Getaran
suksesi di kabupaten bungsu, Lembata semakin terasa. Para kandidat yang telah
disodor ke tengah arena pertandingan pasti dan sedang mendesain strategi untuk
dapat memenangkan pertandingan tersebut. Sebut saja, pengajuan program kerja
sampai pada politik bagi-bagi beras, money
politics, politik sepeda motor. Kendatipun kedengarannya “minor”, tetapi
demikianlah yang tengah menuansai proses suksesi untuk lima tahun yang akan
datang.
Omong
tentang suksesi berarti omong tentang pemimpin. Siapa figur yang pantas dan
tepat menduduki kursi bupati. Banyak kriteria yang telah digulirkan, baik oleh
pihak LSM, maupun mereka yang turut bertanggungjawab atas bayi Lembata. Termasuk
surat-surat dukungan yang disampaikan kepada DPRD Lembata, tentang figur-figur
tertentu. Terlepas dari “valid” tidaknya dukungan-dukungan tersebut kita
tentunya tidak percaya begitu saja. Karena paling tidak haruslah diuji melalui
suatu riset ilimah. Namun bukan masalah ini yang hendak diurai pada kesempatan
ini. Opini urun rembuk ini dapat menjadi kriteria dalam menentukan figur mana
yang tepat.
Secara
global, kita sepakat bahwa pemimpin adalah orang yang terpilih. Figur yang
berhasil mengantongi nilai lebih atas lawan-lawannya. Mungkin demikianlah yang
dikatakan demokrasi. Sebab figur yang terpilih tersebut sudah melewati proses
yang ketat dengan sejumlah kriteria dari persyaratan yang telah dipatok tim
khusus. Namun, aneka persoalan seketika akan mencuat, ketika munculnya protes
terhadap figur yang telah terpilih tadi. Disinilah permenungan sederhana
patutlah direfleksikan. Pemimpin dalam masyarakat itu banyak, tetapi tidak
semua itu dapat memimpin. Pada keadaan ini kita mengeluh soal krisis
kepemimpinan. Jika kita mengakui hal ini, maka kita pasti terbangun untuk
memilih yang terbaik secara jujur dengan tidak menipu hati nurani, serta
pengaruh-pengaruh luar yang bisa berakibat fatal. Semuanya tentu untuk kebaikan
perjalanan ke depan. Fenomena tersebut tengah menjadi konsumsi tetap masyarakat
sampai detik ini.
Persoalan
terbatasnya jumlah pribadi yang benar-benar memenuhi kriteria sebagai pemimpin,
artinya kepribadiannya dapat menjadi suri teladan dalam mengembangkan tugas
yang telah diberikan memanglah masih sebatas mimpi saja. Hal ini, tergambar
lewat pesatnya perubahan masyarakat dewasa ini. Suatu kemajuan yang
menakjubkan. Ketika perubahan tersebut tidak cuma di bidang ekonomi, melainkan
sudah menjamah sektor sosial dari budaya.
Perubahan
pesat ini turut mempengaruhi etos kerja dari dedikasi pemimpin. Katakan, sikap
hidup pragmatis tengah menjamah ke paradigma individualisme, sedang mengubah
tatanan budaya yang tercipta lainya. Dengan demikian, pemimpin yang diharapkan
hadir adalah mereka yang dapat membawa beban tanggungjawab agar dapat
meminimalisir atau dapat melenyapkan kesenjangan antara apa yang dicita-citakan
masyarakat dengan apa yang sedang
terjadi dalam masyarakat.
Mencermati
situasi global pemimpin, terkadang kita terlambat untuk menyesal merasakan
kinerja kepemimpinan mereka. Senada dengan hal ini, muncul juga berbagai
konflik sebagai tanda protes dalam kurun waktu tersebut. Berkaitan dengan
konteks di atas menyongsong pemilihan orang nomor satu Lembata, beberapa
kontribusi pikiran nyata dapat dikemukakan sebagai langkah antisipatif.
Pertama,
kondisi geografis Nusa Lembata yang berbukit. Indikasinya bahwa hampir sebagian
masyarakat yang mendiami Lembata harus mengakrabnya lewat bertani dari bercocok
tanam. Tentunya masih dalam sistem yang tradisional. Hal demikian, telah dilakoni
berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tentang ini ada satu fenomena yang muncul.
Hampir semua pemimpin yang menahkodai wilayah seperti ini, termasuk bangsa ini
hendak mengubah pola masyarakat yang selalu dianggap “tradisional” untuk
menjadi masyarakat yang modern. Atau dari masyarakat yang agraris kepada
masyarakat yang industrial. Kalau terjadi seperti ini, konsekuensi logisnya
adalah semua nilai atau tata nilai yang sudah membudaya dalam masyarakat juga
harus diubah. Fenomena ini perlu suatu kajian yang representatif. Dan, kiranya
demokratisasi tetap menjadi pijakan dalam proses tersebut dengan memberi angin
segar seluas mungkin untuk tumbuh dari berkembangnya semangat egaliter yang
tetap berporos pada penghormatan dan pengakuan akan seorang manusia itu. Sebab
perlu disadari bahwa hak-hak manusia merupakan hak yang paling asasi yang tidak
dapat diperkosa. Demi kepentingan umum (bonum
commune) perubahan itu perlu tetapi bukan secepat kilat harus mengubah
semua tatanan nilai leluhur yang telah terpatri dengan nilai atau sistem yang
dirasakan lebih cocok dengan zaman ini. Semua berjalan melalui sebuah proses,
karena hidup yang sedang kita jalani juga adalah sebuah proses panjang, lambat
dan pelan.
Kedua, Lembata
cuma sebuah wilayah administratif yang kecil. Dengan demikian, anak-anak
“wunopito” akan sangat berbangga apabila pembangunan di bumi “ikan paus”,
tersebut dapat merata di setiap wilayah. Dana-dana. yang sudah diplotkan agar
dapat menembusi tembok birokrasi yang berbelit dalam keadaan utuh. Kinerja setiap
istansi harus dibenahi dan diperingatkan untuk tidak setengah-setengah memberikan
pelayanan kepada masyarakat kecil yang sementara menantikan pelayanan. Komitmen
ini dapat terimiplementasi bila tugas yang diemban dirasakan sebagai sebuah
pelayanan. Mungkin “pil pahit KKN” yang telah mengambrukkan tatanan hidup
bermasyarakat perlu dihindari.
Ketiga, mampu
menciptakan sebuah masyarakat yang aman, penuh persaudaraan dalam kerangka penyatuan seluruh rakyat dalam
pembangunan.
Konsep demikian
merupakan fakta sosial yang khas dalam masyarakat. Proses pembangunan itu dapat
berhasil, ketika masyarakat itu dibangun dalam sebuah kehidupan bersama, dimana
masing-masing anggota memilik kesadaran kolektif, serta rasa memiliki terhadap
sebuah pembangunan. Oleh karena itu, konsep-konsep pembangunan perlu dijelaskan
secara transparan. Kondisi ini menuntut pemimpin harus lebih banyak melakukan
dialog untuk mendengar sendiri aspirasi masyarakat. Di sinilah strategi bottom up perlu diterapkan. Merakyat
dari dekat dengan masyarakat karena masyarakat akan lebih senang kalau
pemimpinnya turun dari bekerja langsung dengan mereka.
Keempat,
membentuk kaderisasi kepemimpinan untuk menjawabi kebutuhan masyarakat di masa
depan. Kenyataan ini hanya dapat dilakukan lewat jalur pendidikan dengan
berbagai pelatihan kaderisasi kepemimpinan untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin
yang siap pakai dan tepat guna. Persoalan tersebut menyangkut pengangkatan
sumber daya manusia (human resources).
Apabila konsep ini dijalankan berarti dapat membantu meningkatkan pengetahuan
pemimpin tentang berbagai persoalan dalam masyarakat. Kaderisasi ini hendaknya
menembus sampai ke tingkat desa dalam rangka membentuk aparat yang terampil,
bersih dan berwibawa.
Akhirnya,
kita tutup paparan ringkas sederhana ini dengan suatu tanggung jawab moral
bersama, “mari membangun dan mengabdi untuk Lewotana”, dengan tetap berpegang
teguh pada prinsip “Salus Populi Suprema
Lex: Kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi”.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar