Halaman

Jumat, 29 Desember 2017

Waktu

Gambar diambil dari 




Waktu. Satu kosa kata yang sangat familiar dengan kehidupan kita. Istilah yang secara semantik menunjuk pada rangkaian saat (ketika) untuk mengungkapkan saat atau lamanya suatu proses perbuatan atau keadaan berada berlangsung. Artinya, waktu berproses terus, dari saat ke saat, dan dari waktu ke waktu. Suatu tenggat eksistensi manusia serta makhluk hidup yang bernapas menjalani hidupnya. Hampir bisa dipastikan bahwa rentang eksistensi itu telah diatur oleh waktu. Seluruh pergumulan aktivitas dan rutinitas kita telah terkapling dalam zona waktu. Mulai bangun pagi hingga sore, bahkan sampai malam. Dari menit pertama sampai menit terakhir. Bahkan, dari jam, hari, bulan hingga tahun berganti. Kita senantiasa “menyerahkan” hidup dan diri kita pada kata ini, waktu.
             
Ruang eksistensi tadipun mulai dipenggal menurut takaran-takaran tertentu berdasarkan kebutuhan tertentu pula. Orang menata waktunya untuk aneka keperluan. Untuk urusan perut (ekonomi), misalnya orang Eropa memaknai waktu dengan sangat cermat dan hati-hati. Seluruh peredaran waktu dari detik ke menit, menit ke jam, dan seterusnya dimaknai sebagai “uang”. Dalam ucapan yang lazim time is money. Melewati waktu sekarang ini, hari ini, sampai tahun ini, setidaknya ada kelipatan atau penggandaan rezeki atau penghasilan dari cucuran keringat yang keluar karena penggunaan waktu yang sangat rigid dan ketat. Waktu bagi mereka dipahami sebagai sesuatu yang sangat berharga dan bernilai. Bagaimana dengan kita?
Waktu selalu meluncur pergi dan tidak akan kembali lagi. Ia bagai air. Air yang telah mengalir saat “tadi”, tidak mungkin kembali lagi. Kita pun selalu mensyukuri waktu. Mengalaminya dalam setiap hirup napas kita. Dalam satu tarikan napas panjang yang bernominal dua puluh empat jam. Sebagaimana orang di belahan dunia lain, kita juga kadang cemas kalau kehilangan waktu. Takut kekurangan waktu. Terburu-buru, cepat saji, segera, dan kekhwatiran lainnya. Jika, tugas dan pekerjaan tidak dapat diselesaikan tepat waktu. Namun, tak jarang pula kita “kebanyakan waktu”. Dan, karena itulah, persepsi kita selalu kepada sesuatu yang siklis bahwa waktu tadi akan datang atau kembali lagi. Masih bisa menunda dulu pekerjaan, sepenting apapun pekerjaan tersebut. Sabar dulu, nanti dulu, esok masih ada waktu, dan ekspresi lainnya. Situasi ini menguatkan kita tentang fenomena ”jam karet” yang telah menjadi begitu sangat lumrah dalam hidup kita. Tarik ulur waktu. Waktu bagi kita ibarat “karet”. Elastis. Selalu bisa bergeser dari saat sekarang ke saat berikut.
Waktu bagi seorang guru atau pendidik tentu digunakan sebaik-baiknya untuk mencerdaskan para siswa melalui kewajibannya untuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai, dan mengevaluasi hasil pembelajaran dengan obyektif dan tidak diskriminatif. Bagi seorang dosen, waktu telah diatur secara tegas melalui tri dharma perguruan tinggi, yaitu melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Seorang dosen pun dituntut memanfaatkan waktunya untuk merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran para mahasiswa secara objektif dan tidak diskriminatif, menjunjung nilai-nilai agama dan etika, dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam kehidupan masyarakat petani dan nelayan, misalnya, waktu sangat penting bagi mereka untuk memastikan waktu mana atau kapan mulai menebas, membakar, menanam, menyiangi, memanen, dan menyimpan. Jika, ia seorang nelayan, waktu baginya sangat penting untuk memastikan kapan ia turun ke laut untuk berlayar, mencari, dan menjual ikan demi kebutuhan hidupnya. Bagi seorang politisi, (kebetulan memasuki tahun 2018 yang disebut sebagai tahun politik), sebagian waktu para politisi dicurahkan untuk melakukan hitung-hitungan atau membuat kalkulasi politik untuk memenangkan sebuah kontestasi politik. Membangun strategi sambil masuk keluar kampung untuk “mempengaruhi” dan memenangkan hati rakyat. Dan, oleh karena itulah, aneka cara dapat ditempuh untuk meraih kemenangan dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Sebagai makhluk sosial pula, kita pasti membutuhkan orang lain untuk omong-omong, bersenda gurau, dan bertegur sapa. Di sela-sela tumpukan kesibukan, kita membutuhkan waktu untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesama yang lain. Dalam interaksi dan sosialisasi inilah, selain membincangkan tentang hal-hal positif yang membanggakan, kadang juga waktu digunakan untuk mencela, mengutuk, dan memfitnah orang lain. Meminjam ucapan budayawan Romo Mudji Sutrisna, waktu digunakan untuk ngrasani, gosip, ngrumpi (Mudji, 1994: 184). Dalam bahasa khas kita, waktu untuk omong orang, atau “mengorangkan sesama”.
Tinggal beberapa saat lagi, kita dan jubelan manusia jagad ini akan tiba pada titik terakhir tahun 2017. Suatu ziarah waktu yang telah dianugerahkan kepada kita. Ziarah panjang penuh letih. Melelahkan. Kita pun telah mengisinya dengan berbagai tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Ada yang tersenyum karena berhasil, adapun yang menangis karena gagal. Kita berdoa dalam hati, semoga Tuhan senantiasa menggandakan berkatNya yang berlimpah untuk semua pekerjaan kita pada tahun 2018. Dan, untuk semua kegagalan, kita juga terpekur dan bertafakur, “Tuhan Engkaulah yang akan menggenapinya di kemudian hari”. Selamat Tahun Baru 01 Januari 2018. *



Opini ini dimuat dalam HU Flores Pos, 30 Desember 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar