Kabut
tebal masih menggelayuti Jalan
Tite Herun di kota tua ini. Panorama keilmuan
kota pelajar ini pun belum tampak menggeliat. Embun pagi masih tampak
menggelantung pada dedahanan taman-taman kota.
Kuncup mekar pagi menorehkan senyum perangai wangi warga bunga pada
petakan setiap taman untuk menyapa warga kota yang melewati lorong-lorong
waktu. Pandangan
coba kuarahkan jauh ke depan. Mendapati seorang sosok tegar mengayuh pelan
tongkat menghampiri kampus universitas tua di kota itu. Agak terbata-bata aku
coba memberanikan diri untuk mendekati dia. Di tikungan lorong pada Jalan Tite Herun, kami bersua
membuka percakapan panjang lebar tentang kekokohan juga ketegarannya
membentengi dirinya dengan ilmu.
Begitulah
sapaanku pada jumpah pertama dengan
lelaki itu. Dia mengangguk, menyambutnya dengan gembira, sambil mengangkat
tongkatnya menghampiri anak tangga kedua depan kampus tua itu. Gafeor,
begitulah nama sapaannya. Laki-laki
berumur 38
tahun ini tampak kokoh dan tegar. Guratan wajahnya membersitkan sebuah
kepastian bahwa pendidikan harus dialami dan diraih secara baik. Tentunya untuk
kemaslahatan masa depan.
***
Malam
merangkak pelan dan fajar pagi pun siap menjemput. Musim pun kian suntuk, saban
bergantian. Siklus hidupku tak menentu lagi. Rasanya aku telah bosan hidup. Aku
ingin pergi. Entah ke mana. Biar, agar aku dapat dijuluki orang sekitar sebagai
pengembara. Aku sadar bahwa hidup ini tak berarti lagi apabila aku hanya
terkurung di gubuk ini. Pengalaman pun hanya sekitar kampung, bak katak di
bawah tempurung. Tak tahu apa-apa. Sementara kata tetanggaku, dunia sekarang
ini tak punya batas. Sangat kecil. Apa tidak. Kejadian di luar negeri dapat
kita baca dan saksikan pada lintasan berita yang disiarkan lewat media
elektronik dan mediamassa cetak.
“Oh!…,
berbahagialah kamu yang memilikinya!”
Aku cuma seorang
buruh kasar. Membiayai hidup dan sekolah anakku saja tak cukup. Apalagi alat
semahal itu. Gajiku pas-pasan. Itu kalau kerja sebulan penuh. Seandainya tidak,
maka terpaksa aku harus pinjam lagi. Kais pagi makan pagi, itulah siklus hidup
aku.
Tapi, yang penting Searle harus
sekolah. Aku tak mau dia mengalami nasib hidup yang serupa dengan aku. Apalagi
hidup pada masa yang akan datang. Era
globalisasi yang semakin
kompetitif. Era
semakin di depan. Era perdagangan bebas.
Wah…,
pasti dahsyat. Luar biasa. Setiap orang harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai. Ketika itu alat-alat canggih akan menguasai dan
memperlancar kerja manusia. Akan terjadi kompetisi hebat dalam mencari
pekerjaan.
Seperti biasanya setiap kali pulang
kerja, aku harus mencicipi segelas kopi tumbuk sambil menikmati tarikan kretek
ban merah. Tapi, ada apa dengan hari ini? Rupanya aku sedang sial.
“Adu…
nasib”.
“Mengapa
terjadi seperti ini? Benci. Aku benci.“
“Kepada
siapa aku harus mengadu?”
“Kenapa
murung Pak?”
Tanya
Searle anakku yang baru saja pulang bermain. Ia siswa sekolah dasar kelas enam
yang ditinggal pergi ibunya saat usianya baru menanjak lima bulan.
Tidak
Le…!
Bapak cuma. Ah…ah….! Cuma memandang tarian burung senja
yang sedang membawa makanan kembali ke sarangnya itu, jawabku datar untuk
sekedar mengalihkan perhatian anak kecil ini. Dia menyambar secepat kilat.
Kelihatannya…, ada semacam seberkas masalah yang sedang Bapak pecahkan. Tidak
kok Nak. Bapak tidak punya masalah apa-apa.
“Aku
menampar keningku agak keras.”
“Mengagetkan.”
“Panas.”
Dalam nada tanya aku berpikir apakah aku telah
berdosa? Sampai menipu Le anakku? Rupanya bocah kecil itu sedang mencoba
memahami diriku. Melebur bersamaku dalam pergulatan yang hampir tak berujung
ini. Lagi-lagi aku kesal.
“Ah…!”
Batin ini terus bergejolak.
Brengsek. Pengecut. Pembohong. Untung kemarin itu ada Si Dul. Kalau tidak ia
akan merasakan tumbukan tangan kidalku ini. Mandor bodok. Seandainya dia ada di
sini akan kupenggal batang lehernya dan kulahap habis darahnya. Akan kubawa
keliling kampung kepala busuknya itu supaya orang tahu bahwa dialah penipu,
pembohong. Namun, tugasku belum selesai. Masih ada kesempatan buatku. Batinku
terus saja bergolak bak sebuah palung episentrum gempa dashyat. Emosiku tidak
terkendali hingga kursi tua peninggalan istri tercinta menjadi sasaran. Gerham.
Kugigit gigiku sendiri dan kutarik napasku panjang.
Belum juga pulih emosiku, lagi-lagi
aku menerima kwitansi tagihan uang sekolah dari sekolah Searle. Kusingkap
kwitansi itu. Mataku langsung diarahkan pada kolom jumlah tagihan. Angkanya
lumayan tapi mencekik leher. Apa salah sekolah? Atau salahku? Tanyaku diam.
Lalu aku menemukan jawaban. Inilah keteledoranku membayar uang sekolah.
Menumpuk dan terus menumpuk. Akhirnya menjadi bukit. Seandainya tidak dilunasi,
maka Searle anakku semata wayang penerus masa depanku tidak diikutsertakan
mengikuti ujian akhir semester.
Begitulah
nota bene surat yang ditandatangani kepala sekolah Searle. Tuntutan yang begitu ketat. Aku bertanya harap,
di manakah aku dapat memperoleh uang sebanyak tujuh puluh dua ribu rupiah itu?
Sementara aku masih benci pada mandor keparat, gara-gara gajiku tidak dibayar
lunas, tegal aku dituduh menjual bahan bangunan proyek pusat pertemuan di
kampung ini yang hingga kini menuai
masalah dan terus terbengkelai.
“Tidak…!”
“Ini
fitnah...!”
Tinggal seminggu lagi ujian semester
genap akan dimulai. Aku mencari jawab. Satu-satunya harapanku, Searle, harus
mengikti ujian. Dialah penerus cita-citaku yang dulunya berkecai berantakan lantaran biaya. Aku akhirnya
memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Lagipun orang tuaku, cuma petani
kopra tradisional sudah nrimo dan
angkat tangan untuk tidak membiayai sekolahku lagi. Biaya yang memang terbilang
mahal bagi seorang petani kopra di kampung. Tapi tekadku, untuk seorang Searle
aku harus berusaha. Sebuah siklus yang rumit, bergulung-gulung tengah
menghadangku. Bagiku inilah tragedi hidup yang harus diarifi.
“Le…,
termasuk anak yang pintar di kelas ini.”
“Jangan
putus asa ya Nak! “ Pesan singkat tadi membangunkan lamunan panjangku. Pesan
ibu guru wali kelas ketika aku dan Searle menerima buku raport Searle semester
lalu. Aku harus beranjak pergi. Keluar dari kemelut beringas ini.
Ya…,
pergi!
Dengan
alasan membayar uang sekolah, aku berniat meminjam pada jiranku. Kendati
pinjamanku tiga bulan lalu belum aku lunasi. Tak banyak basa-basi aku langsung
dilayani kontan sebanyak yang aku butuh. Dengan perjanjian tiga bulan dari
sekarang aku harus melunasinya. Jiranku memang sangat memahami segala masalah
yang aku hadapi. Tentang urusan sekolah dia sangat respek. Dia pula yang
memberi banyak motivasi kepada Searle anakku dalam belajar.
“Kenapa
kepada dia?”
Diiiiiiiiaaa?
Seakan
ku tak percaya. Pikiranku kembali menerawang.
Jauh…!
Jauh
sekali dan mendarat pada memori tentang sesosok pemuda pincang yang dulu pernah
bersua di tikungan Jalan Tite
Herun. Bukankah dia tetanggaku sekarang ini? Benar.
Kucoba untuk lebih tenang lagi. Betul. Dialah Gafeor, sosok tegar dan
petualang ulet dalam belajar. Dialah teman kuliah Bapak dulu di universitas
itu, tukas aku kepada Searle anakku yang saat itu duduk di sebelahku. Keuletan
jua itulah yang mendamparkan dia menduduki posisi penting di sekolah dasar kampung kita ini, lanjutkku. Tak heran,
karena dia dulupun pernah makan asam garam hal yang satu ini. Dia juga nyaris drop out di universitas karena alasan
biaya. Dia berhasil meraih gelar sarjana dengan nilai memuaskan, sedangkan aku
mendapat gelar: drs, alias di rumah saja.
Legah sudah hati ini. Hati yang
dililiti sejuta sesal, selusin soal. Terbersit harapan baru. Aku akan segera
melunasi uang sekolah Searle agar dia dapat mengikuti ujian. Aku akan pergi
membayarkannya sendiri. Akan kusampaikan tentang keterlambatan pelunasan uang
sekolah ini.
“Aku
jadi bingung lagi.”
Kaleng
tempat menyimpan raskin ternyata sudah kosong. Kopi kesukaanku juga telah lama
tidak kuteguk lagi. Aku memang bernasib malang. Dan, harga sembakopun terus
melonjak. Bagi masyarakat kecil seperti aku memang tak sanggup. Apalagi, berita
di koran tentang akan ada kenaikan tarif dasar listrik. Para ekonom berteriak
bahwa ke depan ini ekonomi kita fluktuatif. Goyah. Terombang-ambing. Tak pasti.
Aduh…,
uang sekolah, sembako, dan tarif dasar listrik. Trio keluhan yang senantiasa
membingkai diri ini. Disertai gejolak demonstrasi warga memprotes kepala desa
untuk turun dari jabatannya tiga hari belakangan ini menjadikan hidup ini
semakin garang.
“Kejam…!”
“Dan, bagaimana dengan aku?”
“Malang”
Hidup ini adalah perjuangan, begitulah Si jenius Chairil
Anwar dalam sebuah sajaknya yang diajarkan ibu guruku dulu ketika masih duduk
di bangku SMP.
“Berjuanglah…!”
Ende, Tengah Desember 2012
Tite Herun
(Bahasa Lamaholot) : Kita bertemu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar