Halaman

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Februari 2023

Menulislah Terus


Gerson Poyk, sastrawan nasional dan perintis sastra NTT menulis sebuah ulasan saatra dengan judul "Dari Mata Turun ke Hati." Ulasan tersebut dimuat dalam Antologi Cerpen Cerita dari Selat Gonsalu", yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa NTT tahun 2015. Antologi Cerpen ini memublikasikan 57 judul cerpen dari 27 penulis. Selain menulis ulasan antologi ini, Gerson Poyk juga salah satu yang menulis cerpen untuk antologi dimaksud. Kata Pengantar ditulis oleh Yohanes Sehandi pengamat sastra NTT dari Univeritas Flores Ende.

Di akhir ulasannya yang ringkas dan padat, Gerson Poyk menyodorkan sebuah pesan atau wasiat penting untuk muda-mudi NTT. Begini pesannya:

"Untuk muda-mudi NTT, menulislah terus, syukur kalau menghasilkan karya berbobot. Kalaupun hasilnya karya pop, yang penting ada untaian kata dan kalimat yang merusak khayalan pop dengan seni filsafat bercinta, yaitu mengandung respek, tanggung jawab, dan saling mengerti kekurangan dan kelebihan masing-masing." (*)



Jumat, 06 April 2018

Tamu Tak Dikenal





          Batuknya kedengaran lesuh. Tenaganya telah habis terkuras dalam perjalannanya semalam suntuk. Untuk kesekian kalinya sesosok tubuh yang dimamah usia itu beristirahat lagi. Perjalanan tanpa tujuan itu ia lanjutkan. Dari penghujung kampung tamu tak dikenal itu berlangkah pelan menelusuri ruas jalan yang penuh bebatuan. Batuknya kian parah. Sementara suaranya makin kecil dan membangkitkan rasa ibah bagi penghuni kampung di subuh itu. Dibarengi dengan bunyi dahaknya yang menusuk telinga warga setempat. Seolah ada sebutir kerikil kecil yang menghalangi keluarnya dahak dari kerongkongan tuanya. Tamu tak dikenal itu tak bertenaga lagi. Tapi, apa mau dikata, perjalanan harus dilanjutkan, entah sampai kapan.
    

Malang (Buat Mereka yang Bernama Malang)



 Kabut tebal masih menggelayuti Jalan Tite Herun di kota tua ini. Panorama keilmuan kota pelajar ini pun belum tampak menggeliat. Embun pagi masih tampak menggelantung pada dedahanan taman-taman kota.  Kuncup mekar pagi menorehkan senyum perangai wangi warga bunga pada petakan setiap taman untuk menyapa warga kota yang melewati lorong-lorong waktu. Pandangan coba kuarahkan jauh ke depan. Mendapati seorang sosok tegar mengayuh pelan tongkat menghampiri kampus universitas tua di kota itu. Agak terbata-bata aku coba memberanikan diri untuk mendekati dia. Di tikungan lorong pada Jalan Tite Herun, kami bersua membuka percakapan panjang lebar tentang kekokohan juga ketegarannya membentengi dirinya dengan ilmu.


Jumat, 29 Desember 2017

Wajah Indonesiaku: Wajah Kita Semua



Wajah dapat diartikan sebagai roman muka atau muka. Semua orang memiliki wajah dan tentu sangat berharap agar wajah tersebut memancarkan sesuatu yang baik. Diksi wajah ini dipilih untuk melengkapi diksi Indonesia sebagai judul antologi cerpen siswa SMA Flores Lembata. Wajah yang secara khusus menyentuh dan melekat kuat pada kedirian seseorang digunakan dalam konteks ini untuk mengungkap sesuatu yang lebih luas menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, setidak-tidaknya wajah sebuah Indonesia dapat ditemukan dalam antologi cerpen ini. Pemakaian diksi Indonesia saja dalam konteks ini, telah memunculkan rasa bangga tentang sebuah nama juga tempat yang spesial di hati kita semua anak bangsa. Sebuah nama yang memang secara empiris sangat multikultural, multilingual, dan pluralistis dengan ruang geografis pulau Nusantara, dan lingkungan sosiokultural yang unik dan spesifik. Sangat menakjubkan dunia sejagat.
Wajah Indonesiaku menjadi lengkap apabila dipandang dari dua sisi yang berbeda, sebagaimana eksistensi kehidupan manusia itu sendiri yang dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian. Pilihan Wajah Indonesiaku juga masih dalam semangat yang sama yakni ingin menampilkan sisi lain kehidupan sebuah Indonesia. Sebuah wajah yang dahulunya cantik dan ayu, sekarang tampak bopeng, karut marut, tercabik-cabik, penuh dengan konflik horizontal. Dari pusat sampai ke daerah, bahkan menusuk hingga ke kampung-kampung. Inilah sebuah realitas kekinian yang sedang menimpa wajah Indonesia. Wajah lain yang dimaksudkan tertuang dalam antologi cerpen siswa SMA Flores Lembata. Letupan emosi dan ekspresi penghayatan juga pengalaman kekinian mereka tentang kehidupan sesungguhnya. Bagaimana mereka berusaha menghayati dan mencipta dengan sungguh realitas sekitar. Mereka telah berusaha melihat dengan mata telanjang dan mengangkat sesuatu yang terlewatkan oleh kebanyakan orang. Mereka juga telah memposisikan diri sebagai produsen dalam mengangkat dan menggarap sesuatu tidak pada tempatnya untuk dipasarkan ke tengah masyarakat. Mereka telah menjadi lentera kehidupan yang selalu menyalakan kandil di tengah kegelapan.
Bagi saya letupan perasaan para siswa SMA Flores Lembata yang tertuang dalam karya sastra cerpen ini menjadi semacam renungan profetis. Renungan-renungan ikhlas tentang serangkaian kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani dan kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya. Dengan demikian, sastra menjadi media interaksi sosial masyarakat. Menjadi cermin meneropong diri dan kelompok sosial yang lebih besar. Sastra juga menjadi media belajar bersama tentang hidup nan kompleks. Sastra menjadi “bahasa penghubung” tentang kehidupan material dan spiritual, di samping menghidangkan berbagai menu pemupuk dan penggembur kehidupan masyarakat secara universal. Renungan-renungan dimaksud telah menghadirkan sebuah interaksi sosial dan menjadi proses saling memengaruhi di antara dua orang atau lebih dalam bentuk relasi, komunikasi, daan kontak sosial. Karya sastra dapat pula merupakan jalan tengah menuju keseimbangan yang dinamis antara dorongan batin dengan dorongan masyarakat, obsesi dan persuasi.
Namun, karya sastra sebagai teks hanyalah jejak (trace), bekas telapak kaki, di dalamnya pembaca harus menemukan manusianya, demikian ungkap Derrida. Jejak bukanlah makna itu sendiri, jejak hanyalah mediasi antara kehadiran dan ketidakhadiran, antara yang tertinggal dengan yang harus dicari. Pembacalah yang harus mencarinya, bukan penulis. Di sanalah eksistensi pengarang ditemukan sebagai subjek kreator, yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Aspek yang tertulis adalah kesadaran, dan aspek yang tidak tertulis adalah ketidaksadaran, ibarat metafora gunung es, yang menjadi aspek yang jauh lebih luas, dalam dan beragam. Dengan kata lain, unsur-unsur di luar bahasalah yang lebih kaya yang dapat dilipatgandakan sehingga menghasilkan sebuah analisis dan pemahaman yang komperhensif jauh melampaui karya yang dihasilkan oleh pengarang. Ini dilandasi oleh pemikiran bahwa sastra bukan merupakan sebuah ilmu pasti yang sekali baca langsung dipahami, namun sastra merupakan karya interpretatif yang menyajikan sekian banyak kemungkinan penyelesaian persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan, tuangan karya interpretatif dalam antologi ini merupakan wujud kepedulian para siswa kita yang adalah bagian dari anggota masyarakat terhadap sesama dan menjadi sarana interaksi sastra untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.
Kehadiran antologi ini sekaligus disertai dengan sebuah harapan yang sama bahwa akan lahir lagi karya-karya sastra yang lain dari anak-anak bangsa, terutama anak-anak Flores Lembata. Mudah-mudahan antologi ini dapat memberikan sesuatu yang lain dalam kehidupan para pembaca. *
Selamat membaca!







[1] “Wajah Indonesia, Wajah Kita Semua” dalam Antologi Cerpen Siswa SMA Flores Lembata. (Yohanes Sehandi, dkk. Ed). Yogyakarta: Penerbit dan Percetakan Aditya Media Yogyakarta. ISBN: 978-602-7957-41-1
[2] Pengasuh mata kuliah Sosiolinguistik pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores

Senin, 06 November 2017

"Si Keong": Antara Cipta Sastra dan Desain Program Penanggulangan Kemiskinan





            Kredo kemiskinan telah menjadi aphoria klasik dan krusial sensitif yang senantiasa aktual di seantero jagat, tak terkecuali di Republik tercinta ini. Fenomena ini, bahkan telah semakin menguat dan bergeser menjadi semacam budaya (culture) baru dalam tapak perjalanan panjang peradaban bangsa-bangsa di dunia. Lagi-lagi kemiskinan tidak lekas tuntas, karena masih menjadi persoalan rumit dan pelik masyarakat global dari waktu ke waktu. Berbagai gagasan coba dikemas dan dituangkan - diartikulasikan lewat mimbar-mimbar diskusi, menjadi head line halaman-halaman koran, juga terobosan-terobosan spektakuler coba dirancang-bangun untuk diaktualisasikan, namun apa mau dikata, masyarakat dunia dan komunitas bangsa ini masih saja berkutat terus berputar-putar dalam lingkaran kemiskinan.
Keluhan dan keprihatinan terus digalang, dan bagai gayung bersambut, semua elemen masyarakat bangun dan bangkit bersuara dalam sebuah koor attac and release bernada unitas:  “perangi kemiskinan”. Namun, realitas empiris terus saja menghadirkan fenomena pahit dan menggetarkan setiap detak jantung peziarah bumi ini. Bahwa perihal kemiskinan barangkali menjadi langganan tetap manusia dan tak pernah akan beranjak dari keseharian kita, sampai kapan pun. Atau, mungkin ini “cambuk”, dalam dendang balada Ebiet G.Ade, hanya cambuk kecil agar kita sadar. 
Mungkin juga Nietzsche benar, bagaimana dia menggambarkan penaklukan kondisi manusia saat ini, atau menganjurkan sebuah gagasan semi-ilmiah tentang ‘kepulangan abadi’, yang sesungguhnya menjadi sebuah pendaratan hipotesis yang hendak menggarisbawahi bahwa semua peristiwa yang telah terjadi akan terjadi lagi (Nietzsche, vi: 2002). Inikah aphoria? Dalam desah napas kegamangan hiruk pikuk pergulatan demikian, kita harus berani beranjak dan berjuang bersama Si Jenius Chairil Anwar, hidup adalah perjuangan”. Deretan metaforis ini hendaknya membuat kita ber-metonomia, sembari menggagas-ulang kiat, menggenggamnya erat dalam medan pengembaraan untuk pencarian kedalaman makna hidup.

Sastrawan: Kelompok Futuris
Ketika banyak sastrawan mengangkat dan menggurat tajuk kemiskinan dalam cipta sastranya, Gerson Poyk pun, misalnya tak ketinggalan. Petualangan imajinasi Gerson Poyk, kelahiran Namodale, Rote – Timor, mendamparkan dia menulis cerpen Si Keong, yang menorehkan tentang seorang anak gelandangan tanpa orang tua dan sanak saudara. Si Keong, sebuah rekaman mimesis kegelisahan yang menyiratkan dengan jelas manusia miskin menderita, melarat, tersingkir, terasing, dan teralienasi. Dalam sastra kita menemukan manusia yang demikian nestapa, tanpa hati kita terharu, tergugah. Bila hati kita tergetar berarti kita menemukan setengah dari jalan penyembuhan.
Asumsi bahwa sastra untuk sastra, terbantahkan ketika semua jenis cipta sastra telah mampu menembus dan melampaui sekat-sekat kehidupan universal. Sastra telah mampu merobohkan ke-ego-an eksistensiya dan mengkonstruk relasi dengan dunia luar. Sebuah perubahan paradigma penciptaan, yang berkutat pada sastra untuk sastra, digeser ke sebuah medan penciptaan yang lebih luas dan membumi, yakni sastra untuk masyarakat. Artinya, cipta sastra tidak mengedepankan struktur saja, tetapi mencoba untuk mengungkap secara total realitas kehidupan masyarakat. Salah satu medan pengungkapan yang tak luput dari olah pikir dan olah rasa sastrawan adalah persoalan kemiskinan, yang merenggut sekian banyak nyawa, saat peziarahan mereka belum sampai ke tapal batas kehidupan ini. Sesungguhnya, cipta sastra demikian, telah menawarkan alternatif penanggulangan persoalan sosial yang ruwet tersebut. Dengan demikian, sastra dapat menjadi inspirasi bagi program-program yang dapat menghilangkan penderitaan manusia menurut kemampuan terbatas.
Sastra, dalam hal ini cerita pendek, senantiasa menyampaikan asa masa depan. Harapan sastrawan itu juga merupakan suara masa depan sehingga seorang sastrawan dapat dikelompokkan sebagai kaum futuris. Kaum yang punya kontribusi dalam menyuarakan pambaruan pembangunan. Walaupun penyampaiannya secara verbalistik lewat pemadatan kata-kata tak bernyawa, tetapi patutlah diakui bahwa cipta sastra, barangkali lebih transparansi mengungkap realitas sosial kemasyarakatan yang tengah terjadi, juga situasi kondisi bangsa yang akan datang. Pada alur berpikir yang sama, Saryono (2006:197), menyebutkan sastrawan sebagai kelompok masyarakat madani yang ikut mencoba menegakkan dan memberdayakan masyarakat madani bersama dengan kelompok-kelompok lain. Mendukung konstruk ini dengan menghidangkan permenungan-permenungan kemanusiaan dan citra-citra keberadaban yang dapat menjadi ragi-ragi penggembur dan pemerkaya rohani pembaca – terutama masyarakat meskipun juga pejabat. Renungan-renungan ikhlas tentang sebuah kehidupan coba ditebar ke tengah publik. Tentunya berangkat pada kebeningan nurani juga kejernihan hati yang utuh dan bulat tentang realitas di sekitarnya.
Sastra sebagai karya universal interpretatif tumbuh dan hidup berbarengan dengan peradaban manusia. Oleh karena itu, eksistensi sastra bersifat dinamis yang sesungguhnya adalah kristalisasi dari pengalaman hidup manusia. Pengalaman tentang alam, tentang ketidakadilan, penderitaan, serta model-model kehidupan sebagai hasil permenungan konkrit pengarang atas kehidupan universal manusia itu sendiri. Ini artinya, sastra memiliki hubungan kedekatan dengan manusia yang secara fungsional disebut sebagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan sesama di lingkungannya. Permenungan imajiner tersebut kemudian dibingkai dalam bahasa yang menawan dan sarat dengan makna kehidupan.
Betapa sangatlah gampang menjumpai kesenjangan (gap) dalam masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat yang tanpa disadari telah diciptakan kelas-kelas sosial. Ada kelompok miskin, kelompok kaya, bahkan ada kelompok millioner yang berkelas konglomerat. Kelompok miskin merupakan kelompok kebanyakan, yang bekerja bagaikan kais pagi, makan pagi. Ya…, sekedar untuk tetap survive. Kelompok kedua dan ketiga merupakan kelompok elite sosial, yang bergelimang kemewahan, harta dan kekayaan. Justru pada titik ini, penguasa (negara) perlu menyatakan keberpihakan untuk membela mereka yang lemah dan tak bisa ini. Tetapi mengapa populasi rakyat miskin bertambah banyak? Mungkin benar celetuk Rabindranath Tagore, bahwa betapa Tuhan belum jera dengan manusia (dalam Goenawan Muhamad, 2001).
Kelompok kedua dan ketiga, mesti mengambil bagian dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Memberikan ruang kepada tenaga-tenaga kerja dalam sektor informal agar kemiskinan dan dampaknya terhadap pengangguran dapat ditekan. Akan tetapi yang kita dapati bahwa masalah itu menjelma menjadi debat panjang tentang peran pasar dan peran negara dalam ekonomi, dan pilihan antara liberalisasi pasar sebagaimana diusulkan oleh Washington Consensus pada 1994 dan peran kebijakan publik dalam ekonomi. Sementara itu kalau kemiskinan belum menurun, lapangan kerja tetap sulit, dan harga barang terus naik, apakah hal ini harus dilihat sebagai kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah? (Kleden, 2009). Bukankah ini indikasi kalau tidak disebut sebagai kebangkrutan moral dari perilaku dehumanisasi kaum elite di tengah kesangsaraan rakyat. Atau, strategi khas “orang besar” yang coba didesain untuk hidup lebih enak-enak, di tengah bergulirnya isu tuntutan persamaan hak agar semua warga negara menjadi sama-sama enak?
Sampai di sini benar kata Marx, bahwa kekuatan pendorong utama kapitalisme terdapat dalam eksploitasi dan alienasi tenaga kerja. Sumber utama dari keuntungan baru dan nilai tambahnya adalah bahwa majikan membayar buruh-buruhnya untuk kapasitas kerja mereka menurut nilai pasar, namun nilai komoditi yang dihasilkan oleh para buruh itu melampaui nilai pasar. Para majikan berhak memiliki nilai keluaran (out put) yang baru karena mereka memiliki alat-alat produksi (kapital) yang produktif. Dengan menghasilkan keluaran sebagai modal bagi majikan, para buruh terus-menerus mereproduksikan kondisi kapitalisme melalui pekerjaan mereka.

Hedonisme Global dan Sikap Instant Kita

Ketika globalisasi menerpa dunia sejagat, yang ditandai dengan akselerasi arus informasi dan teknologi pada berbagai ranah kehidupan yang begitu pesat, dunia ini terasa sempit dan kecil. Percepatan arus informsi dan teknologi demikian, seakan menjadi “titian kilat” antarnegara, bahkan antarpersona sekalipun. Tanpa tedeng aling-aling, di tengah episentrum globalisasi kita terjebak dalam sikap hedonisme global. Masyarakat kita sedang kehilangan identitas, kesepian filterisasi. Masyarakat lupa bahwa, kehadiran globalisasi modern justru menjadikan kita semakin meng-globalkan kembali apa yang sudah ada dalam komunitas kita, sehingga globalisasi tidak serta merta dipersepsi sebagai penggantian segala sesuatu yang lama dengan yang baru. Haruslah kita akui bahwa unsur-unsur lama maupun baru hadir secara berdampingan dalam globalisasi dimaksud.
Dalam kiat demikian, identitas pun tidak mau mengalami redefenisi. Jika dulu identitas dipahami sebagai suatu hakikat yang perlu dicari dan dilegitimate secara konvensional dengan tujuan untuk dipertahankan secara kolegial, maka kini identitas mungkin lebih dipersepsi sebagai sebuah proses daur ulang yang tidak bertujuan memapankan sebuah identitas, melainkan bertujuan untuk mencegah agar identitas tersebut tidak mengalami stagnasi. Proses daur ulang identitas ini tidak hanya harus mampu memberi ruang kepada perubahan, tetapi juga tetap menyisahkan ruang bagi hal-hal yang telah terlebih dahulu ada.
Kembali ke pokok masalah ini. Saat berbicara tentang kemiskinan, setiap benak kita akan menukik pada perihal ekonomi, bahkan ada banyak pengamat yang menyebutnya sebagai perihal “perut”.  Dalam konsep demikian, setidak-tidaknya, ulasan ini juga berkiblat pada pemahaman dasar dimaksud. Bahwa Tuhan belum jera dengan manusia, meski kemiskinan dan kelaparan ada di mana-mana, begitupun kematian dan kemalangan sangat rentan menjumpai siapa saja. Sekedar sebuah euphoria klasik bahwa negara ini sangat kaya-raya. Bumi Nusantara selalu diidolakan, karena seakan menjadi surga di Indonesia. Negeri dengan sebutan zamrud katulistiwa. Dapat ditumbuhi apa saja. Di atas batu, laut, di tengah hutan, apalagi tanah dataran. Kita juga bisa menggali apa saja dari perut bumi. Bumi pertiwi ini akan memuncratkan beraneka mutiara berharga buat penghuni surga yang bernama Indonesia. Tetapi, kemiskinan, juga persoalan-persoalan lain masih tetap menjadi masalah aktual dan relevan keseharian kita. Mengapa? Mungkin kita lebih arif, bijaksana dalam mengelola sumber daya alam agar tetap lestari demi kehidupan generasi berikut.

Bale Nagi Oa dan No

            Ajakan bale nagi [2] Oa dan No di Flores Timur-Lembata, atau bhale nua [3], untuk sesama karib kerabat kita di Lio, atau penamaan-penamaan serupa dalam rumpun bahasa kita masing-masing, misalnya menjadi harapan dan cita-cita bersama menyingkap selubung kesejahteraan masa depan. Sebab, sesungguhnya masih banyak lahan tidur di kampung-kampung yang mesti dibangunkan, disulap menjadi tumpukan rupiah baru yang mungkin dapat membebaskan kita dari kronika kemiskinan. Mengalirnya arus urbanisasi bahwa di kota sangat menjanjikan, perlu tinjau ulang dengan menggalakkan program transmigrasi, dengan hipotesis bahwa di desa lebih menjanjikan kecerahan masa depan. Diperlukan komitmen dan kerja sama yang sinergis dan relevan antara semua pemangku kepentingan untuk menggapai cita-cita besar ini. Dari level pengambil kebijakan sampai pelaksana operasional di lapangan, dari kota hingga desa, sama-sama bahu-membahu menggapai masa depan yang lebih baik.
Akhirnya, sekali lagi, refeleksi filosofis dalam kuplet lagu Ebiet G.Ade, penyanyi kondang balada negeri ini dalam lagu bertajuk “Cita-cita Kecil Si Anak Desa” menjadi relevan untuk  kita renungkan. Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil/ Tinggal di rumah desa dengan sawah ladang di sekelilingku/ Luas kebunku ‘kan ku tanami buah dan sayuran/ Dan di kandang belakang rumah, ku pelihara bermacam-macam piaraan/ Memang cita-citaku sederhana/ Sebab aku terlahir dari desa. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, 27 April 2010

[2]  bale nagi:   bahasa Lamaholot dialek Larantuka-Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang   berarti pulang kampung.

[3] Walo nua: bahasa Lio, yang berarti pulang kampung