Halaman

Tampilkan postingan dengan label Membaca. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Membaca. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Februari 2021

Membaca untuk Menulis

 


Tuntutan keterampilan membaca pada abad 21 berkitar pada memiliki keterampilan membaca untuk memahami informasi secara analitis, kritis, dan refektif. Tuntutan ini dapat dicapai hanya melalui kecakapan dan kemampuan membaca yang baik secara integral dalam kecakapan berliterasi. Dengan alasan itulah literasi telah menjadi gerakan nasional. Intensitas kemampuan membaca secara baik dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kemampuan menalar peserta didik Indonesia masih sangat rendah. Hal ini diketahui dari studi terkini tahun 2016 oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang melaksanakan penilaian tiga tahunan atas budaya literasi di 72 negara melalui Program For International Students Assesment—melansir indeks budaya literasi siswa antarbangsa. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya lima persen peserta didik Indonesia yang mampu memecahkan persoalan yang membutuhkan pemikiran, sedangkan sisanya 95 persen hanya sampai pada level menengah, yaitu memecahkan persoalan yang bersifat hafalan (Kompas, 29 April 2017). Tulisan ini menukik pada hal-hal praktis, sekadar mengingatkan seluruh elemen masyarakat untuk turut serta menyukseskan kemampuan dan kecakapan membaca dan menulis.

Membaca (buku) juga hendak menandaskan tentang eksistensi kita sebagai makhluk yang terus mencari. Makhluk yang tidak pernah selesai. Makhluk yang memiliki hasrat dan rasa penasaran untuk terus ingin tahu tentang sesuatu. Rene Descartes–melalui cogito ergo zum ingin menggugah rasa penasaran manusia itu untuk mencari dan terus mencari. Karena hanya itulah manusia akan mengalami kepuasan dan kebanggaan rohaniah untuk terus eksis dalam kehidupan sosialnya. Bahkan, dalam literasi sastra, berdasarkan hasil Kongres Bahasa Indonesia XI 2018 di Jakarta merekomendasikan  bahwa siswa SD dalam setahun bisa membaca 10 judul karya sastra, SMP 15 judul, dan siswa SMA/ SMKmembaca 2 judul, ungkap Ketua Tim Perumus KBI XI Prof. Dr. Djoko Saryono, Guru Besar Universitas Negeri Malang. (Kompas, 1 November 2018).

Fakta tersebut menggambarkan tentang pentingnya kemampuan literasi dasar baca-tulis di kalangan siswa. Kegiatan membaca dan menulis di sekolah diharapkan berevolusi dari waktu ke waktu, terutama melalui pembiasaan kondisi pembelajaran yang terus-menerus melibatkan semua perangkat pendidikan di sekolah. Agar seluruh perangkat pendidikan sekolah juga masyarakat di sekitar mampu menciptakan suatu ekosistem belajar yang kondusif.

Siswa tidak berhenti pada aktivitas membaca, tetapi ditindaklanjuti secara intensif melalui pendampingan menulis topik-topik keseharian di sekitar lingkungan hidup para siswa, terutama tentang kegiatan-kegiatan siswa atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Targetnya, misalnya tersedianya wadah “pohon ilmu pengetahuan” sebagai media memupuk literasi baca dan tulis. Pohon ilmu pengetahuan ini, secara teratur akan ditempel atau digantung tulisan-tulisan siswa agar dapat dibaca oleh semua warga sekolah. Aktivitas ini akan dilaksanakan seminggu sekali. Tulisan yang telah dibaca, dikumpulkan secara rapi untuk dijilid dan disimpan di perpustakaan sekolah.

Antoro (2019), mengemukakan tiga tujuan pembelajaran menulis di sekolah, yakni pertama, sebagai sarana bagi siswa untuk memahami teks atau konsep keilmuan tertentu. Artinya, tema-tema kegiatan menulis harus selalu terkait dengan bidang keilmuan atau mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kedua, untuk mengkritisi informasi atau konsep tertentu yang sedang dipelajari siswa. Tujuan menulis diarahkan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis siswa, berorientasi pada memecahkan masalah, dan meningkatkan kreativitas siswa. Ketiga, menghasilkan berbagai jenis tulisan yang sesuai dengan konteks keilmuan atau mata pelajaran yang sedang dipelajari.

Untuk mencapai harapan agar siswa memiliki keterampilan yang mumpuni dalam membaca, maka terdapat tiga faktor pendukung yang diperhatikan, yakni ketersediaan bahan bacaan, ketersediaan alokasi waktu, dan ketersediaan sarana penunjang.

Tugas kita, orang tua, sekolah dan masyarakat adalah mengupayakan keseimbangan ketiga faktor tersebut. Ketersediaan bahan bacaan berkenaan dengan bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat umur dan tingkat kemampuan siswa. Ruang perpustakan atau taman-taman bacaan perlu diisi atau dilengkapi dengan aneka bahan bacaan. Semakin variatifnya bahan bacaan, tentu semakin menambah minat dan gairah untuk menimba sesuatu di dalamnya. Alokasi waktu dimaksudkan tersedianya alokasi waktu khusus bagi para siswa untuk membaca dan menulis. Sedapatnya, alokasi waktu terakomodir dalam rencana pembelajaran guru. Hal ini untuk mengingatkan guru agar tidak lupa memberikan waktu membaca dalam upaya membangun sikap dan perilaku membaca pada diri siswa.

Sarana yang dimaksudkan menyasar pada kelayakan dan ketersediaan tempat baca yang baik. Perpustakaan sekolah akan ditata apik, menyenangkan demi merangsang minat baca siswa. Juga akan ditempel gambar-gambar tokoh-tokoh hebat sebagai motivasi belajar pada dinding ruang kelas dan perpustakaan untuk menambah rasa ingin tahu siswa untuk membaca guna menemukan ilmu pengetahuan dalam buku. Di samping itu, akan ditulis kalimat-kalimat ajakan ataupun nasihat bijak tentang pentingnya membaca dan menulis dalam bahasa daerah setempat maupun dalam bahasa Indonesia, dan digantung pada tempat-tempat strategis di lingkungan sekolah untuk “mengingatkan” para siswa tentang pentingnya membaca dan menulis. Gambar para tokoh hebat dan kalimat-kalimat atau nasihat bijak berpetuah dimaksud berfungsi untuk menggerakkan hati para siswa untuk setia membaca setiap hari. Tampaknya agak idealis, namun untuk berhasil sesorang perlu belajar dari orang-orang besar, orang-orang hebat (imitatio).

Selain tiga faktor tersebut, hal lain yang dapat diupayakan adalah membangun kerja sama dengan perangkat desa untuk menciptakan rasa aman bagi belajar para siswa dalam lingkungan desa. Orang tua murid untuk ikut memberikan kontribusi nyata seperti, menyediakan bahan bacaan yang sesuai, mengatur waktu belajar di rumah, serta memberikan waktu atau mengijinkan anak untuk mengikuti secara baik pelaksanaan program literasi di sekolah. Kantor desa tidak saja menjadi pusat administrasi pemerintahan desa, namun “disulap” menjadi pusat informasi berbagai ilmu pengetahuan. Semua warga masyarakat akan dengan mudah mencari dan mendapatkan berbagai informasi tersebut melalui aktivitas membaca di kantor desa. Artinya, untuk keberhasilan gerakan literasi, semua unsur harus terlibat.(*)

Sabtu, 23 Januari 2021

Sastra Memperhalus Budi dan Nalar Anak



Pesatnya arus kehidupan yang kian kompetitif membuat kehidupan manusia sejagat semakin maju, bahkan juga saling berkompetisi merespon kemajuan dunia tersebut. Fenomena ini nyata, ketika perubahan-perubahan kehidupan yang hadir sebagai bukti perkembangan dan kemajuan zaman dimaksud menyata dalam realitas keseharian kita. Misalnya, dengan kemajuan alat-alat transportasi semakin memudahkan mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Akselerasi arus informasi yang semakin memadai, menjadikan dunia ini semakin kecil, sempit dan mudah dijangkaui. Kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun dapat kita amati, bahkan kita saksikan secara langsung (live) pada belahan dunia yang lain. Inilah bukti bahwa manusia selalu berusaha mencari dan menemukan jalan keluar permasalahan dalam kehidupannya, sekaligus memberikan warna atau batas tertentu sebagai penanda-penanda khas setiap pergantian dan perubahan zaman.

Terlepas dari perspektif positip atas kemajuan yang telah dicapai manusia, kemajuan-kemajuan yang disebutkan di atas mendatangkan mala petaka baru, apabila diteropong dari perspektif negatif. Beberapa kasus yang belakangan ini ramai diberitakan lewat berbagai media massa cetak, maupun elektronik, antara lain, pemerkosaan anak di bawah umur, perkelahian antargeng, perang tanding antardesa, tawuran antarpelajar, pembunuhan secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu?

Namun, yang pasti bahwa  perilaku-perilaku negatif yang timbul demikian semakin “menantang” peran kita (orang tua, sekolah, dan masyarakat) untuk merapatkan barisan demi memberikan peran dan tanggung jawab secara lebih terarah dan berkesinambungan. Belum cukup di sana lingkungan yang kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah generasi muda. Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan kejam lagi panas lewat televisi dan laser disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi didengar. Terhadap realitas yang kian mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah turut memberikan kontribusi negatif, bahkan menurunkan degradasi moral anak bangsa.

Terdapat asumsi yang keliru yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa tugas mendidik sepenuhnya adalah tanggung jawab guru. Tugas itu selesai ketika orang tua telah menghantar putra-putri mereka masuk ke lembaga pendidikan formal. Gejala ini termanifestasi lewat berbagai tindak kejahatan yang disinyalir dilakukan oleh generasi muda. Terhadap klaim-klaim yang disinyalir tersebut, bukan berarti keluarga dituduh sebagai biang kehancuran, tetapi hendaknya menjadi feed back yang tepat untuk melihat keberhasilan pendidikan nilai yang ditanam dalam keluarga. Sejauh mana pendidikan nilai itu telah memberikan sesuatu bagi kehidupan dan perkembangan kaum muda. Keluarga merupakan basis pendidikan nilai bagi generasi muda, sehingga keluarga sedapatnya memberikan nilai-nilai atau ajaran yang dapat dianut dan diteladani oleh anak-anak. Keluarga harus mampu memberikan rasa aman dan bahagia kepada anak. Berlaku yang demokratis sangat diharapkan agar dapat menciptakan suasana yang akrab dan menyejukkan.

Sastra Bermula dari Kehidupan Anak

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di sekolah dapatlah dikatakan bahwa sastra sampai pada saat ini masih berada pada posisi yang belum banyak peminat karya sastra. Pertama, karena banyak masyarakat kita (Indonesia) tidak suka dengan sastra. Entah itu, membaca maupun menulis sastra. Kedua, pembelajaran sastra formal di sekolah pun masih belum diajarkan secara baik dan menyeluruh. Baik, maksudnya banyak guru sastra yang memang bukan guru sastra. Kalau pun mereka adalah guru sastra, minat dan perhatiannya terhadap sastra belum memadai. Menyeluruh yang dimaksudkan di sini adalah kompetensi-kompetensi pembelajaran sastra masih tumpang tindih dengan bahasa, karena sastra masih menjadi bagian dari bahasa. Kondisi pembelajaran sastra yang disebutkan di atas terjadi pada semua genre atau jenis sastra, baik puisi, prosa, maupun drama.

Keterampilan membaca sastra perlu dikembangkan di sekolah melalui kegiatan membaca sastra. Keterampilan membaca sastra yang dimaksudkan adalah keterampilan membaca sastra anak. Keterampilan membaca sastra anak ini penting karena akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk memahami berbagai wacana sastra yang ditemukan. Wacana-wacana sastra sangat bervariasi, dan pada umumnya sering ditemukan dalam pembelajaran materi-materi sastra di sekolah.

Sastra menjadi sangat penting untuk perkembangan anak karena disebabkan oleh dua hal (Kurniawan, 2009: 2–3), yakni (1) kecintaan anak terhadap karya sastra dapat meningkatkan hobby dan kesukaan anak pada membaca, yang akhirnya dapat meningkatkan kebiasaan membaca anak. Kebiasaan membaca ini merupakan kunci untuk menguasai ilmu pengetahuan apapun; dan (2) dari pembacaan karya sastra yang intens, maka karya sastra bisa meningkatkan aspek kecerdasan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak, karena dalam karya sastra ada kehidupan yang menawarkan nilai-nilai moral yang baik untuk perkembangan pikiran dan perasaan anak.

Sastra  anak tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, maupun tentang berbagai peristiwa yang melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan makhluk dari dunia lain (Nurgiyantoro, 2002: 8). Oleh karena itu, sastra anak bisa dalam bentuk lisan dan tulis. Lisan adalah karya sastra yang diceritakan dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Misalnya, cerita rakyat (folklore, nyanyian rakyat, permainan rakyat, dan lain-lain, yang tersebar di hampir setiap etnik yang ada di Indonesia. Sastra tulis, misalnya puisi, prosa, dan drama. Wacana sastra yang dimaksudkan dalam penlitian ini adalah wacana sastra tulis puisi. Dengan demikian, dalam tulisan ini peneliti menggunakan istilah wacana sastra, namun yang dimaksudkan adalah puisi.

 

Daftar Pustaka

Kurniawan,Heru. 2009. Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nurgiyantoro. 2002. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press.

 

 

 

Sabtu, 09 Mei 2020

Membaca Biografi Intelektual Dr. Dra. Imaculata Fatima, M.M.A.




Universitas Flores: rahim persemaian

Berbekal ilmu pengetahuan dan ijazah yang dimiliki, Ibu Ima sarjana baru yang masih berusia belia dan energik itu memasuki gerbang dunia kerja. Pilihan hati jatuh ke Uniflor, dan mulai mengabadikan energi pengetahuannya pada 10 Oktober 1991. Perjalanan meniti karirpun juga pernah mengalami masa pasang-surut. Namun, Ibu Ima bukanlah tipe orang yang mudah terlarut dalam irama dinamika hidup. Tugas yang  pernah diemban, Tahun 1991 sebagai Kepala Unit Komputer Uniflor (1991), dan pernah menjabat sebagai Kepala Unit Perpustakaan Uniflor (1998).
Awal meniti karir, sebetulnya ada banyak “godaan” untuk melamar kerja di instansi-instansi lainnya. Godaan itu justru ditepis jauh dari dunia angan-angannya dan pilihan hati membawa Ibu Ima ke gerbang Uniflor. Dalam palung kesadaran yang paling mendasar hati kecilnya berbisik nyaring “seluruh energi pengetahuan yang dimiliki dibadikan sepenuhnya di Uniflor”.

Mengintip Biografi Intelektual

Tahun 1989, Ibu Ima menyelesaikan studi kesarjanaanya di STIMI Handayani Denpasar. Kemudian di tahun 2005, gelar S-2 diraihnya dari Universitas Udayana dengan konsentrasi Agribisnis. Visi pengabdian pada pengetahuan itulah mendorongnya untuk melanjutkan studi doktoral. Februari 2016, Ibu Ima Pampe berhasil mempertahankan disertasinya dalam Ilmu Pertanian dengan konsentrasi studi Agribisnis di Universitas Udayana Denpasar dengan judul “Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur” yang dipromotori oleh Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, SU., dosen Universitas Udayana, sekaligus seorang Konsultan Pertanian Sistem Subak, Bali.

Relevansi Praksis Keilmuan

Melalui Disertasi yang ditulis dan telah dipertahankannya itu, secara eksplisit Dr. Ima Pampe ingin menempatkan tiga premis dasar. Pertama menghidupkan kembali modal sosial yang semakin kehilangan otentisitasnya, kedua mengubah ekologi berpikir orang tentang agroekowisata. Pemahaman yang holistik mengenai agroekowisata adalah bentuk riil dari konsep pemberdayaan terhadap publik, ketiga membangun opini bahwa para pengunjung wisata tidak saja sebagai penikmat semata, melainkan sebagai katalisator aktif dalam menjaga keseimbangan sistem lingkungan.
Bagi Dr. Ima Pampe, segmen usia yang paling potensial untuk merealisasikan tiga premis dasar di atas, adalah kaum muda di NTT, terutama mahasiswa. Harapan perubahan atas paradigma berpikir dari para mahasiswa, yakni dibutuhkan sikap ilmiah untuk selalu proaktif, inovatif dan memiliki kemampuan untuk membangun jaringan baik secara internal maupun eksternal, memiliki kemampuan untuk merambah dan menimba pengetahuan positif  dari dunia virtual sebab internet telah berubah menjadi kebutuhan spesifik di zaman sekarang, menghadapi tantangan zaman, mahasiswa perlu membentengi diri dengan pengetahuan elementer mengenai etika dan moralitas berkomunitas, dan jangan pernah mengabaikan kebesaran Tuhan dalam setiap sukses yang diraih. 

Kembali ke Dunia Kampus: Merajut Idealisme

Dunia kampus merupakan lahan yang paling ideal untuk mengaktualisasikan gagasan atau ide-ide yang cemerlang. Untuk itulah warna “aura” kampus menjadi benar-benar terasa bagi seluruh civitas akademika. Dalam rangka menstimulasi kultur akademis di Universitas Flores, Dr. Ima Pampe mengajukan beberapa tesis berikut. Pertama seluruh pihak yang terlibat di dalam Uniflor perlu memiliki “kepekaan” tersendiri untuk membaca realitas aktual. Seorang dosen dituntut untuk mengimbangi segala perubahan tersebut agar aktivitas Tri DharmaPerguruan Tinggi berjalan secara normal berdasarkan regulasi yang ada. Kedua apabila aktivitas Tri DharmaPerguruan Tinggi dijalankan secara optimal, maka kultur akademik akan muncul ke permukaan. Ketiga, hasil riset para dosen mestinya bisa berfungsi praksis. Artinya, hasil penelitian itu bisa berguna secara nyata bagi masyarakat. Keempat diperlukan pendampingan secara intensif melalui terbentuknya desa dampingan yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Jadi, paradigma ke depan, lembaga pendidikan tinggi perlu melaksanakan kerja sama berskala nasional, regional, dan internasional. (*)

Feature ini telah dimuat pada Harian Umum Flores Pos, 23 Maret 2016

Kamis, 21 Desember 2017

Merancang Budaya Literasi Guru



“Ingat!
Ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan mengayuh sepeda onthel.
Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda itu. Begitu juga menulis.”


1.     Pendahuluan
Terima kasih kepada Panitya yang telah memberi saya kesempatan dan kepercayaan untuk berbagai rasa dan pengalaman keliterasian hari ini.
Setengah tutur kataku tanpa makna,
Namun kuucapkan jua, agar setengahnya lagi
Mencapai dirimu
[Khalil Gibran, Pasir dan Buih, Pustaka Jaya, 1988: 17]

Fokus dan perhatian aspek pendidikan mengangkat nilai-nilai budaya dan penguatan karakter para peserta didik, sejalan dengan kemajuan dunia dan pembangunan makro di abad XXI. Kemendikbud (2017) dalam Program Penguatan Pendidikan Karekter (PPK) bagi pendidikan sekolah dasar dan menengah merumuskan enam kecenderungan di abad XXI ini; (a) berlangsungnya revolusi digital yang luar biasa yang mengubah kebudayaan, peradaban, dan sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan, (b) terjadinya integrasi belahan-belahan dunia akibat internasionalisasi, globalisasi, hubungan-hubungan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi, (c) berlangsungnya pendataran dunia (the world is flat) sebagai akibat perubahan dimensi kehidupan manusia, terutama mengglobalnya negara, korporasi, dan individu, (d) sangat cepatnya perubahan dunia mengakibatkan ruang tampak menyempit, waktu terasa ringkas, dan keusangan segala sesuatu cepat terjadi, (e) semakin tumbuhnya masyarakat padat pengetahuan (knowledge society), masyarakat informasi (information society), dan masyarakat jaringan (network society), dan (f) makin tegasnya fenomena abad kreatif beserta masyarakat kreatif yang menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai modal penting bagi individu, perusahan, dan masyarakat. Kecenderungan-kecenderungan perlu diantisipasi melalui pembelajaran budi pekerti dan karakter di sekolah.

2.    Mengapa Literasi?
Literasi berasal dari istilah Latin 'literature' yang sepadan dengan istilah bahasa Inggris 'letter'. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar)."
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Ada perjumpaan antara keterampilan berbahasa reseptif (membaca), dan keterampilan berbahasa produktif (menulis). Keduanya bersifat mutualisme. Tumpang tindih antara satu keterampilan berbahasa dengan keterampilan berbahasa yang lain. Jadi, literasi mensyaratkan dua keterampilan berbahasa sekaligus, yakni keterampilan membaca dan menulis untuk digunakan secara simultan. Keduanya merupakan “jalan masuk” bagi pengembangan dan eksplorasi (bahkan mungkin sampai eksploitasi) diri sebagai mahkluk yang komplit dan berkelimpahan. Jalan yang Anda pilih adalah jalan “pendidikan”. Jalan inilah menjadi pilihan tepat dan relevan untuk mulai merancang budaya literasi agar jalan pengabdian menjadi lebih bermakna.
Bahkan, negara telah mewajibkan guru sebagai pengajar dan pendidik dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kewajiban tersebut secara eksplisit tertuang dalam Pasal 4 ayat 5 yang berbunyi:

“Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.”

Untuk itulah, guru yang secara khusus telah dianugerahi tugas besar mencerdaskan anak bangsa di  negeri ini, mesti secara serius menyadari aneka tugas, termasuk amanat Pasal 4 ayat 5 undang-undang di atas. Kata kunci “membaca, menulis, dan berhitung” musti ditanggapi sebagai spirit perjuangan proses keliterasian menuju suatu titik yang dalam wilayah perkembangan kognitif Piagetian dikenal dengan gagasan Ekuilibrasi Piagetian. Ekuilibrasi sebagai pengorganisasian pengetahuan internal dalam cara bertahap. Kognisi terus berkembang sebagai sebuah proses yang bergerak dari keadaan ragu dan tak pasti (disekuilibrium) menuju keadaan matang dan pasti agar tercapai titik keseimbangan (ekuilibrium), (Suparno, 1997: 35).
Faedah yang paling tampak dari seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca dan menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang mahasiswa.
        Tulisan telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan kesinnambungan hidup manusia sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275).
Benedict Anderson, dalam Imagined Community, menunjukkan bahwa bacaan atau tulisan mendasari dan menyangga pembentukan dan pematangan nasionalisme Indonesia sehingga kegiatan menulis memberi maslahat besar bagi keberadaan Indonesia. Bahkan banyak kalangan memandang bahwa menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dalam peradaban keberaksaraan, menulis ihwal ilmu pengetahuan, misalnya ihwal kedokteran, kesehatan, kesusilaan, dan pengembangan diri, memang jelas bermaslahat besar bagi kehidupan manusia. Di samping ilmu pengetahuan dapat berkembang, manusia-pembaca bisa mendulang berbagai hal darinya. Pastilah pelbagai kalangan akan mendukung dan melindungi kegiatan menulis demikian. Demikian juga kegiatan menulis resep makanan-minuman, panduan perawatan diri, panduan perbaikan kendaraan bermotor, dan sejenisnya tentu akan banyak mendapat dukungan dan lindungan berbagai kalangan.
                Sekadar contoh, kendati tulisan-tulisan yang dihasilkan terus-menerus (selalu) dilarang oleh kekuasaan politik, pada masa Orde Baru Pramoedya Ananta Toer tetap menulis. Ujar Pram, “Mengarang adalah tugas nasional bagi saya…. bisa saya katakan, mengarang adalah profesi. Saya hidup dan mati karena mengarang dan saya konsekuen terhadap semua akibat yang saya peroleh”. “Menulis adalah sebuah petualangan”, ujar Albert Camus. Lalu kata Ricoeur, menulis itu mengawetkan sesuatu dalam teks. Ada pula yang berkata, kegiatan menulis adalah kegiatan melawan lupa; mencegah amnesia; mengabadikan eksistensi. Semua pernyataan ini menandaskan bahwa di balik kegiatan menulis terdapat dorongan-dorongan spiritual, psikologis, sosial-politis, dan rekreatif yang menimbulkan keteguhan, keberanian, kegigihan, kesungguhan, ketangguhan, dan sejenisnya pada diri penulis. Di sini menulis tampak berfufungsi secara spiritual, psikologis, sosial-politis, rekreatif, bahkan laku intelektual yang agung sehingga menulis harus selalu dijalankan.

3.    Menuju “Budaya” Literasi
Telah disebutkan di atas bahwa guru (baca: calon guru) mengemban tugas bangsa mencerdaskan generasi bangsa, dan salah satu di antaranya adalah membangun kultur literasi di kalangan peserta didik. Ada banyak faktor menggairahkan kultur literasi dimaksud. Hemat saya sangat situasional, dan juga sangat ditentukan oleh sekian banyak aspek: psikologi, sosiologi, ekonomi, lingkungan, dan berbagai aspek lainnya.
Saya coba menghadirkan beberapa hal praktis, bagaimana guru mulai merancang budaya literasi. Disebut budaya, karena proses literasi ini dijalankan terus-menerus, tanpa henti. Berkelanjutan atau berkesinambungan. Hal-hal tersebut, antara lain:
1.       Menyiapkan atau menyediakan berbagai bahan bacaan, entah di rumah, maupun di sekolah. Ya, tentu dengan situasi ekonomi yang pas-pasan, namun ketersediaan bahan bacaan yang cukup memadai akan sangat membantu dalam meresepsi berbagai asupan informasi pengetahuan. Mulai dari bacaan-bacaan ringan hingga bacaan berat (filsafat). Tak lupa pula menonton berbagai tayangan positif akan ikut menambah khazanah pengetahuan guru.
2.       Menyempatkan diri di tengah tumpukan kesibukan untuk membaca bahan-bahan bacaan tadi. Buku, misalnya bukanlah ikan basah (mentah) yang kalau sudah dibeli dan tidak dimasak akan rusak. Buku semakin disimpan lama dirak atau tempat penyimpanan akan semakin “memaksa” Anda untuk segera membuka dan menggaulinya (membacanya). Bahkan, sekarang ini secara formal melalui GLS, para guru telah mendisposisi waktu  kurang lebih lima belas menit awal pelajaran bagi siswa untuk membaca. Demikian, maka gurupun memiliki waktu yang sama untuk membaca bersama murid.
3.      Mencatat dalam buku harian (diary) hal-hal yang penting, bahkan bermanfaat. Hal-hal yang lintas seketika dan inspiratif. Kalau sekedar diingat dalam memori, kemungkinan besar akan menguap begitu saja. Sebab memori kita sudah dibebankan menyimpan dan mengingat sekian banyak hal. Menalar situasi dengan identifikasi kata-kata kunci yang pada situasi yang berbeda akan ditautkan dalam rumusan kalimat yang lengkap dan utuh. Hal inilah yang sering terabaikan oleh setiap kita. Caranya, mengisi kertas pada saku baju atau celana Anda dengan pensil atau balpoint ke mana saja Anda pergi. Apalagi ke tempat-tempat yang bersejarah, misalnya.
4.      Membiasakan diri untuk melakukan korespondensi (surat-menyurat) dengan sahabat, teman. Sekarang korespondensi semakin mudah dan tersambung begitu cepat melalui jejaring sosial. Dengan begitu, keruntunan berpikir, bertutur, dan kelogisan merumuskan gagasan, perlahan-lahan tertata secara apik.
5.      Mulailah meneliti hal-hal yang kecil dan sederhana. Untuk menghasilkan tulisan yang baik tentu dimulai dari hal-hal yang kecil ini. Lakukanlah.
6.      Membiasakan diri terus-menerus pada hal-hal di atas dengan mulai berlatih, berlatih, dan berlatih.
4.   Penutup
Tugas kita adalah membaca dan menulis. Dengan demikian, Literasi yang menjadi harapan bangsa ini akan tercapai dengan gemilang, jika kita memulainya dengan penuh kesadaran. Mulailah dari diri, sebelum menginginkan orang lain untuk berubah.

DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Eka. 1994. Menggebrak Dunia Mengarang. Puspa Swara: Jakarta
Saryono, Djoko.2011. Keberaksaraan, Tradisi Baca–Tulis, dan Pembelajaran Sastra Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.



[1] Makalah ini Disampaikan pada Seminar Sehari untuk memperingati Hari Guru Nasional yang Diselenggarakan oleh BEM FKIP Universitas Flores, Sabtu, 25 November 2017

[2] Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan Kepala UPT Publikasi Universitas Flores