Flores, akhir-akhir ini ternyata tak seindah namanya.
Nama yang pernah menjadi sangat harum semerbak wangi bunga dan tergambar representatif.
Sebuah gambaran identitas Flores yang mengular dari barat ke timur hingga
membuat Cabot terkesima dan memberinya nama Pulau Bunga. Nama ini kemudian secara
resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik
Brouwer. Lewat sebuah studi yang mendalam Pater Pit Orinbao (1969), menyebutkan
nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa
yang berarti Pulau Ular.
Selain keindahannya,
Flores juga dihebokan dengan sejumlah persoalan sosial kemasyarakatan, di
antaranya gunung es kekerasan yang kian akut. Judul tulisan ini dilatari oleh
sejumlah pengamatan di wilayah ini. Ini fenomena akut yang acap mengintai
masyarakat kita. Tentu bukan membuat semacam pengabsahan bahwa masyarakat kita
akrab dengan kekerasan, namun darinya kita belajar untuk mencintai, menghargai,
sekaligus berusaha menjadi manusia lagi. Masyarakat yang rentan kekerasan
adalah masyarakat yang betapa memandang nyawa manusia ciptaan Tuhan yang diutus
untuk memuliakan namaNya yang Besar dan Agung serta sekalian alam sebagai musuh
dan lawan. Pada cara pandang ini, Thomas Holbes benar bahwa manusia menjadi
serigala bagi manusia yang lain. Pemahaman ini serentak memaklumi kekerasan. Kekerasanpun
menjadi pilihan satu-satunya untuk keluar dari sebuah persoalan. Semisal, konflik,
ancam-mengancam sampai pembunuhan ibarat api dalam sekam membuat kehidupan itu
sendiri menjadi tidak nyaman. Nyawa lagi-lagi menjadi sangat murah dan begitu
saja lenyap di tangan orang-orang yang tidak beradab dan berperikemanusiaan.
Sepanjang tahun ini, banyak kisah nyata yang
kita dengar, bahkan kita simak dari berbagai pemberitaan di media massa kita. Setidak-tidaknya
itulah wajah Flores yang sudah berubah. Harian Flores Pos, misalnya memberitakan
kronologi pembunuhan korban Laurensius Wadu, mantan Kadis Perhubungan dan
Informatika Kabupaten Lembata yang ditemukan tak bernyawa dalam keadaan
telanjang pada Minggu, 9 Juni 2013. Sadis! Sadis memang. Lain lagi, “Tawuran
kelompok pelajar dan pemuda yang mabuk ‘tuak’ di Pasar Walang Sawah Omesuri,
Kedang pada Senin 1 Juli 2013. Rahmad Nutu Ramun (19) meninggal dunia dan Ahfam
Muhamad (20) mengalami luka berat. Para pelaku adalah pelajar SMP/SMA/SMK yang
berusia 15–21 tahun. Korban meninggal dipukul dan ditikam dengan senjata tajam
(pisau)”, (Flores Pos, 3/7/2013).
Hari ulang tahun RI
ke-65 di Kecamatan Wulandoni Lembata dirayakan di atas darah. Mayat Korinus
Lanang Manuk dibuang di jalan raya, akibat warga dua desa, Wulandoni dan Pantai
Harapan Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata saling serang pada 17 Agustus
2014, bertepatan dengan HUT ke 69 Proklamasi kemerdekaan RI. Korinus tewas
ditempat dan dibuang di jalan raya depan kantor polisi (Pos Kupang, 18/8/2014).
Kisah pembunuhan sadis
teraktual dalam hari-hari terakhir ini adalah datang dari Were 4 Golewa Ngada.
Seorang Petronela Tay (40) dibunuh suaminya Lorensius Leba (42) dengan membelah
ibu 5 anak itu dari dahi hingga dagu. “Saat kami pulang ke rumah setelah
disuruh ayah menimba air di kompleks sekolah (100 meter) ibu sudah diguyur
darah dengan posisi duduk dan bersandar di dinding dapur, sementara ayah sudah
tidak ada di rumah” demikian kesaksian serang anak korban. Menurut Lorens,
masalahnya sepele. Akibat mabuk moke putih sejeriken dan kata-kata yang membuat
pelaku tersinggung, yakni menuduhnya selingkuh dengan perempuan lain (Flores
Pos, 14/11/2014; Pos Kupang, 14 & 15/11/2014).
Dari kota Ende, warga
lorong Ganyo, Kelurahan Kelimutu Ende, Ashari Alamsya Langga (22) tewas usai
dikeroyok empat pemuda dan ditikam pada bagian punggung oleh seorang pelaku,
Sabtu, 15/11/2014. Pasalnya, korban menegur salah seorang pelaku yang
mengendarai sepeda motor tanpa lampu, namun tidak diterima baik, maka keduanya
terlibat pertengkaran dan akhirnya berujung pembunuhan (Flores Pos,
17/11/2014). Bahkan dari Manggarai dilaporkan bahwa sepanjang 2013 terjadi 306
kasus kekerasan (FP, 27/11/2014). Tentu masih banyak kredo kekerasan
lain yang luput dari pantauan media massa dan pengamatan kita. Bahkan yang
paling menyedihkan, seorang siswa SMP Widya Bhakti Ruteng menikam seorang guru
SMPK St. Fransiskus Ruteng dengan menggunakan pisau pada Kamis, 18 Desember
2014 (FP, 20/12/2014). Jelas bahwa kekerasan terus merambah masuk pada
lingkungan-lingkungan pendidikan kita yang mestinya steril dari aneka
kekerasan. Sudah terjadi mau bilang apa. Yang ada tinggal nestapa dan
penyesalan. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana upaya untuk mencegah dan
mengatasi kekerasan-kekerasan tersebut.
Berdasarkan pemberitaan-pemberitaan
tentang kekerasan lokal, terungkap bahwa ada inkubasi melalui dendam kesumat, kekerasan
lokal juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor mabuk, pembagian warisan,
konflik tanah, bahkan ada yang juga berawal dari masalah yang sederhana, sepele,
seperti tersinggung. Kasus-kasus kekerasan bahkan sudah menerobos pada wilayah
publik akibat pelayanan dan ketidakberesan layanan pemerintah kepada publik
tidak memuaskan. Kepala Kesbangpol NTT, Sisilia Sona, mengemukakan bahwa rakyat
NTT, dan Flores khususnya menghadapi 3 masalah utama yang menjadi sumber
konflik, yakni pertambangan, batas administrasi antardaerah, dan tanah.
Ironisnya penyelesaian konflik-konflik ini belum sampai pada akar masalah (Flores
Pos, 4/11/2014). Sinyalemen ini tentu menyisahkan tanya, siapakah atau
lembaga manakah yang dipandang kompeten untuk menuntaskan 3 masalah utama di
atas? Tujuannya agar penyelesaiannya sampai ke akar masalah. Hemat saya, institusi
pemerintah perlu mengambil langkah cepat, tepat dengan menggandeng lembaga-lembaga
kemasyarakatan lain dalam model kerja sama untuk langkah-langkah preventif agar
penyelesaian masalah-masalah tersebut dapat tuntas tanpa merugikan salah satu
pihak.
Pertama, tentang
kesantunan, etiket atau etika berbahasa. Dalam kehidupan masyarakat kita telah
terjadi berbagai perubahan, baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang
baru, terpaan globalisasi, maupun sebagai akibat perkembangan teknologi
informasi yang berkembang begitu cepat. Perubahan
tersebut juga terjadi pada soal tutur ucap. Ada fenomena ketidakmatangan
emosional dan sosial, di samping etiket bertutur yang membuat orang cepat
tersinggung sehingga mengakibatkan munculnya kekerasan. Apalagi, faktor
eksternal lain, semisal “mabuk” karena maraknya minuman-minuman beralkohol khas
Flores yang gampang dibeli dan ditenggak oleh siapa saja turut menambah daftar
keprihatinan kita tentang kekerasan ini. Fenomena ini memungkinkan untuk
ditanggulangi melalui pembenaman dan internalisasi sejumlah kematangan nilai yang dipandang berharga, mulai dari
kulit sampai yang ke inti, dari yang instrumental (alat, sarana) sampai ke yang
bernilai tujuan (Sutrisno, 1994: 149). Nilai-nilai
kemanusiaan itu merupakan representasi sifat humanis yang dengan sendirinya ditujukan untuk mengangkat harkat
dan martabat manusia.
Predikat manusia sebagai makhluk
bermoral tidak signifikan dengan tutur, terlebih tindakannya. Manusia sedang
menggeser nilai-nilai kemanusiaan ke dalam jurang yang amat dalam, akibat
pesatnya sebuah kemajuan. Manusia sedang digiring dalam sebuah pabrik besar
dengan mengandalkan alat sebagai lokomotifnya, tanpa mempertimbangkan dari segi
nurani. Pada akhirnya, manusia sedang memahat tembok kebersamaan dan membangun
sekat-sekat primordialisme. Dalam pada itu, emosionalitas menjadi pilihan utama
mengambil sikap. Sehingga benar bahwa salah satu sebab merajalelanya tindakan
kejahatan tanpa malu-malu adalah meluasnya ketanpabepikiran dalam bertindak,
tulis Hanna Andert (dalam Sabda Nomor. 11/1999).
Kedua, masalah
pertambangan. Hemat saya, masalah pertambangan sangat terkait dengan masalah
tanah dan kepemilikan tanah, di samping efek samping lainnya. Praktik
pertambangan yang tengah marak di masyarakat kita tanpa disadari merupakan praktik
adu domba pemerintah daerah dengan rakyatnya oleh bos besar pemilik modal yang
bernama investor. Hemat pemerintah, eksplorasi bahkan eksploitasi pertambangan
akan serta merta menyejahterakan rakyat, malahan menuai kesengsaraan. Ternyata
itikad meneyejahterakan rakyat tersebut tidak ditopang oleh pemahaman bahwa
kesejahteraan mestinya dibangun melalui proses panjang, melelahkan, dan tidak
harus melalui tambang. Demikian, kita diajak untuk memahami esensi pendidikan,
terutama menghargai proses bukan hasil. Apa daya, tambang–mengeksplorasi dan
membabat habis upaya rakyat sekian ratus tahun untuk mencapai kesejahteraan mereka.
Seluruh potensi yang dimiliki, termasuk artefak dan noninsani hilang lenyap
begitu saja oleh pemilik modal yang arogan atas ijin pemerintah. Dari sinilah, rakyat
bangkit membela haknya, dengan berbagai macam cara, termasuk memblokir lahan
tambang dengan bertelanjang dada, seperti yang terjadi di Tumbak Manggarai
Timur beberapa waktu lalu. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga hak-hak
mereka di samping menjaga kelestarian alam sebagai satu-kesatuan kosmos, tempat
tinggal dan tempat penafkahan hidup.
Negara menindak rakyat tidak saja ketika negara melakukan
penggusuran, pengusiran, dan kekerasan terhadap rakyatnya, tetapi juga ketika
negara bersikap tak sungguh-sungguh mencerdaskan rakyatnya, sehingga rakyatnya
tetap dalam kebodohan, menjadi babu di negeri orang, menjadi pelacur, pencopet,
perampok, dan pelaku kejahatan lainnya. Juga ketika negara berbuat menyudutkan rakyatnya
dan menyebarkan kebencian terhadap rakyatnya sendiri. Termasuk dalam hal ini,
negara juga melakukan pembungkaman terhadap rakyatnya yang mencoba berani menyatakan pandangan yang berbeda. Negara
menentukan apa yang selayaknya dipikirkan rakyatnya dan yang tak perlu dipikirkan.
Negara juga menyensor informasi-informasi dan menentukan mana yang boleh dibaca
dan tidak boleh dibaca. Kadang-kadang negara menciptakan idiom kebijakan yang
indah dan ambigu, tetapi tafsir tunggalnya adalah hak negara. Jadi, negara
penindas rakyat adalah paradoks, Sudibyo (dalam Kitab Puisi Arung Diri,
2013).
Ketiga, birokrasi pemerintahan
mesti melayani dengan hati dan segenap kemampuan untuk masyarakat. Ini terkait
dengan upaya pelayanan pemerintah kepada rakyatnya. Di mana-mana, rakyat
mengetahui bahwa menjadi pemimpin publik berarti menjadi pejabat administratif
dan pejabat politik. Pejabat administratif berarti menjalankan administrasi
pemerintahan secara baik, sedangkan pejabat politik, artinya memperjuangkan
kesejahteraan hidup masyarakat sehari-hari secara baik dan benar. Dalam banyak
hal, perlu kita akui bahwa Das Sein, apa yang terjadi, apa yang ada
dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut kemaslahatan
masyarakat banyak, seperti kehidupan sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi,
bahkan demokrasi menyimpang dari Das Sollen, apa yang seharusnya
terjadi, apa yang diharapkan oleh bangsa ini menurut hati nurani, sebagaimana
teramanat dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini dibutuhkan koordinasi. Hemat saya, koordinasi juga
komunikasi antara semua sektor pembangunan di daerah ini tampaknya masih menjadi
barang mewah. Ini upaya untuk menipiskan rasa egosektoral antara instansi yang
satu dengan instansi yang lain.
Dibutuhkan koordinasi yang selaras–seimbang dan intensif untuk
akselerasi pembangunan demi tercapainya cita-cita luhur bangsa. Dengan demikian,
kualitas pembangunan dan penyelesaian masalah-masalah penghambat pembangunan lebih
ditentukan oleh pemanfaatan ketersediaan sumber daya manusia daerah melalui
kerja sama yang produktif. Lembaga-lembaga pendidikan, sosial, gereja, dan
lembaga politik di daerah perlu diberi peran dan tanggung jawab ‘lebih’ untuk
meningkatkan frekuensi peran dan tanggung jawabnya terhadap kehidupan
masyarakat. Tentu semua lembaga sepakat kalau model ini diinisiasi kembali oleh
pemerintah. Hemat saya, keterikatan emosional psikologis Pemda dengan
lembaga-lembaga di daerah atau anak-anak daerah akan lebih melekat kuat, karena
mereka punya tanggung jawab yang sama untuk pembangunan daerah ini. Tentu kita
punya ikhtiar untuk meminimalisir penyelesaian masalah dengan mengadopsi paradigma
berpikir importir yang keliru, pragmatis dan instant. Padahal, masyarakat kita
memiliki pola membangun sampai pada pola penyelesaian masalah. Karena sesungguhnya
kita punya kiat, punya pendekatan, dan berbagai khasanah budi dan daya dalam
semangat kearifan lokal. Itulah sebabnya, arus untuk membumikan kembali
semangat dan kebijaksanaan lokalitas (local wisdom) menjadi prioritas
dan pusat perhatian pembelajaran dewasa ini.
Kita sangat percaya kepada para orang tua, para guru
sebagai arsitek pendidikan di lembaga formal kita, pemerintah, dan semua kita untuk
memberikan peran dan tanggung jawab yang sama untuk memutus mata rantai
kekerasan, agar tidak terus mencapai surplus dalam kehidupan bermasyarakat pada
hari-hari ke depan. (*)
Kita tersentak karena kemanusiaan ternoda,
BalasHapusFlores berduka akibat ulah manusia tak bertanggung jawab