Persentase ketidaklulusan
UN SMA/SMK/MA di NTT masih menempati peringkat terakhir dari 33 propinsi di
Indonesia, dengan jumlah siswa yang tidak lulus UN sebanyak 1.994 siswa (5,5%)
dari total peserta UN 36.228 siswa. Peringkat pertama diraih oleh Propinsi Jawa
Timur dengan siswa yang tidak lulus UN sebanyak 156 orang (0,07%) dari total
peserta 210.586 siswa. (Pos Kupang, 25 Mei 2012). Menurut Mendiknas,
Muhamad Nuh, pemerintah pusat telah melakukan intervensi pendidikan demi
perbaikan kualitas pendidikan dengan sudah mengucurkan dana sekitar 200–300
miliar untuk perbaikan sarana dan prasarana. Namun, menurut Mendiknas,
kegagalan dalam persentase ketidaklulusan yang cukup tinggi karena disebabkan
oleh empat faktor, yakni: (1) terkait dengan motivasi belajar dengan budaya
belajarnya; (2) terkait dengan kualitas guru; (3) terkait dengan infrastruktur
kelengkapan laboratorium dan sebagainya; dan (4) terkait dukungan keluarga,
budaya yang ada di sekitarnya (Ibid, Halaman 6).
Berkenaan dengan empat faktor penyebab ketidaklulusan di
atas, saya lebih menyoroti dua faktor, pertama, terkait dengan motivasi
belajar dengan budaya belajarnya, dan kedua, terkait dukungan keluarga,
budaya yang ada di sekitarnya. Dua faktor ini menempatkan keluarga, masyarakat,
dan lingkungan budaya anak sebagai kontributor terbesar keberhasilan
anak/siswa. Sedangkan dua faktor yang lain lebih merupakan tanggung jawab
pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Terkait Dengan Motivasi Belajar Dengan Budaya Belajarnya
Motivasi intrinsik, dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik:
kemauan anak, kesadaran, kehendak, niat, ikhtiar untuk mencapai sesuatu
keberhasilan. Oleh karena itu, anak akan tahu dan mau memanfaatkan segala
sesuatu yang ada di sekitarnya untuk mencapai keberhasilan itu.
Motivasi ekstrinsik, misalnya, kalo di NTT, Pemerintah telah mencanangkan Gong Belajar
dalam rangka mempersiapkan siswa-siswa menghadapi UN. Tetapi, dari sisi
pendidikan (teori behaviorisme) mesti memiliki reward dan punishment.
Terkait Dukungan Keluarga, Budaya Yang Ada Di Sekitarnya
Dalam
konteks pendidikan, kita mengenal beberapa komponen penting yang terlibat
langsung proses tersebut. Ada keluarga (orang tua), sekolah (guru) dari
masyarakat. Orang tua mendidik
karena secara kodrati mereka harus mendidik. Baik buruknya anak di sekolah
sebagian besar mer pakan tanggunjawab orang tua dan secara tidak langsung keluarga
telah terlibat aktif dalam pembentukan nilai, sikap,kebiasaan dari keterampilan
untuk menunjang keberhasilan sekolah. Dengan demikian asumsi bahwa tugas orang tua selesai ketika
anaknya telah diantar ke sèkolah adalah suatu kekeliruan dari sudah saatnya
ditinggalkan. Sementara, sekolah merupakan penyedia sarana dari fasilitas
formal pengembangan pengetahuan anak. Guru bukan menjadi satu-satunya. Guru
hanya salah satu sosok yang mengemban tugas mendidik. Konsekuensmnya, guru
hanya bertemu dengan anak (siswa) kurang lebih 6-7 jam dalam sehari. Selebihnya
anak akan berada bersama orang tua dari masyarakat.
Karakter orang-orang yang sukses dalam pendidikan: (1) membaca
sebelum orang lain membaca; (2) sekolah sebelum orang lain sekolah; (3) tidak
berhenti belajar sebelum orang lain
tidur dalam belajar; (4) bangun untuk belajar sebelum orang lain bangun untuk
belajar (Rahman, 2012).
Pendidikan:
Pintu Yang Membebaskan
Pendidikan
merupakan kebutuhan pokok manusia yang istimewa. Manusia Indonesia tentu tidak
ingin tercerabut dari akar kebutuhan pokoknya untuk mengembangkan hidupnya
lebih bermutu dan berdaya guna, karena pendidikan dipandang sebagai pilar
pengejawantahan demokrasi. Nilai pendidikan juga menjelaskan pemerolehan
pendidikan sebagai proses, di mana seorang dibebaskan dari ketidakmatangan dan
kebodohan menjadi seorang yang human, berintelek dan berbudaya, menuju
kemerdekaan yang otonom. Menjadi seorang manusia yang merdeka, manusia
diharapkan untuk matang secara etis. Manusia yang demokratis dan etis inilah
sangat diyakinkan akan tampil sebagai persona
yang berintegritas unggul untuk berbakti pada bangsa, negara, dan masyarakat.
Sebagai makhluk budaya, manusia juga harus mengalami transformasi kultural
untuk mengatasi segala kesulitan dan keterbatasan kodratnya. Tanpa pendidikan,
manusia akan tetap terkungkung oleh kekuasaan alam, senantiasa terpenjara persona magis-misteri yang mengakibatkan
kesadarannya akan tetap sebatas idle
curiosity (instink) binatang yang mungkin tak berubah sebagai creative curiocity, sebagai ciri atau
identitas orang atau masyarakat terdidik. Oleh sebab itu,
pendidikan dapat disebut sebagai pintu masuk membentengi diri menuju sebuah pembebasan.
Terdapat
asumsi yang keliru yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik
sepenuhnya adalah tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika mereka (orang
tua) telah menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal.
Gejala ini termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir
dilakukan oleh generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut,
bukan berarti keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya
menjadi feed back yang tepat untuk melihat
keberhasilan pendidikan yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana pendidikan tersebut telah memberikan sesuatu
bagi kehidupan dan perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan
bagi generasi muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau
ajaran yang dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu
memberikan rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat
diharapkan agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.
Beberapa Problematika
Kalau kita amati, tersendat-sendatnya pengelolaan proses
pendidikan di negeri ini akibat tidak sinkronisnya pengelolaan oleh pihak-pihak
yang berkompeten, di samping faktor-faktor eksternal yang kurang kondusif.
Terlepas bahwa ada faktor-faktor lain, makalah ini lebih menyoroti peran
keluarga dan masyarakat (serta lingkungan) dalam mendukung keberlangsungan
proses pembibitan sumber daya manusia Indonesia yang unggul, kompeten, dan
kompetitif (Bdk, Gawen: 2011).
Melalui berbagai pengamatan, ditemukan beberapa
problematika penyelenggaraan pendidikan, termasuk di wilayah Flores, dan
masyarakat Lio pada khususnya. Ada kesengajaan untuk membuat diri dan
masyarakat kita tetap berada dalam belitan kemiskinan; yang tanpa disadari pula
telah terstruktur dan terkultural secara sistemik dan sistematis.
Kemiskinan Buatan atau
Sistemik
Secara
sistemik, melalui
lembaga-lembaga pemerintahan yang amat
pekat dengan berbagai ketimpangan. Masalahnya bukan hanya dosa bangsa berupa korupsi, kolusi dan nepotisme,
tetapi juga perebutan kekuasaan dan jabatan, memperdakan
kepentingan-kepentingan yang tidak populis hingga
pejabat yang tidak peduli dengan kepentingan publik. Masalah lain adalah
gelondongan dana yang sangat besar
mengalir ke NTT, termasuk ke
wilayah kita melalui dana-dana PNPM, asmara, dll, ibarat menggerojok air ke padang pasir, tidak
berbekas.
Angka kemiskinan juga salah satu yang tertinggi dengan pendapatan per kapita termasuk yang
terendah. Demikian pula kualitas infrastruktur. Gambaran-gambaran di atas menunjukkan bahwa bantuan atau apa pun program pemerintah
dan lembaga bantuan selama ini tidak banyak menyentuh persoalan hak dasar
rakyat miskin dan tak mampu mengentaskan kemiskinan, ketertinggalan, dan
kelaparan.
Kemiskinan Kultural
Secara
Kultural berkecambah kebiasaan-kebiasaan usang dan tidak mencerahkan.
Permintaan belis dengan berbatang-batang gading, tampaknya tidak realistis dengan
keadaan zaman. Kebanyakan
orang NTT yang dilahirkan dan dibesarkan di NTT tidak bersedia meneruskan
pekerjaan orangtuanya sebagai petani. Namun, ketika ia keluar dari NTT atau
berpindah ke kabupaten lain di NTT, ia sukses bekerja sebagai petani atau
pekerja kasar lain. Orang NTT lebih suka pesta. Kehidupan sumir, hura-hura
selama berhari-hari sampai larut malam. Harta benda disumbangkan kepada tuan
penyelenggara pesta dengan pertimbangan akan mendapat balasan serupa saat ia
menyelenggarakan pesta. Sikap gotong royong saat berpesta menyebabkan segala
sesuatu dipestakan, seperti masuk rumah baru, pesta sambut baru (komuni
pertama), sunatan, cukur rambut anak, pernikahan, ibu melahirkan, wisuda, dan
lulus ujian akhir nasional.
Kecenderungan
menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di masyarakat NTT sangat tinggi ketimbang
menjadi wiraswasta. Jika tidak diterima sebagai PNS, mereka memilih tinggal di
rumah, bergantung hidup kepada kedua orangtua. Tidak ada kemauan menjadi
wiraswasta. Sukuisme sangat
tinggi.
Terkotak-kotak dalam
budaya, adat, agama, dan pulau-pulau. Sikap mereka dalam beragama sangat kuat,
tetapi tidak mengamalkan dalam kehidupan praktis sehari-hari, terutama untuk
membangun kehidupan sosial yang lebih efektif dan berdayaguna.
Beberapa Jalan
Keluar
Visi
Pendidikan Nasional yang
masih belum berpihak pada rakyat jelata. Pengelolaan pendidikan terlalu berlebihan menekankan aspek kognitif dan
mengabaikan dimensi-dimensi lainnya, sehingga melahirkan generasi yang mengidap
split personality, kepribadian yang terpecah-pecah. Dengan kata lain,
pendidikan kita mengabaikan seruan Howard Gardner (1999) tentang ‘kecerdasan
berganda’. Tidak hanya aspek itu saja, melainkan berbagai kecerdasan berganda
dalam diri peserta didik yang dapat dikembangkan. Ataukah pendidikan
terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang
Jakarta sebagai satu-satunya tumpuan, tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia
di daerah masing-masing.
Munculnya reformasi dengan tendensi otonomi daerah
melahirkan keterkejutan budaya. Ibarat orang yang terkurung dalam penjara
selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Semua keluar mendapati
pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak
terbatas. Euforia
psikologis
demikian membuat masyarakat tidak bisa berpikir jernih, menuntut
hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik. Lagi-lagi birokrasi yang lamban,
korup dan tidak kreatif, merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang
rendah moralnya, pemimpin-pemimpin daerah yang
kebingungan. Pemimpin daerah tetap
mengharap kucuran dana dari pusat, bahkan menghambur-hamburkan
uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Dinas-dinas terkait berjalan tanpa koordinasi yang signifikan justru
memelihara keangkuhan egosektoral. Kasus, seperti pungutan liar di akhir tahun
ajaran dan saat pendaftaran siswa baru, dalam ucapan bibir sebagai biaya
pembuatan pagar, uang bayar tanda tangan, uang kursi, dan macam-macam tetek
bengek menjadi contoh nyata betapa tidak sinkronnya penerapan berbagai regulasi
pendidikan yang ada.
Dari beberapa perian tentang
problematika pendidikan di atas, maka berikut ini dikemukakan beberapa
jalan keluar. Pertama, manusia (kita) hendaknya memiliki kecenderungan
untuk berpikir bebas, terbuka, dan eksploratif, mengembara (roaming)
dengan dunia luar. Interaksi dan komunikasi perlu dibangun secara inklusif,
inovatif (Tilaar, 2002: 124), seirama kemajuan ilmu dan teknologi, dan itu
hanya dilalui lewat pintu pendidikan. Kedua, pendidikan membina
kemanusiaan, terutama mempersiapkan manusia sebagai anggota masyarakat dan
warga negara yang baik, selain sebagai proses pengembangan sumber daya manusia
untuk memasuki dunia kerja. Ketiga, secara kolektif kemasyarakatan
membangun unit-unit pendidikan untuk meneruskan proses pendidikan berkelanjutan,
tanpa meninggalkan identitas-identitas lain yang telah memasyarakat. Unit-unit
tersebut dapat dilakukan melalui arisan-arisan pendidikan, koperasi, kumpul
keluarga pendidikan, dll.
Keempat, manfaatkan lahan tidur dengan terus menanam dan menanam, sebagai investasi
pendidikan anak. Tanaman-tanaman perdagangan, berupa coklat, cengkeh, vanili,
kemiri, dll, yang tentunya disesuaikan dengan keadaan tanah. Sikap ini mestinya
diikuti dengan merawatnya secara baik. Kelima, jauhkan sikap malas,
putus asa, rendah diri, dan sikap-sikap lain yang tertutup, sebaliknya
mengembangkan dan memupuk sikap kerja keras, saling membantu, menabung,
kerja sama, demi terciptanya masa depan generasi yang cerdas, terampil,
visioner, bersemangat, unggul, dan kompetitif.
DAFTAR RUJUKAN
Gawen, Bala Alexander. 2011. Mengungkai Kiat Mendaras Asa: Telaah Kritis
Masalah Sosial Kemasyarakatan. Malang: Pustaka Kayutangan.
Gawen, Bala Alexander.
Korupsi Di Nusa Flobamora. (HU Pos Kupang, 19
Desember 2011).
Gawen, Bala Alexander. Ironi Pendidikan Kita.
(HU Pos Kupang, 27 Februari 2012).
Saputra, Abe
A. 2007. Rumahku Sekolahku. Yogyakarta: Graha Pustaka.
Tilaar.
2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tilaar.
2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.