Halaman

Selasa, 14 November 2017

Sosiologi Sastra, Bahasa Penghubung Antarmanusia: Apresiasi Buku “Sosiologi Sastra” Karya Drs. Theodorus Uheng Koban Uer, M.Pd.





Kehadiran buku Sosiologi Sastra telah memberi andil dalam mempersubur dan memperindah taman sari sastra, sekaligus telah menyemarakkan ilmu Sosiologi Sastra, sebagai sastra Indonesia yang memang secara empiris sangat multikultural, multilingual, dan pluralistis. Apalagi kehadiran buku ini pada puncak pengabdian penulis (November 2016 tepat berusia 75 tahun). Ini sesuatu yang “tidak biasa” dari kebanyakan orang yang mengabdikan dirinya di lingkungan perguruan tinggi. Bagi saya, ini momentum untuk belajar dari sosok seorang Theo, yang kendatipun di usia senja tetapi masih memiliki semangat, dan ini patut digugu dan ditiru. Titik puncak pengabdian ini juga menyiratkan bahwa seorang Theo tetap lestari mengalami proses belajar dan berpikir sebagai dua entitas yang berlangsung sepanjang hayat. Di situlah Theo menghayati “tanah air keilmuannya” yang memberikan dia napas akademik keilmuan untuk terus mengabdi tanpa pamrih dalam semangat “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Janinan Interaksi Sosial
Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat yang terjadi dalam sebuah konteks sosial, sistem ekonomi, dan sistem kekuasaan suatu masyarakat. Meminjam konsep Hippolyte Taine, sejarahwan, filsuf, politikus, dan kritikus Prancis, sastra merupakan manifestasi milieu, ras, dan moment dalam suatu masyarakat. Sastra pun menjadi alat dan “bahasa penghubung antarmanusiadalam mempersatukan fungsi sosial dan spiritual yang tak terpisahkan (Ismail, 1999:106). Sastra ibarat jembatan atau titian penghubung antara pengarang dengan masyarakat (tanah air) tempatnya berpijak. Masyarakat dapat belajar tentang hidup dan kehidupannya. Walaupun penyampaiannya secara verbalistik lewat pemadatan kata-kata tak bernyawa, tetapi patutlah diakui bahwa cipta sastra, lebih transparansi mengungkap realitas sosial kemasyarakatan yang tengah terjadi. Pengarang juga menghidangkan permenungan-permenungan kemanusiaan dan citra-citra keberadaban yang dapat menjadi ragi-ragi penggembur dan pemerkaya rohani pembaca–terutama masyarakat, meskipun juga pejabat.
Renungan-renungan ikhlas tentang serangkaian kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Berpijak pada kebeningan nurani dan kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya. Dengan demikian, sastra menjadi media interaksi sosial masyarakat. Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok sosial yang lebih besar. Sastra juga menjadi media belajar bersama tentang hidup nan kompleks. Menjadi “bahasa penghubung” tentang kehidupan material dan spiritual, sastramampu menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur kehidupan masyarakat secara universal. Renungan-renungan dimaksud telah menghadirkan sebuah interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di antara dua orang atau lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, dan kontak sosial. Relasi sosial merupakan interaksi sosial yang berlangsung berulang-ulang yang memperlihatkan adanya suatu pola dan kemantapan tertentu (hal. 22).
Buku Sosiologi Sastra bagi Theo dapat membuka peluang bagi mahasiswa untuk lebih kreatif (hal. 6). Baginya, Sosiologi Sastra memiliki hubungan dwiarah antara masyarakat dengan sastra, sehingga para peminat sastra dapat memahami letak hubungan karya sastra dengan masyarakat (hal. 11-13). Dengan demikian, Sosiologi Sastra berkecenderungan membahas fenomena aktual yang merupakan fakta-fakta sosiologis dalam kehidupan masyarakat (hal. 14). Karya sastra dapat pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang dinamis antara dorongan batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.

Rekonstruksi Jejak Pengarang
Theo merapatkan Sosiologi Sastra dengan fakta kehidupan sosial sebagai basis kekaryaan pengarang dengan mengambil puisi berjudul Rakyat karya Hartojo Andangjaja sebagai contoh. Saya kutip acak setiap bait untuk mewakili subjektivitas saya sebagai masyarakat penikmat sastra. Kemudian saya jejaki (resepsi) sekehendak saya pula sebagai penikmat dan pembaca sastra. Rakyat ialah kata/ rakyat ialah tangan yang bekerja/ yang menapak sepanjang jemaring angka-angka/ puisi kaya makna di wajah semesta/ darah di tubuh bangsa/ debar sepanjang masa. (hal. 44 -45).
SekarangsedangberlangsungtahapanPilkadauntukFlotim.Lembata, dan Kota Kupang untuk memaksimalkan peran rakyat dalam koridor kedaulatan rakyat. Pesta demokrasiuntuk memberi ruang partisipasi sekaligus pengakuan akan keberadaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Ini merupakan ruang kedaulatan demokrasi yang membanggakan sekaligus menunjukkan kehadiran rakyat dalam proses pembangunan secara berkelanjutan. Rakyat bertanggung jawab tentang kelangsungan hidup berbangsa menuju masyarakat yang aman dan damai. Rakyat tidak dijadikan sebagai mesin pengumpul suara untuk partai-partai tertentu, melainkan diberikan ruang secukupnya untuk memberikan keputusan pilihan sendiri tanpapaksaan. Partisipasi rakyat sesungguhnya menjadi indikator nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara karena kedaulatan itu ada di tangan rakyat.
Pengarang adalah produk kultural tanah airnya. Setiap karyanya, setiap perbuatannya, setiap pemikirannya, secara inheren memantulkan kembali pertautan dirinya dengan tanah airnya. Sudah tentu, dengan ini tidak dimaksudkan, bahwa setiap unsur karyanya tersebut harus dapat secara langsung menunjuk pada perkataan “tanah air” yang “lebih bersifat kebangsaan” atau “lebih bersifat patriotik” (Ismail, 1999:241). Di sini jelas mengungkap perihal rapatnya hubungan antara pengarang dan “tanah air” tempat dia berdiam dan berkarya. Pengarang memiliki kebebasan untuk memungkinkan penciptaan. Proses penciptaan adalah pergumulan kebebasan melawan yang selebihnya, yaitu melawan katakbebesan.
Derrida (via Ratna, 2009:125) menyebutkankarya sastra sebagai teks hanyalah jejak (trace), bekas telapak kaki, di dalamnya pembaca harus menemukan manusianya. Menurutnya, jejak bukanlah makna, melainkan hanyalah mediasi antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara yang tertinggal dengan yang harus dicari. Pembacalah yang harus mencarinya. Di sanalah eksistensi pengarang ditemukan sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Aspek yang tertulis adalah kesadaran, dan aspek yang tidak tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat metafora gunung es, yang menjadi aspek yang jauh lebih luas, dalam dan beragam. Unsur-unsur di luar bahasalah yang lebih kaya yang dapat dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan pemahaman yang komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh pengarang.Di sini, berarti pemahaman tidak datang dengan sendirinya ataupun dinyatakan langsung oleh realitas budayanya, tetapi direfleksikan, ditafsirkan atau diinterpretasikan dan direkonstruksi oleh pembaca. Pembaca sebagai penafsir tidak boleh bersikap pasif dan sedapatnya merekonstruksi makna secara terus-menerus, baik tentang pengalaman masa lalu, saat ini dan latar belakang kebudayaan yang dimiliki. Dalam konteks inilah, Sosiologi Sastra menjadi bahasa penghubung, jembatan mengakrabi realitas masyarakat yang sesungguhnya dalam berbagai cipta sastra. (*)



[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 12 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar