Halaman

Jumat, 09 Oktober 2020

Merawat Ziarah dengan Puisi


                              Setengah
tutur kataku tanpa makna,

Namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi

Mencapai dirimu

[Khalil Gibran, Pasir dan Buih, Pustaka Jaya, 1988: 17]

 

 Ansel Langowujo (AL) adalah seorang frater calon imam. Menurut dugaan banyak orang, tulisan-tulisannya akan berkutat pada hal-hal yang bersifat religius sakral. Seruan-seruan profetis dalam nada khotbah dan petunjuk praktis kepada kehidupan komunitas beragama (Katolik) akan pentingnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritual keagamaan dalam kehidupan berumat. Dalam konteks demikian, agaklah mengejutkan ketika disodorkan tulisan berupa kumpulan puisi untuk dicerna. Apakah ini seruan untuk merenangi hidup lebih jauh, lebih dalam lagi menemui makna dan hakikat hidup itu sendiri? Hemat saya, ada gumpalan asa terang yang sedang “disuarakan” AL dalam berbagai nada dan ritme pada baris bingkai dan perspektif biblis kontekstual.  Lontaran bahkan “tuduhan“ empiris akan praksis kehidupan umat menjelma dalam seruan profetis atas praktik liturgis atau kehidupan berumat yang ketika “senang” lupa Tuhan, dan “susah” ingat Tuhan, sebagaimana tersurat dalam “Kudeta Tuhan” berikut ini:

Saat saya susah

saya berdoa

“Bapa kami yang ada di surga (Bapa ada di surga).”

 

Saat bahagia dan senang

Saya berdoa

Bapa

Kami yang ada di surga (Lalu Bapa ada di mana?).”

Inilah sebentuk karya kontekstual yang lain. Awasan bahkan ingatan di tengah pergumulan hidup umat yang kian ditantang untuk selalu berada pada jalan Tuhan. Pada kecenderungan hedonisme instan dan pragmatisme duniawi. Dibutuhkan nasihat. Mungkin juga sindiran ala “sastra” dalam deret kata karya profetis spiritual untuk saling mengingatkan, saling meneguhkan dalam cara yang berbeda. Luapan ekspresi kerinduan AL akan dirinya dengan Dia asal-mula hidup.Tampak sebuah kerinduan itu. Ia pun menaut kerinduan dengan orang-orang tercintanya dan terlebih kerinduan unio mistika yang bulat, total, utuh untuk berjumpah dengan Dia yang didambakan dalam ziarah panggilannya. Sedang terpekur kesendirian laksana kuku kaki yang tak hendak tercerabut dari tunasnya, AL pun melakar Rindu yang teramat kuat:

Seperti itu rinduku padamu

Setelah rinduku hampir kaku di kuku kaki waktu

Datang Kau serupa aku

Matamu adalah biji mataku

Hidungmu adalah napas jiwaku

Hatimu adalah jantung hidupku

Mu-Mu adalahku-ku

Ku-ku adalah Mu-Mu

 Kerinduan tersebut sampai ke demarkasi ziarahnya agar kelak dibangun “tugu rindu” sebagai tanda ekspresi kerinduan yang amat sangat, bahwa AL telah dan akan melampaui ziarah panggilan sampai ke tapal batas.

 Puisi adalah kelahiran

AL selalu menukil kisah ziarah kehidupan manusia dalam konteks yang baru. Baru dipahaminya sebagai kelahiran. Maka, ia pun memulai antologi ini dalam konteks dan ruang kelahiran. Kelahiran baginya merupakan titik mulai, juga titik berangkat yang pada akhirnya menemui ajal pada titik batas pada nuansa lazuardi. Di sana pun ada kelahiran kembali. Di tengah-tengah ada ruang dan waktu yang tidak kosong, selalu saja diisi dengan suasana dan situasi baru. Baginya itulah rentetan hidup yang diberi nama lintasan kelahiran. Rentang keberadaan itulah senantiasa dihayati sebagai kelahiran. Berawal dari ketidaksempurnaan sebagai manusia, manusia selalu ditantang menuju pada yang sempurna.  Namun, proses itu tetap tidak menggapai yang sempurna. Berada di antara satu titik persimpangan antara sempurna dan tidak sempurna. Antara pasti dan tidak pasti. Matematis dan nonmatematis. Dalam cermin pikir demikian, AL menulis dalam “Manusia ½ Puisi” di bawah ini.

Hari ini lahir

………………..

 Baris puisi di atas membuat pengandaian bahwa kelahiran selalu ada setiap saat. Terjadi dari waktu ke waktu. Demikian pun puisi adalah kelahiran kembali. Secara eksistensial, manusia adalah makhluk yang ego individualistik yang dilahirkan seorang diri. Terlempar ke dalam komunitas sosial dalam memperteguh sisi sosialitasnya sebagai makhluk sosial. Dan, karena itu manusia pun kadang lupa akan dirinya di antara yang lain. Sering lebih “melihat” orang lain dari dirinya. Cenderung bertanya “mengapa” tentang dirinya dibandingkan “bagaimana” dengan dirinya. Ada dua sisi yang berbeda dari satu manusia yang sama. Eksistensi manusia ½ yang butuh waktu untuk utuh, penuh, dan sempurna. Dibutuhkan kelahiran kembali dari saat ke saat demi membuat hidup pribadi dan sosial semakin lebih berimbang. Kelahiran selalu membuat sesuatu menjadi baru. Semua orang menjadi merasa bahagia dan yakin tentang hidup baru, kendati berujung duka ketika ajal menjemput.

Hidup pun cenderung dianggap sebagai “kami atau saya”, sebagai kelompok orang, bukan kita atau sekalian sebagai komunitas. Dikotomi cara pandang atas lintasan kehidupan yang plural adalah fakta bahwa para penghuni bumi diajak untuk saling memahami. Merawat ziarah kehidupan dengan menebar damai di antara orang. Merawat kehidupan demikian tentu tidak sebatas mengucap atau mengeja kebaikan, melafal kedamaian dalam tutur ritual kegamaan, namun harus melampaui verbalisme kata-kata. Kehidupan riil tentang kebaikan dilalui dengan mendamaikan diri dan sesama, menjadi jawaban yang terus-menerus diinvestasi sebagai bekal hidup akhirat. Dalam konteks itulah, AL mengguratnya dalam “Demonstrasi di Depan Surga”.

Jangan bibirkan damai

Jangan bilang damai

Apalagi teriakkan damai

Tetapi masuklah dalam kamarmu

Tutuplah pintu

dan damaikanlah dunia seperti engkau mendamaikan dirimu sendiri

 Kampung Matahari: sebuah perjumpaan realitas

Kampung Matahari AL adalah sebuah perjumpaan kontekstual akan realitas hidup yang sebenarnya. Sebuah tawaran di tengah lintasan gelimang berbagai fenomena kehidupan umat mengenai kita: relasi kita dengan Tuhan, relasi kita dengan diri, dan relasi kita dengan kita, serta relasi kita dengan lingkungan. Relasi demikian menghadirkan berbagai kesan dalam semua titik perjumpaan. Dan, semuanya itu meninggalkan “tanya”, sebagaimana eksistensi hidup itu sendiri adalah tanya. Tanya kepada diri, sesama, bahkan kepada Tuhan Pencipta dan Pemelihara hidup. Kredo pertanyaan yang tidak berujung.

Atas kontestasi hidup yang bertemu pada satu pusaran perjumpaan tersebut, tanya (?) adalah respons solutif. AL pun tampil dalam beragam tanya atas berbagai versi konteks. AL mewakili berbagai kelompok ziarah hidup untuk bertanya. Berbagai pertanyaan pun mengusik tajam. Mengapa kehidupan kita terus dipenuhi fundamentalisme, radikalisme, terorisme, sadisme, kekerasan, ketimpangan kemakmuran, dan berbagai bentuk penindasan yang tampak menafikan peran ilmu pengetahuan dan teknologi? Mengapa paranormal, peramal, ahli nujum, penghipnotis, dukun, “dunia lelembut”, iming-iming sulapan, dan sejenisnya makin hari justru makin marak, naik daun, popular menguasai hidup sekalian kita, sampai-sampai mengalahkan agamawan juga ilmuwan? Mengapa kehidupan kita makin saling curiga, saling membenci,  saling berpandangan negatif, saling tidak memercayai, saling tuduh, saling menohok kawan seiring yang adalah mencerminkan hati dan jiwa kita?

Mengapa egosentrisme, egoisme, narsisme, hedonisme, premanisme, erotisme, tipu-muslihat, amoralitas kian hari kian mengendalikan hidup kita dan membuat kita pusing? Mengapa stress, stroke, disorientasi, kehampaan hidup makin meroket, sehingga makin laris pula para ahli terapi jiwa atau pemandu rohani, bahkan penyembuh badan menawarkan jasa dan budi baik untuk mengatasinya? Mengapa gosip, rumor, kasak-kusuk, omong kosong dan berita burung semakin naik daun mewarnai hidup kita, di samping tayangan infotainment alias gosip gombal dan kabar angin selalu menempati rating tertinggi media massa elektronik yang semuanya menggambarkan tidak berfungsinya hati nurani atau jiwa kita?

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah menjadi diri sendiri, menjadi bangsa sendiri. Jawaban kedua mengingatkan kita sebagai bangsa pada dasar negara Pancasila. Secara aksiologis, seluruh nilai dan penjiwaannya akan luntur dan kita pun akan kehilangan jati diri, kehilangan kemandirian sehingga mudah diombang-ambingkan oleh paradigma asing yang kini mendasari tata kehidupan global (Djawanai, 2014: 258 –261). Dan, oleh karena itu, masyarakat Indonesia mendambakan “penularan” kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila telah teruji dan telah menjadi “obat penawar” atas berbagai persoalan bangsa. Nilai-nilai Pancasila seperti saling menghormati, musyawarah, gotong royong, solidaritas, kerukunan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari semakin dipinggirkan. Jadi, Pancasila dan seluruh nilainya dapat dikembalikan dan menjadi dasar pembenihan, penanaman, dan pengembangan berbagai nilai pembelajaran formal untuk kehidupan masa depan para peserta didik di kehidupan masyarakat.

Jawaban pertama mengajak kita sendiri menjadi diri sendiri. Kita pun diajak untuk lebur dalam arena lapang berbagai ziarah hidup, namun tetap teguh pada jati diri, prinsip dan ajaran “kampung asal”. Ajaran-ajaran adiluhung dari budaya lokal yang dipandang penting untuk menjaga dan mengatur perilaku, tindak tanduk selama berziarah. Demikian maka, tidak ada di antara kita yang saling curiga, prasangka, karena kita semua: sama-sama mengenal diri kita, dan sedang ke mana kita berziarah. Untuk itulah, AL mengajak kita untuk selalu mengalami “natal” dalam setiap hari hidup kita.

 


 



[1] Prolog dalam Kumpulan Puisi “Kampung Matahari” karya Ansel Langowuyo (2017) yang diterbitkan oleh Penerbit Carol Maumere, ISBN 978-979-1407-61-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar