Gambar diambil dari
Waktu. Satu kosa
kata yang sangat familiar dengan kehidupan kita. Istilah yang secara semantik
menunjuk pada rangkaian saat (ketika) untuk mengungkapkan saat atau lamanya
suatu proses perbuatan atau keadaan berada berlangsung. Artinya, waktu
berproses terus, dari saat ke saat, dan dari waktu ke waktu. Suatu tenggat
eksistensi manusia serta makhluk hidup yang bernapas menjalani hidupnya. Hampir
bisa dipastikan bahwa rentang eksistensi itu telah diatur oleh waktu. Seluruh
pergumulan aktivitas dan rutinitas kita telah terkapling dalam zona waktu.
Mulai bangun pagi hingga sore, bahkan sampai malam. Dari menit pertama sampai
menit terakhir. Bahkan, dari jam, hari, bulan hingga tahun berganti. Kita
senantiasa “menyerahkan” hidup dan diri kita pada kata ini, waktu.
Ruang eksistensi tadipun mulai dipenggal menurut takaran-takaran tertentu berdasarkan kebutuhan tertentu pula. Orang menata waktunya untuk aneka keperluan. Untuk urusan perut (ekonomi), misalnya orang Eropa memaknai waktu dengan sangat cermat dan hati-hati. Seluruh peredaran waktu dari detik ke menit, menit ke jam, dan seterusnya dimaknai sebagai “uang”. Dalam ucapan yang lazim time is money. Melewati waktu sekarang ini, hari ini, sampai tahun ini, setidaknya ada kelipatan atau penggandaan rezeki atau penghasilan dari cucuran keringat yang keluar karena penggunaan waktu yang sangat rigid dan ketat. Waktu bagi mereka dipahami sebagai sesuatu yang sangat berharga dan bernilai. Bagaimana dengan kita?
Waktu selalu
meluncur pergi dan tidak akan kembali lagi. Ia bagai air. Air yang telah
mengalir saat “tadi”, tidak mungkin kembali lagi. Kita pun selalu mensyukuri
waktu. Mengalaminya dalam setiap hirup napas kita. Dalam satu tarikan napas
panjang yang bernominal dua puluh empat jam. Sebagaimana orang di belahan dunia
lain, kita juga kadang cemas kalau kehilangan waktu. Takut kekurangan waktu.
Terburu-buru, cepat saji, segera, dan kekhwatiran lainnya. Jika, tugas dan pekerjaan
tidak dapat diselesaikan tepat waktu. Namun, tak jarang pula kita “kebanyakan
waktu”. Dan, karena itulah, persepsi kita selalu kepada sesuatu yang siklis
bahwa waktu tadi akan datang atau kembali lagi. Masih bisa menunda dulu
pekerjaan, sepenting apapun pekerjaan tersebut. Sabar dulu, nanti dulu, esok
masih ada waktu, dan ekspresi lainnya. Situasi ini menguatkan kita tentang fenomena
”jam karet” yang telah menjadi begitu sangat lumrah dalam hidup kita. Tarik
ulur waktu. Waktu bagi kita ibarat “karet”. Elastis. Selalu bisa bergeser dari
saat sekarang ke saat berikut.
Waktu bagi seorang
guru atau pendidik tentu digunakan sebaik-baiknya untuk mencerdaskan para siswa
melalui kewajibannya untuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu, serta menilai, dan mengevaluasi hasil pembelajaran
dengan obyektif dan tidak diskriminatif. Bagi seorang dosen, waktu telah diatur secara
tegas melalui tri dharma perguruan tinggi, yaitu melaksanakan pendidikan dan
pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Seorang dosen pun
dituntut memanfaatkan waktunya untuk merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran,
serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran para mahasiswa secara
objektif dan tidak diskriminatif, menjunjung nilai-nilai agama dan etika, dan
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam kehidupan
masyarakat petani dan nelayan, misalnya, waktu sangat penting bagi mereka untuk
memastikan waktu mana atau kapan mulai menebas, membakar, menanam, menyiangi,
memanen, dan menyimpan. Jika, ia seorang nelayan, waktu baginya sangat penting
untuk memastikan kapan ia turun ke laut untuk berlayar, mencari, dan menjual
ikan demi kebutuhan hidupnya. Bagi seorang politisi, (kebetulan memasuki tahun
2018 yang disebut sebagai tahun politik), sebagian waktu para politisi
dicurahkan untuk melakukan hitung-hitungan atau membuat kalkulasi politik untuk
memenangkan sebuah kontestasi politik. Membangun strategi sambil masuk keluar
kampung untuk “mempengaruhi” dan memenangkan hati rakyat. Dan, oleh karena itulah,
aneka cara dapat ditempuh untuk meraih kemenangan dengan memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya.
Sebagai makhluk
sosial pula, kita pasti membutuhkan orang lain untuk omong-omong, bersenda
gurau, dan bertegur sapa. Di sela-sela tumpukan kesibukan, kita membutuhkan
waktu untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesama yang lain. Dalam interaksi
dan sosialisasi inilah, selain membincangkan tentang hal-hal positif yang
membanggakan, kadang juga waktu digunakan untuk mencela, mengutuk, dan
memfitnah orang lain. Meminjam ucapan budayawan Romo Mudji Sutrisna, waktu
digunakan untuk ngrasani, gosip, ngrumpi (Mudji, 1994: 184). Dalam
bahasa khas kita, waktu untuk omong orang, atau “mengorangkan sesama”.
Tinggal beberapa
saat lagi, kita dan jubelan manusia jagad ini akan tiba pada titik terakhir tahun
2017. Suatu ziarah waktu yang telah dianugerahkan kepada kita. Ziarah panjang
penuh letih. Melelahkan. Kita pun telah mengisinya dengan berbagai tugas dan
tanggung jawab yang berbeda. Ada yang tersenyum karena berhasil, adapun yang
menangis karena gagal. Kita berdoa dalam hati, semoga Tuhan senantiasa menggandakan
berkatNya yang berlimpah untuk semua pekerjaan kita pada tahun 2018. Dan, untuk
semua kegagalan, kita juga terpekur dan bertafakur, “Tuhan Engkaulah yang akan
menggenapinya di kemudian hari”. Selamat Tahun Baru 01 Januari 2018. *
Opini ini
dimuat dalam HU Flores Pos, 30
Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar