Halaman

Tampilkan postingan dengan label nilai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nilai. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Februari 2022

Bahasa-bahasa Lokal: Warisan Nilai dan Strategi Pelestariannya


    Kamis, 10 Desember 2020, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende menyelenggarakan Webinar Nasional bertema "Bahasa-bahasa Lokal: Warisan Nilai dan Strategi Pelestariannya". Tema ini aktual dan selalu relevan dalam setiap perbincangan, jika kita hendak menelisik keberadaan kita sebagai individu dan anggota komunitas atau masyarakat. 

    Jika kita semua lebih sedikit tenang dan sabar merunut dan merenungi perjalanan peradaban kita, maka kita sepakat bahwa "bahasa-bahasa lokal" merupakan bagian sejarah intelektual, bahkan telah menjadi artefak dari pikiran manusia. Hanya manusialah yang mampu menciptakan artefak untuk ditinggalkan kepada generasi muda melalui khazanah budaya, bahasa, dan sastra. Dengan demikian, artefak tidak sekadar benda, melainkan hasil pikiran manusia.

Sebagai masyarakat yang multietnik sekaligus multilingual, kita diharapkan untuk menggembur dan menyuburkan kembali eksistensi bahasa-bahasa lokal yang menjadi identitas kultural. Sebab, di dalamnya mengandung kekayaan nilai dan fungsi-fungsi simbolik yang menjadi modal sosial masyarakat penuturnya. Dengan begitu, kita dan generasi masa depan tetap kokoh, serta tidak akan mengalami ketercerabutan akar lokal yang berdampak pada kegoyahan jati diri di tngkat lokal maupun nasional. Alasan historis dan kultural tersebutlah menjadi daya dorong dan rasionalisasi, mengapa panitya memilih "Bahasa-bahasa Lokal" sebagai tema Webinar Nasional. 

Saat kegiatan, para peserta Webinar Nasional berterima kasih karena bisa bertemu dan berdiskusi dengan para expert dalam bidang budaya, bahasa, dan sastra. Antara lain, (1) Prof. Dr. Simon Sabon Ola, M.Hum., dari Undana Kupang, (2) Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum., (3) Prof. Dr. Aron Meko Mbete daru Universitas Warmadewa Bali, (4) Dr. Simon Sira Padji , M.A., dari Universitas Flores, (5) Stefen Danerek, P.Hd, peneliti dari Lund University Swedia, (6) Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan (7) Dr. Willem Burung, seorang peneliti bahasa-bahasa Trans-New Guinea di Papua.

Terima kasih untuk semua peserta Webinar yang telah mengambil bagian dalam kegiatan tersebut. Program Studi PBSI Universitas Flores tetap punya komitmen untuk melestarikan budaya, bahasa, dan sastra lokal seirama dengan visi Uniflor menjadi Mediator Budaya. (*)

Selasa, 14 November 2017

Universitas Flores: Rahim Persemaian Nilai




Tentang pembangunan sumber daya pendidikan sebagai pilar kemajuan suatu bangsa, seorang Napaleon Bonaparte berpendapat bahwa untuk mendapat suatu generasi masa depan yang sungguh baik dan bermoral, didiklah ibunya, karena ibulah yang paling dekat dengan anak. Dalam konteks demikianlah, tulisan ini meletakkan Universitas Flores (Uniflor) sebagai ibu, “rahim” persemaian ilmu dan nilai. “Rahim” karena lembaga ini identik dengan ibu, sosok yang senantiasa terus melahirkan manusia baru. Tanpa ibu, manusia baru tak kan pernah ada. Begitu juga lembaga Uniflor adalah ibu yang tak pernah akan berhenti mengemban tugas reproduksi. Melahirkan generasi baru, mediator ilmu dan nilai baru bagi masyarakat luas. Untuk itulah Uniflor hadir di bumi ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan pendidikan di tanah Flores secara umum, dan Ende khususnya dirintis oleh para misionaris Katolik Portugis dan Belanda. Kilas ringkas ini menampilkan “Ende dalam Flores”. Artinya, Ende tidak sebagai tempat yang berdiri sendiri, namun Ende dibaca sebagai satu-kesatuan Flores. Dengan demikian, Uniflor di Ende berada dalam satu garis lintasan perkembangan pendidikan di Flores.
Misi “menaklukan tanah Flores” sebagai titik pengabdian para misionaris Katolik untuk penyebaran agama juga dilandasi oleh misi kerasulan awami untuk pembebasan umat akibat keterbelengguan ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, kekafiran, bahkan peperangan antarsuku. Tahun 1895 Pemerintah Hindia Belanda memberikan wewenang yang luas kepada para misionaris Katolik untuk menangani segala urusan pendidikan dengan memberikan subsidi pendidikan sebagaimana yang telah digulirkan tahun 1890. Kebijakan inilah menjadi daya dorong perluasan akses pendidikan di Flores (Pater Lamber Lame Uran. Tanpa tahun. Sejarah Perkembangan Misi  Flores).
Membicarakan Uniflor mendorong kita menengok sosok “Sang Visioner” H.J. Gadi Djou, Drs.Ekon. Menghayati filosofi Cina, Sang Visioner sampai pada kekuatan visi aforisme Kon Fu Tse, ahli filsafat Cina yang mengatakan “kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu satu tahun, maka tanamlah padi; kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu sepuluh tahun, maka tanamlah pohon; dan kalau ingin membangun masyarakat dalam waktu seratus tahun, maka didiklah rakyat” (via H.J Gadi Djou,  Uniflor: Sejarah Berdirinya, Perjuangannya, dan Misi Depan Bangsa, Pena Persada Offset Yogyakarta, 2005). Seluruh pergumulan yang intens Sang Visioner atas filosofi Kon Fu Tse di atas terarah pada misi penyelamatan anak bangsa dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan dalam dunia pendidikan.
Benih dan inspirasi misi pendidikan tersebut mulai terinkubasi berkenaan dengan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 162/1967 untuk menutup semua cabang Perguruan Tinggi Negeri di seluruh Indonesia, termasuk FKIP Undana Cabang Ende telah menimbulkan “keresahan” di kalangan masyarakat Ende, dan Flores pada umumnya. Keputusan ini menjadi “daya dorong” untuk menggagas dan melahirkan sebuah lembaga pendidikan tinggi di Ende. Jadilah “19 Juli 1980”, lahirlah “Universitas Flores” dengan Rektor pertama H.J. Gadi Djou, Drs.Ekon. Empat dosen negeri Undana diperbantukan di Uniflor Ende, yakni Drs. Sebastianus Ndate, Drs. Remigius Dewa, Drs. Frans Fernandes, dan Drs. Yosef Beda Kedang (Ibid).
Uniflor mulai menerima mahasiswa baru Tahun Ajaran 1980/1981 pada tiga fakultas, yakni Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Pendidikan, dan Fakultas Keguruan. OSPEK pertama dilaksanakan pada 18 Agustus 1982 bertempat di Lapangan Perse Ende dan berakhir pada 22 Agustus 1982 dengan perayaan misa. Perkuliahan menggunakan bekas kantor Bupati Ende di Jalan Soekarno sampai tahun 2005. Tanggal 30 Maret 1982, Dr. JB Sumarlin, Menteri Penertiban Aparatur Negara mengunjungi Uniflor dan menjadi Inspektur Upacara pada apel pagi bersama mahasiswa di kampus Uniflor, Jalan Soekarno. Dalam masa awal, Universitas Flores berada di bawah Kopertis VI Surabaya. Evolusi waktu seluruh perguruan tinggi di NTT dipindahkan ke Kopertis Wilayah VIII, nomor 280/KOP-VIII/B.02/1984 tentang Ijin Persetujuan Sementara kepada Universitas Flores bagi FH, FKIP, dan Fakultas Teknik.
Status Terdaftar oleh Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Nomor 0134/O/1985, 13 Maret 1985, diserahkan oleh Kopertis VIII Prof Dr. Ida Bagus Oka, pada Lustrum Uniflor 19 Juli 1985. Tanggal 9 April 1988, Uniflor melaksanakan Wisuda Perdana Sarjana sebanyak 47 orang dengan perincian: (a) Prodi PMP dan Kewarganegaraan sebanyak 18 orang; (b) Prodi Pendidikan Sejarah sebanyak 2 orang; (c) Pendidikan Dunia Usaha sebanyak 8 orang; dan (d) Prodi Psikologi dan Bimbingan sebanyak 19 orang. Status DIAKUI baru didapat pada tahun 1993 melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 242/DIKTI/Kep/1993, tanggal 1 Mei 1993. Di ulang tahunnya yang ke-37 ini, satu lagi program studi baru yang mendapat ijin penyelenggaraan perkuliahan, yakni Program Studi Pendidikan Biologi. Sehingga, Uniflor telah memiliki tujuh fakultas dengan enam belas program studi.
Rahim Uniflor dalam usia yang ke-37 tahun ini telah “melahirkan” ribuan anak muda baru yang tengah mengabdi di seantero negri ini. Mereka  menempati berbagai karya dan profesi di bidangnya. Dari merekalah, nilai-nilai lembaga dibawa dan ditebar untuk membantu masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Terutama, visi sebagai “mediator budaya”. Kita berharap, di usianya yang ke-37, Uniflor tetap tumbuh konsisten berjuang mencerdaskan anak bangsa. (*)


[1] Artikel ini dimuat dalam HU Flores Pos, 22 Juli 2017

Rabu, 08 November 2017

Mengembangkan Supervisi Pengajaran Berwawasan Spiritual





Millenium ketiga sebagai the new age telah meletakkan nilai-nilai etis dan spiritual pada berbagai ranah aktivitas kehidupan manusia. Nilai-nilai etis-spiritual dimaksud tidak hanya teraplikasi dalam aspek sosial dan keagamaan, melainkan dalam aspek pendidikan yang dipersepsikan sebagai noble industry (industri mulia). Aspek pendidikanlah dianggap menjadi institusi yang paling bertanggung jawab terhadap penerusan dan penciptaan kualitas sumber daya manusia. Pernyataan ini menandaskan bahwa pendidikan  harus memandang manusia secara utuh dan terintegrasi dalam rangka membebaskan manusia dari belenggu-belenggu yang menghalangi emansipasi kemanusiaan menuju martabatnya yang paling luhur. Ketika pendidikan menjauhkan dimensi spiritualitas dan  berorientasi  pada dunia  material, maka dapat dipastikan akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan

Berbagai pihak menyadari bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pribadi dan organisasi bukanlah semata-mata dipengaruhi oleh kemampuan dalam menguasai bidang pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan teknis (skill) tertentu, melainkan sangat ditentukan oleh formula sikap (attitude) yang ditampilkan dalam merespons berbagai pekerjaan, pola hubungan dengan orang lain, serta kesadaran tinggi terhadap nilai kerja itu sendiri. Itulah sebabnya peran wawasan spiritual berfungsi memberikan sentuhan penting bagi penanaman nilai-nilai kerja agar mampu mendorong munculnya motivasi dan produktivitas kerja yang tinggi dan berkualitas. Dengan demikian, pekerjaan dilakukan secara ikhlas tanpa pamrih, penuh kesadaran, bertanggung jawab, bersemangat, dan bersungguh-sungguh karena merasa dinilai oleh Allah Sang Maha Melihat, suci bersih dari penyimpangan, penyelewengan, dan kebohongan, penuh prestasi, terobsesi untuk selalu menampilkan yang terbaik, serta menjadi teladan bagi sesama yang lain. Berbagai sikap inilah harus terus dibina lebih lanjut dalam keseharian kerja oleh para pekerja berwawasan spiritual. Pernyataan ini disampaikan Dr.Natsir B.Koten,M.Pd., di depan para guru besar Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang, Rabu, 23 Maret 2011, ketika tampil mempertahankan disertasinya yang berjudul, “supervisi pengajaran berwawasan spiritual di sekolah dasar”.
Di tangan promotor Prof.Dr. Soenhadji,MA, Prof.Dr.Salladin, dan Prof.Dr.Ibrahim Bafadal,M.Pd., Natsir Koten yang adalah dosen FKIP Universitas Flores Ende, berpendapat bahwa supervisi pengajaran berwawasan spiritual mensyaratkan seorang supervisor mengembangkan kemampuannya untuk mengelola kecerdasan spiritualnya dalam usaha pemberian bantuan yang bercorak pelayanan dan bimbingan profesional, dengan berpegang teguh pada nilai-nilai religius, atau berkaitan dengan aspek nilai, atau berkenaan dengan etika sosial keagamaan. Menyitir Goleman (2000) yang merekomendasikan dua peran penting kecerdasan spiritual, yaitu: (1) kecerdasan spiritual dipercaya mampu mengantarkan manusia pada ketenangan dan kesadaran diri yang tinggi saat melakukan serangkaian aktivitas; dan (2) kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantarkan manusia pada penemuan hakikat diri yang sejati, Natsir Koten percaya bahwa para guru di bawah pengawasan kepala sekolah hendaknya menjadikan  supervisi berwawasan spiritual sebagai media untuk membantu memperbaiki dan meningkatkan kualitas guru serta kualitas peradaban.  Kondisi ini berangkat pada keprihatinan bahwa pendidikan yang ada sekarang telah mengalami pendangkalan makna yang telah berorientasi dari "menjadi" (being) menuju "memiliki" sesuatu (having). Kalau pendidikan itu berorientasi kepada kepemilikan (having), maka persoalan etika dan kepribadian menjadi kurang diperhatikan. Padahal, semestinya orientasi pendidikan adalah "being", yaitu agar anak didik dapat menjadi dirinya sendiri sesuai dengan dasar-dasar kepribadiannya dimana setiap manusia diciptakan dalam keunikan.
Sebagai upaya membantu guru dalam memperbaiki proses belajar-mengajar, maka pembinaan guru melalui supervisi dilaksanakan berdasarkan program, teknik, dan pola pendekatan yang tepat. Dengan program yang terencana, teknik yang baik, dan pola pendekatan yang tepat diharapkan kemampuan profesional guru dapat ditingkatkan. Untuk itulah peningkatan mutu pendidikan dasar harus didukung oleh kehadiran guru yang berkualitas, berdedikasi tinggi dan berdisiplin. Tentunya diperlukan kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial yang memadai sehingga mampu menciptakan iklim kerja yang menggairahkan agar para guru termotivasi untuk maju dan berkembang, memiliki kemampuan mengelola kecerdasan intektual, emosional, sosial, dan kemampuan spiritualnya. Kepala sekolah harus melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan sekolah dalam meningkatkan dan memperbaiki proses belajar-mengajar dengan melakukan supervisi. Supervisi bukan lagi inspeksi yang dilakukan oleh orang yang merasa serba tahu (superior) kepada orang yang dianggap belum tahu sama sekali (inferior), tetapi supervisi dalam bentuk pembinaan. Sebagaimana ditegaskan oleh pemerintah bahwa supervisi pendidikan di sekolah dasar lebih diarahkan untuk membina dan memperbaiki serta meningkatkan kemampuan guru sekolah dasar dalam rangka peningkatan proses belajar-mengajar.

Fungsi dan Peranan Agama

Mengingat fungsi dan peranan agama dalam kehidupan manusia sangatlah penting, maka Natsir Koten, yang mengambil lokus penelitiannya pada tiga sekolah di Kabupaten Ende, yakni SDK St.Ursula Ende, SDK Ende 2, dan SDN Ende 1, menyimpulkan bahwa pendekatan spiritual keagamaan menjadi salah satu alternatif untuk digunakan dalam supervisi pengajaran. Natsir yakin bahwa supervisi pengajaran model wawasan spiritual merupakan reaksi supervisor (kepala sekolah) berdasarkan kemampuannya mengelola kecerdasannya sehingga terampil memotivasi setiap personil sekolah untuk terlibat secara aktif dalam mewujudkan tujuan sekolah. Supervisi pengajaran tersebut berkaitan erat dengan aspek nilai, yaitu berkenaan dengan semua sifat kebaikan seperti: berpikir fitrah (jernih), bijaksana menjalankan tugas, dan silaturahmi/toleransi terhadap orang lain. (*)


[1] Artikel ini pernah dimuat dalam Muat di HU 29 Maret 2011