Di tengah “perayaan” kemajemukan sebagai sebuah
bangsa, Indonesia patut bersyukur karena
kemajemukan tersebut membuat perjalanan bangsa ini semakin berdecak kagum dan
semarak warna-warni. Perayaan kemajemukan yang ditandai dengan berdiamnya berbagai
etnik, agama, golongan, dengan
kekayaan budaya, adat istiadat, ruang geografis pulau
Nusantara, dan lingkungan sosiokultural yang unik dan spesifik.
Sebagai sebuah bangsa yang demikian semarak, kita telah
menjejak jalan hidup panjang dengan bersandar pada nilai-nilai budaya yang telah tertanam dalam bangunan
karakter para leluhur. Ketika
silang-sengkurat persoalan di negeri ini dengan aneka konflik horizontal tak
menemukan titik temu, nilai-nilai budaya kemanusiaan bangsa yang majemuk inipun
digaungkan kembali.
Berbagai
ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan pada komunitas
lokal, dapat menjadi ikhtiar menyikapi persoalan-persoalan yang muncul. Upaya
inilah menjadi bagian dari apropriasi untuk mengawetkan dan menyelamatkan
warisan kultural kemanusiaan masa lampau dari sebuah alienasi distansiasi dan ketercerabutan
budaya. Ada ikatan berbangsa bersama yang adalah kristalisasi nilai-nilai luhur
bangsa ini. Kristalisasi nilai-nilai kemanusiaan inilah mesti terus diupayakan
untuk menjadikannya
sebagai inspirasi menyikapi
dan menyelesaikan aneka
persoalan.
Nilai-nilai kemanusiaan itu merupakan representasi sifat
humanis yang dengan sendirinya ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat
manusia. Apabila tindakan kekerasan dijadikan pilihan, maka seseorang telah
menjatuhkan harkat dan martabat manusia karena dimotivasi oleh emosi. Di
sanalah ada dehuminasasi. Pada pilihan ini, seruan Holbus tentang manusia adalah serigala bagi
sesamanya, semua manusia saling bertarung (homo
homini lupus, bellum omnium contra omnes) akan menjadi fakta kegelisahan yang terus mengintai kehidupan bangsa
ini.
Akibat kemajuan,
perubahan pun terasa pada hampir setiap sendi kehidupan. Menyentuh nilai-nilai
dasar kemajemukan. Sebagai penerus budaya, ada dua proses
yang berlangsung dalam hubungan antara nilai-nilai budaya (Kleden,2011: 1). Proses
pertama dinamakan apropriasi.
Proses ini terjadi dengan baik apabila seperangkat
nilai budaya diperlakukan dan dihayati oleh seorang individu sebagai nilainya
sendiri tentunya berjalan
dalam daur kontinuitas yang produktif dan tanpa henti.
Proses
kedua ekspropriasi,
yaitu kalau seorang individu dengan sengaja menjauhkan diri dari sebuah nilai
dan kebudayaannya yang tidak sesuai dengan pandangannya. Baik apropriasi maupun
ekspropriasi berlangsung melalui proses belajar dalam kebudayaan. Jika
masyarakat budaya mengapropriasi dan mengekspropriasi nilai-nilai budaya dengan baik, maka budaya kita akan tetap
lestari dan berkembang ke arah positif. Pelestarian menjadi harapan kita bersama, karena dari
cara hidup kita, orang mengenal siapa kita dan bagaimana budaya kita. Bahkan,
komitmen ini telah menjadi pemikiran Derrida, bahwa keberadaan negara serta
pengaruhnya sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan komunal yang secara
tradisional terbentuk dan dipelihara dengan baik oleh masing-masing komunitas
(Ujan, 2009: ix).
Kebudayaan yang menandai kehadiran suatu komunitas
tampaknya sedang tercerabut ketika negara sedang mengabaikan ruang kemajemukan
yang sejatinya perlu diperhatikan. Pengabaian demikian menampakkan gejala munculnya tegangan antara pengakuan identitas diri dan
kepentingan umum, bahkan sampai memunculkan konflik akhir-akhir ini. Dengan
demikian, kemajemukan ini perlu diapresiasi sebagai kekayaan memperkuat
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita bangun
bersama ini. Fakta kemajemukan rayaan Bhineka
Tunggal Ika, semboyan bangsa yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada
abad XV dalam Sutasoma, diakui sebagai Adicita (ideology) perekat bangsa
Indonesia yang multietnik.
Disadari atau tidak, bangsa dengan aneka kekayaannya,
termasuk soal budaya harus dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal
sosial-kultural pembangunan bangsa. Tidak sekadar ergon,
sebuah hasil perbuatan, melainkan juga sebagai energia, kekuatan, tenaga, yang aktif dan dinamis. Dalam konteks ini, kebhinekaan menjadi energia histories,
motivasi yang telah menghantar manusia bangsa ini mengalami proses peradaban yang lebih modern. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, anggota
masyarakatnya mesti hadir sebagai “rawi” sekaligus “ragi”. Sebagai “rawi”
penggembur ladang Indonesia yang luas dan lapang. Merawi peradaban budaya
dengan lurus dan ikhlas. Sebagai “ragi” merekat relasi-relasi kemanusiaan secara
adil, berimbang, serasi, dan merata antaretnik dan guyub kultur.
Proses
penguatan
ini perlu direkat kuat-kuat pada
masa yang akan datang
ketika kecenderungan diperhadapkan pada krisis-krisis dan
tantangan-tantangan terhadap bangsa,
sesama, dan alam raya. Proses peradaban ini perlu diusahakan terus-menerus
sehingga secara kolektivitas anggota-anggota masyarakat perajut kebudayaan
semakin manusiawi dalam struktur masyarakat dan negara
untuk saling menghormati, harkat dan martabat sebagai manusia yang bernilai dan
berguna bagi dirinya dan orang lain. Sebuah rentang dan ruang waktu peradaban yang humanis untuk teguh berdiri dan berjalan di atas
nilai-nilai kemanusiaan yang majemuk. Toynbee melukiskan rentang dan ruang peradaban ini sebagai rise and fall (Sutrisno,2005:61). Ruang dan rentang jatuh-bangun manusia
sebagai pewaris kebudayaan yang terus berusaha
menentukan peradaban atas kebudayaannya sendiri secara baik.
Sebagai anggota
masyarakat budaya kita bertanggung jawab membangun pribadi keinsanan individu, dan
memupuk kehalusan adab dan budi agar menjadi masyarakat yang berperadaban dan
berperilaku luhur sebagai anggota komunitas. Agar nilai-nilai kristalisasi
bangsa ini dapat berfaedah demi menempah hati yang keras menjadi halus, tidak
sopan menjadi sopan, tidak menghargai menjadi menghargai, buruk menjadi baik,
lembut dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memiliki perasaan,
kepekaan dan sensitivitas kemanusiaan yang tinggi, sehingga terhindar dari
tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil dan picik. Mari mempertebal rasa kebangsaan, dan
menghindari erosi kebangsaan melalui jalan budaya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar