Halaman

Selasa, 14 November 2017

Menghindari Erosi Kebangsaan Melalui Jalan Budaya




Di tengah “perayaan” kemajemukan sebagai sebuah bangsa, Indonesia patut bersyukur  karena kemajemukan tersebut membuat perjalanan bangsa ini semakin berdecak kagum dan semarak warna-warni. Perayaan kemajemukan yang ditandai dengan berdiamnya berbagai etnik, agama, golongan, dengan kekayaan budaya, adat istiadat, ruang geografis pulau Nusantara, dan lingkungan sosiokultural yang unik dan spesifik.
Sebagai sebuah bangsa yang demikian semarak, kita telah menjejak jalan hidup panjang dengan bersandar pada nilai-nilai budaya yang telah tertanam dalam bangunan karakter para leluhur. Ketika silang-sengkurat persoalan di negeri ini dengan aneka konflik horizontal tak menemukan titik temu, nilai-nilai budaya kemanusiaan bangsa yang majemuk inipun digaungkan kembali.
Berbagai ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan pada komunitas lokal, dapat menjadi ikhtiar menyikapi persoalan-persoalan yang muncul. Upaya inilah menjadi bagian dari apropriasi untuk mengawetkan dan menyelamatkan warisan kultural kemanusiaan masa lampau dari sebuah alienasi distansiasi dan ketercerabutan budaya. Ada ikatan berbangsa bersama yang adalah kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa ini. Kristalisasi nilai-nilai kemanusiaan inilah mesti terus diupayakan untuk menjadikannya sebagai inspirasi menyikapi dan menyelesaikan aneka persoalan.
Nilai-nilai kemanusiaan itu merupakan representasi sifat humanis yang dengan sendirinya ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Apabila tindakan kekerasan dijadikan pilihan, maka seseorang telah menjatuhkan harkat dan martabat manusia karena dimotivasi oleh emosi. Di sanalah ada dehuminasasi. Pada pilihan ini, seruan Holbus  tentang manusia adalah serigala bagi sesamanya, semua manusia saling bertarung (homo homini lupus, bellum omnium contra omnes) akan menjadi fakta kegelisahan yang terus mengintai kehidupan bangsa ini.
Akibat kemajuan, perubahan pun terasa pada hampir setiap sendi kehidupan. Menyentuh nilai-nilai dasar kemajemukan. Sebagai penerus budaya, ada dua proses yang berlangsung dalam hubungan antara nilai-nilai budaya (Kleden,2011: 1). Proses pertama dinamakan apropriasi. Proses ini terjadi dengan baik apabila seperangkat nilai budaya diperlakukan dan dihayati oleh seorang individu sebagai nilainya sendiri tentunya berjalan dalam daur kontinuitas yang produktif dan tanpa henti.
Proses kedua ekspropriasi, yaitu kalau seorang individu dengan sengaja menjauhkan diri dari sebuah nilai dan kebudayaannya yang tidak sesuai dengan pandangannya. Baik apropriasi maupun ekspropriasi berlangsung melalui proses belajar dalam kebudayaan. Jika masyarakat budaya mengapropriasi dan mengekspropriasi nilai-nilai budaya  dengan baik, maka budaya kita akan tetap lestari dan berkembang ke arah positif. Pelestarian menjadi harapan kita bersama, karena dari cara hidup kita, orang mengenal siapa kita dan bagaimana budaya kita. Bahkan, komitmen ini telah menjadi pemikiran Derrida, bahwa keberadaan negara serta pengaruhnya sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan komunal yang secara tradisional terbentuk dan dipelihara dengan baik oleh masing-masing komunitas (Ujan, 2009: ix).
Kebudayaan yang menandai kehadiran suatu komunitas tampaknya sedang tercerabut ketika negara sedang mengabaikan ruang kemajemukan yang sejatinya perlu diperhatikan. Pengabaian demikian menampakkan gejala munculnya tegangan antara pengakuan identitas diri dan kepentingan umum, bahkan sampai memunculkan konflik akhir-akhir ini. Dengan demikian, kemajemukan ini perlu diapresiasi sebagai kekayaan memperkuat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita bangun bersama ini. Fakta kemajemukan rayaan Bhineka Tunggal Ika, semboyan bangsa yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada abad XV dalam Sutasoma, diakui sebagai Adicita (ideology) perekat bangsa Indonesia yang multietnik.
Disadari atau tidak, bangsa dengan aneka kekayaannya, termasuk soal budaya harus dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural pembangunan bangsa. Tidak sekadar ergon, sebuah hasil perbuatan, melainkan juga sebagai energia, kekuatan, tenaga, yang aktif dan dinamis. Dalam konteks ini,  kebhinekaan menjadi energia histories, motivasi yang telah menghantar manusia bangsa ini mengalami proses peradaban yang lebih modern. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, anggota masyarakatnya mesti hadir sebagai “rawi” sekaligus “ragi”. Sebagai “rawi” penggembur ladang Indonesia yang luas dan lapang. Merawi peradaban budaya dengan lurus dan ikhlas. Sebagai “ragi” merekat relasi-relasi kemanusiaan secara adil, berimbang, serasi, dan merata antaretnik dan guyub kultur.
Proses penguatan ini perlu direkat kuat-kuat pada masa yang akan datang ketika kecenderungan diperhadapkan pada krisis-krisis dan tantangan-tantangan terhadap bangsa, sesama, dan  alam raya. Proses peradaban ini perlu diusahakan terus-menerus sehingga secara kolektivitas anggota-anggota masyarakat perajut kebudayaan semakin manusiawi dalam struktur masyarakat dan negara untuk saling menghormati, harkat dan martabat sebagai manusia yang bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Sebuah rentang dan ruang waktu peradaban yang humanis untuk teguh berdiri dan berjalan di atas nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk. Toynbee melukiskan rentang dan ruang peradaban ini sebagai rise and fall (Sutrisno,2005:61). Ruang dan rentang jatuh-bangun manusia sebagai pewaris kebudayaan yang terus berusaha menentukan peradaban atas kebudayaannya sendiri secara baik.
Sebagai anggota masyarakat budaya kita bertanggung jawab membangun pribadi keinsanan individu, dan memupuk kehalusan adab dan budi agar menjadi masyarakat yang berperadaban dan berperilaku luhur sebagai anggota komunitas. Agar nilai-nilai kristalisasi bangsa ini dapat berfaedah demi menempah hati yang keras menjadi halus, tidak sopan menjadi sopan, tidak menghargai menjadi menghargai, buruk menjadi baik, lembut dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memiliki perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaan yang tinggi, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil dan picik. Mari mempertebal rasa kebangsaan, dan menghindari erosi kebangsaan melalui jalan budaya. (*)



[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 31 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar