Halaman

Rabu, 08 November 2017

Menanti Kreativitas Guru

UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
 Sekitar  tiga tahun lalu, pemerintah menjalankan program sertifikasi guru sebagai tindak lanjut UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sertifikat pendidik menjadi bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional (Pasal 1 butir 11 dan 12). Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru berhak memperoleh sejumlah penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (Pasal 14 ayat 1). Penghasilan sebagaimana dimaksud, meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi (Pasal 15  ayat 1). Untuk itu, demi sepadannya pemberian tunjangan yang cukup memadai di atas, adapun tuntutan yang diberikan kepada guru, yakni dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, sebagaimana diamanatkan Pasal 20. Ketika guru menjalankan tugas keprofesionalannya tidak sebagaimana yang diamantkan pasal di atas, maka guru dikenai sanksi, sesuai Pasal 77 ayat (2) berupa: (a) teguran;  (b) peringatan tertulis; (c) penundaan pemberian hak guru; (d) penurunan pangkat; (e) pemberhentian dengan hormat; atau (f) pemberhentian tidak dengan hormat. Pertanyaan kita, apakah amanat demikian telah dijalankan untuk peningkatan mutu atau kualitas pendidikan kita?
            Melalui program ini pun, ratusan bahkan ribuan guru telah dan akan merasakan ‘lumayan’nya mengikuti program ini. Dari aspek kesejahteraan, telah cukup memadai. Konsekuensi logis yang kita harapkan dari program sertifikasi ini adalah adanya upaya peningkatan kualitas pendidikan kita secara signifikan. Ini artinya, diikuti oleh ikhtiar dan tekad kita semua, terutama para punggawa pendidikan untuk mengangkat citra pendidikan kita, paling tidak dalam konteks ke-NTT-an agar dapat keluar dari label juru kunci klasemen pendidikan di negeri ini. Itu harapan dan cita-cita bersama, ketika hasil UN 2009/2010 telah menjadi indikator mengevaluasi derajat kualitas pendidikan kita tersebut.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, selaku top leader di masing-masing kabupaten tidak sekadar melakukan evaluasi terkait rendahnya kelulusan. Yang kita harapkan adalah melakukan terobosan dengan memunculkan kiat-kiat baru sebagai terobosan strategis demi peningkatan kualitas pendidikan kita. Ya, minimal ada rencana-rencana besar yang membumi dan menyentuh langsung permasalahan.

Revitalisasi MMP

Kita tidak terus berkutat di tempat. Seakan pasrah dan menerima apa adanya kondisi pendidikan yang demikian. Terlebih pembelajaran di kelas sebagai aplikasi riil akselerasi kualitas pendidikan. Kita butuhkan upaya, kiat dan strategi strategis dalam menerobos keterbelakangan, menyingkap terang cahaya benderang untuk menyatakan kepada dunia lain bahwa kita bisa. Pada tataran guru sebagai instrumental input, upaya yang bisa dilakukan adalah revitalisasi MMP (materi, metode, penilaian).
Materi pembelajaran yang disampaikan hendaknya dalam kerangka pemberdayaan demi eksplorasi kapasitas kemampuan siswa. Hendaknya Bapak/Ibu tidak mengajarkan buku teks kepada siswa, tetapi menghadirkan berbagai problema untuk dipecahkan secara baik oleh siswa. Singkatnya, materi pembelajaran sedapatnya “menantang” siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Siswa tertantang belajar sambil mempraktikkan berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti bertahan pada mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang. Implementasi pendekatan kontekstual, misalnya, menuntut pembelajaran secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dengan demikian, dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Artinya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi (Depdiknas, 2002:2). Sesuatu berupa pengetahuan dan keterampilan datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru. Guru tampil sebagai sutradara yang siap mengorkestrasi pembelajaran, dengan prinsip menghargai kebhinekaan anak sambil membangun segenap keperbedaan potensi yang dimiliki oleh anak.
Metode pembelajaran yang diharapkan untuk diterapkan adalah metode yang betul-betul produktif. Metode yang variatif juga menantang yang disampaikan secara menyenangkan. Skenario pembelajaran dirancang kreatif secara runtut dan relevan akan memacu guru dan siswa untuk mengalami pembelajaran secara menyenangkan pula. Tentunya, guru akan memainkan perannya sebagai fasilitator pembelajaran yang cerdas dan meyakinkan. Bukan menentukan banyak metode, namun tidak diterapkan secara optimal. Satu metode, tetapi efektif.
Penilaian yang diberikan adalah penilaian yang sebenarnya (otentic assesement). Tidak ada rekayasa. Tidak ada kompromi. Walaupun nanti kita berhadapan dengan sistem ujian akhir yang ambigu. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya. Itulah hakikat penilaian yang sebenarnya.

Kreativitas

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan kreativitas sebagai (1) kemampuan untuk mencipta; daya cipta; (2) perihal berkreasi (2008: 760). Dapatlah dikatakan bahwa kreativitas adalah sesuatu pada orang kreatif yang digunakan untuk menghasilkan produk kreatif. Ide atau produk kreatif adalah ide atau produk yang asli. Produk kreatif mencakup karya seni, sain, juga ide imajinatif.
Kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Sebuah obsesi yang berkohesi dengan estetika, intelektualisme, dan intuisi. Intuisi adalah bakat. Pendidikan atau latihan diupayakan untuk menambah ketajaman intuisi, sehingga butuh proses yang terus untuk dapat melahirkan kreativitas. Sebagaimana seorang seniman yang tidak pernah diam, pembelajaran pun dirancang agar siswa tidak diam. Selalu berpikir, bekerja, dan beraktivitas, memenuhi rasa ingin tahu, menambah ketajaman pandangannya, dan mengasah ketajaman otaknya.
Salah satu jawaban mengapa orang dan daerah lain bisa, karena mereka kreatif. Ide, produk, proses, dan  lingkungan mereka menjadikan penduduknya menjadi manusia-manusia yang kreatif. Berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru. Berpikir kritis dan kreatif memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi orisinil. Itulah sebabnya dalam persaingan global semacam ini, kita juga harus kreatif, terutama di era globalisasi yang cenderung mengedepankan  kompetensi.
Pendidikan kreativitas juga sesuai dengan kompetensi yang dituntut dalam Kurikulum 2004. Pertama, kompetensi intelektual, berupa kemampuan berpikir dan bernalar, kemampuan kreatif dan inovatif (memperbaharui, meneliti, dan menemukan), kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan mengambil keputusan strategis yang mendukung kehidupan global. Kedua, kompetensi (intra)personal, berupa kemandirian, ketahanbantingan, keindependenan, kreativitas dan produktivitas, kejujuran, keadilan, keterbukaan, mengelola diri sendiri, dan menempatkan diri sendiri secara bermakna, serta orientasi pada keunggulan yang sesuai dengan kehidupan global. Ketiga, kompetensi komunikatif, berupa kemahirwacanaan, kemampuan menguasai sarana komunikasi mutakhir, kemampuan menguasai suatu bahasa, kemampuan bekerja sama, dan kemampuan membangun hubungan-hubungan dengan pihak lain yang mendukung kehidupan global dalam satu sistem dunia.
Keempat, kompetensi kinestetis-vokasional, berupa kecakapan mengoperasikan sarana-sarana komunikasi mutakhir, kecakapan melakukan pekerjaan mutakhir, dan kecakapan menggunakan alat-alat mutakhir yang mendukung suksesnya berkiprah dalam kehidupan global. Kelima, kompetensi hidup bersama secara multikultural berupa kemampuan bermasyarakat secara multikultural, kecakapan bekerja secara multikultural, kecakapan bertingkah laku secara multikultural, dan kemahiran bersopan-santun lintas kultural serta kemampuan menyesuaikan diri di tempat berbeda-beda.
Gugahan ringkas ini lebih merupakan sharing kiat dan strategi mengorkestrasi pembelajaran di kelas. Saya tidak sedang menggurui Bapak/Ibu di sekolah. Saya sadar, bahwa Bapak/Ibu guru lebih paham dan cermat memilih MMP yang akan diterapkan di kelas. Saya sekadar mengajak Bapak/Ibu guru untuk berrefleksi, berhenti sejenak dalam tumpukan kesibukan untuk mencoba lagi (coba-gagal) apa yang sudah kita kerjakan. (*)




[1] Tulisan ini pernah dimuat di HU Flores Pos, 1 Maret 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar