Halaman

Senin, 06 November 2017

Berpihak Kepada Rakyat

Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
tidak tugu atau tempat main bola
            Air mancur warna-warni
            Bertahun-tahun kita merdeka, bapa
            Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
            Kabulkanlah kiranya
(Taufik Ismail)

Penggalan puisi di atas dikutip dari antologi puisi Benteng di bawah judul Yang Kami Minta Hanyalah. Gemuruh demo pelajar dan mahasiswa setelah Gestapu ketika itu menginspirasi lahirnya karya ini. Puisi ini disampaikan para demonstran sebagai akumulasi kekecewaan terhadap janji-janji dan salah urus yang mengakibatkan rakyat sangat menderita. Hal-hal yang penting diabaikan, hal-hal yang tak penting didahulukan.
Puisi merupakan wadah penyair untuk menyuarakan pergulatan hidup atas berbagai pengalaman hidupnya dengan dunia sekitar, termasuk kebebasan menggunakan bahasa sebagai media komunikasi informatif. Sastra, dalam hal ini puisi senantiasa menyampaikan asa masa depan, Harapan sastrawan itu juga merupakan suara masa depan sehingga seorang sastrawan dapat diklasifikasikan sebagai kaum futuris. Kaum yang punya kontribusi dalam menyuarakan pambaruan pembangunan. Walaupun itu cuma suara verbalistik lewat pemadatan kata-kata tak bernyawa. Tetapi patutlah diakui bahwa cipta sastra, barangkali lebih tranaparan mengungkap realitas sosial kemasyarakatan yang tengah terjadi, juga situasi kondisi bangsa yang akan datang.
Sastra sebagai karya universal interpretatif tumbuh dan hidup berbarengan dengan peradaban manusia. Oleh karena itu, eksistensi sastra bersifat dinamis yang sesungguhnya adalah kristalisasi dari pengalaman hidup manusia. Pengalaman tentang alam, tentang ketidakadilan, penderitaan, serta model-model kehidupan sebagai hasil permenungan konkret pengarang atas kehidupan universal manusia itu sendiri. Ini artinya, sastra memiliki hubungan kedekatan dengan manusia yang secara fungsional disebut sebagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama di lingkungannya. Permenungan imajiner tersebut kemudian dibingkai dalam bahasa yang menawan dan sarat dengan makna kehidupan. Yang Kami Minta Hayalah, menjadi simbol verbalis kaum papa dan suara sesama Yang tak bersuara (the voice of voiceless).
BeIakangan ini, berita tentang rawan pangan begitu ramai kita amati, baik melalui media cetak maupun elektronik. Sebut saja, Warga Asesa Ngada makan biji mangga (Flores Pos, 29/11/2006), akibat persediaan pangan makin terbatas. Dari Lembata diberitakan runtuhnya gudang jagung "Kedang".
Hampir setiap daerah di Flores-Lembata tengah mengalami kondisi ini. Flores-Lembata sedang diterpa badai akut tahunan, ibarat telah menjadi langganan tetap Nusa Bunga Ikan Paus ini. Realitas demikian, ketika diamati sesungguhnya yang kita dapati sebuah tikungan yang paradoksal dengan perilaku para elite politik kita. Masih dari Lernbata. Pada kondisi yang bersamaan, justru penghuni gedung dewan Peten Ina yang representatif rakyat Lembata berdiri pada tikungan itu. Fenomena malas dan menuntut lebih banyak merupakan fakta empiris yang tak dapat dibantah. Representan yang sesungguhnya menjadi figur contoh dan teladan ternyata sebuah label dan sebutan yang rasanya tak relevan lagi. Ketika 37 desa mengalami kekurangan pangan di Lembata, wakil rakyat tega melakukan studi banding, sebuah pengingkaran akan realitas masyarakat yang pada umumnya petani itu.
Pada tataran nasional, ternyata fenomena ini tertular secara sistematis dan terstruktur. Anggota DPR kita, cuma ngantuk dan selalu terlambat datang, tidak memenuhi kuorum dan terkadang cenderung membela kepentingan pribadi (Metro TV Bedah Editorial, 29/8/2006).
Ada sekian persoalan rakyat yang seharusnya diidentifikasi untuk mendapat prioritas pelayanan justru tidak terakomodir secara baik, saat para wakil rakyat kita, cuma bisa melempar pernyataan tanpa menyodor solusi juga alternatif-alternatif pemecahan, lalu apakah rakyat harus mendatangi  mereka untuk mangadu. Di mana peran dan fungsi mereka? Apakah mata dan hati mereka tertutup untuk menyimak realitas masyarakat kita yang kurang sana, kurang sini, dan memberikan ruang bathin mereka untuk merespon dan memaknai berbagai masalah tersebut?
Dari Ende, kota sejarah lahirnya Pancasila-destinasi pembuangan Presiden Ir Soekarno, kita mendapatkan kabar yang paradoksal tersebut. Setelah menolak lalu membangun deal dengan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sinyalemen tentang usulan pembelian tanah dan Hotel Wisata oleh eksekutif Ende ditengarai diperjuangkan oleh oknum anggota dewan tertentu agar meloloskan usulan tersebut di gedung rakyat dengan fee 5-10-%. Bahwa kolusi, korupsi dan nepotisme itu tidak hilang kalau praktik laknat ini masih menjadi incaran mereka-mereka yang kita anggap pilihan dari orang-orang kebanyakan. Apakah ini sebuah pembenaran akan klaim masyarakat bahwa sesungguhnya praktik KKN ini datangnya dari "rumah rakyat?"
Taufik Ismail, Yang nota bene seorang sastrawan mengungkapkan jeritan rakyat lalu membahasakan cukup sederhana, santun dan bermartabat. Yang Kami Minta Hanyalah merupakan representasi kekecewaan atas sekian banyak masalah yang dihadapi rakyat.
Mengapa harus membeli tanah dan Hotel Wisata, kalau bangkai KM Nusa Damai yang.tenggelam di kolam labuh lpi Ende tidak dapat dievakuasi. Ini tentu butuh pertimbangan yang populis untuk tidak membuat masyarakat resah. Katakan, dana sekian miliar tersebut dialokasikan untuk penyediaan tempat-tempat (lopo) belajar di desa-desa atau maksimaliasi berbagai sarana dan fasilitas belajar yang cukup dalam menunjang program "jam wajar" (jam wajib belajar), yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Ende. Program ini akan sangat bermanfaat untuk bisa meminimalisir kecemasan masyarakat banyak akan rendahnya mutu pendidikan kita.
Rakyat tidak minta sesuatu yang eksklusif melainkan pemenuhan kebutuhan yang berpautan langsung. Dalam aspek penegakan hukum, rakyat minta kesetaraan, keadilan. Tentunya harapan ini tidak menjadi sesuatu yang luar biasa, ketika lembaga-lembaga penegak hukum kita, menjalankannya secara baik dan bermartabat.
Dalam tataran kebangsaan, pohon bangsa ini tengah goyah diterpa badai. Kian rapuh, tegal semakin menipisnya rasa kebangsaan, rasa solidaritas, rasa memiliki satu Nusa dan satu Bangsa. Konflik di mana-mana yang tidak pernah berakhir merupakan bukti bagi anak negeri ini akan memuncaknya egoisme kepentingan di belakang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.
Rakyat hanya minta stabilisasi keamanan untuk menjamin rasa aman dan damai. Rakyat hanya minta hentikan teror dan konflik agar kembali menjalin tali kasih persaudaraan sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan bermartabat. Problem-problem kebangsaan ini lahir, ketika ziarah bangsa ini menanjak ke usia kemerdekaannya yang ke-61. Tetapi sebagi bagian bangsa ini, masih banyak sesama, saudara kita di sebagian daerah dan Republik ini belum merasakan arti kemerdekaan itu.
$ekali lagi, Taufik Ismail, atas nama rakyat menyerukan perhatian pemimpin dan wakil rakyat kita untuk mendengar dan mengabulkan keluhan rakyatnya, sehingga apa yang diminta itulah yang diberikan bukan sebaliknya. "Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja, tidak tugu atau tempat main bola juga air mancur warna-warni"
Hemat penulis, suara Taufik Ismail di atas juga merupakan sebuah model introspeksi masyarakat petani-peladang untuk kembali membangun sistem perladangan secara integral dan terpadu, yang secara empiris telah teruji keandalannya bertahun-tahun. Dengan demikian, kita misalnya, berani untuk menolak kebijakan panga:n nasional yang secara tidak sadar telah menghancurkan tradisi makan dan makanan lokal kita.
Kondisi demikian akan melahirkan generasi pengidap penyakit kemanjaan nasi, generasi raskin (beras untuk orang miskin) yang tengah bermasalah itu, Yang secara nyata telah memanjakan generasi kita dan merusak ketahanan pangan lokal itu. Pada alur berpikir ini, generasi yang akan datang bukan tidak mungkin menjadi generasi yang kemanjaan berusaha, mental instan, suka PNS, cari gampang, sementara sumber daya lahan kita memungkinkan untuk mengembangkan tanaman tahunan sebagai komoditas baru dan alternatif, seperti cengkeh, vanili, cokelat, kopi, dan lain-lain (Mbete, 2006).  Semuanya ini akan membuat kita untuk tidak menjadikan penyakit tahunan tersebut sebagai nrimo (nasib), tetapi secara perlahan kita, coba  untuk maju menantang alam Flores-Lembata, menjamahnya, kendatipun kita berpijak di atas rahim bumi yang rata-rata adalah lahan kering. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 18 Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar