Semenjak pandemi covid-19 melanda dunia, tak diduga bahwa kehidupan manusia global menjadi rapuh. Covid-19 merangsek masuk menyerang hampir semua sendi kehidupan manusia. Tidak ketinggalan, pandemi tak bertuan itu menyerang Indonesia. Saat itu pula, para virolog dan pemerintah mengimbau masyarakat untuk taat protokol kesehatan dan senantiasa menjaga imunitas tubuh dengan berolahraga, mengonsumsi vitamin dan makanan bergizi, berpikiran positif, serta berbagai upaya lainnya. Bahkan, program vaksinasi massal yang giat dilaksanakan sekarang bertujuan membentengi diri dan memperkuat imunitas komunitas sosial menjadi solusi efektif menangkal lajunya penularan covid-19 dengan aneka varian yang mungkin bakal terjadi.
Analogi ganasnya
pandemi covid-19 tersebut, jika kita tarik ke dalam lingkup menelisik keberadaan
bahasa ibu, maka minimal terdapat dua pertanyaan yang diajukan untuk menguji
keberadaan bahasa-bahasa daerah kita. Pertama,
seberapa kuat daya “imunitas” (meminjam istilah kesehatan) bahasa daerah
terhadap terjangan dan gempuran bahasa-bahasa lain, termasuk kelincahan
berbahasa multimedia generasi muda kita sekarang?, dan kedua, adakah upaya-upaya strategis untuk mempertahankan atau
memperkuat imunitas bahasa daerah bagi generasi muda agar tetap bertahan hidup
di tengah geliat perkembangan teknologi dan komunikasi yang serba cepat.
Bahasa
Daerah sebagai Rumah Asal
Bahasa daerah adalah
rumah asal atau rumah bersama memulai kehidupan. Dari rumah inilah
simbol-simbol kultural dan kelindan nilai-nilai humanitas paling hakiki mulai
ditanam sekaligus diinternalisasi sebagai bekal bagi seorang anak mengarungi
hidupnya. Dalam konteks demikian, bahasa daerah selalu menampilkan wajah jati
diri bagi seseorang. Itulah sebabnya, bahasa daerah telah menjadi tradisi
leluhur yang paling monumental untuk layak dihidupi dari waktu ke waktu. Jika
bahasa daerah dianggap sebagai rumah asal, bahkan tanah air pertama, maka para
penutur, terutama generasi muda pantas mengikatkan sumpah untuk setia dan loyal mengkampanyekan tidak
saja bahasa Indonesia, namun juga bahasa daerah sebagai wahana filosofis yang
padat dengan pandangan dan modal sosial hidup bermasyarakat. Meneguhkan
semangat dan menebalkan imunitas bahasa daerah sebagai bahasa ibu semakin
memberi infus vitalitas hidup bahasa daerah tersebut.
Dalam banyak hal kita
patut berkeyakinan bahwa bahasa daerahlah mengandung gagasan dalam mengungkap
sesuatu. Dalam banyak hal pula, bahasa daerah banyak memberi inspirasi dan
jalan keluar mengambil keputusan dalam memecahkan masalah atau konflik sosial
dalam masyarakat. Keyakinan dan keakurasian jalan keluar tersebut tidak
terdapat dalam bahasa Indonesia. Karena itulah, bahasa daerah dianggap lebih
“bertenaga” dan memiliki daya kontekstual sehingga lebih cepat dipahami oleh
kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Keyakinan dan pengetahuan lokal
inilah menjadi daya dorong elaborasi bahasa daerah, baik sistemnya maupun secara
fungsional. Dengan demikian, imunitas bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang selalu
menyimpan pengetahuan lokal kemanusiaan, bahkan mampu
menggambarkan realitas semesta manusia, kebudayaan, dan alam sekitar sebagai
rumah berpijak.
Jika ingin bertahan hidup di tengah tumbuh suburnya bahasa
multimedia sekarang ini, maka imunitas bahasa daerah terus diupayakan, terutama
ketahanan berbahasa daerah di kalangan generasi muda. Pemerolehan bahasa ibu
jika dibiarkan terus berlangsung secara alamiah, maka lama-kelamaan bahasa daerah
akan mengalami kematian . Apalagi hegemoni bahasa Indonesia dan bahasa asing
lainnya yang sangat besar di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi
faktor lambatnya perkembangan bahasa daerah. Oleh karena itu, ada semacam
pengaturan penggunaan bahasa daerah dalam masing-masing komunitas untuk
menjamin keberlanjutan bahasa daerah dimaksud. Lingkungan keluarga diharapkan
menjadi tonggak pewarisan bahasa daerah. Mengatur secara bijak keseimbangan
penggunaan bahasa daerah di rumah, bila keluarga heterogen. Atau, menghadirkan
pihak lain, seperti sanak saudara dan anggota keluarga ibu untuk membelajarkan
bahasa daerah pada anak-anak.
Secara makro, kampanye-kampaye pembangunan dan kesehatan,
misalnya disampaikan dalam bahasa daerah untuk menjamin tersampainya pesan
dengan baik. Sebab, secara sosiologis kita patut menduga bahwa kegagalan
sebagian pembangunan disebabkan karena ketidakpahaman bahasa aturan atau
regulasi pemerintah. Melibatkan generasi muda untuk sosialisasi kebijakan
pembangunan dalam beragam bahasa daerah dengan animasi dan ragam percakapan
yang familiar dengan keseharian masyarakat vernakular. Ini adalah keniscayaan
menumbuhkan rasa percaya diri dan loyalitas generasi muda atas bahasanya
sendiri. Hemat saya, langkah ini sebagai upaya strategis yang perlu
dilaksanakan sebagaimana kritik pembangunan yang pernah disampaikan oleh filsuf
Tiongkok Kong Hu Cu ketika ditanya muridnya tentang apakah yang ingin dia
lakukan setelah menjadi pemimpin. Menurutnya, bahasalah yang pertama-tama ingin
dia perbaiki (Rampung, 2005:viii). Bahwa bahasa mencerminkan sekaligus menjamin
keberesan relasi antarmanusia dan antaretnis dalam masyarakat. Relasi keakraban
masyarakat tersebut tertanam dalam bahasa daerah kita masing-masing. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar