Bahasa Indonesia menjadi bahasa pertama bagi sebagian penutur bangsa Indonesia, di samping bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sebabnya, bahasa Indonesia ditetapkan menjadi bahasa bangsa Indonesia, selain sebagai sarana pemersatuan dan kesatuan bangsa. Peran strategis bahasa Indonesia demikian, telah membuat bahasa Indonesia untuk “merdeka” secara fungsional, kultural, politik yuridis, bahkan akademis. Secara fungsional, penutur bahasa dituntut untuk menggunakan bahasa sesuai fungsinya. Secara akademik, bahasa telah menjadi sarana berpikir, berekspresi, dan berkomunikasi dalam membangun relasi personal dan relasi sosial bermasyarakat sebagai penutur bahasa yang baik. Secara politis yuridis mensyaratkan bahwa bahasa Indonesia sesungguhnya merupakan jati diri/identitas keindonesiaan atau menjadi ciri khas dalam membangun relasi dengan bangsa dan negara lain. Secara kultural, bahasa Indonesia merupakan perjalanan waktu, sebuah proses peradaban yang berjalan dalam kurun waktu yang lama.
Kita pun mampu menemukan karakter dan budaya bangsa kita, sehingga bahasa
Indonesia tidak saja merupakan sebuah alat (ergon),
melainkan sebagai kekuatan, power (energia) kalau digunakan secara
maksimal dalam kehidupan berkomunikasi. Kita perlu menanamkan sikap kebahasaan secara fungsional,
akademik, politis dan kultural yang seimbang sebagai bentuk apresiasi kita
kepada founding fathers atas
kesepakatan etis memilih bahasa Melayu (embrio bahasa Indonesia) sebagai bahasa
bangsa. Walaupun cuma sebuah bahasa kecil di pesisir Sumatera tetapi memiliki
kekuatan yang sungguh luar biasa karena mampu menyatuhkan bangsa yang begitu
besar dari aspek budaya, agama, bahasa, dan faktor-faktor sosial lainnya.
Peran strategis
yang diemban bahasa Indonesia tersebut tidak didukung oleh sikap dan kemauan
baik dari para penutur untuk menggunakannya secara baik dan benar. Masalahnya
adalah seberapa loyalkah kita terhadap bahasa Indonesia di tengah kompetisi
berbagai bahasa (daerah dan asing) dengan aneka jargon, bahasa-bahasa abg
(anak baru gede), bahasa gaul dan ragam-ragam bahasa yang tak
terhindarkan? Mampukah bahasa Indonesia melibas badai kompetisi bahasa demikian
untuk tetap eksis sebagai bahasa ilmu pengetahuan?
Terdapat berbagai
faktor, mengapa penggunaan bahasa Indonesia pebelajar belum memuaskan, walaupun
agak ironis ketika usia bahasa Indonesia yang berembrio dari Dialek Melayu ini
telah lama diakui dan dimerdekakan sebagai bahasa negara. Selain faktor
geografi dialek, juga geopolitik, serta kemajemukan etnik, agama, budaya, lingkungan
sosiokultural, dan bahasa daerah, faktor internal pebelajar bahasa juga menjadi
hambatan mengapa bahasa negara ini belum berkembang baik dalam perihal
penggunaannya, sekalipun pada kalangan elite cendikiawan dan kaum terpelajar.
Koentjaraningrat (dalam Chaer,2010:8–10) mengemukakan bahwa terdapat korelasi
yang kuat antara kemampuan berbahasa seseorang dengan sikap mental para
penuturnya. Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang
Indonesia, termasuk kelompok elite dan golongan intelektual dipengaruhi oleh
sifat-sifat negatif yang melekat (inheren) pada sebagian besar orang
Indonesia. Sifat-sifat itu adalah (1) suka meremehkan mutu, (2) mental
menerabas, (3) tuna harga diri, (4) tidak disiplin, (5) enggan bertanggung
jawab, dan (6) suka latah atau ikut-ikutan.
Suka meremehkan mutu, tampak pada perilaku bahasa yang “pokoknya mengerti”.
Sikap ini menyebabkan bahasa yang digunakan asal jadi. Orang lebih menggunakan
bahasa untuk ’bisa dimengerti’ dengan alasan soal benar dan salah dalam berbahasa
menjadi urusan guru bahasa bahasa Indonesia atau penyuluh bahasa Indonesia.
Adanya sikap pragmatisme kontekstual. Mental menerabas, tercermin dalam
perilaku berbahasa yang memiliki ikhtiar untuk menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik, tanpa disertai dengan keinginan untuk belajar. Mereka berpendapat
bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kita yang ada secara alami, yang akan
bisa dikuasai tanpa belajar. Adanya klaim atau anggapan
bahwa setiap orang (penutur) yang lahir di Indonesia pandai berbahasa
Indonesia. Klaim
ini bukan terjadi bagi masyarakat penutur tradisional, melainkan juga mengidap
pada kategori kelompok masyarakat intelektualis. Bahkan untuk kelompok ini,
karena kecendikiaannya sehingga begitu gampang melakukan kesalahan.
Tuna harga diri, berarti tidak mau menghargai milik sendiri, tetapi sangat menghargai
milik orang lain, orang asing. Karena lebih menghargai bahasa asing, maka coba
lihat saja di pintu-pintu masuk bertuliskan In bukan “Masuk”, dan pintu
keluar bertuliskan Exit bukan “keluar”, keset-keset di depan kantor
bertuliskan Welcome bukan “Selamat Datang”, pada daun pintu yang dapat
dibuka dua arah bertuliskan Push dan Pull, bukannya “Dorong” dan
“Tarik”, dll. Adanya sikap memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung,
sikap ini justru mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap
kebudayaan kita sendiri. Dapatlah kita pahami bahwa
bahasa Idnonesia yang kita gunakan sekarang merupakan kristalisasi bening dari
khazana budaya bangsa yang oleh keikhlasan dan ikhtiari para pemuda waktu itu
telah menyepakati untuk dijadikan sebagai bahasa bangsa.
Tidak disiplin, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti
kaidah tata bahasa. Patutlah kita amini bahwa kelupaan menggunakan
bahasa Indonesia secara baik, diakibatkan juga oleh dinamika kebudayaan yang
semakin pesat dan dahsyat. Kondisi demikian telah menembus tembok ketahanan diri yang telah kita
bangun berabad-abad. Dinamika pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan
mental dan perilaku penutur bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.
Suka latah atau ikut-ikutan, tercermin dalam perilaku berbahasa yang selalu
mengikuti saja ucapan orang lain, yang biasanya pejabat atau toko masayarakat
yang mungkin secara semantik atau gramatikal tidak benar. kalau
boleh kita jujur, peran kelompok elite
kita untuk meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan
kualitas berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya, untuk urusan naik pangkat, menempati
jabatan-jabatan politk, struktural, maupun fungsional, minimal harus bisa
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama ini, kalaupun ada itu
hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial belaka.
Perian tentang kemampuan berbahasa pada bagian di atas, dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor berikut. Pertama,
adanya klaim atau anggapan bahwa setiap orang (penutur) yang lahir di Indonesia
pandai berbahasa Indonesia. Klaim ini bukan terjadi bagi masyarakat penutur
tradisional, melainkan juga mengidap pada kategori kelompok masyarakat
intelektualis. Bahkan untuk kelompok ini, karena kecendikiaannya sehingga
begitu gampang melakukan kesalahan. Kedua, adanya sikap
memandang rendah bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, sikap ini justru
mengabaikan penghormatan dan apresiasi kita terhadap kebudayaan kita sendiri.
Di sini, dapatlah kita pahami bahwa bahasa Idnonesia yang kita gunakan sekarang
merupakan kristalisasi bening dari khazana budaya bangsa yang oleh keikhlasan
dan ikhtiari para pemuda waktu itu telah menyepakati untuk dijadikan sebagai
bahasa bangsa. Oleh karena itu, tanpa sadar penutur telah dihinggapi budaya
penerabas, gemampang yang diindikatori oleh betapa gampang merebak dan
digunakannya istilah atau ungkapan-ungkapan asing dalam berkomunikasi.
Ketiga, patutlah kita amini
bahwa kelupaan menggunakan bahasa Indonesia secara baik, diakibatkan juga oleh
dinamika kebudayaan yang semakin pesat dan dahsat. Kondisi
demikian telah menembus tembok ketahanan diri yang telah kita bangun
berabad-abad. Dinamika pesat ini telah turut mempengaruhi perubahan mental dan
perilaku penutur bahasa, termasuk mental dan perilaku berbahasa.
Keempat,
kalau boleh kita jujur, peran kelompok elite
kita untuk meramu dan mengemas regulasi yang berkorelasi dengan peningkatan
kualitas berbahasa hampir tidak ditemukan. Misalnya, untuk urusan naik pangkat,
menempati jabatan-jabatan politk, struktural, maupun fungsional, minimal harus
bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selama ini, kalaupun ada
itu hanya sebatas untuk urusan bisnis komersial belaka.
Empat
argumen di atas, masih memberikan kesempatan dan ruang diskusi untuk memberikan
bobot tambahan dalam menjawab
permasalahan dimaksud. Uraian di atas telah menguak sekurang-kurangnya tiga
persoalan besar kajian penggunaan bahasa dalam ranah sosial kebahasaan.
Persoalan-persoalan tersebut berawal dari fakta empiris di lapangan dalam
kerangka janin relasi antara bahasa dengan aspek-aspek pembangunan lain. Pertama, tingkat pendidikan rakyat
rendah. Fakta ini begitu kuat dirasakan di tengah peredaran dan galaunya
mekanisme pembangunan yang digalakkan pemerintah. Pada proses ini, pemerintah
menggunakan istilah-istilah pembangunan dan politik yang formal, bahkan sangat
susah diterjemahkan rakyat. Saluran komunikasi demikian akan buntu (stag) dan tak bermakna. Akhirnya,
rakyat tetap tak tercerdaskan: pembangunan pun gagal dan gagal terus.
Kedua,
guru sebagai instrumental input di sekolah dalam domain pembelajaran dan
pengajaran bahasa Indonesia pun gagal. Guru lebih cenderung menyuguhkan
opsi-opsi tentang bahasa, dan lupa
menghidangkan menu tentang bagaimana
berbahasa. Dalam arti, guru lebih mengajarkan hal-hal bernuansa tata bahasa
gramatikal, dan lupa melatih dan membisakan siswa untuk belajar bagaimana
berkomunikasi secara baik, entah itu komunikasi lisan maupun komunikasi tulis.
Hal yang kedua, yakni walaupun ada ruang bagi guru untuk berkreasi, tetapi masih sebatas faktor teknis, karena guru
cenderung dijejali dengan ilmu pengetahuan dan prosedur-prosedur
administratif–birokratis, tetapi tidak dibekali bagaimana cara berkomunikasi
yang baik.
Ketiga, kekurangpahaman dan kesadaran untuk berkomunikasi
lisan dan tulis secara baik. Urusan ini hanya diserahkan kepada guru bahasa
Indonesia. Jadi, kebanyakan hanya menjadi penonton. Tidak terlibat secara aktif
dalam proses pembiasaan untuk menjadikan diri lebih baik dalam berbahasa. Kita
pun diharap menyadari prinsip “language arts and skill”. Prinsip arts,
mereferensi pada sesuatu yang original,
kreatif, dan personal. Ini artinya, berbahasa merupakan kemampuan yang melekat
secara imanensial dalam diri kita. Semuanya butuh kreativitas kita untuk mengembangkannya. Prinsip skill
mereferensi pada sesuatu yang bersifat eksak, mekanis, dan
impersonal. Ini artinya, membutuhkan keterampilan yang memadai demi mendayagunakan kemampuan berbahasa,
terutama pada aspek eksplorasi kecakapan berbahasa yang kita miliki.
Dalam sentra usia bahasa Negara yang kesekian ini, hendaknya menjadi momentum bersejarah. Momentum untuk
berhenti sejenak dan merefleksi, sejauh mana rasa kebangsaan yang mengendap dan
mengental pada kita. Mungkinkah ada ruang harapan tersisa (meminjam istilah
Romo Mudji Sutrisno: sanctuary), untuk sebuah proses pembatinan dalam upaya tapak
undur agar lebih menghayati bahasa Indonesia sebagai identitas tak terbantahkan
dalam alur jatuh bangun dan maju mundurnya peradaban bangsa ini? Indonesia
sangat beruntung karena masalah bahasa sudah tertangani secara lebih baik, jauh
sebelum Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Tahun 1926, Soekarno melalui ide
nasionalismenya telah mempropagandakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pemersatu bangsa dan bahasa perjuangan (Bung Karno dan Pancasila,Tim
Nusa Indah Ende, 2006:27).
Atas keberhasilan yang
demikian, masih ada sejumlah ‘celah’ yang harus ditutup
agar bahasa Indonesia pada masa depan bisa lebih baik. Di antaranya
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, terutama imperealisme bahasa, politik bahasa tetap mempertimbangkan keragaman bahasa. Untuk itu, politik bahasa yang perlu
dikembangkan adalah politik bahasa yang egaliter dalam menghormati
keragaman-keragaman dimaksud. Ini membuktikan
bahwa fungsi bahasa tetap menjadi cerminan dan refleksi realitas yang
senantiasa dipertahankan sebagai agregasi dan artikulasi kepentingan publik.
Dengan sebuah kesadaran bahwa bahasa Indonesia yang
merupakan identitas bangsa juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan bangsa, yang mau
atau tidak mau juga mempersoalkan tentang bahasa. Kesadaran dimaksud
beirmplikasi pada kesadaran tentang identitas bangsa. Tentang
identitas, Emil Salim (1990) menegaskan bahawa upaya
mempertahankan identitas merupakan prioritas yang harus diperjuangkan
mati-matian dengan ciri utama menjaga keseimbangan antara aspek material maupun
spiritual.
Mengacu pada berbagai
peristiwa akhir-akhir ini, seperti kenakalan remaja, premanisme penyalahgunaan
kuasa dan wewenang, sesungguhnya menyiratkan adanya kriris jati diri atau
identitas yang substansif. Persoalan ini ketika ditautkan dengan upaya
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, maka pengajaran kebangsaan tetap menjadi aktual dan relevan untuk
tetap menjadi pertimbangan prioritas untuk diberikan pada lembaga-lembaga
formal kita, karena perihal jiwa kebangsaan hanya diikutkan pada mata
pelajaran-mata pelajaran lain. Usaha mempertahankana bahasa Indonesia sebagai
sebuah identitas bangsa wajib diupayakan dalam mengisi tahapan pembangunan,
termasuk memajukan pendidikan bangsa ini dengan menggunakannya sebagai sarana
pembangunan kesejahteraan bangsa. Oleh
karena itu, kita berangkat dengan sebuah cita-cita bahwa bahasa Indonesia
sebagai identitas bangsa dapat membentuk insan Indonesia cerdas kompetitif di
atas fundasi peradaban bahasa kita sendiri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar