Halaman

Senin, 06 November 2017

Korupsi di Flobamora




Entahlah, tetapi yang pasti bahwa masyarakat yang menghuni Nusa Flobamora telah gerah dengan bau sengat korupsi. Korupsi, sebuah kata yang menunjuk pada perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau korporasi yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, sekejap mata menjadi ramai diperbincangkan setelah pecah Era Reformasi, dan karena secara legal-yuridis merupakan perbuatan melawan hukum. Salah satu indikatornya adalah masyarakat Indonesia dan NTT belum terbebaskan dari belenggu-belenggu sosial dan semakin merajalelanya kebiasaan ‘makan’ uang atau korupsi di tangan para penguasa dan pemegang anggaran. Kemudian, mengapa perbuatan laknat terkutuk, tidak terpuji dan terlarang ini, terus saja mengular, merambah liar dan tumbuh sistemik pada bentangan Nusa Flobamora?

Mengapa Korupsi?

Mengapa korupsi justru terjadi pada Nusa semerbak wangi warga bunga, Flores yang memiliki daya pikat khas akan alam karena topografinya yang meliuk geli bagai ular, serta taman baharinya memendam aneka biota laut mahakhas dan menakjubkan? Mengapa korupsi tumbuh dan hidup pada Nusa Sumba dengan hamparan Padang Sabana medan para Joki bertualang Kuda Sandelwood sebagai gravitasi khas pemikat wisatawan asing maupun domestik? Atau, mengapa harus di Nusa Timor dengan musik tradisional Sasando yang selalu menawan dan merdu mengiang di telinga para pendengarnya, dan Nusa Alor yang kaya dengan cagar alam kenari?  Beragam jawaban maupun beraneka solusi pernah dan sedang dikiati, namun gerah masyarakat Flobamora kian tak terelakan. Tanya saja pada rumput yang bergoyang, dendang  Ebiet “gelandangan anak desa’ G.Ade, dalam sebuah kuplet lagu tempoe doeloe, ‘Berita Kepada Kawan’, yang masih segar dan sangat relevan dari masa ke masa.
Nasib Tak Tentu, Nona Tidur Telanjang, Nusa Tetap Termiskin, dan sekian banyak plesetan negatif lain disematkan pada propinsi kepulauan yang dilingkari dengan kurang lebih 556 pulau ini. Betapa tidak! Kendati gelondongan dana dengan total tak terhingga dalam berbagai paket program pemerintah ditebar ke Nusa Flobamora, fakta, semisal: kemiskinan, pungutan liar, pendidikan mahal, pelayanan kesehatan jauh dari harapan, infrastruktur yang morat-marit, pencurian, dan berbagai fakta sosial lain tetap menjadi keprihatinan bersama.

Korupsi vs Kuasa

Inspektorat NTT, Dirjen, BPKP, dan BPK pernah merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi NTT tentang penyimpangan dana sekitar Rp 15 miliar. Menanggapi rekomendasi tersebut dan setelah melakukan pengecekan kebenaran temuan itu, para penguasa mengatakan bahwa penyimpangan yang menjadi temuan itu hanya kesalahan administrasi. Bagi pejabat yang melakukan penyimpangan dana secara sengaja lalu membangkang, tidak mengembalikan, akan diproses hukum. Aneh dan bahkan paling memprihatinkan bahwa temuan terbesar penyimpangan itu terjadi pada SKPD PU, PPO, dan Kesehatan, satuan kerja perangkat daerah yang menjadi lokomotif pengentasan kemiskinan dan percepatan pembangunan sumber daya manusia. Terlepas dari fakta tersebut, betapa kita terkejut dengan terbongkarnya mafia pengelolaan dana bansos di seantero bumi Flobamora yang tengah dilidik oleh penegak hukum belakangan ini.
Wacana korupsi sebagaimana yang muncul di atas atau dalam bentuk percakapan lain tidak sekedar dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan pertarungan kekuasaan. Hal ini mengimplikasikan bahwa wacana para penguasa mencoba untuk menghubungkan juga dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidak hanya dalam bentuk fisik dan langsung, tetapi melalui kontrol mental dan psikis.
Sangatlah mungkin bahwa penguasa tidak menciptakannya melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi melalui berbagai pernyataan, kata-kata, regulasi, aturan, dan normalisasi. Bagaimana para penguasa, misalnya, ‘hanya’ mengatakan temuan penyimpangan 15 miliar itu ‘sekedar’ kesalahan administrasi. Ada sesuatu yang tak logis, ketika angka sebesar itu masuk kategori administrasi. Kalaupun itu benar, mengapa tidak cepat lekas-segera menindak tegas para pejabat/pegawai yang melakukan dosa administrasi itu, apalagi penyimpangan tersebut terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Mungkin benar, tetapi dari sisi administrasi juga, alasan ini tentu diuji lagi, mengingat perbuatan ,menyimpangkan, dana terjadi pada dinas besar yang memiliki persona-persona yang cerdas dan cermat dalam mengelola dana. Inilah bentuk ‘pembiaran’ pemda kalau tidak dibilang sebagai model ‘pemeliharaan’ pejabat yang tak bersih dari kampanye pemberantasan korupsi.
Sangat disayangkan bahwa ketika banyak anak Nusa Flobamora yang putus sekolah karena tidak memiliki dana untuk membiayai pendidikannya, justru ironis ketika para penguasa kelebihan dana untuk bersenang-senang. Atau, ketika banyak anak Flobamora yang memiliki semangat belajar, terpaksa merogoh koceknya dan jatuh bangun mencari dana untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister dan doktor, sementara para penguasa justru mengenyangkan dirinya dengan tilep sana tilep sini. Bahkan, klasik, PAD tidak mencukupi untuk sebuah pendidikan sebagai lokomotif pembangunan daerah ini. Dalam konteks ini, hemat saya, ucapan-ucapan ini menampilkan bahasa lebih dalam pada sebuah koridor kekuasaan yang dikeluarkan para penguasa untuk diperdengarkan, dipercayai, dipatuhi, dijawab, dilaksanakan dan tidak boleh dipertanyakan karena bahasa tersebut layaknya bahasa Tuhan yang mutlak kebenarannya. Penguasa yang demikian, dengan remeh-temeh mentopdown bahasa untuk kepentingan status quo. Kondisi inilah memunculkan kegelisahan di kalangan masyarakat, dan bakal menjadi sumber petaka.
Wacana-wacana dalam konteks ini dipandang sebagai medium di mana kelompok yang dominan (diwakili penguasa) mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Van dijk menjelaskan fenomena ini sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan dan kuat memanipulasi  ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye pembangunan melalui bahasa.
Kuasa tidak ubahnya juga seperti sebuah parade seni, di mana retorika bahasa dikemas dan digunakan sebagai pencitraan diri. Sebagai parade seni, permainan-permainan bahasa dipergunakan dengan terencana hanya untuk menghibur dan menguasai penontonnya lewat berbagai pilihan kata yang eufemistik. Dalam pandangan Bourdieu, ‘kekuasaan kata dijadikan alat oleh penguasa untuk memobilisasi demi melegitimasikan otoritasnya sebagai penguasa. Kata dalam prespektif Bourdieu mempunyai kuasa yang besar, di mana kekusaan kata seseorang dapat melegalkan yang ilegal dan membuat baik yang tidak baik. Menganggap bahasa penguasa sebagai bahasa Tuhan inilah yang perlu dikritisi. Karena bagaimana pun kebenaran tetaplah relatif sekalipun itu bahasa sang penguasa. Jadi, kuasa tidak saja bekerja melalui intimidasi dan kekerasan belaka, tetapi melalui aturan-aturan dan normalisasi.

Bahasa Simbol Kekuasaan

Yang hendak dikatakan bahwa bahasa sesungguhnya merupakan simbol kekuasaan yang perlu diwaspadai. Pertama, kekuasaan melalui simbol digunakan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Oleh karena itu, elite politik melakukan konsolidasi di segala bidang, termasuk rekayasa bahasa. Kedua, pemertahanan kekuasaan dilakukan dengan penghalusan konsep, memperkasar bahasa untuk menyudutkan kekuatan lain, memproduksi konsep-konsep bahasa daerah yang referen dan maknanaya tidak jelas, dan penyeragaman bahasa dan istilah oleh pejabat. Ketiga, eufemisme bahasa untuk memantapkan citra. Pembengkokan dan pengerdilan makna kata demi alasan pembangunan dan alasan-alasan tertentu menjadi akar kebohongan dan penyelewengan. Di akhir kewaspadaan ini, saya cuma meneruskan petuah Habermas bahwa produksi (kata) wacana yang dilakukan seseorang tidak ada yang lepas dari kepentingan, maka waspadalah terhadap retorika bahasa penguasa. (*)


Artikel ini pernah dimuat HU Pos Kupang, Senin, 19 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar