UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Sekitar
tiga tahun lalu, pemerintah menjalankan program
sertifikasi guru sebagai tindak lanjut UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat
pendidik untuk guru. Sertifikat pendidik menjadi bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada
guru dan dosen sebagai tenaga profesional (Pasal 1 butir 11 dan 12). Dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan guru berhak memperoleh sejumlah penghasilan
di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (Pasal 14 ayat 1). Penghasilan sebagaimana dimaksud, meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan
fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan
tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar
prestasi (Pasal 15 ayat 1). Untuk itu,
demi sepadannya pemberian tunjangan yang cukup memadai di atas, adapun tuntutan
yang diberikan kepada guru, yakni dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
guru berkewajiban: merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran
yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, sebagaimana diamanatkan
Pasal 20. Ketika guru menjalankan tugas keprofesionalannya tidak sebagaimana
yang diamantkan pasal di atas, maka guru dikenai sanksi, sesuai Pasal 77 ayat (2)
berupa: (a) teguran; (b) peringatan
tertulis; (c) penundaan pemberian hak guru; (d) penurunan pangkat; (e) pemberhentian
dengan hormat; atau (f) pemberhentian tidak dengan
hormat. Pertanyaan
kita, apakah amanat demikian telah dijalankan untuk peningkatan mutu atau
kualitas pendidikan kita?
Melalui
program ini pun, ratusan bahkan ribuan guru telah dan akan merasakan
‘lumayan’nya mengikuti program ini. Dari aspek kesejahteraan, telah cukup
memadai. Konsekuensi
logis yang kita harapkan dari program sertifikasi ini adalah adanya upaya
peningkatan kualitas pendidikan kita secara signifikan. Ini artinya, diikuti
oleh ikhtiar dan tekad kita semua, terutama para ‘punggawa’ pendidikan untuk mengangkat citra
pendidikan kita, paling tidak dalam konteks ke-NTT-an agar dapat keluar dari label juru kunci klasemen pendidikan di negeri ini. Itu harapan dan
cita-cita bersama,
ketika hasil UN 2009/2010 telah menjadi indikator mengevaluasi derajat kualitas pendidikan kita
tersebut.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga,
selaku top leader di masing-masing kabupaten tidak sekadar melakukan evaluasi terkait rendahnya
kelulusan. Yang kita harapkan adalah melakukan terobosan dengan memunculkan kiat-kiat baru sebagai terobosan strategis
demi peningkatan kualitas pendidikan kita. Ya, minimal ada rencana-rencana besar
yang membumi dan menyentuh langsung permasalahan.
Revitalisasi MMP
Kita
tidak terus berkutat di tempat. Seakan pasrah dan menerima apa adanya kondisi
pendidikan yang demikian. Terlebih pembelajaran di kelas sebagai aplikasi riil
akselerasi kualitas pendidikan. Kita
butuhkan upaya, kiat dan strategi strategis dalam
menerobos keterbelakangan, menyingkap terang cahaya benderang untuk menyatakan
kepada dunia lain bahwa kita bisa. Pada tataran guru sebagai instrumental
input, upaya yang bisa
dilakukan adalah revitalisasi
MMP (materi, metode, penilaian).
Materi
pembelajaran yang disampaikan hendaknya dalam kerangka pemberdayaan demi
eksplorasi kapasitas kemampuan siswa. Hendaknya Bapak/Ibu tidak mengajarkan
buku teks kepada siswa, tetapi menghadirkan berbagai problema untuk dipecahkan
secara baik oleh siswa. Singkatnya, materi pembelajaran sedapatnya “menantang”
siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Siswa
tertantang belajar sambil mempraktikkan berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya, bukan mengetahuinya.
Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti bertahan pada
mengingat jangka pendek,
tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam kehidupan jangka
panjang. Implementasi pendekatan kontekstual, misalnya, menuntut pembelajaran
secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dengan demikian, dalam
kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Artinya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi
(Depdiknas, 2002:2). Sesuatu
berupa pengetahuan dan keterampilan datang dari menemukan sendiri, bukan dari
apa kata guru. Guru tampil sebagai sutradara
yang siap mengorkestrasi pembelajaran,
dengan prinsip menghargai kebhinekaan anak sambil membangun segenap
keperbedaan potensi yang dimiliki oleh anak.
Metode
pembelajaran yang diharapkan untuk diterapkan adalah metode yang betul-betul
produktif. Metode yang variatif juga
menantang yang disampaikan secara menyenangkan. Skenario pembelajaran dirancang
kreatif secara runtut dan relevan akan memacu guru dan siswa untuk mengalami
pembelajaran secara menyenangkan pula.
Tentunya, guru akan memainkan perannya sebagai fasilitator pembelajaran yang
cerdas dan meyakinkan. Bukan menentukan banyak metode, namun tidak diterapkan
secara optimal. Satu metode, tetapi efektif.
Penilaian
yang diberikan adalah penilaian yang sebenarnya (otentic assesement). Tidak
ada rekayasa. Tidak ada kompromi. Walaupun nanti kita berhadapan dengan sistem
ujian akhir yang ambigu. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan
pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya
sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses
pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata
yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar
dinilai dari proses, bukan melulu
hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya. Itulah hakikat
penilaian yang sebenarnya.
Kreativitas
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan kreativitas
sebagai (1) kemampuan untuk mencipta; daya cipta; (2) perihal berkreasi (2008: 760). Dapatlah dikatakan bahwa
kreativitas adalah sesuatu pada orang kreatif yang digunakan untuk menghasilkan
produk kreatif. Ide atau produk kreatif adalah ide atau produk yang asli.
Produk kreatif mencakup karya seni, sain, juga ide imajinatif.
Kreativitas
adalah penemuan sambil berjalan. Sebuah obsesi yang berkohesi dengan estetika, intelektualisme, dan intuisi. Intuisi adalah
bakat. Pendidikan atau latihan diupayakan untuk
menambah ketajaman intuisi, sehingga butuh proses yang terus untuk dapat melahirkan kreativitas. Sebagaimana
seorang seniman yang tidak pernah diam, pembelajaran pun
dirancang agar siswa tidak diam. Selalu berpikir, bekerja, dan beraktivitas,
memenuhi rasa ingin tahu,
menambah ketajaman pandangannya, dan mengasah ketajaman otaknya.
Salah satu jawaban mengapa orang dan daerah lain bisa, karena mereka kreatif. Ide, produk,
proses, dan lingkungan mereka menjadikan
penduduknya menjadi manusia-manusia yang kreatif. Berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli
dan pemahaman-pemahaman baru. Berpikir kritis dan kreatif memungkinkan siswa
untuk mempelajari masalah secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan yang
terorganisasi, merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi orisinil. Itulah
sebabnya dalam persaingan global semacam ini, kita juga harus kreatif, terutama di era globalisasi yang
cenderung mengedepankan kompetensi.
Pendidikan kreativitas juga sesuai
dengan kompetensi yang dituntut dalam Kurikulum 2004. Pertama, kompetensi
intelektual, berupa kemampuan berpikir dan bernalar, kemampuan kreatif dan inovatif
(memperbaharui, meneliti, dan menemukan), kemampuan memecahkan masalah, dan
kemampuan mengambil keputusan strategis yang mendukung kehidupan global. Kedua,
kompetensi (intra)personal, berupa kemandirian, ketahanbantingan,
keindependenan, kreativitas dan produktivitas, kejujuran, keadilan,
keterbukaan, mengelola diri sendiri, dan menempatkan diri sendiri secara
bermakna, serta orientasi pada keunggulan yang sesuai dengan kehidupan global. Ketiga,
kompetensi komunikatif, berupa kemahirwacanaan, kemampuan menguasai sarana
komunikasi mutakhir, kemampuan menguasai suatu bahasa, kemampuan bekerja sama,
dan kemampuan membangun hubungan-hubungan dengan pihak lain yang mendukung
kehidupan global dalam satu sistem dunia.
Keempat, kompetensi kinestetis-vokasional,
berupa kecakapan mengoperasikan sarana-sarana komunikasi mutakhir, kecakapan
melakukan pekerjaan mutakhir, dan kecakapan menggunakan alat-alat mutakhir yang
mendukung suksesnya berkiprah dalam kehidupan global. Kelima, kompetensi
hidup bersama secara multikultural berupa kemampuan bermasyarakat secara
multikultural, kecakapan bekerja secara multikultural, kecakapan bertingkah
laku secara multikultural, dan kemahiran bersopan-santun lintas kultural serta
kemampuan menyesuaikan diri di tempat berbeda-beda.
Gugahan ringkas ini lebih merupakan sharing kiat dan
strategi mengorkestrasi pembelajaran di kelas. Saya tidak sedang menggurui
Bapak/Ibu di sekolah. Saya sadar, bahwa Bapak/Ibu guru lebih paham dan cermat
memilih MMP yang akan diterapkan di kelas. Saya sekadar mengajak Bapak/Ibu guru untuk berrefleksi,
berhenti sejenak dalam tumpukan kesibukan untuk mencoba lagi (coba-gagal) apa yang sudah kita kerjakan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar