Setiap tahun, tanggal 2 Mei dirayakan bangsa ini sebagai
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Berbagai macam cara perayaan dilakukan
warga bangsa, terutama sivitas pendidikan untuk memberi perhatian akan
pentingnya pendidikan dalam sejarah peradaban bangsa. Ada penyelenggaraan
beraneka lomba, mulai dari lomba untuk sekedar hiburan hingga lomba yang
memiliki semangat dan nilai edukatif membangun dan mengembangkan kecerdasan.
Penetapan tanggal ini tak pernah lepas dari sosok seorang tokoh pendidikan Ki
Hajar Dewantoro. Ia mulai meratas
dan meretas pendidikan untuk kaum pribumi melalui pendirian Taman Siswa. Mengalami
peristiwa pembuangan ke negeri Belanda justru melahirkan cakrawala pemikiran
baru tentang bagaimana membuat kaum pribumi keluar dari kerangkeng pendidikan. Sebuah
lompatan pemikiran jauh ke depan telah “membuih” di puncak kesadaran seorang Dewantoro
agar anak bangsa yang lahir dan hidup dirahim Pertiwi ini suatu kelak dapat menghirup
udara segar kecerdasan.
Sebagai sebuah “Taman”, sekolah mesti menjadi media tanam
tempat persemaian berbagai karakter dan kecerdasan anak untuk mencapai
kematangan tertentu. Media yang senantiasa menghargai aneka karakter dan
kecerdasan itu. Media yang terus membenihkan aneka pembelajaran yang
menyenangkan. Jauh dari benih dan perilaku kekerasan. Dengan demikian, sekolah
menjadi “taman siswa” sebagaimana yang diidealkan oleh sosok Dewantora.
Melalui filsafat Bunga Teratai, Dewantoro meletakkan
tiga sikap atau prinsip dasar seorang pemimpin pendidikan. Ing ngarso
sung tulodo, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.
Sikap-sikap pendidikan ini secara implisit seaspirasi dengan apa yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, juga dalam UU
No.30/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain sebagai pendidik, guru
adalah pengajar yang nota bene adalah pemimpin pendidikan. Makna prinsip di
depan pemimpin harus memberikan contoh/teladan yang baik (ing ngarso sung tulodo), di
tengah pemimpin selalu membangkitkan semangat (ing madya mangun karso), dan dari belakang pemimpin selalu memberikan dorongan (tut wuri handayani).
Dalam pemahaman yang lain, Ki Hajar Dewantoro menampilkan
corak dan karakter kepemimpinan ideal dalam bidang
pendidikan. Ia tampil sebagai pemimpin pendidikan yang “tahan banting” di
tengah gempuran senjata kaum kolonial. Keterhimpitan menggagas pandangan akibat
presure penjajah. Pengasingan ke Hindia Belanda baginya menjadi “terali keleluasaan”
mendesain sebuah strategi pemberdayaan dan pencerdasan bangsa. Hemat saya,
perjuangan pemikiran dan tindakan mendirikan “Taman Siswa” telah dengan terang
menyampaikan kepada kita bahwa Dewantoro adalah seorang pemimpin pendidikan
yang ulet, dan tak lelah berpikir, serta terus berkarya mencapai pemimpin yang
berkualitas.
Dalam konteks
kekinian, Tampubolon
(2005) menyebutkan lima
syarat menjadi pemimpin pendidikan yang berkualitas. Syarat-syarat ini menjadi bagian dari permenungan kita untuk menjadikan aspek pendidikan sebagai idola,
karena kita terpilih menjadi pemimpin pendidikan, pemimpin masa depan bangsa, yang
tentunya punya ikhtiar yang sama membangun pendidikan Indonesia yang bermutu. Pemimpin
pendidikan di taman pendidikan, taman keanekaragaman karakter, keanekaragaman
cara pikir, cara bertindak, dan cara berkarya.
Pertama, visioner. Pemimpin pendidikan perlu merumuskan dan menjalankan
secara konsisten visi, misi, dan nilai dasar
(prinsip) yang menjadi pedoman dalam mencapai tujuan. Paling penting dalam visi,
misi, dan prinsip dasar tersebut perlu disosialisasikan kepada seluruh sumber daya manusia pada lembaga pendidikan tersebut
agar semua memahami dan menjadikannya sebagai pedoman pelaksanaan semua tugas. Kedua, integritas. Pemimpin pendidikan hendaknya mempunyai integritas,
baik dalam tataran kepribadian, keluarga,
masyarakat juga dalam profesi keilmuan, moralitas dan hukum. Oleh karena itu,
pemimpin pendidikan yang bermutu akan selalu tampil berwibawa dan penuh keteladanan. Ketiga, pemersatu. Pemimpin pendidikan mestinya menjadi pemersatu berbagai keberagaman perilaku dan kepribadian segenap sumber daya manusia yang
dipimpinnya. Sudah selayaknya mengakomodir berbagai persoalan yang
terjadi tanpa melihat siapadia yang menghadapi masalah tersebut. Mampu menjadi
mediator dalam keberagaman cara pikir dan cara pandang.
Keempat, pemberdaya. Pemimpin pendidikan yang
senantiasa memberikan kesempatan serta mendorong sumber daya manusia yang dipimpinya untuk meningkatkan kemampuan dan karier mereka,
di samping memfasilitasi dan memberi motivasi. Kelima, pengendali,
RE (Ratio–Emosi). Pemimpin harus mampu mengendalikan
ratio–emosi. Pemimpin yang emotif cenderung menimbulkan konflik,
sebaliknya pemimpin yang terlalu mengandalkan
ratio juga sering sulit mengakomodasi perasaan orang lain
sehingga dapat menimbulkan sifat apatis yang menyebabkan keterpaduan sinregis tak tercapai.
Tentang pemimpin, John C. Maxwell berpetuah, “Kata yang paling tidak penting adalah aku; kata yang paling penting adalah kita; dua kata yang paling penting adalah terima kasih.Tiga kata yang paling penting adalah semua sudah dimaafkan; empat kata
yang paling penting adalah apa sebenarnya pendapat Anda; lima kata yang paling
penting adalah Anda sudah menyelesaikan pekerjaan hebat, dan enam kata
yang paling penting adalah aku ingin memahami Anda lebih baik”. Dan, kita berani berkata, Anda adalah
orang yang penting bagi saya. Akhirnya, 2 Mei tidak sekadar rutinitas
tahunan, namun hendaknya menjadi momentum refleksi karya pendidikan. Tidak saja
oleh para pekerja ilmu di “Taman Siswa”, melainkan semua kita yang menaruh
perhatian pada bidang pendidikan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar