Halaman

Jumat, 06 April 2018

Malang (Buat Mereka yang Bernama Malang)



 Kabut tebal masih menggelayuti Jalan Tite Herun di kota tua ini. Panorama keilmuan kota pelajar ini pun belum tampak menggeliat. Embun pagi masih tampak menggelantung pada dedahanan taman-taman kota.  Kuncup mekar pagi menorehkan senyum perangai wangi warga bunga pada petakan setiap taman untuk menyapa warga kota yang melewati lorong-lorong waktu. Pandangan coba kuarahkan jauh ke depan. Mendapati seorang sosok tegar mengayuh pelan tongkat menghampiri kampus universitas tua di kota itu. Agak terbata-bata aku coba memberanikan diri untuk mendekati dia. Di tikungan lorong pada Jalan Tite Herun, kami bersua membuka percakapan panjang lebar tentang kekokohan juga ketegarannya membentengi dirinya dengan ilmu.


Maaf, mengganggumu!
Begitulah sapaanku pada  jumpah pertama dengan lelaki itu. Dia mengangguk, menyambutnya dengan gembira, sambil mengangkat tongkatnya menghampiri anak tangga kedua depan kampus tua itu. Gafeor, begitulah nama sapaannya. Laki-laki  berumur 38 tahun ini tampak kokoh dan tegar. Guratan wajahnya membersitkan sebuah kepastian bahwa pendidikan harus dialami dan diraih secara baik. Tentunya untuk kemaslahatan masa depan.
***
Malam merangkak pelan dan fajar pagi pun siap menjemput. Musim pun kian suntuk, saban bergantian. Siklus hidupku tak menentu lagi. Rasanya aku telah bosan hidup. Aku ingin pergi. Entah ke mana. Biar, agar aku dapat dijuluki orang sekitar sebagai pengembara. Aku sadar bahwa hidup ini tak berarti lagi apabila aku hanya terkurung di gubuk ini. Pengalaman pun hanya sekitar kampung, bak katak di bawah tempurung. Tak tahu apa-apa. Sementara kata tetanggaku, dunia sekarang ini tak punya batas. Sangat kecil. Apa tidak. Kejadian di luar negeri dapat kita baca dan saksikan pada lintasan berita yang disiarkan lewat media elektronik dan mediamassa cetak.
“Oh!…, berbahagialah kamu yang memilikinya!”
Aku cuma seorang buruh kasar. Membiayai hidup dan sekolah anakku saja tak cukup. Apalagi alat semahal itu. Gajiku pas-pasan. Itu kalau kerja sebulan penuh. Seandainya tidak, maka terpaksa aku harus pinjam lagi. Kais pagi makan pagi, itulah siklus hidup aku.
            Tapi, yang penting Searle harus sekolah. Aku tak mau dia mengalami nasib hidup yang serupa dengan aku. Apalagi hidup pada masa yang akan datang. Era globalisasi yang semakin kompetitif. Era semakin di depan. Era perdagangan bebas.
Wah…, pasti dahsyat. Luar biasa. Setiap orang harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Ketika itu alat-alat canggih akan menguasai dan memperlancar kerja manusia. Akan terjadi kompetisi hebat dalam mencari pekerjaan.
            Seperti biasanya setiap kali pulang kerja, aku harus mencicipi segelas kopi tumbuk sambil menikmati tarikan kretek ban merah. Tapi, ada apa dengan hari ini? Rupanya aku sedang sial.
“Adu… nasib”.
“Mengapa terjadi seperti ini? Benci. Aku benci.“
“Kepada siapa aku harus mengadu?”
“Kenapa murung Pak?”
Tanya Searle anakku yang baru saja pulang bermain. Ia siswa sekolah dasar kelas enam yang ditinggal pergi ibunya saat usianya baru menanjak lima bulan.
Tidak Le…!
Bapak cuma. Ah…ah….! Cuma memandang tarian burung senja yang sedang membawa makanan kembali ke sarangnya itu, jawabku datar untuk sekedar mengalihkan perhatian anak kecil ini. Dia menyambar secepat kilat. Kelihatannya…, ada semacam seberkas masalah yang sedang Bapak pecahkan. Tidak kok Nak. Bapak tidak punya masalah apa-apa.
“Aku menampar keningku agak keras.”
“Mengagetkan.”
“Panas.”
Dalam nada tanya aku berpikir apakah aku telah berdosa? Sampai menipu Le anakku? Rupanya bocah kecil itu sedang mencoba memahami diriku. Melebur bersamaku dalam pergulatan yang hampir tak berujung ini. Lagi-lagi aku kesal.
“Ah…!”
            Batin ini terus bergejolak. Brengsek. Pengecut. Pembohong. Untung kemarin itu ada Si Dul. Kalau tidak ia akan merasakan tumbukan tangan kidalku ini. Mandor bodok. Seandainya dia ada di sini akan kupenggal batang lehernya dan kulahap habis darahnya. Akan kubawa keliling kampung kepala busuknya itu supaya orang tahu bahwa dialah penipu, pembohong. Namun, tugasku belum selesai. Masih ada kesempatan buatku. Batinku terus saja bergolak bak sebuah palung episentrum gempa dashyat. Emosiku tidak terkendali hingga kursi tua peninggalan istri tercinta menjadi sasaran. Gerham. Kugigit gigiku sendiri dan kutarik napasku panjang.
            Belum juga pulih emosiku, lagi-lagi aku menerima kwitansi tagihan uang sekolah dari sekolah Searle. Kusingkap kwitansi itu. Mataku langsung diarahkan pada kolom jumlah tagihan. Angkanya lumayan tapi mencekik leher. Apa salah sekolah? Atau salahku? Tanyaku diam. Lalu aku menemukan jawaban. Inilah keteledoranku membayar uang sekolah. Menumpuk dan terus menumpuk. Akhirnya menjadi bukit. Seandainya tidak dilunasi, maka Searle anakku semata wayang penerus masa depanku tidak diikutsertakan mengikuti ujian akhir semester. Begitulah nota bene surat yang ditandatangani kepala sekolah Searle. Tuntutan yang begitu ketat. Aku bertanya harap, di manakah aku dapat memperoleh uang sebanyak tujuh puluh dua ribu rupiah itu? Sementara aku masih benci pada mandor keparat, gara-gara gajiku tidak dibayar lunas, tegal aku dituduh menjual bahan bangunan proyek pusat pertemuan di kampung ini yang hingga kini menuai masalah dan terus terbengkelai.
“Tidak…!”
“Ini fitnah...!
            Tinggal seminggu lagi ujian semester genap akan dimulai. Aku mencari jawab. Satu-satunya harapanku, Searle, harus mengikti ujian. Dialah penerus cita-citaku yang dulunya berkecai berantakan lantaran biaya. Aku akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Lagipun orang tuaku, cuma petani kopra tradisional sudah nrimo dan angkat tangan untuk tidak membiayai sekolahku lagi. Biaya yang memang terbilang mahal bagi seorang petani kopra di kampung. Tapi tekadku, untuk seorang Searle aku harus berusaha. Sebuah siklus yang rumit, bergulung-gulung tengah menghadangku. Bagiku inilah tragedi hidup yang harus diarifi.
“Le…, termasuk anak yang pintar di kelas ini.”
“Jangan putus asa ya Nak! “ Pesan singkat tadi membangunkan lamunan panjangku. Pesan ibu guru wali kelas ketika aku dan Searle menerima buku raport Searle semester lalu. Aku harus beranjak pergi. Keluar dari kemelut beringas ini.
Ya…, pergi!
Dengan alasan membayar uang sekolah, aku berniat meminjam pada jiranku. Kendati pinjamanku tiga bulan lalu belum aku lunasi. Tak banyak basa-basi aku langsung dilayani kontan sebanyak yang aku butuh. Dengan perjanjian tiga bulan dari sekarang aku harus melunasinya. Jiranku memang sangat memahami segala masalah yang aku hadapi. Tentang urusan sekolah dia sangat respek. Dia pula yang memberi banyak motivasi kepada Searle anakku dalam belajar.
“Kenapa kepada dia?”
Diiiiiiiiaaa?
Seakan ku tak percaya. Pikiranku kembali menerawang.
Jauh…!
Jauh sekali dan mendarat pada memori tentang sesosok pemuda pincang yang dulu pernah bersua di tikungan Jalan Tite Herun. Bukankah dia tetanggaku sekarang ini? Benar. Kucoba untuk lebih tenang lagi. Betul. Dialah Gafeor, sosok tegar dan petualang ulet dalam belajar. Dialah teman kuliah Bapak dulu di universitas itu, tukas aku kepada Searle anakku yang saat itu duduk di sebelahku. Keuletan jua itulah yang mendamparkan dia menduduki posisi penting di sekolah dasar kampung kita ini, lanjutkku. Tak heran, karena dia dulupun pernah makan asam garam hal yang satu ini. Dia juga nyaris drop out di universitas karena alasan biaya. Dia berhasil meraih gelar sarjana dengan nilai memuaskan, sedangkan aku mendapat gelar: drs, alias di rumah saja.
            Legah sudah hati ini. Hati yang dililiti sejuta sesal, selusin soal. Terbersit harapan baru. Aku akan segera melunasi uang sekolah Searle agar dia dapat mengikuti ujian. Aku akan pergi membayarkannya sendiri. Akan kusampaikan tentang keterlambatan pelunasan uang sekolah ini.
“Aku jadi bingung lagi.”
Kaleng tempat menyimpan raskin ternyata sudah kosong. Kopi kesukaanku juga telah lama tidak kuteguk lagi. Aku memang bernasib malang. Dan, harga sembakopun terus melonjak. Bagi masyarakat kecil seperti aku memang tak sanggup. Apalagi, berita di koran tentang akan ada kenaikan tarif dasar listrik. Para ekonom berteriak bahwa ke depan ini ekonomi kita fluktuatif. Goyah. Terombang-ambing. Tak pasti.
Aduh…, uang sekolah, sembako, dan tarif dasar listrik. Trio keluhan yang senantiasa membingkai diri ini. Disertai gejolak demonstrasi warga memprotes kepala desa untuk turun dari jabatannya tiga hari belakangan ini menjadikan hidup ini semakin garang.
“Kejam…!”
“Dan, bagaimana dengan aku?”
“Malang”
Hidup ini adalah perjuangan, begitulah Si jenius Chairil Anwar dalam sebuah sajaknya yang diajarkan ibu guruku dulu ketika masih duduk di bangku SMP.
“Berjuanglah…!”

Ende, Tengah Desember 2012

Tite Herun (Bahasa Lamaholot)          : Kita bertemu



[1] Cerpen “Malang” pernah dimuat di Harian Umum Pos Kupang, 23 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar