Halaman

Rabu, 08 November 2017

Soekarno Di Ende




1 Juni bagi bangsa Indonesia dirayakan sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Di Ende, tiga tahun belakangan peringatan ini dirayakan secara gegap gempita, melalui berbagai uapacara, semisal Parade Kebangsaan, napak tilas ke Rumah Situs Bung Karno, mengunjungi Taman Makam Ibu Fatmawati, dan berbagai kegiatan lain, dengan mengundang sejumlah tokoh penting Jakarta ke Ende. Pokoknya semarak dan menyenangkan. Artinya, Pancasila yang menjadi Landasan Idiil Negara menjadi landasan yang sakti serentak mampu menunjukkan kesaktiannya melalui lima butir yang digagas dan dituangkan sebagai dasar negara. Untuk itulah, setiap warga negara wajib hukumnya untuk mengaplikasikan secara benar dalam relasi dan cara hidup berindonesia.
 Hari dan tanggal inilah selalu dekat dengan nama Soekarno. Bahkan, ada wacana agar bulan Juni dirayakan sebagai bulan Soekarno. Nama Soekarno menjadi sebuah nama yang paling lama melekat kuat dalam setiap memori anak negeri ini, secara khusus anak-anak di Ende. Mungkin karena nama itu hanya memiliki satu kata, ringkas, dan padat. Selain bahwa Soekarno adalah Presiden Pertama Indonesia, nama ini telah menghadirkan sekian daya, seperti magnet. Bahkan, Tukang Sihir yang mampu “menyihir” dan menghipnotis anak negeri ini untuk tidak patah arang dalam menggelorakan perjuangan mendesak mundur para kolonialis. Soekarno terus menggedor kaum muda melalui pidato yang memacu “detak jantung” warga bangsa untuk tidak tega membiarkan Zamrud ini dijajah terus-menerus. Di Ende, gelora dan semangat itu juga terleret dalam bentuk tonil, cetusan dan bukti kecemerlangan berpikir dan berkarya seni Soekarno. Tercatat selama di Ende inilah beliau mencipta duabelas naskah toneel dan sempat dipentaskan di Rumah Pentas Imakulata Jalan Katedral Ende. Bahkan, dari tempat inilah Bung Karno telah meramalkan bahwa Indonesia akan merdeka tahun 1945 melalui sebuah toneelnya yang berjudul Tahun 1945. Dua naskah terkenal adalah Dokter Syaitan dan Rahasia Kelimutu. Naskah pertama pernah dipentaskan mahasiswa Prodi PBSI Uniflor bersama Prof. Steph Djawanai, Rektor Uniflor Ende, dan Alm. Taufik Kiemas yang disiarkan langsung oleh RRI Ende. Sedangkan naskah yang kedua pernah dipentaskan di Auditorium H.J Gadi Djou, oleh mahasiswa PBSI Universitas Flores, dihadapan tamu dari Kementerian Dikbud RI. Dan, untuk itulah nama Soekarno tak pernah akan dilupakan setiap anak Ende, karena di sinilah, di Ende sebelum sebagai Presiden Pertama Indonesia, Soekarno pernah mengalami masa pembuangan antara tahun 1934–1938.

Soekarno Putra Sang Fajar
Nama memaklumkan bahwa di mana saja seseorang dikenal, diingat, di sanalah juga kehadirannya dirasakan. Nama menjadi sebuah tanda. Sebuah jati diri, identitas yang membuatnya dikenal. Soekarno. Mungkin banyak di antara kita yang tidak mengetahui apa arti sesungguhnya dari nama ini. Soekarno berarti pahlawan yang terbaik atau pahlawan sejati. Dilahirkan tanggal enam bulan enam jam setengah enam pagi tahun 1901. Tahun permulaan abad baru. Ditandai dengan meletusnya gunung Kelud di Jawa. Orang menafsirkannya sebagai pertanda yang baik, yaitu suatu “penyambutan” terhadap bayi Soekarno. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, kalau gunung Agung meletus, maka itu pertanda buruk. Entahlah, mana yang benar, namun Soekarno menerima semuanya itu sebagai bagian dari nasib hidupnya. “Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran, dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah perpaduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 15-16). Suatu hari sewaktu Soekarno masih kecil, ia sudah bangun pagi sekali. Ia lalu mendatangi ibunya yang sedang duduk di beranda rumah mereka. Suara ibunya tiba-tiba memecah kesunyian pagi itu, “Engkau sedang memandangi fajar, nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing....Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak bahwa engkau ini putra dari sang fajar (Ibid, 16). Itulah sebabnya, mengapa Soekarno disebut sebagai sosok Putra Sang Fajar. Dengan begitu, nama juga mendapatkan suatu keunikan, karena disanalah nama memperolah kepadatan makna bahwa nama telah terekspos menjadi sebuah bagian dari tutur masyarakat dalam lingkungan sosial budaya tertentu.

Mengapa Harus Ende?
Politik pembuangan (internering) Soekarno di Ende tahun 1934–1938 dianggap sebagai rumah pemulihan. Satu pertanyaan yang tidak pernah lepas dari peristiwa pembuangan ini adalah mengapa harus Ende? Ada tiga alasan, pertama, adanya penjagaan yang cukup ketat sehingga yang ditahan tidak melarikan diri. Kedua, kesempatan kerja, dan ketiga, kepekaan masyarakat sekitar kalau sekiranya ada agitasi dari Bung Karno. Ternyata dugaan para pembesar Belanda meleset karena Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga sehingga telah melepaskan atavisme “nusa nipa nusa naga” karena sudah mempertautkan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan kekuasaan kolonial Belanda yang memaksakan penaklukan dengan kekerasan senjata dan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam. Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit. Bagi orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u Jawa (orang pintar dari Jawa). Sebaliknya Soekarno sendiri memandang dirinya sebagai “seekor  burung elang yang telah dipotong sayapnya” (Dhakidae, 2013: 13).
Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan raya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumpurnya menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari yang menghanguskan memancarkan dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja (Bung Karno dan Pancasila, 2006: 42-43).
Di Ende, Soekarno berhasil memungut gagasan-gagasan dasar dari budaya-budaya yang diamati dan dijumpainya, dan beliau “merajut”, mentransformasikannya, menjadi suatu “candi” intelektual yang dikenal dengan nama Pancasila, lima butir mutiara yang menjadi dasar bangunan Negara Republik Indonesia (Djawanai, 2013: 99). Yang menarik bahwa beliau mengaitkan semua sila dengan konsep tradisional gotong royang. Menurut beliau, untuk membangun Indonesia, gotong royang harus menjadi alat transformasi sosial budaya. Sebab dalam gotong royong semua saling menghargai dan tolong menolong meskipun berbeda etnik, ras, kepercayaan. Inilah romantisme Bung Karno dalam membangun konsep kebangsaan Indonesia.
Selain menjadi tempat pemulihan dan transformasi merajut candi intelektual, Ende juga menjadi tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan penjara dengan panggung merdeka (Mukese, 2013: 102). Sebab di tempat inilah, Soekarno menjalani persahabatan tanpa batas dan menemukan wajah Belanda yang lain lewat para pastor Belanda yang berkarya di Ende. Yang kalau dicermati, mereka adalah “musuh” politik Bung Karno. Namun, ternyata fakta menunjukkan lain, bahwa para pastor Belanda itu sangat akrab dan bersahabat.
Sekali lagi, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang plural, majemuk, beranekaragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Sehingga tidaklah penting mempersoalkan mengapa Bung Karno harus di buang ke Ende. Terlepas ada kepentingan politik kaum kolonialis Belanda ketika itu, tetapi yang jelas bahwa Ende dan Flores adalah wilayah NKRI. Secara literer, Indonesia merupakan sebuah teks  yang sangat luas. Di dalam teks itulah memungkinkan semua orang untuk hidup dan membangun sebuah keselarasan antara satu orang dengan orang yang lain demi tercapainya sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan mandiri, sebagaimana yang pernah digagas dan diidamkan oleh Bung Karno dalam pidatonya 17 Agustus 1964, tentang Tahun Vivere Pericoloso yang menekankan pada “Trisakti”: berkedaulatan dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkpribadian dalam bidang sosial budaya. Barangkali itulah ide dasar, mengapa Preside Jokowi dalam kabinet Kerja mengusung Nawacita dalam derap dan gegap pembangunan Indonesia.
 “Pulau Bunga akan tetap melekat kuat dalam ingatanku”, kata Bung Karno mengenai Pulau Flores atau Pulau Bunga. Ungkapan nostalgik ini berbeda jauh dengan jeritan hati di awal pembuangannya di Ende. Hidup Bung Karno telah menjadi sejarah negara dan bangsa Indonesia serta tetap terpatri dalam sanubari anak cucu negara ini. Di setiap tempat yang pernah ditapakinya, BungKarno telah menoreh kenangan tersendiri. Demikian pula di sini, di Ende, sebuah kota tengah Pulau Flores. Di kota sejarah inilah Bung Karno memahat sebuah candi intelektual yang kita kenal dengan nama Pancasila. Demikianlah peribahasa lama mengingatkan kita “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Soekarno di Ende, menggagas sebuah rumah Indonesia. Paling kurang ada kiat untuk upaya re-aktualisasi nilai-nilai perjuangan Soekarno di Ende yang perlu digelorakan dari waktu ke waktu demi menghindari efek amnesia sejarah generasi masa depan kita. (*)








[1]  Opini ini dimuat  dalam HU Pos Kupang, 18 Juni 2015

1 komentar: