Narasi
tentang dunia pendidikan kita ibarat mengurai benang kusut, yang berbelit dan
sulit terurai. Kendatipun melalui suatu proses yang cukup teliti dan
menyakinkan, tetapi hasilnya “tetap kusut”. Output tahunan pun anjlok,
kemampuan bidang terbaca bahwa anak-anak sekolah kita akhir-akhir ini terlibat
perkelahian, tawuran, peredaran narkoba dari aksi-aksi krinimal serupa. Belum
lagi dengan persoalan-persoalan non teknis yang sangat mempengaruhi proses pendidikan.
Guru dibebani dengan aturan dari kewajiban yang sangat variatif, dengan sistem
birokrasi yang sangat berbelit. Pada akhirnya, benang pendidikan tetap kusut
dari berbelit. Akibatnya, mutu pendidikan kita dari tahun ke tahun disinyalir
dari dikeluhkan masih tetap rendah.
Terlepas
dari polemik tentang mutu pendidikan tersebut, kita tentu saja menaruh
keprihatinan yang amat sangat mendalam atas sebuah proses panjang, tetapi masih
belum apa-apa. Permenungan ini akan coba mengangkat fenomena rendahnya mutu
pendidikan kita yang dari tahun ke tahun tetap menjadi benang merah
pengangkatan kualitas pendidikan kita.
Mutu
merupakan (ukuran) akan baik-buruk suatu benda, kadar, taraf, atau derajat
(tentang kepandaian, kecerdasan, dari kecakapan). Di sini mutu terimplisit
upaya untuk mengaktualisasikan pendidikan, mutu mungkin tepat menyangkut taraf
atau derajat tentang kepandaian, kecerdasan, dari kecakapan. Dalam hal ini,
mutu mencakup ranah kognitif, afektif dari psikomotorik atau keahlian. Ketika
tidak ada ketidaksesuaian dari ketidakcocokan antara teori dari praktik di
lapangan, maka akan menggejala kosa kata baru untuk mengungkapkan konteks
tersebut, yakni mutu. Bagaimana kita menjamah yang terimplisit dalam setiap
individu (peserta didik) yang pada dasamya punya potensi itu, tentu saja tidak
gampang. Hal ini butuh suatu proses. Dari, dalam proses dimaksud juga ada upaya
dari strategi untuk mencapai tujuan.
Sampai tahap ini,
pertanyaan berikut akan dilemparkan kepada publik untuk direnungkan. “Siapakah
yang bertanggung jawab untuk menjamin agar peserta didik (output) kita dapat bermutu?”
Dalam
konteks pendidikan, kita mengenal beberapa komponen penting yang terlibat
langsung proses tersebut. Ada keluarga (orang tua), sekolah (guru) dari
masyarakat..Orang tua mendidik karena secara kodrati mereka harus mendidik.
Baik buruknya anak di sekolah sebagian besar mer pakan tanggunjawab orang tua
dari secara tidak langsung keluarga telah terlibat aktif dalam pembentukan
nilai, sikap,kebiasaan dari keterampilan untuk menunjang keberhasilan sekolah.
Dengan demikian asumsi bahwa.tugas .orang tua selesai ketika anaknya telah
diantar ke sèkolah adalah suatu kekeliruan dari sudah saatnya ditinggalkan.
Sementara, sekolah merupakan penyedia sarana dari fasilitas formal pengembangan
pengetahuan anak. Guru bukan menjadi satu-satunya. Guru hanya salah satu sosok
yang mengemban tugas mendidik. Konsekuensinya, guru hanya bertemu dengan anak
(siswa) kurang lebih 6-7 jam dalam sehari. Selebihnya anak akan berada bersama
orang tua dari masyarakat.
Secara
formal, kita juga sepakat bahwa berbicara petihal mutu pendidikan berarti kita
cendenung berbicara ten- tang mstitusi formal (sekolah). Sekolah sebagai
penghasil’ (keluaran) setelah melewati suatu proses penempahan dengan berbagai
ilmu yang tentu saja telah mengantisipasi sehingga seimbang dengan pasar kerja.
Guru sebagai instrumental imput telah siap menjalan roda lembaga pendidikan.
Dengan demikian, untuk mengukur keberhasilan anak, orang lebih melihat kepada
lembaganya (penting hasil). Atau mutu dari tidak bermutunya output akan
ditentukan oleh lembaga penghasil. Walaupun kalau kita cermati realitas di
masyarakat, sesungguhnya argumen di atas masih membutuhkan telaahan lanjutan,
sehingga kita tidak saling mengklaim atau menuding. Tentu saja demi
keharmonisan relasi antara lembaga-lembaga pendidikan.
Sebagai
instrumen imput, sebelum mengajar guru harus betul-betul menyiapkan materi yang
akan disajikan. Dia harus berusaha mengantar siawa menyelaini materi.
Efektivitas dari efisiensi pengajaran sungguh menjadi acuan demi menjawab mutu
pendidikan. Sehingga, guru lebih berusaha menggunakan pendekatañ komunikatif
untuk merangsang terdapatnya daya nalar anak, serta menjunjung tinggi
kretivitas menuju optimalisasi potensi anak sebagai subjek didik. Atau proses
pelahiran generasi baru tidak gagap menghadapi realitas.
Hemat
penulis, gema pengangkatan sumber daya manusia menjadi pilar utama program
pembangunan hendaknya tetap menjadi prionitas. Penyediaan prasarana dari sarana
pendidikan tetap disinkronkan dengan ketersediaan sumber daya yang ada untuk
menghindari pemubaziran fasilitas-fasilitas dimaksud. Sebagai contoh,
penanibahan pembangunan gedung sekolah bukanlah tujuan akhir, tetapi untuk
mengoptimalkan fasilitas yang ada baik pengangkatan pengadaan mqa kursi,
buku-buku pengajaran (perpustakaan), pemerataan tenaga guru1 senta perhatian
akan kesejahteraan guru. Hal-hal ini tampaknya kecil, namun merupakan
pengganjal pengguliran sistem pendidikan yang sedang berjalan.
Sejalan
dengan upaya human resources
khususnya pengangkatan di bidang pendidikan, ada bebenapa fenomen penting yang
harus digaris bawahi.
Pertama,
kalau kita beracu dari ikhlas, make kita sepakat untuk tidak merumuskan dari
membuat kurikulum secara terpusat dari terinci. Jadi, yang ada hanya
tujuan-tujuan pokok atau sasaran utama yang dipaparkan dalam kurikulum
tersebut. Kondisi sentralistik pendidikan akan cenderung mengarahkan
pembelajaran kepada belajar “tentang” bukan ‘bagaimana”. Apalagi realitas di
Indonesia, para guru menghadapi kelas-kelas besar. Tentang hal ini Ronald L.
Teraham mengatakan bahwa esensi belajar dalam mempelajari bagaimana cara
belajar. Implementasi sistem sentralistik yang demikian akan semakin memperarah
dan memperbesar penerapan strategi nasional (para perumus kebijakan) dengan
taktik local operasional di lapangan. Disini kita yakin dan percaya bahwa dalam
kemajemukan, ada wilayah-wilayah tertentang pemilik keunikan yang spesifik.
Berangkat
dari pensepsi ini kita mulai melangkah. Sehingga menasionalkan dari menyenagamkan
kurikulum sangat ketat merupakan strategi untuk mematikan kreativitas dari
movasi anak didik. Lebih dari itu adalah upaya konyol terhadap pengembangan
pendidikan kita. Ketika kondisi yang sama kita tetap terapkan, maka satu desain
yang berbeda terstruktur sedang dikonstruksi ke arah upaya priniordialisme
pendidikan yang melanggar amanat GBHN.
Kedua,
proses penerimaan tenaga pendidik perlu format tanpa mengabaikan
instrumen-instrumen yang telah ada. Tenaga guru yang direkrut harus memenuhi
kriteria yang objektif. Ketiga, pemerataan penempatan tenaga guru sampai ke
daerah pedalaman untuk mencegah penumpukan tenaga guru di kota. Keempat,
fenomena cab pendidikan yang terjadi di seputar kantor Diñas Pendidikan yang
menusak citra lembaga pendidikan dari integritas anak didik. Kondisi ini
semakin marak .ketika berlangsungnya penerimanaan siswa/murid baru. Mentalitas
dan gampang baik orang tua menyuap pans pendidik yang turut menambah kusutnya
benang pendidikan. Kelima, memberikan kesempatan kepada tenaga pendidik untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan yang profesional sebagai upsya penyegaran
pembelajaran dari penggunaan fasilitas pengajaran. Di samping itu, untuk
meningkatkan kemampuan dari tugas manajerial lainnya. Keenam, suatu perjuangan
akan sia-sia,jika kesejahteraan para guru tidak diperhatikan. Bagaimana mungkin
keberhasilan bisa diraih kalau kesejahteraan guru diabaikan? Lembaga pendidikan
adalah lokomotif dasar bagi pembangunan. Maka, perjuangan untuk mengangkat mutu
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama yaitu orang tua, masyarakat, para
pendidik dari pemerintah.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar