Halaman

Kamis, 21 Desember 2017

Merancang Budaya Literasi Guru



“Ingat!
Ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan mengayuh sepeda onthel.
Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda itu. Begitu juga menulis.”


1.     Pendahuluan
Terima kasih kepada Panitya yang telah memberi saya kesempatan dan kepercayaan untuk berbagai rasa dan pengalaman keliterasian hari ini.
Setengah tutur kataku tanpa makna,
Namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi
Mencapai dirimu
[Khalil Gibran, Pasir dan Buih, Pustaka Jaya, 1988: 17]

Fokus dan perhatian aspek pendidikan mengangkat nilai-nilai budaya dan penguatan karakter para peserta didik, sejalan dengan kemajuan dunia dan pembangunan makro di abad XXI. Kemendikbud (2017) dalam Program Penguatan Pendidikan Karekter (PPK) bagi pendidikan sekolah dasar dan menengah merumuskan enam kecenderungan di abad XXI ini; (a) berlangsungnya revolusi digital yang luar biasa yang mengubah kebudayaan, peradaban, dan sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan, (b) terjadinya integrasi belahan-belahan dunia akibat internasionalisasi, globalisasi, hubungan-hubungan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi, (c) berlangsungnya pendataran dunia (the world is flat) sebagai akibat perubahan dimensi kehidupan manusia, terutama mengglobalnya negara, korporasi, dan individu, (d) sangat cepatnya perubahan dunia mengakibatkan ruang tampak menyempit, waktu terasa ringkas, dan keusangan segala sesuatu cepat terjadi, (e) semakin tumbuhnya masyarakat padat pengetahuan (knowledge society), masyarakat informasi (information society), dan masyarakat jaringan (network society), dan (f) makin tegasnya fenomena abad kreatif beserta masyarakat kreatif yang menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai modal penting bagi individu, perusahan, dan masyarakat. Kecenderungan-kecenderungan perlu diantisipasi melalui pembelajaran budi pekerti dan karakter di sekolah.

2.    Mengapa Literasi?
Literasi berasal dari istilah Latin 'literature' yang sepadan dengan istilah bahasa Inggris 'letter'. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar)."
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Ada perjumpaan antara keterampilan berbahasa reseptif (membaca), dan keterampilan berbahasa produktif (menulis). Keduanya bersifat mutualisme. Tumpang tindih antara satu keterampilan berbahasa dengan keterampilan berbahasa yang lain. Jadi, literasi mensyaratkan dua keterampilan berbahasa sekaligus, yakni keterampilan membaca dan menulis untuk digunakan secara simultan. Keduanya merupakan “jalan masuk” bagi pengembangan dan eksplorasi (bahkan mungkin sampai eksploitasi) diri sebagai mahkluk yang komplit dan berkelimpahan. Jalan yang Anda pilih adalah jalan “pendidikan”. Jalan inilah menjadi pilihan tepat dan relevan untuk mulai merancang budaya literasi agar jalan pengabdian menjadi lebih bermakna.
Bahkan, negara telah mewajibkan guru sebagai pengajar dan pendidik dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kewajiban tersebut secara eksplisit tertuang dalam Pasal 4 ayat 5 yang berbunyi:

“Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.”

Untuk itulah, guru yang secara khusus telah dianugerahi tugas besar mencerdaskan anak bangsa di  negeri ini, mesti secara serius menyadari aneka tugas, termasuk amanat Pasal 4 ayat 5 undang-undang di atas. Kata kunci “membaca, menulis, dan berhitung” musti ditanggapi sebagai spirit perjuangan proses keliterasian menuju suatu titik yang dalam wilayah perkembangan kognitif Piagetian dikenal dengan gagasan Ekuilibrasi Piagetian. Ekuilibrasi sebagai pengorganisasian pengetahuan internal dalam cara bertahap. Kognisi terus berkembang sebagai sebuah proses yang bergerak dari keadaan ragu dan tak pasti (disekuilibrium) menuju keadaan matang dan pasti agar tercapai titik keseimbangan (ekuilibrium), (Suparno, 1997: 35).
Faedah yang paling tampak dari seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca dan menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang mahasiswa.
        Tulisan telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan kesinnambungan hidup manusia sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275).
Benedict Anderson, dalam Imagined Community, menunjukkan bahwa bacaan atau tulisan mendasari dan menyangga pembentukan dan pematangan nasionalisme Indonesia sehingga kegiatan menulis memberi maslahat besar bagi keberadaan Indonesia. Bahkan banyak kalangan memandang bahwa menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dalam peradaban keberaksaraan, menulis ihwal ilmu pengetahuan, misalnya ihwal kedokteran, kesehatan, kesusilaan, dan pengembangan diri, memang jelas bermaslahat besar bagi kehidupan manusia. Di samping ilmu pengetahuan dapat berkembang, manusia-pembaca bisa mendulang berbagai hal darinya. Pastilah pelbagai kalangan akan mendukung dan melindungi kegiatan menulis demikian. Demikian juga kegiatan menulis resep makanan-minuman, panduan perawatan diri, panduan perbaikan kendaraan bermotor, dan sejenisnya tentu akan banyak mendapat dukungan dan lindungan berbagai kalangan.
                Sekadar contoh, kendati tulisan-tulisan yang dihasilkan terus-menerus (selalu) dilarang oleh kekuasaan politik, pada masa Orde Baru Pramoedya Ananta Toer tetap menulis. Ujar Pram, “Mengarang adalah tugas nasional bagi saya…. bisa saya katakan, mengarang adalah profesi. Saya hidup dan mati karena mengarang dan saya konsekuen terhadap semua akibat yang saya peroleh”. “Menulis adalah sebuah petualangan”, ujar Albert Camus. Lalu kata Ricoeur, menulis itu mengawetkan sesuatu dalam teks. Ada pula yang berkata, kegiatan menulis adalah kegiatan melawan lupa; mencegah amnesia; mengabadikan eksistensi. Semua pernyataan ini menandaskan bahwa di balik kegiatan menulis terdapat dorongan-dorongan spiritual, psikologis, sosial-politis, dan rekreatif yang menimbulkan keteguhan, keberanian, kegigihan, kesungguhan, ketangguhan, dan sejenisnya pada diri penulis. Di sini menulis tampak berfufungsi secara spiritual, psikologis, sosial-politis, rekreatif, bahkan laku intelektual yang agung sehingga menulis harus selalu dijalankan.

3.    Menuju “Budaya” Literasi
Telah disebutkan di atas bahwa guru (baca: calon guru) mengemban tugas bangsa mencerdaskan generasi bangsa, dan salah satu di antaranya adalah membangun kultur literasi di kalangan peserta didik. Ada banyak faktor menggairahkan kultur literasi dimaksud. Hemat saya sangat situasional, dan juga sangat ditentukan oleh sekian banyak aspek: psikologi, sosiologi, ekonomi, lingkungan, dan berbagai aspek lainnya.
Saya coba menghadirkan beberapa hal praktis, bagaimana guru mulai merancang budaya literasi. Disebut budaya, karena proses literasi ini dijalankan terus-menerus, tanpa henti. Berkelanjutan atau berkesinambungan. Hal-hal tersebut, antara lain:
1.       Menyiapkan atau menyediakan berbagai bahan bacaan, entah di rumah, maupun di sekolah. Ya, tentu dengan situasi ekonomi yang pas-pasan, namun ketersediaan bahan bacaan yang cukup memadai akan sangat membantu dalam meresepsi berbagai asupan informasi pengetahuan. Mulai dari bacaan-bacaan ringan hingga bacaan berat (filsafat). Tak lupa pula menonton berbagai tayangan positif akan ikut menambah khazanah pengetahuan guru.
2.       Menyempatkan diri di tengah tumpukan kesibukan untuk membaca bahan-bahan bacaan tadi. Buku, misalnya bukanlah ikan basah (mentah) yang kalau sudah dibeli dan tidak dimasak akan rusak. Buku semakin disimpan lama dirak atau tempat penyimpanan akan semakin “memaksa” Anda untuk segera membuka dan menggaulinya (membacanya). Bahkan, sekarang ini secara formal melalui GLS, para guru telah mendisposisi waktu  kurang lebih lima belas menit awal pelajaran bagi siswa untuk membaca. Demikian, maka gurupun memiliki waktu yang sama untuk membaca bersama murid.
3.      Mencatat dalam buku harian (diary) hal-hal yang penting, bahkan bermanfaat. Hal-hal yang lintas seketika dan inspiratif. Kalau sekedar diingat dalam memori, kemungkinan besar akan menguap begitu saja. Sebab memori kita sudah dibebankan menyimpan dan mengingat sekian banyak hal. Menalar situasi dengan identifikasi kata-kata kunci yang pada situasi yang berbeda akan ditautkan dalam rumusan kalimat yang lengkap dan utuh. Hal inilah yang sering terabaikan oleh setiap kita. Caranya, mengisi kertas pada saku baju atau celana Anda dengan pensil atau balpoint ke mana saja Anda pergi. Apalagi ke tempat-tempat yang bersejarah, misalnya.
4.      Membiasakan diri untuk melakukan korespondensi (surat-menyurat) dengan sahabat, teman. Sekarang korespondensi semakin mudah dan tersambung begitu cepat melalui jejaring sosial. Dengan begitu, keruntunan berpikir, bertutur, dan kelogisan merumuskan gagasan, perlahan-lahan tertata secara apik.
5.      Mulailah meneliti hal-hal yang kecil dan sederhana. Untuk menghasilkan tulisan yang baik tentu dimulai dari hal-hal yang kecil ini. Lakukanlah.
6.      Membiasakan diri terus-menerus pada hal-hal di atas dengan mulai berlatih, berlatih, dan berlatih.
4.   Penutup
Tugas kita adalah membaca dan menulis. Dengan demikian, Literasi yang menjadi harapan bangsa ini akan tercapai dengan gemilang, jika kita memulainya dengan penuh kesadaran. Mulailah dari diri, sebelum menginginkan orang lain untuk berubah.

DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Eka. 1994. Menggebrak Dunia Mengarang. Puspa Swara: Jakarta
Saryono, Djoko.2011. Keberaksaraan, Tradisi Baca–Tulis, dan Pembelajaran Sastra Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.



[1] Makalah ini Disampaikan pada Seminar Sehari untuk memperingati Hari Guru Nasional yang Diselenggarakan oleh BEM FKIP Universitas Flores, Sabtu, 25 November 2017

[2] Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan Kepala UPT Publikasi Universitas Flores

Tidak ada komentar:

Posting Komentar