Halaman

Senin, 06 November 2017

Membaca Tanda-Tanda





Sekilas Fakta
Hati siapa yang tidak akan gundah gulana dan insan mana yang tak akan banjir air mata, ketika mendengar, menyaksikan kisah tragis dari negeri seberang tentang bencana dahsyat yang menerpa sesama kaum kerabat kita. Bukit Wasior dengan panorama hijau mengundang decak kagum dan tatapan terkesima setiap manusia yang berkunjung ke sana, sekejap mata dihempas banjir bandang dan terbelah, menganga menjadi kali besar mengalirnya kayu, batu, dan rumah-rumah penduduk, bahkan sampai tubuh manusia sekalipun bergelimpangan bercampur baur dengan kebringasan banjir bandang tersebut. Lain lagi di Wasior, lain cerita di negeri Sumatera. Guncangan gempa bumi memporakporandakan Mentawai, lagi-lagi merenggut korban manusia, selain korban material lain.  Seakan belum “puas” bencana alam melanda negeri ini. Kini muntahan abu panas dan larva dingin dari perut gunung Merapi menelan korban jiwa. Tak luput “Mba Marijan”, Sang penjaga gunung teraktif di dunia itu pun “pergi” bersama wedhus gembel (awan panas) pada hari pertama muncratan gunung antara Jawa Tengah dan Yogyakarta tersebut. Akibat aktivitas Merapi yang tidak tentu dan terus mencekam ini, mengakibatkan 146.440 orang di 64 Desa dari tiga kabupaten (Klaten, Boyolali, dan Sleman), menjadi desa mati karena harus mengungsi, 121 korban tewas, 172 korban hilang (Jawa Pos, 7 November 2010).

Negeri Terus Menangis

Negeri ini terus menangis. Kabung nasional pun diserukan ke seluruh pojok negeri untuk berbelasungkawa, mendoakan sembari memberi dari kekurangan kita untuk membantu sesama korban bencana. Kisah duka, rentetan peristiwa pilu betul-betul sudah, bahkan tengah “mengancam” kita penghuni rahim negeri ini. Pertanyaannya, mengapa bencana: banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus,  di negeri mahaluas ini tak pernah “pergi”, bahkan tobat setelah sekian banyak nyawa tak terhitung lagi direnggut dan melayang - pergi begitu saja, ketika orang lain masih membutuhkan mereka? Tak tentu jawabannya. Banyak orang mungkin lebih berkompeten melukiskan muasal peristiwa-peristiwa di atas. Namun, tulisan sederhana ini lebih kurang merupakan sebuah introspeksi juga refleksi dari persepektif  relasi alam tempat kita berpijak dan membumi dengan sastra tempat orang mencipta, berkarya tentang segala sesuatu, termasuk tentang alam, yang kita pijaki.

Membaca Tanda-Tanda

Judul tulisan di atas merupakan judul puisi yang ditulis Taufik Ismail. Puisi-puisi Taufik Ismail pada umumnya memiliki kekuatan pada aspek afinitas, yakni aspek yang memiliki pertalian bathin yang kental dan kuat lantaran ada pengalaman yang sama yang bersumber pada sikap religiositas. Beliau juga agak prosaik–naratif dengan memanfaatkan bahasa diskursif yang indah dan memikat. Terlepas dari itu, Taufik Ismail juga menunjukkan kepekaannya yang tak terbialng besar pada tapakan dan perjalanan panjang sejarah sebagai bukti perjalanan manusia menggapai sesuatu yang baik, dan lingkungan sosial yang ditopang oleh ketangkasan dan kemahirannya dalam berpuisi. Disinilah Taufik Ismail menyatakan empatinya dengan sesama dalam kiat tunggal: menghargai dan berbuat baik terhadap Tuhan, sesama, dan alam ciptaan Tuhan.
Taufik Ismail merupakan seorang sastrawan yang berjuang dengan puisi-puisi imajis. Pengalaman kepenulisannya sangat didorong dan digerakkan oleh: (a) kepeduliannya pada bangsanya melalui gerakan kemahasiswaan; dan (b) keprihatinannya ketika melihat kepincangan-kepincangan sosial diawal persalinan Orde Baru yang bermuara pada politik kesenian Manikebu.
Jika ditelusuri hingga tahun 2000-an, maka konsep perubahan kepenulisannya bergerak dan berepisentrum pada: (1) kisaran imaji konseptual atas kepedihan realitas bangsa yang mengerikan; (b) keprihatinannya terhadap realitas baca tulis yang naïf di dunia pendidikan (Bdk; puisi “Kupu-kupu di Dalam Buku); dan (3) giat-gerak dalam berbagai kegiatan produktif  melalui gerakan baca dan cipta sastra, baik di kalangan guru, siswa, mahasiswa, maupun kalangan masyarakat umum. Pola-pola pelatihan yang dilakukannya mengingatkan pentingnya pelatihan kepenulisan di satu sisi dan penggalakan, penggalangan sampai pembudayaan tradisi baca di sisi yang lain. Lebih jauh dari itu, Taufik berkiblat pada bagaimana pentingnya menumbuhkembangkan kesadaran generasi, etos kerja, dan pentingnya empati kemanusiaan. Semua itu membingkai dalam gerak dan motivasi pendampingan kepenulisan yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang melibatkan para sastrawan, dan kalangan umum yang mempunyai kertarikan dengan masalah sastra dalam relasinya dengan persoalan-persoalan sosial.
Maestro sastra dan penulis puisi ini memunculkan sebuah pertanyaan introspektif-reflektif pada pertengahan puisinya, “kita telah saksikan seribu tanda-tanda/bisakah kita membaca tanda-tanda? Pertanyaan ini tak lepas dari fenomena kehidupan manusia universal akhir-akhir ini. Kita telah menyaksikan berbagai tanda-tanda. Kita bahkan mampu membaca tanda-tanda itu. Tanda yang berupa sesuatu yang kita percayai, kita hormati, kita genggami telah berubah menjadi sesuatu yang lumrah, biasa, sepele, bahkan  tak dipercayai, tak dihormati, tak digenggami. Sesuatu itu mulai lepas, hilang, terbang begitu saja demi kepentingan sesaat, demi memenuhi kebutuhan sesaat, bahkan demi kepentingan orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu. Taufik memulainya, /Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan/dan meluncur lewat sela-sela jari kita/Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas/tapi kini kita mulai merasakannya/. Setidak-tidaknya penulis hendak mengingatkan kita bahwa sesuatu yang ”dulu” menjadi kebanggaan dan harapan kita, sekarang menjadi ancaman dan bencana bagi kita sendiri. Sesuatu yang mulai ”lepas”secara perlahan-lahan dari genggaman dan pelukan tanpa kita sadari, dan sesuatu yang mulai lepas tersebut sekarang mendatangkan malapetaka besar bagi kita.
Alam yang indah, hijau, dengan serba aneka satwa di dalamnya kini sulit untuk ditemukan lagi. Di mana semua itu? Kita telah dan tengah merasakan kehilangan sesuatu. /Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari/ Hutan kehilangan ranting/Ranting kehilangan daun/Daun kehilangan dahan/Dahan kehilangan hutan/. Gambaran keprihatinan seorang Taufik tentang alam dan kita sebagai pelakunya. Keprihatinan yang tak pernah selesai menyaksikan, bahkan membaca tanda-tanda alam yang kian parah dan mencemaskan. Kita bisa begitu gampang menyaksikan polusi dan sampah berserakan di mana-mana. Aktivitas pertambangan, penebangan, anomali cuaca, dan banjir bandang adalah contoh nyata betapa kita mulai resah dengan perubahan pola perilaku dan gaya hidup modern. Itulah deretan kehilangan yang mulai lepas dari genggaman kita, dan meluncur pelan meninggalkan kita.
Ada pergeseran juga perubahan pola perilaku, pikiran, dan sikap kita terhadap alam. Perubahan-perubahan dimaksud memprlihatkan kerusakan alam di mana-mana.  Mungkinkah masih tumbuh sikap dan perilaku untuk memelihara alam yang indah, agar tetap awet dan lestari. Alam yang menjadi tempat pijak dan wadah penafkahan kita justru diabaikan, ditinggalkan, dan dibiarkan lewat jamahan-jamahan tangan nakal kita yang tidak bertanggungjawab. Inilah bentuk keserakahan manusia terhadap alam. Oleh sebab itu, kita menanamkan sikap menjaga dan melestarikan hutan. Masihkah kita mendengar nyanyian burung di pagi hari? Taufik justru menyangsikannya dengan menulis ”Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari”.
Taufik Ismail yang adalah seorang sarjana kehewanan, namun memiliki keberpihakan yang amat sangat tinggi dan sempurna terhadap alam dan lingkungan sekitar. Bahkan, bencana yang terjadi sekarang ini telah mampu dinubuatkan oleh Taufik. Dalam konstelasi sastrawi, sastrawan, termasuk Taufik merupakan kelompok peramal, kaum futuris, kendati dengan menggunakan pisau bedah sastra. Taufik telah mengajak kita untuk berpikir dan bertindak baik terhadap alam dan segenap isi di dalamnya. Dia memperingatkan itu, dan sekarang peringatan tersebut menjadi nyata. Kita hanya bisa nestapa, mungkin sebentar saja dan sesudah itu menjadi biasa. Kita saksikan/Gunung membawa abu/Abu membawa batu/Batu membawa lindu/Lindu membawa longsor/Longsor membawa air/Air membawa banjir/Banjir air mata/.
Taufik yang adalah bagian dari negeri ini sekali lagi mendaras doa, mendulang harapan kepada Tuhan yang kita sembah. Kita pun demikian. Jalan satu-satunya menuju pertobatan. Bahwa hidup bukan sampai pada generasi kita ini saja, melainkan masih diteruskan untuk generasi berikutnya. Sedapatnya kita memberikan investasi secukupnya bagi mereka yang akan melanjutkan roda kehidupan ini. Generasai berikut, anak cucu kita. Allah Kami telah membaca gempa/Kami telah disapu banjir/ Kami telah dihalau api dan hama/ Kami telah dihujani abu dan batu/ Allah Ampuni dosa-dosa kami/. Ada kobaran harapan, semangat, kecintaan, serta upaya untuk melestarikan alam yang adalah sumber segala hidup di bumi dan dunia. Alam yang telah memberi kita minum, makan, dan aktivitas lain perlu dijaga, dilestarikan untuk kemaslahatan hidup kita bersama. Sekali lagi bersama Taufik kita percaya agar kita dimampukan oleh Tuhan untuk membaca tanda-tanda. Kita memiliki kearifan dan keberpihakan untuk alam yang kita huni. Beri kami kearifan membaca tanda-tanda/karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan/akan meluncur lewat sela-sela jari/karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas/tapi kini kami/mulai/merindukannya/. Dengan demikian, sastra merupakan solusi sosial, kontrol terhadap pemerinta. Sastra juga menjadi alternatif pembangunan. Karena sastra merupakan tiruan kehidupan, peneladanan antara kehidupan dan realitas alam nyata. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar