Halaman

Senin, 06 November 2017

Suksesi Lembata: Mencari Pemimpin yang Tepat






Getaran suksesi di kabupaten bungsu, Lembata semakin terasa. Para kandidat yang telah disodor ke tengah arena pertandingan pasti dan sedang mendesain strategi untuk dapat memenangkan pertandingan tersebut. Sebut saja, pengajuan program kerja sampai pada politik bagi-bagi beras, money politics, politik sepeda motor. Kendatipun kedengarannya “minor”, tetapi demikianlah yang tengah menuansai proses suksesi untuk lima tahun yang akan datang.
Omong tentang suksesi berarti omong tentang pemimpin. Siapa figur yang pantas dan tepat menduduki kursi bupati. Banyak kriteria yang telah digulirkan, baik oleh pihak LSM, maupun mereka yang turut bertanggungjawab atas bayi Lembata. Termasuk surat-surat dukungan yang disampaikan kepada DPRD Lembata, tentang figur-figur tertentu. Terlepas dari “valid” tidaknya dukungan-dukungan tersebut kita tentunya tidak percaya begitu saja. Karena paling tidak haruslah diuji melalui suatu riset ilimah. Namun bukan masalah ini yang hendak diurai pada kesempatan ini. Opini urun rembuk ini dapat menjadi kriteria dalam menentukan figur mana yang tepat.
Secara global, kita sepakat bahwa pemimpin adalah orang yang terpilih. Figur yang berhasil mengantongi nilai lebih atas lawan-lawannya. Mungkin demikianlah yang dikatakan demokrasi. Sebab figur yang terpilih tersebut sudah melewati proses yang ketat dengan sejumlah kriteria dari persyaratan yang telah dipatok tim khusus. Namun, aneka persoalan seketika akan mencuat, ketika munculnya protes terhadap figur yang telah terpilih tadi. Disinilah permenungan sederhana patutlah direfleksikan. Pemimpin dalam masyarakat itu banyak, tetapi tidak semua itu dapat memimpin. Pada keadaan ini kita mengeluh soal krisis kepemimpinan. Jika kita mengakui hal ini, maka kita pasti terbangun untuk memilih yang terbaik secara jujur dengan tidak menipu hati nurani, serta pengaruh-pengaruh luar yang bisa berakibat fatal. Semuanya tentu untuk kebaikan perjalanan ke depan. Fenomena tersebut tengah menjadi konsumsi tetap masyarakat sampai detik ini.
Persoalan terbatasnya jumlah pribadi yang benar-benar memenuhi kriteria sebagai pemimpin, artinya kepribadiannya dapat menjadi suri teladan dalam mengembangkan tugas yang telah diberikan memanglah masih sebatas mimpi saja. Hal ini, tergambar lewat pesatnya perubahan masyarakat dewasa ini. Suatu kemajuan yang menakjubkan. Ketika perubahan tersebut tidak cuma di bidang ekonomi, melainkan sudah menjamah sektor sosial dari budaya.
Perubahan pesat ini turut mempengaruhi etos kerja dari dedikasi pemimpin. Katakan, sikap hidup pragmatis tengah menjamah ke paradigma individualisme, sedang mengubah tatanan budaya yang tercipta lainya. Dengan demikian, pemimpin yang diharapkan hadir adalah mereka yang dapat membawa beban tanggungjawab agar dapat meminimalisir atau dapat melenyapkan kesenjangan antara apa yang dicita-citakan masyarakat dengan apa yang  sedang terjadi dalam masyarakat.
Mencermati situasi global pemimpin, terkadang kita terlambat untuk menyesal merasakan kinerja kepemimpinan mereka. Senada dengan hal ini, muncul juga berbagai konflik sebagai tanda protes dalam kurun waktu tersebut. Berkaitan dengan konteks di atas menyongsong pemilihan orang nomor satu Lembata, beberapa kontribusi pikiran nyata dapat dikemukakan sebagai langkah antisipatif.
Pertama, kondisi geografis Nusa Lembata yang berbukit. Indikasinya bahwa hampir sebagian masyarakat yang mendiami Lembata harus mengakrabnya lewat bertani dari bercocok tanam. Tentunya masih dalam sistem yang tradisional. Hal demikian, telah dilakoni berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tentang ini ada satu fenomena yang muncul. Hampir semua pemimpin yang menahkodai wilayah seperti ini, termasuk bangsa ini hendak mengubah pola masyarakat yang selalu dianggap “tradisional” untuk menjadi masyarakat yang modern. Atau dari masyarakat yang agraris kepada masyarakat yang industrial. Kalau terjadi seperti ini, konsekuensi logisnya adalah semua nilai atau tata nilai yang sudah membudaya dalam masyarakat juga harus diubah. Fenomena ini perlu suatu kajian yang representatif. Dan, kiranya demokratisasi tetap menjadi pijakan dalam proses tersebut dengan memberi angin segar seluas mungkin untuk tumbuh dari berkembangnya semangat egaliter yang tetap berporos pada penghormatan dan pengakuan akan seorang manusia itu. Sebab perlu disadari bahwa hak-hak manusia merupakan hak yang paling asasi yang tidak dapat diperkosa. Demi kepentingan umum (bonum commune) perubahan itu perlu tetapi bukan secepat kilat harus mengubah semua tatanan nilai leluhur yang telah terpatri dengan nilai atau sistem yang dirasakan lebih cocok dengan zaman ini. Semua berjalan melalui sebuah proses, karena hidup yang sedang kita jalani juga adalah sebuah proses panjang, lambat dan pelan.
Kedua, Lembata cuma sebuah wilayah administratif yang kecil. Dengan demikian, anak-anak “wunopito” akan sangat berbangga apabila pembangunan di bumi “ikan paus”, tersebut dapat merata di setiap wilayah. Dana-dana. yang sudah diplotkan agar dapat menembusi tembok birokrasi yang berbelit dalam keadaan utuh. Kinerja setiap istansi harus dibenahi dan diperingatkan untuk tidak setengah-setengah memberikan pelayanan kepada masyarakat kecil yang sementara menantikan pelayanan. Komitmen ini dapat terimiplementasi bila tugas yang diemban dirasakan sebagai sebuah pelayanan. Mungkin “pil pahit KKN” yang telah mengambrukkan tatanan hidup bermasyarakat perlu dihindari.
Ketiga, mampu menciptakan sebuah masyarakat yang aman, penuh persaudaraan  dalam kerangka penyatuan seluruh rakyat dalam pembangunan.
Konsep demikian merupakan fakta sosial yang khas dalam masyarakat. Proses pembangunan itu dapat berhasil, ketika masyarakat itu dibangun dalam sebuah kehidupan bersama, dimana masing-masing anggota memilik kesadaran kolektif, serta rasa memiliki terhadap sebuah pembangunan. Oleh karena itu, konsep-konsep pembangunan perlu dijelaskan secara transparan. Kondisi ini menuntut pemimpin harus lebih banyak melakukan dialog untuk mendengar sendiri aspirasi masyarakat. Di sinilah strategi bottom up perlu diterapkan. Merakyat dari dekat dengan masyarakat karena masyarakat akan lebih senang kalau pemimpinnya turun dari bekerja langsung dengan mereka.
Keempat, membentuk kaderisasi kepemimpinan untuk menjawabi kebutuhan masyarakat di masa depan. Kenyataan ini hanya dapat dilakukan lewat jalur pendidikan dengan berbagai pelatihan kaderisasi kepemimpinan untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin yang siap pakai dan tepat guna. Persoalan tersebut menyangkut pengangkatan sumber daya manusia (human resources). Apabila konsep ini dijalankan berarti dapat membantu meningkatkan pengetahuan pemimpin tentang berbagai persoalan dalam masyarakat. Kaderisasi ini hendaknya menembus sampai ke tingkat desa dalam rangka membentuk aparat yang terampil, bersih dan berwibawa.
Akhirnya, kita tutup paparan ringkas sederhana ini dengan suatu tanggung jawab moral bersama, “mari membangun dan mengabdi untuk Lewotana”, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip “Salus Populi Suprema Lex: Kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi”.*







[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 27 Maret 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar