Hati
siapa yang tidak akan gundah gulana dan insan mana yang tak akan banjir air
mata, ketika mendengar, menyaksikan kisah tragis dari negeri seberang tentang
bencana dahsyat yang menerpa sesama kaum kerabat kita. Bukit Wasior dengan
panorama hijau mengundang decak kagum dan tatapan terkesima setiap manusia yang
berkunjung ke sana, sekejap mata dihempas banjir bandang dan terbelah, menganga
menjadi kali besar mengalirnya kayu, batu, dan rumah-rumah penduduk, bahkan
sampai tubuh manusia sekalipun bergelimpangan bercampur baur dengan kebringasan
banjir bandang tersebut. Lain lagi di Wasior, lain cerita di negeri Sumatera.
Guncangan gempa bumi memporakporandakan Mentawai, lagi-lagi merenggut korban
manusia, selain korban material lain.
Seakan belum “puas” bencana alam melanda negeri ini. Kini muntahan abu
panas dan larva dingin dari perut gunung Merapi menelan korban jiwa. Tak luput
“Mba Marijan”, Sang penjaga gunung teraktif di dunia itu pun “pergi” bersama wedhus
gembel (awan panas) pada hari pertama muncratan gunung antara Jawa Tengah
dan Yogyakarta tersebut. Akibat aktivitas Merapi yang tidak tentu dan terus
mencekam ini, mengakibatkan 146.440 orang di 64 Desa dari tiga kabupaten
(Klaten, Boyolali, dan Sleman), menjadi desa mati karena harus mengungsi, 121
korban tewas, 172 korban hilang (Jawa Pos, 7 November 2010).
Negeri Terus Menangis
Negeri
ini terus menangis. Kabung nasional pun diserukan ke seluruh pojok negeri untuk
berbelasungkawa, mendoakan sembari memberi dari kekurangan kita untuk membantu
sesama korban bencana. Kisah duka, rentetan peristiwa pilu betul-betul sudah,
bahkan tengah “mengancam” kita penghuni rahim negeri ini. Pertanyaannya,
mengapa bencana: banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus, di negeri mahaluas ini tak pernah “pergi”,
bahkan tobat setelah sekian banyak nyawa tak terhitung lagi direnggut dan
melayang - pergi begitu saja, ketika orang lain masih membutuhkan mereka? Tak
tentu jawabannya. Banyak orang mungkin lebih berkompeten melukiskan muasal
peristiwa-peristiwa di atas. Namun, tulisan sederhana ini lebih kurang
merupakan sebuah introspeksi juga refleksi dari persepektif relasi alam tempat kita berpijak dan membumi
dengan sastra tempat orang mencipta, berkarya tentang segala sesuatu, termasuk
tentang alam, yang kita pijaki.
Membaca Tanda-Tanda
Judul
tulisan di atas merupakan judul puisi yang ditulis Taufik Ismail. Puisi-puisi
Taufik Ismail pada umumnya memiliki kekuatan pada aspek afinitas, yakni
aspek yang memiliki pertalian bathin yang kental dan kuat lantaran ada
pengalaman yang sama yang bersumber pada sikap religiositas. Beliau juga agak prosaik–naratif dengan memanfaatkan bahasa diskursif yang indah dan memikat.
Terlepas dari itu, Taufik Ismail juga menunjukkan kepekaannya yang tak
terbialng besar pada tapakan dan perjalanan panjang sejarah sebagai bukti
perjalanan manusia menggapai sesuatu yang baik, dan lingkungan sosial yang
ditopang oleh ketangkasan dan kemahirannya dalam berpuisi. Disinilah Taufik
Ismail menyatakan empatinya dengan sesama dalam kiat tunggal: menghargai dan
berbuat baik terhadap Tuhan, sesama, dan alam ciptaan Tuhan.
Taufik
Ismail merupakan seorang sastrawan yang berjuang dengan puisi-puisi imajis.
Pengalaman kepenulisannya sangat didorong dan digerakkan oleh: (a)
kepeduliannya pada bangsanya melalui gerakan kemahasiswaan; dan (b)
keprihatinannya ketika melihat kepincangan-kepincangan sosial diawal persalinan
Orde Baru yang bermuara pada politik kesenian Manikebu.
Jika
ditelusuri hingga tahun 2000-an, maka konsep perubahan kepenulisannya bergerak
dan berepisentrum pada: (1) kisaran imaji konseptual atas kepedihan realitas
bangsa yang mengerikan; (b) keprihatinannya terhadap realitas baca tulis yang
naïf di dunia pendidikan (Bdk; puisi “Kupu-kupu
di Dalam Buku); dan (3) giat-gerak dalam berbagai
kegiatan produktif melalui gerakan baca
dan cipta sastra, baik di kalangan guru, siswa, mahasiswa, maupun kalangan
masyarakat umum. Pola-pola pelatihan yang dilakukannya mengingatkan pentingnya
pelatihan kepenulisan di satu sisi dan penggalakan, penggalangan sampai
pembudayaan tradisi baca di sisi yang lain. Lebih jauh dari itu, Taufik
berkiblat pada bagaimana pentingnya menumbuhkembangkan kesadaran generasi, etos
kerja, dan pentingnya empati kemanusiaan. Semua itu membingkai dalam gerak dan
motivasi pendampingan kepenulisan yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang
melibatkan para sastrawan, dan kalangan umum yang mempunyai kertarikan dengan
masalah sastra dalam relasinya dengan persoalan-persoalan sosial.
Maestro sastra dan penulis puisi ini memunculkan sebuah
pertanyaan introspektif-reflektif pada pertengahan puisinya, “kita telah saksikan seribu tanda-tanda/bisakah kita membaca tanda-tanda?
Pertanyaan ini tak lepas dari fenomena kehidupan manusia universal akhir-akhir
ini. Kita telah menyaksikan berbagai tanda-tanda. Kita bahkan mampu membaca
tanda-tanda itu. Tanda yang berupa sesuatu yang kita percayai, kita hormati,
kita genggami telah berubah menjadi sesuatu yang lumrah, biasa, sepele,
bahkan tak dipercayai, tak dihormati,
tak digenggami. Sesuatu itu mulai lepas, hilang, terbang begitu saja demi
kepentingan sesaat, demi memenuhi kebutuhan sesaat, bahkan demi kepentingan
orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu. Taufik memulainya, /Ada
sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan/dan meluncur
lewat sela-sela jari kita/Ada
sesuatu yang mulanya tak begitu jelas/tapi kini kita mulai merasakannya/. Setidak-tidaknya
penulis hendak mengingatkan kita bahwa sesuatu yang ”dulu” menjadi kebanggaan
dan harapan kita, sekarang menjadi ancaman dan bencana bagi kita sendiri.
Sesuatu yang mulai ”lepas”secara perlahan-lahan dari genggaman dan pelukan
tanpa kita sadari, dan sesuatu yang mulai lepas tersebut sekarang mendatangkan
malapetaka besar bagi kita.
Alam
yang indah, hijau, dengan serba aneka satwa di dalamnya kini sulit untuk
ditemukan lagi. Di mana semua itu? Kita telah dan tengah merasakan kehilangan
sesuatu. /Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari/ Hutan
kehilangan ranting/Ranting kehilangan daun/Daun kehilangan dahan/Dahan
kehilangan hutan/. Gambaran keprihatinan seorang Taufik tentang alam dan
kita sebagai pelakunya. Keprihatinan yang tak pernah selesai menyaksikan,
bahkan membaca tanda-tanda alam yang kian parah dan mencemaskan. Kita bisa
begitu gampang menyaksikan polusi dan sampah berserakan di mana-mana. Aktivitas
pertambangan, penebangan, anomali cuaca, dan banjir bandang adalah contoh nyata
betapa kita mulai resah dengan perubahan pola perilaku dan gaya hidup modern.
Itulah deretan kehilangan yang mulai lepas dari genggaman kita, dan meluncur
pelan meninggalkan kita.
Ada
pergeseran juga perubahan pola perilaku, pikiran, dan sikap kita terhadap alam.
Perubahan-perubahan dimaksud memprlihatkan kerusakan alam di mana-mana. Mungkinkah masih tumbuh sikap dan perilaku
untuk memelihara alam yang indah, agar tetap awet dan lestari. Alam yang
menjadi tempat pijak dan wadah penafkahan kita justru diabaikan, ditinggalkan,
dan dibiarkan lewat jamahan-jamahan tangan nakal kita yang tidak
bertanggungjawab. Inilah bentuk keserakahan manusia terhadap alam. Oleh
sebab itu, kita menanamkan sikap menjaga dan melestarikan hutan.
Masihkah kita mendengar nyanyian burung di pagi hari? Taufik justru
menyangsikannya dengan menulis ”Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi
hari”.
Taufik
Ismail yang adalah seorang sarjana kehewanan, namun memiliki keberpihakan yang
amat sangat tinggi dan sempurna terhadap alam dan lingkungan sekitar. Bahkan,
bencana yang terjadi sekarang ini telah mampu dinubuatkan oleh Taufik. Dalam
konstelasi sastrawi, sastrawan, termasuk Taufik merupakan kelompok peramal,
kaum futuris, kendati dengan menggunakan pisau bedah sastra. Taufik
telah mengajak kita untuk berpikir dan bertindak baik terhadap alam dan segenap
isi di dalamnya. Dia memperingatkan itu, dan sekarang peringatan tersebut
menjadi nyata. Kita hanya bisa nestapa, mungkin sebentar saja dan sesudah itu
menjadi biasa. Kita saksikan/Gunung membawa abu/Abu membawa batu/Batu
membawa lindu/Lindu membawa longsor/Longsor membawa air/Air membawa
banjir/Banjir air mata/.
Taufik
yang adalah bagian dari negeri ini sekali lagi mendaras doa, mendulang harapan
kepada Tuhan yang kita sembah. Kita pun demikian. Jalan satu-satunya menuju
pertobatan. Bahwa hidup bukan sampai pada generasi kita ini saja, melainkan
masih diteruskan untuk generasi berikutnya. Sedapatnya kita memberikan investasi
secukupnya bagi mereka yang akan melanjutkan roda kehidupan ini. Generasai
berikut, anak cucu kita. Allah Kami telah membaca gempa/Kami telah disapu banjir/
Kami telah dihalau api dan hama/ Kami telah dihujani abu dan batu/ Allah Ampuni
dosa-dosa kami/. Ada kobaran harapan, semangat, kecintaan, serta upaya
untuk melestarikan alam yang adalah sumber segala hidup di bumi dan dunia. Alam
yang telah memberi kita minum, makan, dan aktivitas lain perlu dijaga,
dilestarikan untuk kemaslahatan hidup kita bersama. Sekali lagi bersama Taufik
kita percaya agar kita dimampukan oleh Tuhan untuk membaca tanda-tanda. Kita
memiliki kearifan dan keberpihakan untuk alam yang kita huni. Beri
kami kearifan membaca tanda-tanda/karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan/akan meluncur lewat sela-sela jari/karena ada sesuatu
yang mulanya tak begitu jelas/tapi kini kami/mulai/merindukannya/. Dengan demikian, sastra merupakan
solusi sosial, kontrol terhadap pemerinta. Sastra juga menjadi alternatif
pembangunan. Karena sastra merupakan tiruan kehidupan, peneladanan antara
kehidupan dan realitas alam nyata. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar