Halaman

Tampilkan postingan dengan label penyapa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyapa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Mei 2023

Kohesi dan Koherensi dalam Wacana

 

Pembicaraan ini difokuskan pada unsur-unsur penting pembentuk sebuah teks. Unsur-unsur itu adalah kohesi dan koherensi. Sebuah teks, terutama teks tulis harus memiliki unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan pertalian unsur dalam struktur sintaksis; unsur pembentuk teks, untuk dapat membedakan bahwa sebuah rangkaian kalimat dikatakan teks atau tidak.

(1)

Entahlah, tetapi yang pasti bahwa masyarakat yang menghuni Nusa Flobamora telah gerah dengan bau sengat korupsi. Korupsi, sebuah kata yang menunjuk pada perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau korporasi yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, sekejap mata menjadi ramai diperbincangkan setelah pecah Era Reformasi, dan karena secara legal-yuridis merupakan perbuatan melawan hukum. Salah satu indikatornya adalah masyarakat Indonesia dan NTT belum terbebaskan dari belenggu-belenggu sosial dan semakin merajalelanya kebiasaan ‘makan’ uang atau korupsi di tangan para penguasa dan pemegang anggaran. Kemudian, mengapa perbuatan laknat terkutuk, tidak terpuji dan terlarang ini, terus saja mengular, merambah liar dan tumbuh sistemik pada bentangan Nusa Flobamora?

Beberapa Contoh

Untuk menghubungkan informasi antarkalimat di atas digunakan kata korupsi, salah satu, dan kemudian. Kata-kata tersebut menjadi pengikat ide atau penanda katon, atau pengikat formal. Istilah yang digunakan untuk pengikat formal ini disebut piranti kohesi (cohesion device).

(2)        A: Apa yang dilakukan si Ali?

            B:  Dia memukuli istrinya.

(3)        A: Apa yang dilakukan si Ali?

            B: Jahanam itu memukuli istrinya.

 Proposisi yang dinyatakan oleh A pada (2) berkaitan dengan proposisi yang dinyatakan B, yang diwujudkan dengan pemakaian proposisi dia yang merujuk ke si Ali. Pada (3) hubungan itu dinyatakan dalam frase jahanam itu yang dalam konteks normal merujuk pada hal yang sama, yakni si Ali. Hubungan tersebut juga dinyatakan dalam penggunaan verba yang sama, yakni dilakukan (2) dan memukul (3). Ini menandakan kesinambungan makna.

Namun, untuk membentuk sebuah wacana yang baik tidak hanya dengan kohesi, melainkan dengan memperhatikan faktor tekstual luar, kesesuaian antara teks, dan dunia nyata, serta pengetahuan tentang budaya turut membantu menciptakan koherensi teks. Untuk itu, dilengkapai dengan piranti koherensi (kepaduan hubungan maknawai antara bagian-bagian dalam wacana).

(4)

Bahasa adalah sine qua non bagi kebudayaan dan manusia. Lewat bahasa, manusia mengabstrakkan seluruh pengalaman empiris, rasional, dan spiritualnya secara konseptual, sistematis, dan terstruktur yang pada gilirannya mengantarkan lahirnya dunia simbolik yang melewati sekat-sekat ruang dan waktu. Lewat bahasa, manusia dapat menyampaikan dan menggambarkan pemikirannya dalam aneka wujud kebudayaan. Simbol-simbol bahasa memungkinkan kita berpikir, berrelasi dengan orang lain, dan memberi makna yang ditampilkan oleh alam semesta. Inilah mengapa bahasa selalu saja menarik untuk dikaji sepanjang masa peradaban manusia. Kajian-kajian tersebut berangkat dari perspektif masing-masing. Kaum strukturalisme, pragmatisme, posmodernisme, akan menggunakan cara pandang masing-masing yang mungkin saja berbeda dalam mengaji bahasa manusia.

 Wacana (4) kohesif, karena ada alat kohesi pengulangan, bahasa sampai beebrapa kali. Namun, paragraf tersebut tidak padu (tidak koheren), sehingga paragraf tersebut jelek, sebab bagian-bagiannya tidak mempunyai kepaduan maknawi.

(5)

Peran ketiga, tentang keberadaan para elite politisi kita yang banyak omong tanpa dimulai dengan membaca. Beberapa bulan lalu, misalnya wakil rakyat kita di Manggarai Timur membantah dilabeli sebagai wakil rakyat yang malas membaca (PK,27 Juli 2012). Sama halnya di Ende, Kepala Kejaksaan Negeri Ende berharap agar wakil rakyat membaca dulu sebelum memberikan komentar agar tidak terjaddi salah penafsiran (PK,21 Agustus 2012). Ini artinya, lembaga-lembaga politik di daerah perlu ‘memperkaya’ diri dengan membaca karena mereka itulah yang menjadi ‘corong masyarakat’.

 Bagian pada wacana (5) mempunyai kaitan secara maknawi. Kalimat beberapa bulan lalu... merupakan rincian atau penjelasan dari kalimat peran...Jadi, kalimat pada wacana di atas padu.

 (6)        A: Angkat telepon itu, Ma!

            B: Aku sedang Mandi,Pa!

            A: Oke!

 Wacana (6) hubungan antarproposisi tetap ada, namun secara fisik tidak kita temukan hubungan gramatikal maupun semantik. Kalimat B dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Aku sedang mandi, Pa! (Jadi, aku tidak dapat menrima telepon itu), sementara Oke! Yang diucapkan oleh A dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Oke! Kalau begitu, biar aku saja yang menerimanya. Dengan demikian, ada wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, dan ada pula yang koheren tetapi tidak kohesif, sehingga sebuah wacana tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren.

 (7)        A: Siapa yang dipukul Ali?

            B: Ali memukul anak kecil itu.

Kalimat A dan B memunculkan hubungan gramatikal dan semantis, melalui penggunaan kata-kata dipukul dan memukul, Ali dan Ali, tetapi tidak koheren karena pertanyaan A tentang siapa tidak dijawab tuntas, yakni orang yang dipukul Ali. Dalam percakapan yang normal, B diharapkan untuk menjawab, misalnya Anak kecil itu dan bukan Ali memukul anak kecil itu.

 Kohesi (Alwi,2003:428) menyebutkan bahwa kohesi dapat dihubungkan melalui sebuah konjungtor, antara lain:

a.         pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun,

b.         pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan,

c.          perkecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali,

d.        konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun,

e.         tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya(*)

Wacana, Contoh, dan Manfaatnya


 

Kata wacana selalu ramai dan disebut belakangan ini dan setara dengan kata-kata lain, seperti: hak asasi manusia, lingkungan hidup, masyarakat sipil, demokrasi, pelecehan seksual, terorisme, dll. Kata ini pun banyak digunakan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, linguistik, psikologi, politik, sosiologi, hukum, kesehatan, pertanian, dll. Dalam wawasan sosiologi, misalnya wacana menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dan pemakaian bahasa. Dalam wawasan linguistik, wacana merupakan kesatuan bahasa yang lengkap, yang umumnya lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan maupun tertulis. 

Dalam wawasan politik, wacana menunjuk pada praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Perbedaan pemakaian istilah tiap-tiap bidang ilmu demikian akan memberi penafsiran yang berbeda atas sebuah istilah yang sama. Penafsiran yang berbeda tersebut disebabkan oleh luasnya disiplin ilmu tersebut dalam memandang wacana tersebut.

Konsep Wacana

Konsep-konsep wacana berikut, dapat menjelaskan tentang luasnya persepsi dan cara pandang mengenai definisi wacana. Paling tidak dapat memberikan gambaran bagi kita semua dalam perkuliahan ini. 

NO

PENDAPAT

DEFINISI

 

1.

Collins Concise English Dictionary (1988)

(1)       Komunikasi verbal, ucapan, percakapan; (2) sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; (3) sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.

2.

Longman Dictionary of the English Language (1984)

(1)       Sebuah percakapan khusus alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; (2) pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya, sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan

3.

J.S Badudu (2001)

(1) Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; (2) kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

4.

Crystal (1987)

Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan.

5.

Hawthorn (1992)

Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya

6.

Roger Fowler (1977)

Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisanyang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman

7.

Foucault (1972)

Wacana: kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulati yang dilihat dari sejumlah pernyataan

8.

Alwi Hasan,dkk (2003)

Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yanng satu dengan proposisi yang lainyang membentuk kesatuan.

Sumber: Eriyanto, 2001:2

Dari beberapa pendapat di atas, maka secara ringkas, wacana dapat didefinisikan sebagai: pertama, satuan bahasa, satuan bahasa yang tidak sekadar bacaan, melainkan merupakan satuan bahasa yang lebih besar dalam sebuah komunikasi (di bawahnya: kalimat, frase, kata, dan bunyi). Sehingga wacana tidak sebagaimana asalnya, yakni sekadar sebagai bahan bacaan, percakapan, atau tuturan, melainkan discourse (Inggris).

Kedua, hasil dan proses. Dalam komunikasi apapun harus adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee). Misalnya, dalam wacana lisan penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar.  Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis dan pesapa adalah pembaca. Dalam komunikasi ini penyapa dan pesapa tidak berhadapan langsung, namun penyapa menuangkan ide/gagasannya dalam kode-kode kebahasaan yang biasanya berupa rangkaian kalimat, dan pesapa (pembaca) menafsirkan kode-kode tersebut.  Wujud wacananya berupa teks, rangkaian proposisi berupa hasil pengungkapan ide atau gagasan. Dalam komunikasi lisan, wacana merupakan suatu proses, yang berisi rangkaian ujaran lisan. Antara penyapa dan pesapa ada relasi resiprokal, dan tergantung pada konteks. Oleh karena itu, wacana lisan bersifat temporer (setelah diucapkan langsung hilang).

Ketiga, penggunaan bahasa. Wacana merupakan penggunaan bahasa (lisan dan tulisan), yang dapat berwujud iklan, drama, percakapan, diskusi, debat, tanya jawab, surat, makalah, tesis, dan sebagainya. Oleh karena itu, wacana merupakan kesatuan semantik bukan kesatuan gramatikal. Bukan karena bentuknya (morfem, kata, klausa, atau kalimat), namun kesatuan arti (Halliday dan Hasan, 1979: 1-2). Hoed merujuk pada de Saussure yang membedakan langue dan parole, di mana wacana merupakan bangun teoretis abstrak yang maknanya dikaji dalam kaitan dengan konteks dan situasi komunikasi (Rani, 2006:5). Dengan demikian, wacana berada pada tataran langue (sistem) dan teks adalah realisasi wacana pada tataran parole.

Contoh Wacana  

Rounded Rectangle: BELOK KIRI MENGIKUTI ARAH LAMPU
 

 


Kalimat (1) dapat dikaji dan dipahami maknanya dengan situasi komunikasi yang mengiringi ujaran tersebut. Jika, ujaran ini disampaikan oleh seorang penumpang kepada sopir bus bahwa belok kiri kalau sudah ada tanda lampu hijau. Sebaliknya, bagi pengendara roda dua, baru membelokkan kendaraannya, ketika ada lampu hijau. Ini konvensi bahasa. Makna penggunaan bahasa yang demikianlah yang menjadi tugas para analis wacana.

Manfaat Wacana

a.    Mengkaji hubungan bahasa dengan konteks penggunaannya. Unsur-unsur yang terlibat di dalamnya adalah konteks dan koteks. Konteks mencakup segala hal di lingkungan bahasa. Menurut, Syafi’e, (dalam Sobur, 2002), bahwa ada empat macam konteks pemakaian bahasa: (1) konteks fisik (physical context) meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan, tindakan atau perilaku dari para peran dalam komunikasi; (2) konteks epistemis (epistemic context), latar belakang pengetahuan pembicara dan pendengar; (3) konteks linguistik (linguistics context), tampak lewat kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan dalam peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial (social context), relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar. Konteks juga sangat penting dalam memberikan nilai yang tepat pada fenomena-fenomena linguistik, seperti pra-anggapan, implikatur percakapan. Dengan memahami implikatur percakapan kita dapat memahami prinsip sebuah ujaran,  lingkungan percakapan, mitra tutur, sehingga pemahaman antara pembicara dan pendengar sama. Pragmatik berkaitan dengan konteks pengguna, dan tidak bisa membatasi dirinya pada kajian aspek-aspek konteks yang disandikan secara gramatikal, sebagaimana diisyaratkan  oleh ‘persyaratan gramatikalisasi, melainkan membuka dirinya pada konteks sosial verbal dan konteks situasi (Ullmann, 2009: 59). Tiga cara yang dapat digunakan untuk menyusun hubungan ini: semantikisme, pragmatikisme, komplementarisme. Sedangkan, koteks merupakan teks yang mendahului atau yang mengikuti sebuah teks.

b.    Memahami bahasa. Artinya, analisis wacana tidak hanya penting untuk memahami hakikat bahasa, melainkan memahami proses belajar bahasa dan perilaku berbahasa. Tujuannya, untuk dapat dapat menemukan dan mendeskripsikan penyimpangan kaidah penggunaan aturan bahasa.

c.    Melalui wacana, misalnya wacana tidak resmi seperti wacana percakapan sehari-hari, dapat menjadi data utama penelitian bahasa yang bersifat alamiah. Data jenis ini menjadi data yang lebih tetap (stabil) dan ajeg karena terjadi secara tidak direncanakan (natural/alamiah).

d.   Mengetahui kemampuan bercakap. Untuk anak-anak, misalnya dapat menerangkan pemerolehan kemampuan berkomunikasi, (teori kognitif Piaget: anak-anak dapat bercakap dengan orang lain pada akhir masa kana-kanak, sekitar 7–8 tahun). 

e.    Mengetahui strategi pembelajar dalam melakukan percakapan. Strategi ini merupakan bagian dari kompetensi komunikatif. (*)