Entahlah, tetapi yang pasti bahwa masyarakat yang menghuni
Nusa Flobamora telah gerah dengan bau sengat korupsi. Korupsi, sebuah kata yang
menunjuk pada perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau
korporasi yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, sekejap mata menjadi
ramai diperbincangkan setelah pecah Era Reformasi, dan karena secara
legal-yuridis merupakan perbuatan melawan hukum. Salah satu indikatornya adalah
masyarakat Indonesia dan NTT belum terbebaskan dari belenggu-belenggu sosial
dan semakin merajalelanya kebiasaan ‘makan’ uang atau korupsi di tangan para
penguasa dan pemegang anggaran. Kemudian, mengapa perbuatan laknat terkutuk,
tidak terpuji dan terlarang ini, terus saja mengular, merambah liar dan tumbuh
sistemik pada bentangan Nusa Flobamora?
Mengapa Korupsi?
Mengapa korupsi justru terjadi pada Nusa semerbak wangi
warga bunga, Flores yang memiliki daya pikat khas akan alam karena topografinya
yang meliuk geli bagai ular, serta taman baharinya memendam aneka biota laut
mahakhas dan menakjubkan? Mengapa korupsi tumbuh dan hidup pada Nusa Sumba
dengan hamparan Padang Sabana medan para Joki bertualang Kuda Sandelwood
sebagai gravitasi khas pemikat wisatawan asing maupun domestik? Atau, mengapa
harus di Nusa Timor dengan musik tradisional Sasando yang selalu menawan dan merdu
mengiang di telinga para pendengarnya, dan Nusa Alor yang kaya dengan cagar
alam kenari? Beragam jawaban maupun
beraneka solusi pernah dan sedang dikiati, namun gerah masyarakat Flobamora
kian tak terelakan. Tanya saja pada rumput yang bergoyang, dendang Ebiet “gelandangan anak desa’ G.Ade, dalam
sebuah kuplet lagu tempoe doeloe, ‘Berita Kepada Kawan’, yang masih
segar dan sangat relevan dari masa ke masa.
Nasib Tak Tentu, Nona Tidur Telanjang, Nusa Tetap
Termiskin, dan sekian banyak plesetan negatif lain disematkan pada propinsi kepulauan
yang dilingkari dengan kurang lebih 556 pulau ini. Betapa tidak! Kendati
gelondongan dana dengan total tak terhingga dalam berbagai paket program
pemerintah ditebar ke Nusa Flobamora, fakta, semisal: kemiskinan, pungutan liar,
pendidikan mahal, pelayanan kesehatan jauh dari harapan, infrastruktur yang
morat-marit, pencurian, dan berbagai fakta sosial lain tetap menjadi
keprihatinan bersama.
Korupsi vs Kuasa
Inspektorat NTT, Dirjen, BPKP, dan BPK pernah merekomendasikan
kepada Pemerintah Provinsi NTT tentang penyimpangan dana sekitar Rp 15 miliar.
Menanggapi rekomendasi tersebut dan setelah melakukan pengecekan kebenaran
temuan itu, para penguasa mengatakan bahwa penyimpangan yang menjadi temuan itu
hanya kesalahan administrasi. Bagi pejabat yang melakukan penyimpangan dana
secara sengaja lalu membangkang, tidak mengembalikan, akan diproses hukum. Aneh
dan bahkan paling memprihatinkan bahwa temuan terbesar penyimpangan itu terjadi
pada SKPD PU, PPO, dan Kesehatan, satuan kerja perangkat daerah yang menjadi
lokomotif pengentasan kemiskinan dan percepatan pembangunan sumber daya
manusia. Terlepas dari fakta tersebut, betapa kita terkejut dengan
terbongkarnya mafia pengelolaan dana bansos di seantero bumi Flobamora yang
tengah dilidik oleh penegak hukum belakangan ini.
Wacana korupsi sebagaimana yang muncul di atas atau dalam
bentuk percakapan lain tidak sekedar dipandang sebagai sesuatu yang alamiah,
wajar, dan netral, tetapi merupakan pertarungan kekuasaan. Hal ini
mengimplikasikan bahwa wacana para penguasa mencoba untuk menghubungkan juga
dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Satu
orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol
di sini tidak hanya dalam bentuk fisik dan langsung, tetapi melalui kontrol mental dan psikis.
Sangatlah
mungkin bahwa penguasa tidak menciptakannya
melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi melalui berbagai pernyataan,
kata-kata, regulasi, aturan, dan normalisasi. Bagaimana para penguasa, misalnya, ‘hanya’ mengatakan
temuan penyimpangan 15 miliar itu ‘sekedar’ kesalahan administrasi. Ada sesuatu
yang tak logis, ketika angka sebesar itu masuk kategori administrasi. Kalaupun
itu benar, mengapa tidak cepat lekas-segera menindak tegas para pejabat/pegawai
yang melakukan dosa administrasi itu, apalagi penyimpangan tersebut terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama. Mungkin benar, tetapi dari sisi administrasi
juga, alasan ini tentu diuji lagi, mengingat perbuatan ,menyimpangkan, dana terjadi
pada dinas besar yang memiliki persona-persona yang cerdas dan cermat dalam
mengelola dana. Inilah bentuk ‘pembiaran’ pemda kalau tidak dibilang sebagai
model ‘pemeliharaan’ pejabat yang tak bersih dari kampanye pemberantasan
korupsi.
Sangat disayangkan bahwa ketika banyak anak Nusa
Flobamora yang putus sekolah karena tidak memiliki dana untuk membiayai
pendidikannya, justru ironis ketika para penguasa kelebihan dana untuk bersenang-senang.
Atau, ketika banyak anak Flobamora yang memiliki semangat belajar, terpaksa
merogoh koceknya dan jatuh bangun mencari dana untuk melanjutkan pendidikannya
ke jenjang magister dan doktor, sementara para penguasa justru mengenyangkan
dirinya dengan tilep sana tilep sini. Bahkan, klasik, PAD tidak mencukupi untuk
sebuah pendidikan sebagai lokomotif pembangunan daerah ini. Dalam konteks ini,
hemat saya, ucapan-ucapan ini menampilkan bahasa lebih dalam pada sebuah koridor
kekuasaan yang dikeluarkan para penguasa untuk diperdengarkan, dipercayai,
dipatuhi, dijawab, dilaksanakan dan tidak boleh dipertanyakan karena bahasa
tersebut layaknya bahasa Tuhan yang mutlak kebenarannya. Penguasa
yang demikian, dengan remeh-temeh mentopdown bahasa untuk kepentingan status
quo. Kondisi inilah memunculkan kegelisahan di kalangan masyarakat, dan
bakal menjadi sumber petaka.
Wacana-wacana
dalam konteks ini
dipandang sebagai medium di mana
kelompok yang dominan (diwakili
penguasa) mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak
produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan
benar. Van
dijk menjelaskan fenomena ini sebagai
“kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan dan kuat memanipulasi ideologi
kepada
kelompok yang tidak dominan melalui kampanye pembangunan melalui bahasa.
Kuasa
tidak ubahnya juga seperti sebuah
parade seni, di mana
retorika bahasa dikemas dan digunakan sebagai pencitraan diri. Sebagai parade seni, permainan-permainan bahasa
dipergunakan dengan terencana hanya untuk menghibur dan menguasai penontonnya lewat berbagai pilihan kata yang eufemistik.
Dalam pandangan Bourdieu, ‘kekuasaan
kata’ dijadikan alat
oleh penguasa untuk memobilisasi demi melegitimasikan otoritasnya sebagai
penguasa. Kata dalam prespektif Bourdieu mempunyai kuasa yang besar, di mana ‘kekusaan
kata’ seseorang dapat
melegalkan yang ilegal dan membuat baik yang tidak baik. Menganggap
bahasa penguasa sebagai bahasa Tuhan
inilah yang perlu dikritisi. Karena bagaimana pun kebenaran tetaplah relatif
sekalipun itu bahasa sang penguasa. Jadi,
kuasa tidak saja bekerja melalui intimidasi dan
kekerasan belaka, tetapi melalui aturan-aturan dan normalisasi.
Bahasa Simbol Kekuasaan
Yang hendak dikatakan bahwa bahasa sesungguhnya merupakan
simbol kekuasaan yang perlu diwaspadai. Pertama, kekuasaan melalui
simbol digunakan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Oleh karena itu,
elite politik melakukan konsolidasi di segala bidang, termasuk rekayasa bahasa.
Kedua, pemertahanan kekuasaan dilakukan dengan penghalusan konsep,
memperkasar bahasa untuk menyudutkan kekuatan lain, memproduksi konsep-konsep
bahasa daerah yang referen dan maknanaya tidak jelas, dan penyeragaman bahasa
dan istilah oleh pejabat. Ketiga,
eufemisme bahasa untuk memantapkan citra. Pembengkokan dan pengerdilan makna
kata demi alasan pembangunan dan alasan-alasan tertentu menjadi akar kebohongan
dan penyelewengan. Di akhir kewaspadaan ini, saya cuma meneruskan petuah Habermas
bahwa produksi (kata) wacana yang dilakukan seseorang tidak ada yang lepas dari
kepentingan, maka waspadalah terhadap retorika bahasa penguasa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar