Halaman

Tampilkan postingan dengan label flobamorata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label flobamorata. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Februari 2022

Merayakan Kairos, Pancawindu Uniflor 19 Juli 2020

Manusia selalu membuat dan memiliki sejarah, sehingga kerap disebut sebagai makhluk menyejarah. Dia selalu bergerak dalam suatu urutan waktu (kronos) maupun kairos, waktu yang paling penting untuk dihayati dalam perjalanan sejarah hidupnya. Ia menjadi momentum yang unik bagi orang perorang–pribadi, maupun kelompok untuk berhenti sejenak di titik itu, memberi “tanda” tentang perjalanannya. Kairos juga menjadi semacam batu pengilo menimbang seberapa berat (banyak) pribadi maupun kelompok bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Bahkan, momentum tersebut juga menjadi semacam kaca cermin untuk mengevaluasi derajat kualitas karya dan pelayanan yang telah dibuat. Di jedah itulah, sebagai makhluk dinamis akan merumuskan kiat, ide, dan cita-cita dengan strategi pencapaian dalam menapak setapak jalan yang ada di depan.

Universitas Flores sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi di Flores, pada tanggal 19 Juli 2020, menggapai usia Pancawindu atau 40 tahun berkarya.  Secara kelembagaan, institusi telah terakreditasi B. Semua fakultas dan program studi telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Ini artinya, masyarakat tidak perlu ragu atau khawatir mempercayakan putra-putrinya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Flores.

Hingga saat ini, Universitas Flores memiliki tujuh fakultas, yaitu pertama: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan tujuh program studi, antara lain (1) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, (2) Program Studi Sejarah, (3) Program Studi Pendidikan Ekonomi, (4) Program Studi Pendidikan Matematika, (5) Program Studi Pendidikan Fisika, (6) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, dan (7) Program Studi Pendidikan Biologi.

Kedua, Fakultas Hukum, dengan Program Studi Ilmu Hukum; Ketiga, Fakultas Teknik, dengan Program Studi Teknik Sipil, dan Arsitektur; Keempat, Fakultas Ekonomi, dengan program Studi Akuntansi, Manajemen, dan Studi Pembangunan; Kelima, Fakultas Pertanian, dengan Program Studi Agroteknologi; Keenam, Fakultas Bahasa dan Sastra, dengan Program Studi Sastra Inggris; dan Ketujuh, Fakultas Teknologi Informasi, dengan Program Studi Sistem Informasi.

Menuju puncak perayaan Pancawindu 40 Tahun Universitas Flores, telah dilaksanakan berbagai kegiatan. Pencanangan Pancawindu dimulai dengan misa Pencanangan tanggal 2 November 2019, berpusat di Gereja Santu Yoseph Onekore. Waktu itu, Pastor Paroki Onekore Pater Herman Sina, SVD (Almahrum), dalam khotbahnya menandaskan tentang mewujudkan “kekentalan persahabatan” dalam aneka karya. Uniflor sebagai lembaga ilmiah mesti terus mengepakkan sayap membantu masyarakat dan umat di tengah kegelisahan hidup yang terus saja menghantui mereka. Permintaan Pater Herman ketika itu adalah, Uniflor sebagai lembaga yang berada di wilayah Paroki Onekore, hendaknya mengambil bagian dalam perayaan ekaristi. Dan, bagai gayung bersambut, kesiapan tanggungan liturgi di paroki ini pun langsung mulai dilaksanakan beberapa waktu setelah itu. 

Sebelumnya, pada tanggal 26 Oktober 2019, panitia melaksanakan kuliah umum menghadirkan Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Refly Harun. Dalam kesempatan tersebut, Rektor Universitas Flores, Dr. Simon Sira Padji, M.A., mengungkapkan bahwa Ende dan Uniflor ini menjadi semacam melting spot, tempat pertemuan juga peleburan berbagai budaya. Dengan iklim dan cuaca yang pas-pas, Ende juga Uniflor menjadi magnet tersendiri bagi orang, termasuk mahasiswa yang memilih Uniflor sebagai pilihan melanjutkan studi.

 

Menguatkan Sumpah

Memperingati Bulan Bahasa 2019, segenap civitas akademika Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) “menguatkan sumpah” dalam sebuah diskusi ringan di bawah tema “Sastra dan Ekolinguistik”. Diskusi yang dimoderatori oleh mahasiswa semester IV Anselmus Nong Sareng menghadirkan narasumber yang adalah dosen program studi antara lain: Dr. Yosef Demon, M. Hum., Dr. Petrus Pita, M.Hum, Dr. Veronika Genua, S.Pd., M.Hum, dan Dra. Maria Marietta Bali Larasati, M.Hum.

Pada kesempatan itu, bertempat di Anjungan Lantai 3 Gedung Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jalan Sam Ratulangi Ende, warga PBSI fokus pada perbincangan untuk “menguatkan sumpah” dalam tindak berbahasa, terutama berusaha menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar di tengah persaingan bahasa daerah dan bahasa asing dengan ragam penggunaannya yang banyak pula. Secara khusus, penggunaan bahasa di media sosial yang kaya dengan singkatan dan akronim. Sampai di titik ini, warga PBSI mesti menjadi contoh atau sosok yang perlu ditiru dalam penggunaan bahasa. “Harapan ini akan menjadi kenyataan, jika kita semua dari hari ke hari terus menata dan mengasah kemampuan dan keterammpilan berbahasa kita”, tegas Ketua Program Studi PBSI Dr. Yosef Demon, M. Hum., di hadapan peserta diskusi. Jika demikian, maka kita pantas “menguatkan sumpah” untuk setia dan loyal mengkampanyekan tidak saja bahasa Indonesia, namun juga bahasa daerah sebagai wahana filosofis yang padat dengan pandangan dan modal sosial hidup masyarakat, lanjut Dr. Petrus Pita, M.Hum.

Doktor Veronika Genua, M.Hum, saat menjawab pertanyaan tentang kapling ekolinguistik, menjelaskan tentang bagaimana kita menghargai dan melestarikan lingkungan. Verni mengilustrasikan bahwa semesta ciptaan Tuhan telah dilengkapi dengan bahasa. Jika kita merawat alam atau semesta, maka kita sedang merawat bahasa. Sebab, bahasa juga menekankan tentang keberlanjutan sebagaimana manusia membicarakan kelestarian dan keberlanjutan alam dan kehidupannya. Dalam soal yang sama, Ibu Eta Larasati menekankan tentang kontribusi sastra dalam kehidupan mahasiswa. Mahasiswa mesti selalu menajamkan daya imajinasinya dalam berpikir dan bertindak, asal tetap dalam konteks yang positif dan produktif.

 

Parade Budaya dan Invitasi Bola EGDC

Segenap civitas akademika Uniflor melakukan parade budaya, dengan titik start Lapangan Pancasila Ende hingga Stadion Marilonga. Pesertanya adalah mahasiswa, dosen, dan karyawan enam belas program studi. Mereka menampilkan budaya khas dari semua etnik Flobamorata. Sebagai missal, Program Studi Guru Sekolah Dasar menampilkan budaya Lamaholot Lembata. Tampak di atas sebuah pick up, animasi gambar ikan Paus yang sangat menarik perhatian massa. Dilengkapi dengan asesori khas Lembata: kain tenun, topi yang terbuat dari daun lontar, siri, pinang, parang, tombak, dan lain sebagainya. Para peserta menyanyikan yel-yel di setiap singgahan. Di depan para juri dan penonton yang berjubel sepanjang jalur perjalanan. Hal yang sama juga terlihat dari tampilan program studi lain.

Setibanya di Stadion Marilonga, peserta dihibur oleh 1.600 penari kolosal. Mereka datang dari utusan masing-masing program studi. Peragaan bentuk dan modifikasi aneka tarian khas Flobamorata menjadi tontonan ribuan penonton yang sudah mengantre.

Saat setelah hiburan, dilangsungkan pembukaan invitasi Sepak Bola Ema Gadi Djou Cup. Menurut Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi Flores, Dr. Lory Gadi Djou, invitasi sepak bola Ema Gadi Djou Cup adalah bagian dari napak tilas merunut kembali perjalanan pendiri lembaga Universitas Flores, yakni Bapak Herman Josef Gadi Djou. Beliau sendiri adalah sosok atau figur yang suka bermain bola.

Sebagaimana yang dikisahkan istri Almahrum, Mia Gadi Djou, dalam “Saita Kai Na” (tanpa tahun) bahwa pertemuan atau cinta mereka bersemi karena bola. “Kebetulan karena bola, kalau boleh saya menggunakan istilah ini untuk menggambarkan pertemuan saya dan Ema”, tulis mama Mia (hal. 23). Ema adalah pemain Bon Jogja dan PS GAMA. Hampir semua yang suka nonton bola pasti tahu Herman, karena Ema bermain sangat bagus dan pencetak gol (hal. 42). Karena bola pulalah Ema dikenal, dari pejabat, tukang becak, maupun pedagang di toko (hal. 25).

Cerita Mia Gadi Djou, dengan keterampilannya menggocek bola, maka baju klub gampang didapat untuk mahasiswa Flores. Tuturnya, terdapat dua klub elite Jogja yang kostum pemainnya hanya sekali dipakai langsung dibuang. Ema memulung kostum-kostum tersebut bagi mahasiswa (hal. 24). Lanjutnya, karena Ema adalah pencetak gol, maka setiap klub yang berhadapan dengan klub PS GAMA atau Bon Jogja selalu menghalau kelincahan Ema. Jika pertandingan tersebut ada taruhannya, akan lebih berhati-hati pemain lawan. Tentang ini, Mia Gadi Djou menulis, “Suatu kali di sebuah pertandingan di Jogja, saat turun minum (istirahat), seorang bapak datang bertemu, minta supaya Ema jangan lagi memasukkan gol. Karena taruhannya 1–2. Ema susah menolak karena kalau tambah 1 gol berarti bapak ini melarat bersama keluarganya. Ema berdoa, semoga Tuhan berkenan mengatur yang terbaik. Dan, Tuhan memang mengatur yang terbaik, karena bapak penjudi itu tidak bangkrut, dan Ema tidak punya beban. Lantas, si Bapak memeluk Ema dan bertanya mau minta apa, Ema menjawab: yang penting bapak dan keluarga senang (hal. 25).

Itulah mengapa invitasi sepak bola EGDC menjadi momentum mengenang dan terus menghidupi figur bola yang satu ini. Tentu tidak sekadar mencari bibit-bibit bola tanah Ende Sare Lio Pawe. Lebih dari itu, invitasi ini juga menjadi kaca cermin mengukur derajat kemajuan sepak bola kita.

Rangkaian acara menuju puncak Pancawindu terus bergulir. Ada Jalinan Kasih di bawah koordinasi Ibu Sri Hartati Gadi Djou, melalui kegiatan sosial karitatif dengan mengunjungi Panti Asuhan dan keluarga-keluarga fakir miskin di Kota Ende, yang dilaksanakan pada 14–16 Desember 2019. Setelah itu dilangsungkan konser Natal pada 19 Desember 2019, bertempat di Auditorium H.J. Gadi Djou. Dan, masih banyak lagi kegiatan yang telah dilaksanakan panitia di tengah pagebluk Covid-19, termasuk melaksanakan wisuda daring, 18 Juli 2020. Selamat ulang tahun Universitas Flores.(*)

 



[1] Artikel ini dimuat pada https://florespos.co.id/berita/detail/merayakan-kairos--pancawindu-uniflor-19-juli-2020

Senin, 06 November 2017

Pangan Lokal Kita





Tersiarnya berita rawan pangan di Nusa Flobamora boleh dibilang sebagai lagu lama, sebuah kisah kusat-mesat yang selalu kita dengar di bumi Flobamora pada setiap tengah tahun. Ketika masyarakat menemui kondisi demikian, seperti yang terjadi di Belu, 22.745 KK yang tersebar pada 65 desa di 16 kecamatan di Belu terancam rawan pangan (PK,18/8/2011), Pambota Njara Sumba Timur, warga harus mencari iwi (sejenis ubi hutan) di Belukar (PK,19/8/2011), dan Kabupaten Flotim sebanyak 7.214 mengalami risiko rawan pangan tinggi (PK, 21/8/2011). Tentang kondisi di Pambota, misalnya, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menjawab bahwa “tidak serta merta satu-dua orang masuk hutan cari iwi lalu didramatisir sudah lapar atau terjadi rawan pangan”, (PK, 20/8/2011). Mungkin maksud Pak Gubernur, berita ini terlalu dilebih-lebihkan, karena cuma satu-dua warga yang ke hutan iwi, namun pers membuat generalisasi yang pars pro toto. Yang jelas bahwa pers telah ‘berupaya’ mengangkat fenomena rawan pangan ini ke publik dan serentak menjadikan kita semua, terutama pemangku kepentingan untuk bertindak cepat-lekas tentang alternatif penanggulangan masyarakat sebelum kondisi ini merebak luas. Bersamaan itu, pemberitaan menggugah sekaligus mengetuk nurani solidaritas semua kita di seantero Flobamora untuk menggalang kasih bagi sekalian sesama saudara kita yang tengah dan akan mengalami nasib serupa.

Rawan Pangan

Fenomena rawan pangan dialami para petani di berbagai daerah, termasuk pada daerah-daerah sentra produksi padi. Keadaan ini tentu tidak cukup diatasi hanya dengan retorika verbal para pemimpin bahwa produksi padi kita tahun ini surplus. Terjadinya surplus produksi lebih menggambarkan kondisi makro sehingga pemerintah daerah kita terkesan menganggap kecil angka gagal panen yang berakibat rawan pangan yang diderita petani. Padahal, kita tahu, surplus produksi belum tentu menjamin kebutuhan pangan secara merata karena tidak adanya akses langsung petani terhadap kebutuhan pangan mereka. Keadaan ini telah menggeser gaya hidup petani yang semula menjadi produsen padi berubah mendadak menjadi konsumen. Padi yang dihasilkan, begitu selesai panen, segera dijual ke tengkulak atau tempat-tempat penggilingan. Tentu berbagai alasan ekonomis yang membuat petani bertindak demikian.
Sebagian besar petani kita adalah petani monokultur, yakni hanya menanam satu jenis tanaman. Semua kebutuhan terpaksa dipenuhi dengan menjual hasil panennya. Mereka menggadaikan masa depan keluarganya pada tanaman padi musim tanam berikutnya. Kalau dipikir secara cermat, jelaslah bahwa tanaman padi yang dibudidayakan belum tentu berhasil karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi, kegagalan panen yang mengakibatkan kerugian dialami karena berbagai faktor yang berada di luar jangkauan petani. Bisa karena banjir, kekeringan, atau serangan hama dan penyakit tanaman. Tingkat kerugiannya sangat beragam, dari termasuk kategori rendah, menengah, sampai gagal total karena sama sekali tidak terpungut hasilnya atau fuso.

Kebiasaan Makan

Seyogianya kita mengembangkan pola dan kebiasaan makan (food habit) dan teknologi pangan yang berdasarkan pada keanekaragaman tanaman pangan (multi-culture), yang ada di lingkungan kita, ketimbang memaksa alam untuk hanya memproduksi tanaman tunggal (mono-culture) yang secara turun-temurun menjadi kesukaan kita. Di sinilah butuh kerja sama yang sinergis antara semua pihak–institusi swasta maupun negeri untuk melakukan rekayasa sosial bersama demi mengembalikan kultur makan makanan produk lokal. Koordinasi antara semua aspek atau sektor pembangunan di negeri ini tampaknya masih menjadi barang mewah. Dibutuhkan koordinasi yang sepadan–seimbang, dan bergayut untuk akselerasi pembangunan demi tercapainya cita-cita luhur bangsa. Dengan demikian, kendatipun sumber daya alam sebuah bangsa sangat melimpah ruah, tetapi kualitas pembangunannya lebih ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia bangsa tersebut.
Dengan demikian, kegagalan panen bagi petani bisa menjadi kematian sementara. Pertama, mereka sudah mengerahkan seluruh modal dan tenaga untuk tanaman padi musim tanam tersebut, bahkan mungkin termasuk modal pinjaman sekali pun. Di tengah harga pupuk yang mahal, irigasi yang kadang tak lancar menjadi ganjalan bagi usaha dan budi daya padi secara baik. Kedua, kemampuan bertahan sebagian besar petani pada setiap musim tanam rata-rata berkisar antara dua dan tiga bulan. Bahkan, dengan bergesernya gaya hidup dan rendahnya nilai jual petani, kemampuan itu menjadi lebih rendah lagi. Para petani kita cenderung ‘kalah’ bersaing dengan para tengkulak dan pemilik modal lain, bahakn berbagai regulasi yang tidak berpihak kepada mereka.
Ketiga, petani tidak memiliki tanaman cadangan yang cukup untuk satu tahun. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh program-program pemerintah yang instant, misalnya membagi-bagi beras miskin (raskin). Artinya, petani tidak mampu memiliki inovasi untuk menanam, terutama membudidayakan dan merevitalisasi tanaman-tanaman pangan lokal sebagai pangan cadangan yang telah teruji ketahanannya akan berbagai hama penyakit. Solusi yang tidak mencerdaskan petani ini, menjadikan generasi kita terperangkap dalam paradigma, kalau belum makan nasi, artinya belum makan. Pada titik kritis ini, perlu diupayakan usaha keras untuk mengubah dan memeperbaiki streotipe tersebut, dan lebih baik kalau dimulai dari generasi muda. Dengan demikian, dibutuhkan sebuah gerakan masif yang memprioritaskan pemberdayaan makanan-makanan lokal pada semua level. Hal ini telah terbukti bahwa dari kontribusi aasupan pangan-pangan lokal di komunitas lokal inilah telah turut melahirkan dan membesarkan orang-orang ‘besar’. *










[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Jumad, 18 November 2011

Korupsi di Flobamora




Entahlah, tetapi yang pasti bahwa masyarakat yang menghuni Nusa Flobamora telah gerah dengan bau sengat korupsi. Korupsi, sebuah kata yang menunjuk pada perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau korporasi yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, sekejap mata menjadi ramai diperbincangkan setelah pecah Era Reformasi, dan karena secara legal-yuridis merupakan perbuatan melawan hukum. Salah satu indikatornya adalah masyarakat Indonesia dan NTT belum terbebaskan dari belenggu-belenggu sosial dan semakin merajalelanya kebiasaan ‘makan’ uang atau korupsi di tangan para penguasa dan pemegang anggaran. Kemudian, mengapa perbuatan laknat terkutuk, tidak terpuji dan terlarang ini, terus saja mengular, merambah liar dan tumbuh sistemik pada bentangan Nusa Flobamora?

Mengapa Korupsi?

Mengapa korupsi justru terjadi pada Nusa semerbak wangi warga bunga, Flores yang memiliki daya pikat khas akan alam karena topografinya yang meliuk geli bagai ular, serta taman baharinya memendam aneka biota laut mahakhas dan menakjubkan? Mengapa korupsi tumbuh dan hidup pada Nusa Sumba dengan hamparan Padang Sabana medan para Joki bertualang Kuda Sandelwood sebagai gravitasi khas pemikat wisatawan asing maupun domestik? Atau, mengapa harus di Nusa Timor dengan musik tradisional Sasando yang selalu menawan dan merdu mengiang di telinga para pendengarnya, dan Nusa Alor yang kaya dengan cagar alam kenari?  Beragam jawaban maupun beraneka solusi pernah dan sedang dikiati, namun gerah masyarakat Flobamora kian tak terelakan. Tanya saja pada rumput yang bergoyang, dendang  Ebiet “gelandangan anak desa’ G.Ade, dalam sebuah kuplet lagu tempoe doeloe, ‘Berita Kepada Kawan’, yang masih segar dan sangat relevan dari masa ke masa.
Nasib Tak Tentu, Nona Tidur Telanjang, Nusa Tetap Termiskin, dan sekian banyak plesetan negatif lain disematkan pada propinsi kepulauan yang dilingkari dengan kurang lebih 556 pulau ini. Betapa tidak! Kendati gelondongan dana dengan total tak terhingga dalam berbagai paket program pemerintah ditebar ke Nusa Flobamora, fakta, semisal: kemiskinan, pungutan liar, pendidikan mahal, pelayanan kesehatan jauh dari harapan, infrastruktur yang morat-marit, pencurian, dan berbagai fakta sosial lain tetap menjadi keprihatinan bersama.

Korupsi vs Kuasa

Inspektorat NTT, Dirjen, BPKP, dan BPK pernah merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi NTT tentang penyimpangan dana sekitar Rp 15 miliar. Menanggapi rekomendasi tersebut dan setelah melakukan pengecekan kebenaran temuan itu, para penguasa mengatakan bahwa penyimpangan yang menjadi temuan itu hanya kesalahan administrasi. Bagi pejabat yang melakukan penyimpangan dana secara sengaja lalu membangkang, tidak mengembalikan, akan diproses hukum. Aneh dan bahkan paling memprihatinkan bahwa temuan terbesar penyimpangan itu terjadi pada SKPD PU, PPO, dan Kesehatan, satuan kerja perangkat daerah yang menjadi lokomotif pengentasan kemiskinan dan percepatan pembangunan sumber daya manusia. Terlepas dari fakta tersebut, betapa kita terkejut dengan terbongkarnya mafia pengelolaan dana bansos di seantero bumi Flobamora yang tengah dilidik oleh penegak hukum belakangan ini.
Wacana korupsi sebagaimana yang muncul di atas atau dalam bentuk percakapan lain tidak sekedar dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan pertarungan kekuasaan. Hal ini mengimplikasikan bahwa wacana para penguasa mencoba untuk menghubungkan juga dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidak hanya dalam bentuk fisik dan langsung, tetapi melalui kontrol mental dan psikis.
Sangatlah mungkin bahwa penguasa tidak menciptakannya melalui intimidasi dan kekerasan, tetapi melalui berbagai pernyataan, kata-kata, regulasi, aturan, dan normalisasi. Bagaimana para penguasa, misalnya, ‘hanya’ mengatakan temuan penyimpangan 15 miliar itu ‘sekedar’ kesalahan administrasi. Ada sesuatu yang tak logis, ketika angka sebesar itu masuk kategori administrasi. Kalaupun itu benar, mengapa tidak cepat lekas-segera menindak tegas para pejabat/pegawai yang melakukan dosa administrasi itu, apalagi penyimpangan tersebut terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Mungkin benar, tetapi dari sisi administrasi juga, alasan ini tentu diuji lagi, mengingat perbuatan ,menyimpangkan, dana terjadi pada dinas besar yang memiliki persona-persona yang cerdas dan cermat dalam mengelola dana. Inilah bentuk ‘pembiaran’ pemda kalau tidak dibilang sebagai model ‘pemeliharaan’ pejabat yang tak bersih dari kampanye pemberantasan korupsi.
Sangat disayangkan bahwa ketika banyak anak Nusa Flobamora yang putus sekolah karena tidak memiliki dana untuk membiayai pendidikannya, justru ironis ketika para penguasa kelebihan dana untuk bersenang-senang. Atau, ketika banyak anak Flobamora yang memiliki semangat belajar, terpaksa merogoh koceknya dan jatuh bangun mencari dana untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister dan doktor, sementara para penguasa justru mengenyangkan dirinya dengan tilep sana tilep sini. Bahkan, klasik, PAD tidak mencukupi untuk sebuah pendidikan sebagai lokomotif pembangunan daerah ini. Dalam konteks ini, hemat saya, ucapan-ucapan ini menampilkan bahasa lebih dalam pada sebuah koridor kekuasaan yang dikeluarkan para penguasa untuk diperdengarkan, dipercayai, dipatuhi, dijawab, dilaksanakan dan tidak boleh dipertanyakan karena bahasa tersebut layaknya bahasa Tuhan yang mutlak kebenarannya. Penguasa yang demikian, dengan remeh-temeh mentopdown bahasa untuk kepentingan status quo. Kondisi inilah memunculkan kegelisahan di kalangan masyarakat, dan bakal menjadi sumber petaka.
Wacana-wacana dalam konteks ini dipandang sebagai medium di mana kelompok yang dominan (diwakili penguasa) mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Van dijk menjelaskan fenomena ini sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan dan kuat memanipulasi  ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye pembangunan melalui bahasa.
Kuasa tidak ubahnya juga seperti sebuah parade seni, di mana retorika bahasa dikemas dan digunakan sebagai pencitraan diri. Sebagai parade seni, permainan-permainan bahasa dipergunakan dengan terencana hanya untuk menghibur dan menguasai penontonnya lewat berbagai pilihan kata yang eufemistik. Dalam pandangan Bourdieu, ‘kekuasaan kata dijadikan alat oleh penguasa untuk memobilisasi demi melegitimasikan otoritasnya sebagai penguasa. Kata dalam prespektif Bourdieu mempunyai kuasa yang besar, di mana kekusaan kata seseorang dapat melegalkan yang ilegal dan membuat baik yang tidak baik. Menganggap bahasa penguasa sebagai bahasa Tuhan inilah yang perlu dikritisi. Karena bagaimana pun kebenaran tetaplah relatif sekalipun itu bahasa sang penguasa. Jadi, kuasa tidak saja bekerja melalui intimidasi dan kekerasan belaka, tetapi melalui aturan-aturan dan normalisasi.

Bahasa Simbol Kekuasaan

Yang hendak dikatakan bahwa bahasa sesungguhnya merupakan simbol kekuasaan yang perlu diwaspadai. Pertama, kekuasaan melalui simbol digunakan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Oleh karena itu, elite politik melakukan konsolidasi di segala bidang, termasuk rekayasa bahasa. Kedua, pemertahanan kekuasaan dilakukan dengan penghalusan konsep, memperkasar bahasa untuk menyudutkan kekuatan lain, memproduksi konsep-konsep bahasa daerah yang referen dan maknanaya tidak jelas, dan penyeragaman bahasa dan istilah oleh pejabat. Ketiga, eufemisme bahasa untuk memantapkan citra. Pembengkokan dan pengerdilan makna kata demi alasan pembangunan dan alasan-alasan tertentu menjadi akar kebohongan dan penyelewengan. Di akhir kewaspadaan ini, saya cuma meneruskan petuah Habermas bahwa produksi (kata) wacana yang dilakukan seseorang tidak ada yang lepas dari kepentingan, maka waspadalah terhadap retorika bahasa penguasa. (*)


Artikel ini pernah dimuat HU Pos Kupang, Senin, 19 Desember 2011