Halaman

Jumat, 12 Januari 2018

Perempuan Sastra





Pengantar
Sama dengan pemikiran-pemikiran besar lainnya, feminisme merupakan sebuah fenomena kultural yang harus diperhitungkan, sekaligus dapat terus dipertanyakan secara kritis dasar-dasar argumentasinya. Alasan kemunculannya, terutama bila dilihat dari perspektif modern, ialah berdasarkan ketidakpuasan terhadap realitas yang dianggap sebagai konstruksi patriarkal.

Dunia sastra telah menjadi salah satu media bagi perempuan untuk menggugat ketidakadilan sekaligusmemperjuangkan kesetaraan. Baik puisi, essay, cerpen ataupun novel-novel yang ditulis oleh para penulisperempuan telah berani membongkar hal-hal yang tadinya dianggap “tabu” diungkap. Karya-karya mereka pada zamannya, selain mempengaruhi dunia sastra secara umum juga menandai perkembangan pemikiran masyarakat tentang kesetaraan dan relasi laki-laki dan perempuan sebagai manusia.
Begitu banyak pengarang perempuan bermunculan dalam beberapa tahun terakhir, dan banyak dari mereka mendapatkan sambutan luar biasa baik dari penjualan, respon media dan penghargaan sastra (Bandel: 2006). Di Indonesia sebenarnya sastra yang mengungkap bentuk-bentuk ketidak adilan terhadap perempuan sejak zaman pujangga baru hingga kini tetap berkembang baik yang ditulis oleh laki-laki atau perempuan sendiri.
Kesadaran kelas jelas merupakan lawan dari kesadaran semu, suatu keadaan pikiran yang menghambat penciptaan dan kelangsungan kesatuan suatu kelas sejati. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama seperti orang-orang yang mengeksploitasinya (Tong: 2005:144).
Ratna Megawangi dalam bukunya 'Membiarkan berbeda' menyebutkan , bahwasanya ada dua argumentasi yang saling bertentangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan feminin pada laki-laki dan perempuan. Argumentasi pertama mempercayai bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminin berhubungan dengan perbedaan biologis (sex) pria dan wanita. Perbedaan biologis pria dan wanita adalah alami karenanya sifat stereotip gender sulit untuk diubah, argumen ini sering disebut sebagai mazhab esensial biologis.
Kehidupan perempuan ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi yang lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksploitasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang beranggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua yang walaupun cantik, tidak diakui eksistensinya sebagai manusia sewajarnya. Tragisnya, diantara para filosof pun ada yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan Tuhan hanya untuk menyertai laki-laki. Aristoteles (Selden, 1991:135) mengatakan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu, sedangkan St. Thomas Aquinas (Selden, 1991:135) mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna. 
          Jadi, kawin paksa dan kekerasan terhadap kaum perempuan dalam novel-novel merupakan petunjuk adanya anggapan yang negatif terhadap perempuan, atau paling tidak karena pendefinisian perempuan dengan menggunakan standar laki-laki atau kualitas yang dimiliki laki-laki. Hal ini berhubungan dengan konsep gender. Namun, karena adanya anggapan yang salah kaprah, gender sering dianggap sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat berubah. Namun gender sebenarnya mengacu kepada perilaku dan sikap yang secara budaya diterima sebagai cara menjadi seorang perempuan dan cara menjadi seorang laki-laki. Cara tersebut merupakan hal yang dipelajari dan berkembang sewaktu kita bertumbuh, serta dipengaruhi oleh aturan sosial dan budaya dalam masyarakat (Sugihastuti &Saptiawan, 2011:43).
            Perbincangan dan perjungan hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu kesadaran, pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan semakin kritis dengan apa yang menimpa kaumnya. Ketertinggalan itu tidak dikehendaki oleh perempuan, tetapi di sisi yang lain masih banyak diantara kaum perempuan sendiri yang tidak merasa dirinya tertinggal. Perjuangan hak-hak perempuan dipengaruhi oleh pahan feminisme, dimana paham ini menuntut kesataraan gender antara laki-laki dan perempuan.
            Feminisme memperjuangkan dua hal yang selama ini tidak dimiliki kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan derajat dengan laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang baik  bagi dirinya. Dalam banyak hal, perempuan itu tersubordinasi. Kedudukannya di dalam masyarakat lebih rendah daripada laki-laki. Mereka dianggap sebagai the second sex, warga kelas dua. Dalam pengambilan keputusan di banyak bidang, yang mendapatkan perhatian hanyalah masyarakat laki-laki. Perempuan dipaksa tunduk mengikuti mereka (Sugihastuti, 2010:4).
            Feminisme tidak membenci laki-laki, tetapi yang dibenci adalah perlakuan laki-laki yang menganggap wanita sebagai obyek. Jadi, dalam gerakan feminisme yang terpenting adalah bagaimana wanita tidak dinomor duakan, wanita harus sejajar dengan laki-laki meskipun secara biologis tetaplah berbeda. Inti tujuan dari feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. (Djajanegara, 2003:4).
           Melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat memfokuskan kajian pada (1) kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra; (2) ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan; (3) memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya sebagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap ketiga fokus tersebut, setidaknya akan terbaca pula tujuan penelitian feminis sastra yang dikemukakan Kuiper (Sugihastuti dan Sugiharto, 2002:68), yaitu: (a) untuk mengkritik kanon sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriarkal; (b) untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan; (c) untuk mengokohkan kanon perempuan; (d) untuk mengekplorasi konstruksi kultural dari gender dan identitas (Endraswara, 2006:146).
        Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan  laki-laki  sebagai  dasar  untuk  membangun  serangkaian  identitas  dan  perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan  melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa  konstruksi  budaya  adalah  “alamiah”  dan  karena  itu  “normalitas”  seseorang tergantung  pada  kemampuannya  untuk  menunjukkan  identitas  dan  perilaku  gender. Perilaku  ini  secara  kultural  dihubungkan  dengan  jenis  kelamin  biologis  seseorang. Masyarakat  patriarkal  menggunakan  peran  gender  yang  kaku  untuk  memastikan perempuan  tetap  pasif  (penuh  kasih  sayang,  penurut,  tanggap  terhadap  simpati  dan persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu,  ambisius,  penuh  rencana,  bertanggung  jawab,  orisinil,  kompetitif)  (Tong,  1998  : 72-73).  Sementara  menurut  Millet,  ideologi  patriarkal  dalam  akademi,  insitusi keagamaan,  dan  keluarga  membenarkan  dan  menegaskan  subordinasi  perempuan terhadap  laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi. Diri terhadap laki-laki.
Filsuf  Horatius  mengungkapkan  bahwa  sebuah  karya  sastra  haruslah  dulce, utile,  prodesse  et  delectare  (indah,  berguna,  manfaat,  dan  nikmat).  Oleh  karena  itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain pada  isinya,  lokus keindahan sastra  terletak pada bahasa. Dalam sebuah karya sastra, bahasa yang dipakai  terasa berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena telah disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi  dan  defamiliarisasi;  karena  adanya  kata-kata  yang  aneh,  berbeda,  atau asing  (ostranenie);  juga karena adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan  mempermainkan”  bahasa  (licentia  poetica).  Bahasa  dalam  sastra  dikenal penuh dengan  ambiguitas  dan  homonim,  serta  kategori-kategori  yang  tidak beraturan dan  irrasional. Bahasa  sastra  juga  penuh  dengan  asosiasi, mengacu  pada  ungkapan atau  karya  yang  diciptakan  sebelumnya.  Dalam  bahasa  sastra  sangat  dipentingkan tanda,  simbolisme,  dan  suara  dari  kata-kata.  Bahasa  sastra  bersifat  konotatif  dan refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk menunjukkan nada dan sikap pembicara atau  penulisnya.  Bahasa  sastra  berusaha  mempengaruhi,  membujuk,  dan  pada akhirnya mengubah sikap pembaca (Welleck & Warren, 1990 : 15). (*)


DAFTAR PUSTAKA

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif kepada Aliran  Utama  Pemikiran  Feminis,  terj.  Aquarini  Priyatna  Prabasmoro. Yogyakarta : Jalasutra, 1998.
Welleck, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Jakarta:  Gramedia, 1990.
Sastra,Sastra Feminis, dan Studi Kultural. Witakania.
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, dan Sex. Yogyakarta: Jalasutra.
Megawangi, Ratna.1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan.
Tong, Rosemarie. 2005, Feminist Tought. Yogyakarta: Jalasutra.



[1] Disampaikan pada Kegiatan Diskusi Sastra dengan tema “Perempuan dan Kepenulisan” yang kerja sama Program Studi PBSI dengan Harian Umum Flores Pos, Sabtu, 21 Desember 2013, di Gedung PBSI Universitas Flores Ende
[2] Ketua Program Studi dan dosen PBSI Universitas Flores,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar