“Ingat!
Ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan mengayuh
sepeda onthel.
Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda itu.
Begitu juga menulis.”
1.
Pendahuluan
Terima kasih kepada Panitya yang telah memberi saya
kesempatan dan kepercayaan untuk berbagai rasa dan pengalaman keliterasian hari
ini.
Setengah tutur kataku tanpa makna,
Namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi
Mencapai dirimu
[Khalil
Gibran, Pasir dan Buih, Pustaka Jaya, 1988: 17]
Fokus dan perhatian aspek pendidikan mengangkat
nilai-nilai budaya dan penguatan karakter para peserta didik, sejalan dengan
kemajuan dunia dan pembangunan makro di abad XXI. Kemendikbud (2017) dalam Program
Penguatan Pendidikan Karekter (PPK) bagi pendidikan sekolah dasar dan menengah
merumuskan enam kecenderungan di abad XXI ini; (a) berlangsungnya revolusi
digital yang luar biasa yang mengubah kebudayaan, peradaban, dan sendi-sendi
kehidupan, termasuk pendidikan, (b) terjadinya integrasi belahan-belahan dunia
akibat internasionalisasi, globalisasi, hubungan-hubungan teknologi komunikasi
dan teknologi transportasi, (c) berlangsungnya pendataran dunia (the world
is flat) sebagai akibat perubahan dimensi kehidupan manusia, terutama
mengglobalnya negara, korporasi, dan individu, (d) sangat cepatnya perubahan
dunia mengakibatkan ruang tampak menyempit, waktu terasa ringkas, dan keusangan
segala sesuatu cepat terjadi, (e) semakin tumbuhnya masyarakat padat pengetahuan
(knowledge society), masyarakat informasi (information society),
dan masyarakat jaringan (network society), dan (f) makin tegasnya
fenomena abad kreatif beserta masyarakat kreatif yang menempatkan kreativitas
dan inovasi sebagai modal penting bagi individu, perusahan, dan masyarakat.
Kecenderungan-kecenderungan perlu diantisipasi melalui pembelajaran budi
pekerti dan karakter di sekolah.
2.
Mengapa Literasi?
Literasi
berasal dari istilah Latin
'literature' yang sepadan
dengan istilah bahasa Inggris
'letter'. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara
yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu,
makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk
mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video,
gambar)."
Literasi
memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki
kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu
membaca dan menulis. Ada perjumpaan
antara keterampilan berbahasa reseptif (membaca), dan keterampilan berbahasa
produktif (menulis). Keduanya bersifat mutualisme. Tumpang tindih antara satu
keterampilan berbahasa dengan keterampilan berbahasa yang lain. Jadi, literasi mensyaratkan
dua keterampilan berbahasa sekaligus, yakni keterampilan membaca dan menulis untuk
digunakan secara simultan. Keduanya merupakan “jalan masuk” bagi pengembangan dan
eksplorasi (bahkan mungkin sampai eksploitasi) diri sebagai mahkluk yang
komplit dan berkelimpahan. Jalan yang Anda pilih adalah jalan “pendidikan”.
Jalan inilah menjadi pilihan tepat dan relevan untuk mulai merancang budaya
literasi agar jalan pengabdian menjadi lebih bermakna.
Bahkan, negara telah mewajibkan guru sebagai pengajar dan
pendidik dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kewajiban tersebut
secara eksplisit tertuang dalam Pasal 4 ayat 5 yang berbunyi:
“Pendidikan
diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung
bagi segenap warga masyarakat.”
Untuk itulah, guru yang secara khusus telah dianugerahi
tugas besar mencerdaskan anak bangsa di
negeri ini, mesti secara serius menyadari aneka tugas, termasuk amanat
Pasal 4 ayat 5 undang-undang di atas. Kata kunci “membaca, menulis, dan berhitung”
musti ditanggapi sebagai spirit perjuangan proses keliterasian
menuju suatu titik yang dalam wilayah perkembangan kognitif Piagetian dikenal
dengan gagasan
Ekuilibrasi Piagetian. Ekuilibrasi
sebagai pengorganisasian pengetahuan internal dalam cara bertahap. Kognisi
terus berkembang sebagai sebuah proses yang bergerak dari keadaan ragu dan tak
pasti (disekuilibrium) menuju keadaan
matang dan pasti agar tercapai titik
keseimbangan (ekuilibrium),
(Suparno, 1997: 35).
Faedah yang paling
tampak dari seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca
dan menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan
keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh
kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang inheren dan tidak terpisahkan dalam diri
seorang mahasiswa.
Tulisan
telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan
dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan
kesinnambungan
hidup manusia sehingga menjadi warisan
peradaban dunia.
Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat
sekarang tak bakal
mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai
dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka,
masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan
masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia
kultural (1996: 275).
Benedict Anderson, dalam Imagined Community, menunjukkan bahwa bacaan atau tulisan mendasari
dan menyangga pembentukan dan pematangan nasionalisme Indonesia sehingga
kegiatan menulis memberi maslahat besar bagi keberadaan Indonesia. Bahkan
banyak kalangan memandang bahwa menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa
manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga
kegiatan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dalam peradaban
keberaksaraan, menulis ihwal ilmu pengetahuan, misalnya ihwal kedokteran,
kesehatan, kesusilaan, dan pengembangan diri, memang jelas bermaslahat besar
bagi kehidupan manusia. Di samping ilmu
pengetahuan dapat berkembang, manusia-pembaca bisa mendulang berbagai hal
darinya. Pastilah pelbagai kalangan akan mendukung dan melindungi kegiatan
menulis demikian. Demikian juga kegiatan menulis resep makanan-minuman, panduan
perawatan diri, panduan perbaikan kendaraan bermotor, dan sejenisnya tentu akan
banyak mendapat dukungan dan lindungan berbagai kalangan.
Sekadar contoh,
kendati tulisan-tulisan yang dihasilkan terus-menerus (selalu) dilarang oleh
kekuasaan politik, pada masa Orde Baru Pramoedya Ananta Toer tetap menulis.
Ujar Pram, “Mengarang adalah tugas nasional bagi saya…. bisa saya katakan,
mengarang adalah profesi. Saya hidup dan mati karena mengarang dan saya
konsekuen terhadap semua akibat yang saya peroleh”. “Menulis adalah sebuah
petualangan”, ujar Albert Camus. Lalu kata Ricoeur, menulis itu mengawetkan
sesuatu dalam teks. Ada
pula yang berkata, kegiatan menulis adalah kegiatan melawan lupa; mencegah
amnesia; mengabadikan eksistensi. Semua pernyataan ini menandaskan bahwa di
balik kegiatan menulis terdapat dorongan-dorongan spiritual, psikologis,
sosial-politis, dan rekreatif yang menimbulkan keteguhan, keberanian,
kegigihan, kesungguhan, ketangguhan, dan sejenisnya pada diri penulis. Di sini
menulis tampak berfufungsi secara
spiritual, psikologis, sosial-politis, rekreatif, bahkan laku intelektual yang
agung sehingga menulis harus selalu dijalankan.
3.
Menuju
“Budaya” Literasi
Telah disebutkan di
atas bahwa guru (baca: calon guru) mengemban tugas bangsa mencerdaskan generasi
bangsa, dan salah satu di antaranya adalah membangun kultur literasi di
kalangan peserta didik. Ada banyak faktor menggairahkan kultur literasi
dimaksud. Hemat saya sangat situasional, dan juga sangat ditentukan oleh sekian
banyak aspek: psikologi, sosiologi, ekonomi, lingkungan, dan berbagai aspek
lainnya.
Saya coba menghadirkan
beberapa hal praktis, bagaimana guru mulai merancang budaya literasi. Disebut
budaya, karena proses literasi ini dijalankan terus-menerus, tanpa henti.
Berkelanjutan atau berkesinambungan. Hal-hal tersebut, antara lain:
1.
Menyiapkan
atau menyediakan berbagai bahan bacaan, entah di rumah, maupun di sekolah. Ya,
tentu dengan situasi ekonomi yang pas-pasan, namun ketersediaan bahan bacaan
yang cukup memadai akan sangat membantu dalam meresepsi berbagai asupan
informasi pengetahuan. Mulai dari bacaan-bacaan ringan hingga bacaan berat
(filsafat). Tak lupa pula menonton berbagai tayangan positif akan ikut menambah
khazanah pengetahuan guru.
2.
Menyempatkan
diri di tengah tumpukan kesibukan untuk membaca bahan-bahan bacaan tadi. Buku,
misalnya bukanlah ikan basah (mentah) yang kalau sudah dibeli dan tidak dimasak
akan rusak. Buku semakin disimpan lama dirak atau tempat penyimpanan akan
semakin “memaksa” Anda untuk segera membuka dan menggaulinya (membacanya).
Bahkan, sekarang ini secara formal melalui GLS, para guru telah mendisposisi
waktu kurang lebih lima belas menit awal
pelajaran bagi siswa untuk membaca. Demikian, maka gurupun memiliki waktu yang
sama untuk membaca bersama murid.
3.
Mencatat
dalam buku harian (diary) hal-hal yang penting, bahkan bermanfaat. Hal-hal yang
lintas seketika dan inspiratif. Kalau sekedar diingat dalam memori, kemungkinan
besar akan menguap begitu saja. Sebab memori kita sudah dibebankan menyimpan
dan mengingat sekian banyak hal. Menalar situasi dengan identifikasi kata-kata
kunci yang pada situasi yang berbeda akan ditautkan dalam rumusan kalimat yang
lengkap dan utuh. Hal inilah yang sering terabaikan oleh setiap kita. Caranya,
mengisi kertas pada saku baju atau celana Anda dengan pensil atau balpoint ke
mana saja Anda pergi. Apalagi ke tempat-tempat yang bersejarah, misalnya.
4.
Membiasakan
diri untuk melakukan korespondensi (surat-menyurat) dengan sahabat, teman.
Sekarang korespondensi semakin mudah dan tersambung begitu cepat melalui
jejaring sosial. Dengan begitu, keruntunan berpikir, bertutur, dan kelogisan
merumuskan gagasan, perlahan-lahan tertata secara apik.
5.
Mulailah
meneliti hal-hal yang kecil dan sederhana. Untuk menghasilkan tulisan yang baik
tentu dimulai dari hal-hal yang kecil ini. Lakukanlah.
6.
Membiasakan
diri terus-menerus pada hal-hal di atas dengan mulai berlatih, berlatih, dan
berlatih.
4.
Penutup
Tugas kita adalah
membaca dan menulis. Dengan demikian, Literasi yang menjadi harapan bangsa ini
akan tercapai dengan gemilang, jika kita memulainya dengan penuh kesadaran.
Mulailah dari diri, sebelum menginginkan orang lain untuk berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Eka. 1994. Menggebrak Dunia Mengarang. Puspa Swara:
Jakarta
Saryono, Djoko.2011. Keberaksaraan, Tradisi Baca–Tulis, dan
Pembelajaran Sastra Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
[1] Makalah ini Disampaikan pada Seminar Sehari untuk
memperingati Hari Guru Nasional yang Diselenggarakan oleh BEM FKIP Universitas
Flores, Sabtu, 25 November 2017
[2] Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan Kepala UPT Publikasi Universitas
Flores
Tidak ada komentar:
Posting Komentar