Halaman

Rabu, 08 November 2017

Bahasa Indonesia Sebagai Pengajaran Kebangsaan



Bahasa Indonesia menjadi bahasa pertama bagi sebagian penutur bangsa Indonesia, di samping bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sebabnya, bahasa Indonesia ditetapkan menjadi bahasa bangsa Indonesia, selain sebagai sarana pemersatuan dan kesatuan bangsa. Peran strategis bahasa Indonesia demikian, telah membuat bahasa Indonesia untuk “merdeka” secara fungsional, kultural, politik yuridis, bahkan akademis.
Secara fungsional, penutur bahasa dituntut untuk menggunakan bahasa sesuai fungsinya. Secara akademik, bahasa telah menjadi sarana berpikir, berekspresi, dan berkomunikasi dalam membangun relasi personal dan relasi sosial bermasyarakat sebagai penutur bahasa yang baik. Secara politis yuridis mensyaratkan bahwa bahasa Indonesia sesungguhnya merupakan jati diri/identitas keindonesiaan atau menjadi ciri khas dalam membangun relasi dengan bangsa dan negara lain. Secara kultural, bahasa Indonesia merupakan perjalanan waktu, sebuah proses peradaban yang berjalan dalam kurun waktu yang lama.
Kita pun mampu menemukan karakter dan budaya bangsa kita, sehingga bahasa Indonesia tidak saja merupakan sebuah alat (ergon), melainkan sebagai kekuatan, power (energia) kalau digunakan secara maksimal dalam kehidupan berkomunikasi. Kita perlu menanamkan sikap kebahasaan secara fungsional, akademik, politis dan kultural yang seimbang sebagai bentuk apresiasi kita kepada founding fathers atas kesepakatan etis memilih bahasa Melayu (embrio bahasa Indonesia) sebagai bahasa bangsa. Walaupun cuma sebuah bahasa kecil di pesisir Sumatera tetapi memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa karena mampu menyatuhkan bangsa yang begitu besar dari aspek budaya, agama, bahasa, dan faktor-faktor sosial lainnya.
Peran strategis yang diemban bahasa Indonesia tersebut tidak didukung oleh sikap dan kemauan baik dari para penutur untuk menggunakannya secara baik dan benar. Masalahnya adalah seberapa loyalkah kita terhadap bahasa Indonesia di tengah kompetisi berbagai bahasa (daerah dan asing) dengan aneka jargon, bahasa-bahasa abg (anak baru gede), bahasa gaul dan ragam-ragam bahasa yang tak terhindarkan? Mampukah bahasa Indonesia melibas badai kompetisi bahasa demikian untuk tetap eksis sebagai bahasa ilmu pengetahuan?
Terdapat berbagai faktor, mengapa penggunaan bahasa Indonesia pebelajar belum memuaskan, walaupun agak ironis ketika usia bahasa Indonesia yang berembrio dari Dialek Melayu ini telah lama diakui dan dimerdekakan sebagai bahasa negara. Selain faktor geografi dialek, juga geopolitik, serta kemajemukan etnik, agama, budaya, lingkungan sosiokultural, dan bahasa daerah, faktor internal pebelajar bahasa juga menjadi hambatan mengapa bahasa negara ini belum berkembang baik dalam perihal penggunaannya, sekalipun pada kalangan elite cendikiawan dan kaum terpelajar. Koentjaraningrat (dalam Chaer,2010:8–10) mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan berbahasa seseorang dengan sikap mental para penuturnya. Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kelompok elite dan golongan intelektual dipengaruhi oleh sifat-sifat negatif yang melekat (inheren) pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat itu adalah (1) suka meremehkan mutu, (2) mental menerabas, (3) tuna harga diri, (4) tidak disiplin, (5) enggan bertanggung jawab, dan (6) suka latah atau ikut-ikutan.
Suka meremehkan mutu, tampak pada perilaku bahasa yang “pokoknya mengerti”. Sikap ini menyebabkan bahasa yang digunakan asal jadi. Orang lebih menggunakan bahasa untuk ’bisa dimengerti’ dengan alasan soal benar dan salah dalam berbahasa menjadi urusan guru bahasa bahasa Indonesia atau penyuluh bahasa Indonesia. Adanya sikap pragmatisme kontekstual. Mental menerabas, tercermin dalam perilaku berbahasa yang memiliki ikhtiar untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tanpa disertai dengan keinginan untuk belajar. Mereka berpendapat bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kita yang ada secara alami, yang akan bisa dikuasai tanpa belajar. Adanya klaim atau anggapan bahwa setiap orang (penutur) yang lahir di Indonesia pandai berbahasa Indonesia. Klaim ini bukan terjadi bagi masyarakat penutur tradisional, melainkan juga mengidap pada kategori kelompok masyarakat intelektualis. Bahkan untuk kelompok ini, karena kecendikiaannya sehingga begitu gampang melakukan kesalahan.
Tuna harga diri, berarti tidak mau menghargai milik sendiri, tetapi sangat menghargai milik orang lain, orang asing. Karena lebih menghargai bahasa asing, maka coba lihat saja di pintu-pintu masuk bertuliskan In bukan “Masuk”, dan pintu keluar bertuliskan Exit bukan “keluar”, keset-keset di depan kantor bertuliskan Welcome bukan “Selamat Datang”, pada daun pintu yang dapat dibuka dua arah bertuliskan Push dan Pull, bukannya “Dorong” dan “Tarik”, dll. Adanya sikap memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, sikap ini justru mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap kebudayaan kita sendiri. Dapatlah kita pahami bahwa bahasa Idnonesia yang kita gunakan sekarang merupakan kristalisasi bening dari khazana budaya bangsa yang oleh keikhlasan dan ikhtiari para pemuda waktu itu telah menyepakati untuk dijadikan sebagai bahasa bangsa.
Tidak disiplin, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti kaidah tata bahasa. Patutlah kita amini bahwa kelupaan menggunakan bahasa Indonesia secara baik, diakibatkan juga oleh dinamika kebudayaan yang semakin pesat dan dahsyat. Kondisi demikian telah menembus tembok ketahanan diri yang telah kita bangun berabad-abad. Dinamika pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan mental dan perilaku penutur bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.
Suka latah atau ikut-ikutan, tercermin dalam perilaku berbahasa yang selalu mengikuti saja ucapan orang lain, yang biasanya pejabat atau toko masayarakat yang mungkin secara semantik atau gramatikal tidak benar. kalau boleh kita jujur, peran kelompok elite kita untuk meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya, untuk urusan naik pangkat, menempati jabatan-jabatan politk, struktural, maupun fungsional, minimal harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama ini, kalaupun ada itu hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial belaka.
Perian tentang kemampuan berbahasa pada bagian di atas, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor berikut. Pertama, adanya klaim atau anggapan bahwa setiap orang (penutur) yang lahir di Indonesia pandai berbahasa Indonesia. Klaim ini bukan terjadi bagi masyarakat penutur tradisional, melainkan juga mengidap pada kategori kelompok masyarakat intelektualis. Bahkan untuk kelompok ini, karena kecendikiaannya sehingga begitu gampang melakukan kesalahan. Kedua, adanya sikap memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, sikap ini justru mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap kebudayaan kita sendiri. Di sini, dapatlah kita pahami bahwa bahasa Idnonesia yang kita gunakan sekarang merupakan kristalisasi bening dari khazana budaya bangsa yang oleh keikhlasan dan ikhtiari para pemuda waktu itu telah menyepakati untuk dijadikan sebagai bahasa bangsa. Oleh karena itu, tanpa sadar penutur telah dihinggapi budaya penerabas, gemampang yang diindikatori oleh betapa gampang merebak dan digunakannya istilah atau ungkapan-ungkapan asing dalam berkomunikasi.
Ketiga, patutlah kita amini bahwa kelupaan menggunakan bahasa Indonesia secara baik, diakibatkan juga oleh dinamika kebudayaan yang semakin pesat dan dahsat. Kondisi demikian telah menembus tembok ketahanan diri yang telah kita bangun berabad-abad. Dinamika pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan mental dan perilaku penutur bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.
Keempat, kalau boleh kita jujur, peran kelompok elite kita untuk meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya, untuk urusan naik pangkat, menempati jabatan-jabatan politk, struktural, maupun fungsional, minimal harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama ini, kalaupun ada itu hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial belaka.
Empat argumen di atas, masih memberikan kesempatan dan ruang diskusi untuk memberikan bobot tambahan dalam menjawab permasalahan dimaksud. Uraian di atas telah menguak sekurang-kurangnya tiga persoalan besar kajian penggunaan bahasa dalam ranah sosial kebahasaan. Persoalan-persoalan tersebut berawal dari fakta empiris di lapangan dalam kerangka janin relasi antara bahasa dengan aspek-aspek pembangunan lain. Pertama, tingkat pendidikan rakyat rendah. Fakta ini begitu kuat dirasakan di tengah peredaran dan galaunya mekanisme pembangunan yang digalakkan pemerintah. Pada proses ini, pemerintah menggunakan istilah-istilah pembangunan dan politik yang formal, bahkan sangat susah diterjemahkan rakyat. Saluran komunikasi demikian akan buntu (stag) dan tak bermakna. Akhirnya, rakyat tetap tak tercerdaskan: pembangunan pun gagal dan gagal terus.
Kedua, guru sebagai instrumental input di sekolah dalam domain pembelajaran dan pengajaran bahasa Indonesia pun gagal. Guru lebih cenderung menyuguhkan opsi-opsi tentang bahasa, dan lupa menghidangkan menu tentang bagaimana berbahasa. Dalam arti, guru lebih mengajarkan hal-hal bernuansa tata bahasa gramatikal, dan lupa melatih dan membisakan siswa untuk belajar bagaimana berkomunikasi secara baik, entah itu komunikasi lisan maupun komunikasi tulis. Hal yang kedua, yakni walaupun ada ruang bagi guru untuk berkreasi, tetapi masih sebatas faktor teknis, karena guru cenderung dijejali dengan ilmu pengetahuan dan prosedur-prosedur administratif–birokratis, tetapi tidak dibekali bagaimana cara berkomunikasi yang baik.
Ketiga, kekurangpahaman dan kesadaran untuk berkomunikasi lisan dan tulis secara baik. Urusan ini hanya diserahkan kepada guru bahasa Indonesia. Jadi, kebanyakan hanya menjadi penonton. Tidak terlibat secara aktif dalam proses pembiasaan untuk menjadikan diri lebih baik dalam berbahasa. Kita pun diharap menyadari prinsip “language arts and skill”. Prinsip arts, mereferensi pada sesuatu yang original, kreatif, dan personal. Ini artinya, berbahasa merupakan kemampuan yang melekat secara imanensial dalam diri kita. Semuanya butuh kreativitas kita untuk mengembangkannya. Prinsip skill mereferensi pada sesuatu yang bersifat eksak, mekanis, dan impersonal. Ini artinya, membutuhkan keterampilan yang memadai demi mendayagunakan kemampuan berbahasa, terutama pada aspek eksplorasi kecakapan berbahasa yang kita miliki.
Dalam sentra usia bahasa Negara yang kesekian ini, hendaknya menjadi momentum bersejarah. Momentum untuk berhenti sejenak dan merefleksi, sejauh mana rasa kebangsaan yang mengendap dan mengental pada kita. Mungkinkah ada ruang harapan tersisa (meminjam istilah Romo Mudji Sutrisno: sanctuary), untuk sebuah proses pembatinan dalam upaya tapak undur agar lebih menghayati bahasa Indonesia sebagai identitas tak terbantahkan dalam alur jatuh bangun dan maju mundurnya peradaban bangsa ini? Indonesia sangat beruntung karena masalah bahasa sudah tertangani secara lebih baik, jauh sebelum Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Tahun 1926, Soekarno melalui ide nasionalismenya telah mempropagandakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dan bahasa perjuangan (Bung Karno dan Pancasila,Tim Nusa Indah Ende, 2006:27).
Atas keberhasilan yang demikian, masih ada sejumlah ‘celah yang harus ditutup agar bahasa Indonesia pada masa depan bisa lebih baik. Di antaranya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, terutama imperealisme bahasa, politik bahasa tetap mempertimbangkan keragaman   bahasa. Untuk itu, politik bahasa yang perlu dikembangkan adalah politik bahasa yang egaliter dalam menghormati keragaman-keragaman dimaksud. Ini membuktikan bahwa fungsi bahasa tetap menjadi cerminan dan refleksi realitas yang senantiasa dipertahankan sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan publik.
Dengan sebuah kesadaran bahwa bahasa Indonesia yang merupakan identitas bangsa juga menjadi bagian tak  terpisahkan dari kebudayaan bangsa, yang mau atau tidak mau juga mempersoalkan tentang bahasa. Kesadaran dimaksud beirmplikasi pada kesadaran tentang identitas bangsa. Tentang identitas, Emil Salim (1990) menegaskan bahawa upaya mempertahankan identitas merupakan prioritas yang harus diperjuangkan mati-matian dengan ciri utama menjaga keseimbangan antara aspek material maupun spiritual.
Mengacu pada berbagai peristiwa akhir-akhir ini, seperti kenakalan remaja, premanisme penyalahgunaan kuasa dan wewenang, sesungguhnya menyiratkan adanya kriris jati diri atau identitas yang substansif. Persoalan ini ketika ditautkan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, maka pengajaran kebangsaan tetap menjadi aktual dan relevan untuk tetap menjadi pertimbangan prioritas untuk diberikan pada lembaga-lembaga formal kita, karena perihal jiwa kebangsaan hanya diikutkan pada mata pelajaran-mata pelajaran lain. Usaha mempertahankana bahasa Indonesia sebagai sebuah identitas bangsa wajib diupayakan dalam mengisi tahapan pembangunan, termasuk memajukan pendidikan bangsa ini dengan menggunakannya sebagai sarana pembangunan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, kita berangkat dengan sebuah cita-cita bahwa bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dapat membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif di atas fundasi peradaban bahasa kita sendiri. (*)



[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 26 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar