Menyimak beberapa kasus belakangan
seperti yang diberitakan lewat berbagai surat khabar antara lain, pemerkosaan
anak di bawah umur, perkelahian antargeng, tawuran antarpelajar, pembunuhan
secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita
untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu? Sambil terhadap kenyataan
dalam nuansa demikian, siapakah yang patut bertanggungjawab? Orang tua, guru
atau lingkungan (masyarakat)?
Pertanyaan di atas sebetulnya
merupakan aphoria klasik yang
didengungkan dari zaman ke zaman. Namun, mengapa tak pernah hilang terbawa angin
zaman adalah tantangan berat buat komponen-komponen terkait untuk menjawabnya.
Kalau ditilik secara cermat, memang terdapat celah dalam lmgkaran tersebut yang
memungkinkan untuk saling tarik-menarik dan melempar kesalahan antarkomponen
pendidikan. Tentunya argumen yang dikedepankan tidak terlepas dari tempat
terjadinya suatu peristiwa. Dalam arti, apakah kejadian itu berlangsung di keluarga,
sekolah atau masyarakat.
Tulisan sederhana ini lebih menukik
pada bagaimana sebuah pendidikan nilai, yakni sesuatu yang diyakini, dipegang
sebagai sesuatu yang berharga untuk acuan
hidup itu dikemas dan dipaketkan kepada kaum muda. Tentu saja harus dilakukan
oleh institusi-institusi di atas.
Terdapat asumsi yang keliru yang
berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik sepenuhnya adalah
tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika mereka (orang tua) telah
menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal. Gejala ini
termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir dilakukan oleh
generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut, bukan berarti
keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya menjadi feed back yang tepat untuk melihat
keberhasilan pendidikan nilai yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana
pendidikan nilai itu telah memberikan sesuatu bagi kehidupan dan
perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan nilai bagi generasi
muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau ajaran yang
dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu memberikan
rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat diharapkan
agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.
Sebaliknya, anak (generasi muda)
akan merasa tertekan kalau mereka dipaksakan menelan terlalu banyak ajaran atau
nilai yang baik. Permasalahannya bahwa, ketika mereka belum punya waktu
mengunyah ajaran sebelumnya, sudah diberikan hal yang baru, sehingga generasi
itu merasa jengkel dan acuh tak acuh. Akibatnya, nilai dan ajaran yang ditelan
tak satupun yang dicerna dan dilaksanakan. Tanpa pemberian waktu dan ruang yang
cukup untuk meresapi nilai dan ajaran kepada anak akan berdampak pada hal-hal
yang tidak baik. Akan terjadi kepura-puraan, apatis dan sering memprotes.
Dengan demikian, tanpa disadari bahwa keluarga cenderung menghargai “hasil”
dari pada sebuah “proses”. Mungkin tokoh cerita Sysiphus dalam The Myth Of Sysiphus karya Albert Camus,
dapat menjadi landasan untuk memberikan penghargaan kepada dua kondisi di atas.
Bagaimana seorang, Sysiphus dihukum oleh para dewa untuk
menggulingkan batu karang besar ke atas puncak bukit. Akhirnya, Sysiphus sendiri sadar bahwa pekerjaan
yang sedang dilakonnya adalah sia-sia, tetapi ada satu hal bahwa kesetiaannya
akan pekerjaan tersebut menunjukkan ia menghargai proses bukan hasil.
Dunia pendidikan juga tampak sebagai
sebuah benang kusut yang sangat mempengaruhi orang muda. Kurikulum yang
bersifat sentralistik, tidak mempertimbangkan kondisi sosiokultural suatu
wilayah merupakan kendala yang perlu mendapat perhatian secara serius. Fenomena
yang menganggap pendidikan adalah sebuah proses transfer pengetahuan, merupakan
bentuk pemahaman yang keliru. Akibatnya, anak hanya dijejali dengan aspek-aspek
kognitif semata. Tujuannya, agar anak dapat mengetahui sebanyak-banyaknya ilmu
atau pengetahuan, tanpa memperhitungkan nilai-nilai kehidupan. Demikianlah,
tanpa disadari bahwa lembaga pendidikan sedang mencetak generasi muda yang kaya
ilmu tetapi buta hati. Menghasilkan generasi yang gagap menghadapi realitas.
Akan cenderung brutal terhadap sesuatu karena mudah terpengaruh tanpa
pertimbangan yang matang.
Meletakkan pendidikan nilai pada
aspek kognitif yang berujung pada momen pemberian angka dalam rapor siswa.
Pendidikan nilai hanya diukur dengan angka, sehingga siswa sekedar berusaha
untuk memenuhi atau mengejar target naik kelas dan tidak boleh mendapat angka
merah. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan nilai telah hilang arah
dari sasaran, karena cenderung kepada angka-angka matematis, ketimbang waktu dan
ruang yang cukup untuk membathinkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran sebagai
motivasi hidup.
Belum cukup di sana lingkungan yang
kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah
generasi muda. Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan
kejam lagi panas lewat televisi dan laser
disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi di dengar.
Terhadap realitas yang kian
mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh
untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah tumpulnya pendikan
nilai bagi generasi tersebut.
Beberapa hal sebagai pembinaan ini,
antara lain: pertama, perlu melakukan
otokritik akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam lembaga-lembaga di atas dan
berusaha menjalin mitra dalam menentukan suatu model pendidikan nilai yang
lebih baik dan relevan dengan perkembangan yang akan datang. Kedua, memberikan waktu dan ruang yang
cukup bagi generasi muda untuk membathinkan nilai-nilai dan ajaran yang telah
diberikan. Tanpa harus memaksa untuk lebih cepat mengaktualisasikan nilai dan
ajaran tersebut karena hal ini butuh suatu proses yang panjang. Ketiga, membiarkan generasi muda untuk
belajar sendiri nilai-nilai sambil membimbing agar generasi ini tidak berlaku
pura-pura dalam bertindak. Keempat,
mengaktifkan kembali tradisi lisan kita, yaitu “mendongeng”. Khususnya kepada
anak usia sekolah, karena kita tahu bahwa kesusastraan lisan atau suci-rohaniah
ini dapat menumbuhkan dan mengembangkan budi pekerti untuk dapat membedakan
yang baik dari yang jahat.
Dengan demikian, adalah suatu
komitmen bersama untuk menjadikan bangsa ini bebas dari segala kerusuhan dan
kekecauan. Tentunya, generasi muda menjadi prioritas. Sebab mereka adalah
pemegang estafet masa depan bangsa. Kalau pendidikan nilai tidak mendapat skala
pnoritas dalam pendidikan ke depan, maka bukan tidak mungkin cita-cita di atas
tetap menjadi sebuah utopia belaka.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar