Pengantar
Sama
dengan pemikiran-pemikiran besar lainnya, feminisme merupakan sebuah fenomena
kultural yang harus diperhitungkan, sekaligus dapat terus dipertanyakan secara
kritis dasar-dasar argumentasinya. Alasan kemunculannya, terutama bila dilihat
dari perspektif modern, ialah berdasarkan ketidakpuasan terhadap realitas yang
dianggap sebagai konstruksi patriarkal.
Dunia sastra telah menjadi salah satu media bagi perempuan untuk menggugat ketidakadilan sekaligusmemperjuangkan kesetaraan. Baik puisi, essay, cerpen ataupun novel-novel yang ditulis oleh para penulisperempuan telah berani membongkar hal-hal yang tadinya dianggap “tabu” diungkap. Karya-karya mereka pada zamannya, selain mempengaruhi dunia sastra secara umum juga menandai perkembangan pemikiran masyarakat tentang kesetaraan dan relasi laki-laki dan perempuan sebagai manusia.
Begitu
banyak pengarang perempuan bermunculan dalam beberapa tahun terakhir, dan
banyak dari mereka mendapatkan sambutan luar biasa baik dari penjualan, respon
media dan penghargaan sastra (Bandel: 2006). Di Indonesia sebenarnya sastra
yang mengungkap bentuk-bentuk ketidak adilan terhadap perempuan sejak zaman
pujangga baru hingga kini tetap berkembang baik yang ditulis oleh laki-laki
atau perempuan sendiri.
Kesadaran
kelas jelas merupakan lawan dari kesadaran semu, suatu keadaan pikiran yang
menghambat penciptaan dan kelangsungan kesatuan suatu kelas sejati. Kesadaran
kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi untuk percaya bahwa mereka
bebas untuk bertindak dan berbicara sama seperti orang-orang yang
mengeksploitasinya (Tong: 2005:144).
Ratna
Megawangi dalam bukunya 'Membiarkan berbeda' menyebutkan , bahwasanya ada dua
argumentasi yang saling bertentangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan
feminin pada laki-laki dan perempuan. Argumentasi pertama mempercayai bahwa
perbedaan sifat maskulin dan feminin berhubungan dengan perbedaan biologis
(sex) pria dan wanita. Perbedaan biologis pria dan wanita adalah alami karenanya
sifat stereotip gender sulit untuk diubah, argumen ini sering disebut sebagai
mazhab esensial biologis.
Kehidupan perempuan ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan
adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah
keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi yang lain,
ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat
untuk mengeksploitasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang beranggapan bahwa
perempuan itu hina, manusia kelas dua yang walaupun cantik, tidak diakui
eksistensinya sebagai manusia sewajarnya. Tragisnya, diantara para filosof pun
ada yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan Tuhan hanya untuk menyertai
laki-laki. Aristoteles (Selden, 1991:135) mengatakan bahwa perempuan adalah
jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap
kualitas-kualitas tertentu, sedangkan St. Thomas Aquinas (Selden, 1991:135)
mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna.
Jadi, kawin paksa dan kekerasan
terhadap kaum perempuan dalam novel-novel merupakan petunjuk adanya anggapan
yang negatif terhadap perempuan, atau paling tidak karena pendefinisian
perempuan dengan menggunakan standar laki-laki atau kualitas yang dimiliki
laki-laki. Hal ini berhubungan dengan konsep gender. Namun, karena adanya
anggapan yang salah kaprah, gender sering dianggap sebagai kodrat Tuhan yang
tidak dapat berubah. Namun gender sebenarnya mengacu kepada perilaku dan sikap
yang secara budaya diterima sebagai cara menjadi seorang perempuan dan cara
menjadi seorang laki-laki. Cara tersebut merupakan hal yang dipelajari dan
berkembang sewaktu kita bertumbuh, serta dipengaruhi oleh aturan sosial dan
budaya dalam masyarakat (Sugihastuti &Saptiawan, 2011:43).
Perbincangan dan perjungan
hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu kesadaran, pergaulan, dan arus
informasi yang membuat perempuan semakin kritis dengan apa yang menimpa
kaumnya. Ketertinggalan itu tidak dikehendaki oleh perempuan, tetapi di sisi
yang lain masih banyak diantara kaum perempuan sendiri yang tidak merasa
dirinya tertinggal. Perjuangan hak-hak perempuan dipengaruhi oleh pahan
feminisme, dimana paham ini menuntut kesataraan gender antara laki-laki dan
perempuan.
Feminisme memperjuangkan dua hal yang selama ini
tidak dimiliki kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan derajat dengan
laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya. Dalam banyak hal, perempuan itu
tersubordinasi. Kedudukannya di dalam masyarakat lebih rendah daripada laki-laki.
Mereka dianggap sebagai the second sex, warga kelas dua. Dalam
pengambilan keputusan di banyak bidang, yang mendapatkan perhatian hanyalah
masyarakat laki-laki. Perempuan dipaksa tunduk mengikuti mereka (Sugihastuti,
2010:4).
Feminisme tidak membenci
laki-laki, tetapi yang dibenci adalah perlakuan laki-laki yang menganggap
wanita sebagai obyek. Jadi, dalam gerakan feminisme yang terpenting adalah
bagaimana wanita tidak dinomor duakan, wanita harus sejajar dengan laki-laki
meskipun secara biologis tetaplah berbeda. Inti tujuan dari feminisme adalah
meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan serta derajat laki-laki. (Djajanegara, 2003:4).
Melalui studi dominasi
tersebut, peneliti dapat memfokuskan kajian pada (1) kedudukan dan peran tokoh
perempuan dalam sastra; (2) ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek
kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan; (3) memperhatikan
faktor pembaca sastra, khususnya sebagaimana tanggapan pembaca terhadap
emansipasi wanita dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap ketiga fokus
tersebut, setidaknya akan terbaca pula tujuan penelitian feminis sastra yang
dikemukakan Kuiper (Sugihastuti dan Sugiharto, 2002:68), yaitu: (a) untuk
mengkritik kanon sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang
didasarkan pada patriarkal; (b) untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan
yang dibuat perempuan; (c) untuk mengokohkan kanon perempuan; (d) untuk
mengekplorasi konstruksi kultural dari gender dan identitas (Endraswara,
2006:146).
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai
fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai
dasar untuk membangun
serangkaian identitas dan
perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki
di satu sisi dan melemahkan perempuan di
sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi
budaya adalah “alamiah”
dan karena itu
“normalitas” seseorang
tergantung pada kemampuannya
untuk menunjukkan identitas
dan perilaku gender. Perilaku ini
secara kultural dihubungkan
dengan jenis kelamin
biologis seseorang.
Masyarakat patriarkal menggunakan
peran gender yang
kaku untuk memastikan perempuan tetap
pasif (penuh kasih
sayang, penurut, tanggap
terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah) dan
laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius,
penuh rencana, bertanggung
jawab, orisinil, kompetitif)
(Tong, 1998 : 72-73).
Sementara menurut Millet,
ideologi patriarkal dalam
akademi, insitusi keagamaan, dan
keluarga membenarkan dan
menegaskan subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan
untuk menginternalisasi. Diri terhadap laki-laki.
Filsuf Horatius
mengungkapkan bahwa sebuah
karya sastra haruslah
dulce, utile, prodesse et
delectare (indah, berguna,
manfaat, dan nikmat).
Oleh karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau
keindahan. Selain pada isinya, lokus keindahan sastra terletak pada bahasa. Dalam sebuah karya
sastra, bahasa yang dipakai terasa
berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena telah disusun, dikombinasikan,
mengalami deotomisasi dan defamiliarisasi; karena
adanya kata-kata yang
aneh, berbeda, atau asing
(ostranenie); juga karena
adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan mempermainkan” bahasa
(licentia poetica). Bahasa
dalam sastra dikenal penuh dengan ambiguitas
dan homonim, serta
kategori-kategori yang tidak beraturan dan irrasional. Bahasa sastra
juga penuh dengan
asosiasi, mengacu pada ungkapan atau
karya yang diciptakan
sebelumnya. Dalam bahasa
sastra sangat dipentingkan tanda, simbolisme,
dan suara dari
kata-kata. Bahasa sastra
bersifat konotatif dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif
untuk menunjukkan nada dan sikap pembicara atau
penulisnya. Bahasa sastra
berusaha mempengaruhi, membujuk,
dan pada akhirnya mengubah sikap
pembaca (Welleck & Warren, 1990 : 15). (*)
DAFTAR
PUSTAKA
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran
Feminis, terj. Aquarini
Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta :
Jalasutra, 1998.
Welleck, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia, 1990.
Sastra,Sastra Feminis, dan Studi Kultural. Witakania.
Bandel, Katrin.
2006.
Sastra, Perempuan, dan Sex. Yogyakarta: Jalasutra.
Megawangi, Ratna.1999. Membiarkan
Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender,
Bandung: Mizan.
Tong, Rosemarie.
2005, Feminist Tought. Yogyakarta: Jalasutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar