Halaman

Minggu, 12 November 2017

Teror Makanan





Indonesia mengawali tahun 2016 dengan berbagai kisah tragedi sporadis. Paling menyedot perhatian publik adalah “lolosnya” teroris dan meledakkan bom di Jalan Tahmrin Jakarta. Daerah yang disebut sebagai jantung Jakarta juga Indonesia itu membuat “pusing” para polisi. Kalang kabut pihak keamanan harus sibuk “baku tembak” dengan para terduga teroris. Hingga akhirnya, pelaku tewas di tempat. Setelah itu, para gembong narkoba yang selama ini cuma angkat tangan ketika hendak ditangkap, kali ini mulai angkat senjata. Operasi di daerah Johor Baru, Jakarta Pusat, lagi-lagi di pusat Ibukota, para aparat keamanan malah kewalahan mendapat perlawanan. Seorang aparat yang terdesak yang ingin menyelamatkan diri dengan terjun bebas di kali Ciliwung, akhirnya ditemukan tewas terbawa arus air beberapa kilometer dari tempat kejadian perkara (TKP).
Mengakhiri tahun 2015, beberapa waktu lalu, di pulau Flores, juga pulau Timor, (di Indonesia sering sekali terjadi) masyarakat digemparkan dengan “teror” penggunaan formaldehida, yang akrab disebut methanal atau formalin. Zat kimia ini  dicampur pada ikan segar dengan maksud agar ikan-ikan yang nantinya dijual ke konsumen dapat bertahan lama hingga beberapa hari. Kisah serupa sering sekali terjadi dalam masyarakat kita. Entah apa. Namun, tanpa disadari bahwa makanan yang sedang kita makan, tengah meneror kita. Untuk itulah, kita pun diharapkan senantiasa waspada terhadap setiap makanan yang beredar di tengah masyarakat. Tentang kasus-kasus serupa, kita mengenang betapa negeri ini terus-menerus digempur berbagai keprihatinan pangan, kalau tidak dibilang sebagai teror. Mulai kekurangan makanan akibat gagal panen yang mengancam kelaparan di mana-mana. Berita saus palsu, daging palsu, hingga santer tentang “beras plastik”. Sekarang pun lagi heboh dengan fakta terungkapnya “vaksin palsu”. Kredo kisah getir yang kerap menimpa rakyat negeri ini. Berbagai kisah ini, hemat saya adalah bentuk teror dalam model yang lain. Kita nyaris tak berdaya di hadapan berbagai aksi yang memprihatinkan ini. Oleh karena itu kita pun senantiasa waspada. Peristiwa-peristiwa ini dibaca sebagai teror bagi keamanan dan keselamatan umat manusia. Mungkinkah ini semua adalah penyakit bawaan yang mesti kita waspadai di tahun ini?
Teror merupakan sebuah kondisi psikologis disertai tindakan yang menghadirkan ketakutan yang intens; perbuatan kekerasan yang menimbulkan ketakutan. Lalu, apakah mencampurkan zat-zat kimia pada bahan makanan lalu mengedarkannya ke tengah masyarakat, mengedarkan dan menjual makanan-makanan tanpa label yang jelas, termasuk menggunakan zat pewarna pada berbagai jenis makanan yang akan dikonsumsi juga merupakan bentuk teror? Apakah juga orang yang bertindak dengan sengaja menggunakan zat-zat kimia pada berbagai jenis makanan adalah juga peneror? Teror selama ini dipersepsi sebatas pada persoalan gangguan keamanan dengan menggunakan ancaman-ancaman verbal disertai dengan bom. Itulah realitas yang kita tahu. Ternyata, hemat saya, beredarnya beraneka makanan olahan yang “disengajai” mengandung formalin dan dapat meyebabkan penyakit pada tubuh manusia, seperti kanker, dan lain-lain yang juga merusak pertumbuhan dan perkembangan seseorang ketika dikonsumsi adalah perbuatan terkutuk yang pelakunya perlu diadili sebagaimana mengadili seorang teroris bom. Apalagi, memasukan vaksin palsu ke dalam tubuh generasi bangsa ini juga adalah perilaku tidak terpuji.

Sikap Kita
                Yang mesti ada pada kita adalah membangun sikap waspada, mulai dari rumah tempat tinggal, lembaga-lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Kita berharap agar sikap waspada ini di tindaklanjuti oleh pemerintah melalui instansi teknis terkait untuk secara rutin-periodik melakukan pemantauan dan pemeriksaan kepada para penjual berbagai produk makanan olahan untuk memastikan bahwa makanan yang dijual adalah bebas dari berbagai zat kimia yang merusak tubuh agar layak dikonsumsi. Apalagi, berbagai jajanan di lembaga-lembaga pendidikan yang begitu ramai sekarang ini. Kita hendak mengatakan bahwa jangan ada kejadian barulah kita bertindak, dan seterusnya. Para orang tua juga mesti dengan sadar-selektif mengingatkan anak-anaknya untuk berhati-hati memilih jajanan di sekolah. Sikap ini akan menjauhkan kita (generasi) dari niat dan praktik teror terselubung yang dijalankan oleh pihak-pihak dengan tidak terpuji, yang hanya mementingkan bisnis, kalkulasi untung rugi, tanpa mempedulikannya dengan kesehatan konsumen.
Membangun “solidaritas mengingatkan” di antara kita sebagai anggota komunitas masyarakat yang sehat. Sebagai konsumen yang saling menguatkan di tengah berbagai teror, termasuk teror berbagai makanan palsu, vaksin palsu, dan zat-zat yang mengganggu tubuh dan merusak kesehatan. Para pedagang dan penjual makanan olahan pun mesti melekat kuat dalam dirinya bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang melanggar etika dan moral sosial. Oleh karena itu, menebar “setitik” zat pewarna ke dalam bahan makanan dengan maksud mengawetkan makanan adalah perbutan tidak terpuji. Akibat perbuatan dimaksud adalah sekian banyak orang akan menderita akut kesehatannya setelah mengonsumsi makanan tersebut.
Di lain pihak, secara individual dan bagian dari keluarga dan masyarakat secara sadar dan terus-menerus mulai perlu membiasakan perilaku hidup sehat. Dari hidup sehat inilah, semuanya menjadi mungkin. Semuanya menjadi sehat. Masa depan daerah dan bangsa juga menjadi sehat pula. Generasi akan tampil gemilang, cemerlang, dan cerdas melanjutkan amanah generasi sekarang ini. Asalkan itu syaratnya:  sehat. (*)


[1] Artikel ini dimuat dalam HU Pos Kupang, 23 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar