tidak tugu atau
tempat main bola
Air mancur
warna-warni
Bertahun-tahun
kita merdeka, bapa
Yang kami minta
hanyalah sebuah bendungan saja
Kabulkanlah
kiranya
(Taufik
Ismail)
Penggalan puisi di
atas dikutip dari antologi puisi Benteng di bawah judul Yang Kami Minta Hanyalah. Gemuruh demo
pelajar dan mahasiswa setelah Gestapu ketika itu menginspirasi lahirnya karya
ini. Puisi ini disampaikan para demonstran sebagai akumulasi kekecewaan
terhadap janji-janji dan salah urus yang mengakibatkan rakyat sangat menderita.
Hal-hal yang penting diabaikan, hal-hal yang tak penting didahulukan.
Puisi
merupakan wadah penyair untuk menyuarakan pergulatan hidup atas berbagai
pengalaman hidupnya dengan dunia sekitar, termasuk kebebasan menggunakan bahasa
sebagai media komunikasi informatif. Sastra, dalam hal ini puisi senantiasa
menyampaikan asa masa depan, Harapan sastrawan itu juga merupakan suara masa
depan sehingga seorang sastrawan dapat diklasifikasikan sebagai kaum futuris. Kaum yang punya kontribusi
dalam menyuarakan pambaruan pembangunan. Walaupun itu cuma suara verbalistik
lewat pemadatan kata-kata tak bernyawa. Tetapi patutlah diakui bahwa cipta
sastra, barangkali lebih tranaparan mengungkap realitas sosial kemasyarakatan yang
tengah terjadi, juga situasi kondisi bangsa yang akan datang.
Sastra
sebagai karya universal interpretatif tumbuh dan hidup berbarengan dengan
peradaban manusia. Oleh karena itu, eksistensi sastra bersifat dinamis yang
sesungguhnya adalah kristalisasi dari pengalaman hidup manusia. Pengalaman
tentang alam, tentang ketidakadilan, penderitaan, serta model-model kehidupan
sebagai hasil permenungan konkret pengarang atas kehidupan universal manusia
itu sendiri. Ini artinya, sastra memiliki hubungan kedekatan dengan manusia yang
secara fungsional disebut sebagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya
dengan sesama di lingkungannya. Permenungan imajiner tersebut kemudian
dibingkai dalam bahasa yang menawan dan sarat dengan makna kehidupan. Yang Kami
Minta Hayalah, menjadi simbol verbalis kaum papa dan suara sesama Yang tak
bersuara (the voice of voiceless).
BeIakangan
ini, berita tentang rawan pangan begitu ramai kita amati, baik melalui media
cetak maupun elektronik. Sebut saja, Warga Asesa Ngada makan biji mangga
(Flores Pos, 29/11/2006), akibat persediaan pangan makin terbatas. Dari Lembata
diberitakan runtuhnya gudang jagung "Kedang".
Hampir
setiap daerah di Flores-Lembata tengah mengalami kondisi ini. Flores-Lembata
sedang diterpa badai akut tahunan, ibarat telah menjadi langganan tetap Nusa
Bunga Ikan Paus ini. Realitas demikian, ketika diamati sesungguhnya yang kita
dapati sebuah tikungan yang paradoksal dengan perilaku para elite politik kita. Masih dari Lernbata. Pada
kondisi yang bersamaan, justru penghuni
gedung dewan Peten Ina yang representatif
rakyat Lembata berdiri pada tikungan itu. Fenomena malas dan menuntut lebih
banyak merupakan fakta empiris yang tak dapat dibantah. Representan yang
sesungguhnya menjadi figur contoh dan teladan ternyata sebuah label dan sebutan
yang rasanya tak relevan lagi. Ketika 37 desa mengalami kekurangan pangan di
Lembata, wakil rakyat tega melakukan
studi banding, sebuah pengingkaran akan realitas masyarakat yang pada umumnya
petani itu.
Pada
tataran nasional, ternyata fenomena ini tertular secara sistematis dan
terstruktur. Anggota DPR kita, cuma ngantuk dan selalu terlambat datang, tidak
memenuhi kuorum dan terkadang cenderung membela kepentingan pribadi (Metro TV Bedah Editorial, 29/8/2006).
Ada
sekian persoalan rakyat yang seharusnya diidentifikasi untuk mendapat prioritas
pelayanan justru tidak terakomodir secara baik, saat para wakil rakyat kita,
cuma bisa melempar pernyataan tanpa menyodor solusi juga alternatif-alternatif
pemecahan, lalu apakah rakyat harus mendatangi
mereka untuk mangadu. Di mana peran dan fungsi mereka? Apakah mata dan
hati mereka tertutup untuk menyimak realitas masyarakat kita yang kurang sana,
kurang sini, dan memberikan ruang bathin mereka untuk merespon dan memaknai
berbagai masalah tersebut?
Dari
Ende, kota sejarah lahirnya Pancasila-destinasi pembuangan Presiden Ir
Soekarno, kita mendapatkan kabar yang paradoksal tersebut. Setelah menolak lalu
membangun deal dengan pihak lain
untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sinyalemen tentang usulan pembelian tanah
dan Hotel Wisata oleh eksekutif Ende ditengarai diperjuangkan oleh oknum
anggota dewan tertentu agar meloloskan usulan tersebut di gedung rakyat dengan fee 5-10-%. Bahwa kolusi, korupsi dan
nepotisme itu tidak hilang kalau praktik laknat ini masih menjadi incaran
mereka-mereka yang kita anggap pilihan dari orang-orang kebanyakan. Apakah ini
sebuah pembenaran akan klaim masyarakat bahwa sesungguhnya praktik KKN ini
datangnya dari "rumah rakyat?"
Taufik
Ismail, Yang nota bene seorang sastrawan mengungkapkan jeritan rakyat lalu
membahasakan cukup sederhana, santun dan bermartabat. Yang Kami Minta Hanyalah merupakan representasi kekecewaan atas
sekian banyak masalah yang dihadapi rakyat.
Mengapa
harus membeli tanah dan Hotel Wisata, kalau bangkai KM Nusa Damai
yang.tenggelam di kolam labuh lpi Ende tidak dapat dievakuasi. Ini tentu butuh
pertimbangan yang populis untuk tidak
membuat masyarakat resah. Katakan, dana sekian miliar tersebut dialokasikan
untuk penyediaan tempat-tempat (lopo)
belajar di desa-desa atau maksimaliasi berbagai sarana dan fasilitas belajar
yang cukup dalam menunjang program "jam
wajar" (jam wajib belajar), yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten
Ende. Program ini akan sangat bermanfaat untuk bisa meminimalisir kecemasan
masyarakat banyak akan rendahnya mutu pendidikan kita.
Rakyat
tidak minta sesuatu yang eksklusif melainkan pemenuhan kebutuhan yang berpautan
langsung. Dalam aspek penegakan hukum, rakyat minta kesetaraan, keadilan. Tentunya
harapan ini tidak menjadi sesuatu yang luar biasa, ketika lembaga-lembaga
penegak hukum kita, menjalankannya secara baik dan bermartabat.
Dalam
tataran kebangsaan, pohon bangsa ini tengah goyah diterpa badai. Kian rapuh, tegal
semakin menipisnya rasa kebangsaan, rasa solidaritas, rasa memiliki satu Nusa
dan satu Bangsa. Konflik di mana-mana yang tidak pernah berakhir merupakan
bukti bagi anak negeri ini akan memuncaknya egoisme kepentingan di belakang
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.
Rakyat
hanya minta stabilisasi keamanan untuk menjamin rasa aman dan damai. Rakyat
hanya minta hentikan teror dan konflik agar kembali menjalin tali kasih persaudaraan
sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan bermartabat. Problem-problem kebangsaan
ini lahir, ketika ziarah bangsa ini menanjak ke usia kemerdekaannya yang ke-61.
Tetapi sebagi bagian bangsa ini, masih banyak sesama, saudara kita di sebagian
daerah dan Republik ini belum merasakan arti kemerdekaan itu.
$ekali
lagi, Taufik Ismail, atas nama rakyat menyerukan perhatian pemimpin dan wakil
rakyat kita untuk mendengar dan mengabulkan keluhan rakyatnya, sehingga apa
yang diminta itulah yang diberikan bukan sebaliknya. "Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja, tidak tugu atau tempat
main bola juga air mancur warna-warni"
Hemat
penulis, suara Taufik Ismail di atas juga merupakan sebuah model introspeksi
masyarakat petani-peladang untuk kembali membangun sistem perladangan secara
integral dan terpadu, yang secara empiris telah teruji keandalannya
bertahun-tahun. Dengan demikian, kita misalnya, berani untuk menolak kebijakan
panga:n nasional yang secara tidak sadar telah menghancurkan tradisi makan dan
makanan lokal kita.
Kondisi
demikian akan melahirkan generasi pengidap penyakit kemanjaan nasi, generasi raskin
(beras untuk orang miskin) yang tengah bermasalah itu, Yang secara nyata telah
memanjakan generasi kita dan merusak ketahanan pangan lokal itu. Pada alur
berpikir ini, generasi yang akan datang bukan tidak mungkin menjadi generasi yang
kemanjaan berusaha, mental instan, suka PNS, cari gampang, sementara sumber daya
lahan kita memungkinkan untuk mengembangkan tanaman tahunan sebagai komoditas
baru dan alternatif, seperti cengkeh, vanili, cokelat, kopi, dan lain-lain
(Mbete, 2006). Semuanya ini akan membuat
kita untuk tidak menjadikan penyakit tahunan tersebut sebagai nrimo (nasib), tetapi secara perlahan
kita, coba untuk maju menantang alam
Flores-Lembata, menjamahnya, kendatipun kita berpijak di atas rahim bumi yang
rata-rata adalah lahan kering. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar