Indonesia
mengawali tahun 2016 dengan berbagai kisah tragedi sporadis. Paling menyedot
perhatian publik adalah “lolosnya” teroris dan meledakkan bom di Jalan Tahmrin
Jakarta. Daerah yang disebut sebagai jantung Jakarta juga Indonesia itu membuat
“pusing” para polisi. Kalang kabut pihak keamanan harus sibuk “baku tembak”
dengan para terduga teroris. Hingga akhirnya, pelaku tewas di tempat. Setelah
itu, para gembong narkoba yang selama ini cuma angkat tangan ketika hendak
ditangkap, kali ini mulai angkat senjata. Operasi di daerah Johor Baru, Jakarta
Pusat, lagi-lagi di pusat Ibukota, para aparat keamanan malah kewalahan
mendapat perlawanan. Seorang aparat yang terdesak yang ingin menyelamatkan diri
dengan terjun bebas di kali Ciliwung, akhirnya ditemukan tewas terbawa arus air
beberapa kilometer dari tempat kejadian perkara (TKP).
Mengakhiri tahun
2015, beberapa waktu lalu, di pulau Flores, juga pulau Timor, (di Indonesia
sering sekali terjadi) masyarakat digemparkan dengan “teror” penggunaan formaldehida,
yang akrab disebut methanal atau formalin. Zat kimia ini dicampur pada ikan segar dengan maksud agar
ikan-ikan yang nantinya dijual ke konsumen dapat bertahan lama hingga beberapa
hari. Kisah serupa sering sekali terjadi dalam masyarakat kita. Entah apa.
Namun, tanpa disadari bahwa makanan yang sedang kita makan, tengah meneror
kita. Untuk itulah, kita pun diharapkan senantiasa waspada terhadap setiap
makanan yang beredar di tengah masyarakat. Tentang kasus-kasus serupa, kita
mengenang betapa negeri ini terus-menerus digempur berbagai keprihatinan
pangan, kalau tidak dibilang sebagai teror. Mulai kekurangan makanan akibat
gagal panen yang mengancam kelaparan di mana-mana. Berita saus palsu, daging
palsu, hingga santer tentang “beras plastik”. Sekarang pun lagi heboh dengan
fakta terungkapnya “vaksin palsu”. Kredo kisah getir yang kerap menimpa rakyat
negeri ini. Berbagai kisah ini, hemat saya adalah bentuk teror dalam model yang
lain. Kita nyaris tak berdaya di hadapan berbagai aksi yang memprihatinkan ini.
Oleh karena itu kita pun senantiasa waspada. Peristiwa-peristiwa ini dibaca
sebagai teror bagi keamanan dan keselamatan umat manusia. Mungkinkah ini semua
adalah penyakit bawaan yang mesti kita waspadai di tahun ini?
Teror merupakan sebuah kondisi psikologis disertai tindakan yang
menghadirkan ketakutan
yang intens; perbuatan kekerasan yang menimbulkan ketakutan. Lalu, apakah mencampurkan
zat-zat kimia pada bahan makanan lalu mengedarkannya ke tengah masyarakat,
mengedarkan dan menjual makanan-makanan tanpa label yang jelas, termasuk
menggunakan zat pewarna pada berbagai jenis makanan yang akan dikonsumsi juga merupakan
bentuk teror? Apakah juga orang yang bertindak dengan sengaja menggunakan
zat-zat kimia pada berbagai jenis makanan adalah juga peneror? Teror selama ini
dipersepsi sebatas pada persoalan gangguan keamanan dengan menggunakan
ancaman-ancaman verbal disertai dengan bom. Itulah realitas yang kita tahu.
Ternyata, hemat saya, beredarnya beraneka makanan olahan yang “disengajai” mengandung
formalin dan dapat meyebabkan penyakit pada tubuh manusia, seperti kanker, dan
lain-lain yang juga merusak pertumbuhan dan perkembangan seseorang ketika
dikonsumsi adalah perbuatan terkutuk yang pelakunya perlu diadili sebagaimana
mengadili seorang teroris bom. Apalagi, memasukan vaksin palsu ke dalam tubuh
generasi bangsa ini juga adalah perilaku tidak terpuji.
Sikap Kita
Yang mesti ada
pada kita adalah membangun sikap waspada, mulai dari rumah tempat tinggal,
lembaga-lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Kita berharap agar sikap
waspada ini di tindaklanjuti oleh pemerintah melalui instansi teknis terkait
untuk secara rutin-periodik melakukan pemantauan dan pemeriksaan kepada para
penjual berbagai produk makanan olahan untuk memastikan bahwa makanan yang
dijual adalah bebas dari berbagai zat kimia yang merusak tubuh agar layak
dikonsumsi. Apalagi, berbagai jajanan di lembaga-lembaga pendidikan yang begitu
ramai sekarang ini. Kita hendak mengatakan bahwa jangan ada kejadian barulah
kita bertindak, dan seterusnya. Para orang tua juga mesti dengan sadar-selektif
mengingatkan anak-anaknya untuk berhati-hati memilih jajanan di sekolah. Sikap
ini akan menjauhkan kita (generasi) dari niat dan praktik teror terselubung
yang dijalankan oleh pihak-pihak dengan tidak terpuji, yang hanya mementingkan
bisnis, kalkulasi untung rugi, tanpa mempedulikannya dengan kesehatan konsumen.
Membangun
“solidaritas mengingatkan” di antara kita sebagai anggota komunitas masyarakat
yang sehat. Sebagai konsumen yang saling menguatkan di tengah berbagai teror,
termasuk teror berbagai makanan palsu, vaksin palsu, dan zat-zat yang
mengganggu tubuh dan merusak kesehatan. Para pedagang dan penjual makanan
olahan pun mesti melekat kuat dalam dirinya bahwa perbuatan yang dilakukannya
adalah perbuatan yang melanggar etika dan moral sosial. Oleh karena itu,
menebar “setitik” zat pewarna ke dalam bahan makanan dengan maksud mengawetkan
makanan adalah perbutan tidak terpuji. Akibat perbuatan dimaksud adalah sekian
banyak orang akan menderita akut kesehatannya setelah mengonsumsi makanan
tersebut.
Di lain pihak,
secara individual dan bagian dari keluarga dan masyarakat secara sadar dan
terus-menerus mulai perlu membiasakan perilaku hidup sehat. Dari hidup sehat
inilah, semuanya menjadi mungkin. Semuanya menjadi sehat. Masa depan daerah dan
bangsa juga menjadi sehat pula. Generasi akan tampil gemilang, cemerlang, dan
cerdas melanjutkan amanah generasi sekarang ini. Asalkan itu syaratnya: sehat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar