Kehadiran buku Sosiologi Sastra telah memberi andil dalam
mempersubur dan memperindah taman sari sastra, sekaligus telah menyemarakkan
ilmu Sosiologi Sastra, sebagai sastra Indonesia yang memang secara empiris
sangat multikultural, multilingual, dan pluralistis. Apalagi kehadiran buku ini
pada puncak pengabdian penulis (November 2016 tepat berusia 75 tahun). Ini sesuatu yang “tidak biasa” dari kebanyakan
orang yang mengabdikan dirinya di lingkungan perguruan tinggi. Bagi saya, ini
momentum untuk belajar dari sosok seorang Theo, yang kendatipun di usia senja
tetapi masih memiliki semangat, dan ini patut digugu dan ditiru. Titik
puncak pengabdian ini juga menyiratkan bahwa seorang Theo tetap lestari
mengalami proses belajar dan berpikir sebagai dua entitas yang berlangsung
sepanjang hayat. Di situlah Theo menghayati “tanah air keilmuannya” yang
memberikan dia napas akademik keilmuan untuk terus mengabdi tanpa pamrih dalam
semangat “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Janinan Interaksi Sosial
Sastra adalah
ungkapan perasaan masyarakat yang terjadi dalam sebuah konteks sosial, sistem ekonomi, dan sistem
kekuasaan suatu masyarakat. Meminjam konsep
Hippolyte Taine, sejarahwan, filsuf, politikus, dan kritikus Prancis, sastra merupakan manifestasi milieu, ras, dan moment dalam suatu masyarakat. Sastra pun menjadi alat dan “bahasa penghubung
antarmanusia”, dalam mempersatukan
fungsi sosial dan spiritual yang tak terpisahkan (Ismail, 1999:106). Sastra ibarat jembatan atau titian penghubung
antara pengarang dengan masyarakat (tanah air) tempatnya berpijak. Masyarakat
dapat belajar tentang hidup dan kehidupannya. Walaupun penyampaiannya secara
verbalistik lewat pemadatan kata-kata tak bernyawa, tetapi patutlah diakui
bahwa cipta sastra, lebih transparansi mengungkap realitas sosial
kemasyarakatan yang tengah terjadi. Pengarang juga menghidangkan
permenungan-permenungan kemanusiaan dan citra-citra keberadaban yang dapat
menjadi ragi-ragi penggembur dan pemerkaya rohani pembaca–terutama masyarakat,
meskipun juga pejabat.
Renungan-renungan ikhlas tentang serangkaian
kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Berpijak pada kebeningan nurani dan kejernihan hati
yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya. Dengan demikian, sastra menjadi
media interaksi sosial masyarakat. Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok
sosial yang lebih besar. Sastra juga menjadi media belajar bersama tentang
hidup nan kompleks. Menjadi “bahasa
penghubung” tentang kehidupan material dan spiritual, sastramampu menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur
kehidupan masyarakat secara universal. Renungan-renungan dimaksud telah
menghadirkan sebuah interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di
antara dua orang atau lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, dan kontak sosial.
Relasi sosial merupakan interaksi sosial yang berlangsung berulang-ulang yang
memperlihatkan adanya suatu pola dan kemantapan tertentu (hal. 22).
Buku Sosiologi
Sastra bagi Theo dapat membuka peluang bagi mahasiswa untuk lebih kreatif (hal. 6). Baginya, Sosiologi Sastra memiliki hubungan dwiarah
antara masyarakat dengan sastra, sehingga para peminat sastra dapat
memahami letak hubungan karya sastra dengan masyarakat (hal. 11-13). Dengan demikian, Sosiologi Sastra
berkecenderungan membahas fenomena aktual yang merupakan fakta-fakta sosiologis
dalam kehidupan masyarakat (hal. 14). Karya
sastra dapat pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang dinamis
antara dorongan batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.
Rekonstruksi Jejak Pengarang
Theo merapatkan
Sosiologi Sastra dengan fakta kehidupan sosial sebagai basis kekaryaan
pengarang dengan mengambil puisi berjudul Rakyat karya Hartojo
Andangjaja sebagai contoh. Saya kutip acak setiap bait untuk mewakili
subjektivitas saya sebagai masyarakat penikmat sastra. Kemudian saya jejaki
(resepsi) sekehendak saya pula sebagai penikmat dan pembaca sastra. Rakyat
ialah kata/ rakyat ialah tangan yang bekerja/ yang menapak sepanjang jemaring
angka-angka/ puisi kaya makna di wajah semesta/ darah di tubuh bangsa/ debar
sepanjang masa. (hal. 44 -45).
SekarangsedangberlangsungtahapanPilkadauntukFlotim.Lembata,
dan Kota Kupang untuk memaksimalkan peran rakyat dalam koridor kedaulatan
rakyat. Pesta demokrasiuntuk memberi ruang
partisipasi sekaligus pengakuan akan keberadaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Ini merupakan ruang kedaulatan demokrasi yang membanggakan sekaligus
menunjukkan kehadiran rakyat dalam proses pembangunan secara berkelanjutan.
Rakyat bertanggung jawab tentang kelangsungan hidup berbangsa menuju masyarakat
yang aman dan damai. Rakyat tidak dijadikan sebagai mesin pengumpul suara untuk
partai-partai tertentu, melainkan diberikan ruang secukupnya untuk memberikan
keputusan pilihan sendiri tanpapaksaan. Partisipasi
rakyat sesungguhnya menjadi indikator nyata dalam praktik kehidupan berbangsa
dan bernegara karena kedaulatan itu ada di tangan rakyat.
Pengarang adalah
produk kultural tanah airnya. Setiap karyanya, setiap perbuatannya, setiap
pemikirannya, secara inheren memantulkan kembali pertautan dirinya dengan tanah
airnya. Sudah tentu, dengan ini tidak dimaksudkan, bahwa setiap unsur karyanya
tersebut harus dapat secara langsung menunjuk pada perkataan “tanah air” yang
“lebih bersifat kebangsaan” atau “lebih bersifat patriotik” (Ismail, 1999:241).
Di sini jelas mengungkap perihal rapatnya hubungan antara pengarang dan “tanah
air” tempat dia berdiam dan berkarya. Pengarang memiliki kebebasan untuk
memungkinkan penciptaan. Proses penciptaan adalah pergumulan kebebasan melawan
yang selebihnya, yaitu melawan katakbebesan.
Derrida (via Ratna, 2009:125) menyebutkankarya sastra
sebagai teks hanyalah jejak (trace), bekas telapak kaki, di dalamnya
pembaca harus menemukan manusianya. Menurutnya, jejak bukanlah makna,
melainkan
hanyalah mediasi antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara yang tertinggal
dengan yang harus dicari. Pembacalah yang harus mencarinya. Di sanalah
eksistensi pengarang ditemukan sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan
ketidaksadaran. Aspek yang tertulis adalah kesadaran, dan aspek yang tidak
tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat metafora gunung es, yang menjadi aspek
yang jauh lebih luas, dalam dan beragam. Unsur-unsur di luar bahasalah yang
lebih kaya yang dapat dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan
pemahaman yang komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh
pengarang.Di sini, berarti pemahaman tidak datang
dengan sendirinya ataupun dinyatakan langsung oleh realitas budayanya, tetapi
direfleksikan, ditafsirkan atau diinterpretasikan dan direkonstruksi oleh
pembaca. Pembaca sebagai penafsir tidak boleh bersikap pasif dan sedapatnya
merekonstruksi makna secara terus-menerus, baik tentang pengalaman masa lalu,
saat ini dan latar belakang kebudayaan yang dimiliki. Dalam konteks inilah,
Sosiologi Sastra menjadi bahasa penghubung, jembatan mengakrabi realitas masyarakat
yang sesungguhnya dalam berbagai cipta sastra. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar