Halaman

Senin, 06 November 2017

Pendidikan Nilai untuk Generasi Muda




Menyimak beberapa kasus belakangan seperti yang diberitakan lewat berbagai surat khabar antara lain, pemerkosaan anak di bawah umur, perkelahian antargeng, tawuran antarpelajar, pembunuhan secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu? Sambil terhadap kenyataan dalam nuansa demikian, siapakah yang patut bertanggungjawab? Orang tua, guru atau lingkungan (masyarakat)?
Pertanyaan di atas sebetulnya merupakan aphoria klasik yang didengungkan dari zaman ke zaman. Namun, mengapa tak pernah hilang terbawa angin zaman adalah tantangan berat buat komponen-komponen terkait untuk menjawabnya. Kalau ditilik secara cermat, memang terdapat celah dalam lmgkaran tersebut yang memungkinkan untuk saling tarik-menarik dan melempar kesalahan antarkomponen pendidikan. Tentunya argumen yang dikedepankan tidak terlepas dari tempat terjadinya suatu peristiwa. Dalam arti, apakah kejadian itu berlangsung di keluarga, sekolah atau masyarakat.
Tulisan sederhana ini lebih menukik pada bagaimana sebuah pendidikan nilai, yakni sesuatu yang diyakini, dipegang sebagai sesuatu yang berharga untuk acuan hidup itu dikemas dan dipaketkan kepada kaum muda. Tentu saja harus dilakukan oleh institusi-institusi di atas.
Terdapat asumsi yang keliru yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik sepenuhnya adalah tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika mereka (orang tua) telah menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal. Gejala ini termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir dilakukan oleh generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut, bukan berarti keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya menjadi feed back yang tepat untuk melihat keberhasilan pendidikan nilai yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana pendidikan nilai itu telah memberikan sesuatu bagi kehidupan dan perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan nilai bagi generasi muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau ajaran yang dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu memberikan rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat diharapkan agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.
Sebaliknya, anak (generasi muda) akan merasa tertekan kalau mereka dipaksakan menelan terlalu banyak ajaran atau nilai yang baik. Permasalahannya bahwa, ketika mereka belum punya waktu mengunyah ajaran sebelumnya, sudah diberikan hal yang baru, sehingga generasi itu merasa jengkel dan acuh tak acuh. Akibatnya, nilai dan ajaran yang ditelan tak satupun yang dicerna dan dilaksanakan. Tanpa pemberian waktu dan ruang yang cukup untuk meresapi nilai dan ajaran kepada anak akan berdampak pada hal-hal yang tidak baik. Akan terjadi kepura-puraan, apatis dan sering memprotes. Dengan demikian, tanpa disadari bahwa keluarga cenderung menghargai “hasil” dari pada sebuah “proses”. Mungkin tokoh cerita Sysiphus dalam The Myth Of Sysiphus karya Albert Camus, dapat menjadi landasan untuk memberikan penghargaan kepada dua kondisi di atas.
Bagaimana seorang, Sysiphus dihukum oleh para dewa untuk menggulingkan batu karang besar ke atas puncak bukit. Akhirnya, Sysiphus sendiri sadar bahwa pekerjaan yang sedang dilakonnya adalah sia-sia, tetapi ada satu hal bahwa kesetiaannya akan pekerjaan tersebut menunjukkan ia menghargai proses bukan hasil.
Dunia pendidikan juga tampak sebagai sebuah benang kusut yang sangat mempengaruhi orang muda. Kurikulum yang bersifat sentralistik, tidak mempertimbangkan kondisi sosiokultural suatu wilayah merupakan kendala yang perlu mendapat perhatian secara serius. Fenomena yang menganggap pendidikan adalah sebuah proses transfer pengetahuan, merupakan bentuk pemahaman yang keliru. Akibatnya, anak hanya dijejali dengan aspek-aspek kognitif semata. Tujuannya, agar anak dapat mengetahui sebanyak-banyaknya ilmu atau pengetahuan, tanpa memperhitungkan nilai-nilai kehidupan. Demikianlah, tanpa disadari bahwa lembaga pendidikan sedang mencetak generasi muda yang kaya ilmu tetapi buta hati. Menghasilkan generasi yang gagap menghadapi realitas. Akan cenderung brutal terhadap sesuatu karena mudah terpengaruh tanpa pertimbangan yang matang.
Meletakkan pendidikan nilai pada aspek kognitif  yang berujung pada momen pemberian angka dalam rapor siswa. Pendidikan nilai hanya diukur dengan angka, sehingga siswa sekedar berusaha untuk memenuhi atau mengejar target naik kelas dan tidak boleh mendapat angka merah. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan nilai telah hilang arah dari sasaran, karena cenderung kepada angka-angka matematis, ketimbang waktu dan ruang yang cukup untuk membathinkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran sebagai motivasi hidup.
Belum cukup di sana lingkungan yang kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah generasi muda. Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan kejam lagi panas lewat televisi dan laser disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi di dengar.
Terhadap realitas yang kian mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah tumpulnya pendikan nilai bagi generasi tersebut.
Beberapa hal sebagai pembinaan ini, antara lain: pertama, perlu melakukan otokritik akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam lembaga-lembaga di atas dan berusaha menjalin mitra dalam menentukan suatu model pendidikan nilai yang lebih baik dan relevan dengan perkembangan yang akan datang. Kedua, memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi generasi muda untuk membathinkan nilai-nilai dan ajaran yang telah diberikan. Tanpa harus memaksa untuk lebih cepat mengaktualisasikan nilai dan ajaran tersebut karena hal ini butuh suatu proses yang panjang. Ketiga, membiarkan generasi muda untuk belajar sendiri nilai-nilai sambil membimbing agar generasi ini tidak berlaku pura-pura dalam bertindak. Keempat, mengaktifkan kembali tradisi lisan kita, yaitu “mendongeng”. Khususnya kepada anak usia sekolah, karena kita tahu bahwa kesusastraan lisan atau suci-rohaniah ini dapat menumbuhkan dan mengembangkan budi pekerti untuk dapat membedakan yang baik dari yang jahat.
Dengan demikian, adalah suatu komitmen bersama untuk menjadikan bangsa ini bebas dari segala kerusuhan dan kekecauan. Tentunya, generasi muda menjadi prioritas. Sebab mereka adalah pemegang estafet masa depan bangsa. Kalau pendidikan nilai tidak mendapat skala pnoritas dalam pendidikan ke depan, maka bukan tidak mungkin cita-cita di atas tetap menjadi sebuah utopia belaka.*




[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 14 Desember 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar