Halaman

Kamis, 27 Oktober 2022

Memperkuat Imunitas Bahasa Daerah

         

Semenjak pandemi covid-19 melanda dunia, tak diduga bahwa kehidupan manusia global menjadi rapuh. Covid-19 merangsek masuk menyerang hampir semua sendi kehidupan manusia. Tidak ketinggalan, pandemi tak bertuan itu menyerang Indonesia. Saat itu pula, para virolog dan pemerintah mengimbau masyarakat untuk taat protokol kesehatan dan senantiasa menjaga imunitas tubuh dengan berolahraga, mengonsumsi vitamin dan makanan bergizi, berpikiran positif, serta berbagai upaya lainnya. Bahkan, program vaksinasi massal yang giat dilaksanakan sekarang bertujuan membentengi diri dan memperkuat imunitas komunitas sosial menjadi solusi efektif menangkal lajunya penularan covid-19 dengan aneka varian yang mungkin bakal terjadi.

Analogi ganasnya pandemi covid-19 tersebut, jika kita tarik ke dalam lingkup menelisik keberadaan bahasa ibu, maka minimal terdapat dua pertanyaan yang diajukan untuk menguji keberadaan bahasa-bahasa daerah kita. Pertama, seberapa kuat daya “imunitas” (meminjam istilah kesehatan) bahasa daerah terhadap terjangan dan gempuran bahasa-bahasa lain, termasuk kelincahan berbahasa multimedia generasi muda kita sekarang?, dan kedua, adakah upaya-upaya strategis untuk mempertahankan atau memperkuat imunitas bahasa daerah bagi generasi muda agar tetap bertahan hidup di tengah geliat perkembangan teknologi dan komunikasi yang serba cepat.

Bahasa Daerah sebagai Rumah Asal

Bahasa daerah adalah rumah asal atau rumah bersama memulai kehidupan. Dari rumah inilah simbol-simbol kultural dan kelindan nilai-nilai humanitas paling hakiki mulai ditanam sekaligus diinternalisasi sebagai bekal bagi seorang anak mengarungi hidupnya. Dalam konteks demikian, bahasa daerah selalu menampilkan wajah jati diri bagi seseorang. Itulah sebabnya, bahasa daerah telah menjadi tradisi leluhur yang paling monumental untuk layak dihidupi dari waktu ke waktu. Jika bahasa daerah dianggap sebagai rumah asal, bahkan tanah air pertama, maka para penutur, terutama generasi muda pantas mengikatkan sumpah untuk setia dan loyal mengkampanyekan tidak saja bahasa Indonesia, namun juga bahasa daerah sebagai wahana filosofis yang padat dengan pandangan dan modal sosial hidup bermasyarakat. Meneguhkan semangat dan menebalkan imunitas bahasa daerah sebagai bahasa ibu semakin memberi infus vitalitas hidup bahasa daerah tersebut.

Dalam banyak hal kita patut berkeyakinan bahwa bahasa daerahlah mengandung gagasan dalam mengungkap sesuatu. Dalam banyak hal pula, bahasa daerah banyak memberi inspirasi dan jalan keluar mengambil keputusan dalam memecahkan masalah atau konflik sosial dalam masyarakat. Keyakinan dan keakurasian jalan keluar tersebut tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Karena itulah, bahasa daerah dianggap lebih “bertenaga” dan memiliki daya kontekstual sehingga lebih cepat dipahami oleh kelompok atau komunitas-komunitas tertentu. Keyakinan dan pengetahuan lokal inilah menjadi daya dorong elaborasi bahasa daerah, baik sistemnya maupun secara fungsional. Dengan demikian, imunitas bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang selalu menyimpan pengetahuan lokal kemanusiaan, bahkan mampu menggambarkan realitas semesta manusia, kebudayaan, dan alam sekitar sebagai rumah berpijak.

Jika ingin bertahan hidup di tengah tumbuh suburnya bahasa multimedia sekarang ini, maka imunitas bahasa daerah terus diupayakan, terutama ketahanan berbahasa daerah di kalangan generasi muda. Pemerolehan bahasa ibu jika dibiarkan terus berlangsung secara alamiah, maka lama-kelamaan bahasa daerah akan mengalami kematian . Apalagi hegemoni bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya yang sangat besar di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi faktor lambatnya perkembangan bahasa daerah. Oleh karena itu, ada semacam pengaturan penggunaan bahasa daerah dalam masing-masing komunitas untuk menjamin keberlanjutan bahasa daerah dimaksud. Lingkungan keluarga diharapkan menjadi tonggak pewarisan bahasa daerah. Mengatur secara bijak keseimbangan penggunaan bahasa daerah di rumah, bila keluarga heterogen. Atau, menghadirkan pihak lain, seperti sanak saudara dan anggota keluarga ibu untuk membelajarkan bahasa daerah pada anak-anak.

Secara makro, kampanye-kampaye pembangunan dan kesehatan, misalnya disampaikan dalam bahasa daerah untuk menjamin tersampainya pesan dengan baik. Sebab, secara sosiologis kita patut menduga bahwa kegagalan sebagian pembangunan disebabkan karena ketidakpahaman bahasa aturan atau regulasi pemerintah. Melibatkan generasi muda untuk sosialisasi kebijakan pembangunan dalam beragam bahasa daerah dengan animasi dan ragam percakapan yang familiar dengan keseharian masyarakat vernakular. Ini adalah keniscayaan menumbuhkan rasa percaya diri dan loyalitas generasi muda atas bahasanya sendiri. Hemat saya, langkah ini sebagai upaya strategis yang perlu dilaksanakan sebagaimana kritik pembangunan yang pernah disampaikan oleh filsuf Tiongkok Kong Hu Cu ketika ditanya muridnya tentang apakah yang ingin dia lakukan setelah menjadi pemimpin. Menurutnya, bahasalah yang pertama-tama ingin dia perbaiki (Rampung, 2005:viii). Bahwa bahasa mencerminkan sekaligus menjamin keberesan relasi antarmanusia dan antaretnis dalam masyarakat. Relasi keakraban masyarakat tersebut tertanam dalam bahasa daerah kita masing-masing. (*)



[1] Dimuat pada HU Pos Kupang, 26 Oktober 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar