pelaku sosial lain. Bahasa
menjadi medan transaksi perwujudan praktik sosial dalam membangun sebuah
interaksi aktif antara struktur sosial yang objektif dengan sistem linguistik
yang dimiliki pelaku sosial. Sebagai praktik sosial, praktik bahasa tidak
berdiri sendiri, melainkan berada dalam suatu kohesi sosial yang mempersatukan
dan merupakan milik kolektivitas masyarakat.
Fabregas telah menguak
sisi lain bahasa, yakni sisi pragmatik. Pragmatik menukik pada intension (maksud),
terutama tentang tata berbicara, tata berpakaian, tata makan, tata budaya.
Dengan demikian, pragmatik mengkaji makna yang tersembunyi atau tersirat
dibalik teks. Pada sisi kegenapan
kuantitas komunikasi, ada sesuatu yang lain yang tidak terucap tuntas dalam
satu pesan yang sama. Dari sisi kualitasnya pun, kegenapan maksud tak selamanya
representatif pada deretan kata atau kalimat yang sterucap. Demi menjaga keseimbangan antara intensi
kuantitas dan intensi kualitas, maka Paul Grice (Cumings,
2007), menyarankan untuk
memasukkan maksim hubungan, teori
relevansi. Maksim relevansi ini telah menjadi pokok persoalan dan telah mampu mengungkap dua rahasia besar.
Prinsip Q dalam Pragmatik
Yang pertama usaha yang dilakukan
Horn (1984); yang lain dilakukan oleh Sperber dan Wilson (Cumings, 2007: 159).
Horn mempostulatkan dua prinsip yakni Q-principle (‘Q' untuk ‘kuantitas’), memberitahu kita untuk mengatakan
sebanyak yang dapat kita katakan; dan R-principle (‘R' untuk ‘relasi’
atau hubungan), yang mengatakan bahwa kita harus ‘berkata tidak lebih dari yang
harus kita katakan.’ Menurut Sperber
dan Wilson, pragmatik memerlukan hanya satu prinsip saja, yakni
prinsip relevansi, yang berbunyi bahwa setiap ujaran menciptakan
harapan relevansi dalam diri orang yang diajak bicara (addressee).
Relevansi
memiliki keterkaitan dengan komponen kognitif maupun komunikasi. Komponen
kognisi memungkinkan untuk pembentukan hipotesis dan konfirmasi hipotesis,
sedangkan komponen komunikasi
memungkinkan partisipan menyusun kontribusi sendiri dan
menginterpretasikan kontribusi orang lain.
Asumsi yang mendasari teori relevansi–yakni, dalam suatu konteks tertentu, kita
harus berasumsi bahwa apa yang dikatakan orang-orang adalah relevan. Prinsip
relevansi Sperber dan Wilson jauh lebih eksplisit daripada prinsip
kooperatif dan maksim-maksim yang diajukan Grice. Yang pasti bahwa komunikasi membutuhkan mitra tutur.
Ada relasi, hubungan timbal balik. Fabregas telah membuktikan itu, sekalipun
dengan bola.
Dalam pada itu, bahasa tetaplah menjadi alat rekam vital
dan menjadi media penghubung representatif antara aspek kehidupan yang satu
dengan aspek kehidupan yang lain. Di sanalah ada penghargaan, juga ruang
keterbukaan untuk mengekspresikan pemikiran yang jernih dalam berbahasa secara
apa adanya. Fabregas pun percaya,
dengan komat-kamitnya yang sedikit itu, telah mampu menoreh sejarah.
Sebagaimana intensi, doa, dan permohonan yang disampaikannya. Dan, sejarah itu
telah menjadi fakta sejarah. Menjadi tontonan jutaan pasang mata maniak bola
seantero jagad. Fabregas, cs pun telah “bale nagi” membawa dan menggelindingkan
bola sejarah, bahwa lewat “bahasa bola”Fabregas, negeri matador Espana Spanyol
mampu merengkuh takhta tertinggi Euro 2012. Itulah bahasa bola.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar