Halaman

Tampilkan postingan dengan label mahasiswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mahasiswa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Juli 2023

Rencana Perkuliahan Semester

Kualitas pembelajaran di dalam atau di luar kelas tercapai dengan sangat baik karena kualitas perencanaannya didesain dan direncanakan secara baik pula. Asumsi ini kita ambil karena kita yakin bahwa menciptakan kualitas interaksi pembelajaran merupakan tanggung jawab kita sebagai dosen atau pendidik. Siklus perencanaan adalah salah satu siklus penting, selain siklus pelaksanaan, siklus evaluasi, dan siklus tindak lanjut. Perencanaan dalam konteks kita sebagai dosen adalah merancang Rencana Perkuliahan Semester (RPS).



Rencana Perkuliahan Semester

Jika kita sedikit lebih sabar, pelan menelisik Rencana Perkuliahan Semester yang kita susun untuk mata kuliah yang kita ampuh, maka kita musti jujur mengatakan bahwa Rencana Perkuliahan Semester tersebut belum maksimal. Kalau pun perencanaan sudah baik, namun mungkin pelaksanaannya belum baik. Sebaliknya, pelaksanaannya barangkali tidak atau belum sesuai dengan perencanaan yang kita rancang. Tugas kita adalah selalu terbuka untuk memperbaikinya, termasuk terbuka menerima usul dan masukan dari kolega kita yang serumpun. Dengan demikian, rencana perkuliahan kita akan semakin berkualitas dan membantu kita mencapai capaian-capaian pembelajaran agar mahasiswa kita menjadi semakin baik. Mahasiswa musti benar-benar dipandang sebagai subyek yang memiliki kompetensi dan kemerdekaan belajar. Kompetensi berarti mahasiswa memiliki kemampuan dan potensi pengetahuan untuk terus ditingkatkan. Bermartabat berarti mahasiswa terus didorong agar lebih bermartabat dan berbudaya sebagai makhluk hidup yang senantiasa bertumbuh secara baik dan sempurna sebagai omanusia beriman menghargai sesama dan alam lingkungan. (*)




Senin, 22 Mei 2023

Makna Kebangkitan Nasional


              Hemat saya, negara ini dibangun sekaligus dengan dua kekuatan, kekuatan fisik melalui perang dan gerilya. Masuk keluar hutan melawan penjajah kaum imperealis. Kekuatan yang kedua adalah kekuatan membangun narasi dan gagasan melalui diplomasi dan diskusi internal maupun eksternal. Mereka atau para pemuda yang kokoh berjuang ketika itu adalah primus interpares, tokoh pemuda yang kuat, tangguh, kukuh, kokoh, dan kuat. Warisan atau legacy para tokoh primus interpares tersebuat adalah kemerdekaan yang sedang kita nikmati.

Pertanyaan Serius                  

         Pertanyaan seriusnya adalah apa beban atau tanggung jawab Anda sebagai pemuda yang notabene adalah mahasiswa dalam masa ini? Jawaban yang paling mungkin dari saya dan paling bisa dalam konteks ini adalah belajar, belajar, belajar. Jangan takut. Belajar sesungguhnya bukan ketika Anda berhadapan dengan Bpk/Ibu dosen tidak masuk kuliah berarti Anda tidak belajar. Ini pandangan atau paradigma belajar yang salah. Karena paradigma belajar/kurikulum sudah berubah dalam paradigma merdeka belajar untuk menggapai derajat aspirasi atau cita-cita yang didambakan oleh Anda dan orang-orang yang Anda cintai.

           Manusia itu makhluk yang otonom yang mampu merencanakan dan mengatur diri sendiri. Maka misalnya, dalam teori belajar lahirlah teori kognitivisme. Berbekal pengetahuan yang dimiliki Anda musti mampu mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui teori belajar konstruktivisme, an lain-lain. Siapkan diri baik-baik di masa kuliah ini agar setelah keluar dari gedung atau lembaga ini Anda tidak lagi gugup apalagi gagap berhadapan dengan dunia luar. Jika itu Anda lakukan dengan baik, terukur, dan sistematis, maka Anda akan dengan gampang dan mudah menyesuaikan pekerjaan Anda di luar.

       Kurikulum itu bukan hanya untuk kepentingan mahasiswa semata, namun bertujuan mengakomodir semua kepentingan masyarakat, idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan berbagai aspek kehidupan lain. Manfaatkan waktu untuk bergumul di tempat ini. Jangan stress dalam belajar karwna itu akan membuat Anda terkungkung untuk menimba ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya.

        Mari sama-sama kita berubah, karena perubahan itu dimulai dari diri sendiri. Ok!

 

 

 


Kamis, 17 Februari 2022

Merayakan Kairos, Pancawindu Uniflor 19 Juli 2020

Manusia selalu membuat dan memiliki sejarah, sehingga kerap disebut sebagai makhluk menyejarah. Dia selalu bergerak dalam suatu urutan waktu (kronos) maupun kairos, waktu yang paling penting untuk dihayati dalam perjalanan sejarah hidupnya. Ia menjadi momentum yang unik bagi orang perorang–pribadi, maupun kelompok untuk berhenti sejenak di titik itu, memberi “tanda” tentang perjalanannya. Kairos juga menjadi semacam batu pengilo menimbang seberapa berat (banyak) pribadi maupun kelompok bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Bahkan, momentum tersebut juga menjadi semacam kaca cermin untuk mengevaluasi derajat kualitas karya dan pelayanan yang telah dibuat. Di jedah itulah, sebagai makhluk dinamis akan merumuskan kiat, ide, dan cita-cita dengan strategi pencapaian dalam menapak setapak jalan yang ada di depan.

Universitas Flores sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi di Flores, pada tanggal 19 Juli 2020, menggapai usia Pancawindu atau 40 tahun berkarya.  Secara kelembagaan, institusi telah terakreditasi B. Semua fakultas dan program studi telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Ini artinya, masyarakat tidak perlu ragu atau khawatir mempercayakan putra-putrinya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Flores.

Hingga saat ini, Universitas Flores memiliki tujuh fakultas, yaitu pertama: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan tujuh program studi, antara lain (1) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, (2) Program Studi Sejarah, (3) Program Studi Pendidikan Ekonomi, (4) Program Studi Pendidikan Matematika, (5) Program Studi Pendidikan Fisika, (6) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, dan (7) Program Studi Pendidikan Biologi.

Kedua, Fakultas Hukum, dengan Program Studi Ilmu Hukum; Ketiga, Fakultas Teknik, dengan Program Studi Teknik Sipil, dan Arsitektur; Keempat, Fakultas Ekonomi, dengan program Studi Akuntansi, Manajemen, dan Studi Pembangunan; Kelima, Fakultas Pertanian, dengan Program Studi Agroteknologi; Keenam, Fakultas Bahasa dan Sastra, dengan Program Studi Sastra Inggris; dan Ketujuh, Fakultas Teknologi Informasi, dengan Program Studi Sistem Informasi.

Menuju puncak perayaan Pancawindu 40 Tahun Universitas Flores, telah dilaksanakan berbagai kegiatan. Pencanangan Pancawindu dimulai dengan misa Pencanangan tanggal 2 November 2019, berpusat di Gereja Santu Yoseph Onekore. Waktu itu, Pastor Paroki Onekore Pater Herman Sina, SVD (Almahrum), dalam khotbahnya menandaskan tentang mewujudkan “kekentalan persahabatan” dalam aneka karya. Uniflor sebagai lembaga ilmiah mesti terus mengepakkan sayap membantu masyarakat dan umat di tengah kegelisahan hidup yang terus saja menghantui mereka. Permintaan Pater Herman ketika itu adalah, Uniflor sebagai lembaga yang berada di wilayah Paroki Onekore, hendaknya mengambil bagian dalam perayaan ekaristi. Dan, bagai gayung bersambut, kesiapan tanggungan liturgi di paroki ini pun langsung mulai dilaksanakan beberapa waktu setelah itu. 

Sebelumnya, pada tanggal 26 Oktober 2019, panitia melaksanakan kuliah umum menghadirkan Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Refly Harun. Dalam kesempatan tersebut, Rektor Universitas Flores, Dr. Simon Sira Padji, M.A., mengungkapkan bahwa Ende dan Uniflor ini menjadi semacam melting spot, tempat pertemuan juga peleburan berbagai budaya. Dengan iklim dan cuaca yang pas-pas, Ende juga Uniflor menjadi magnet tersendiri bagi orang, termasuk mahasiswa yang memilih Uniflor sebagai pilihan melanjutkan studi.

 

Menguatkan Sumpah

Memperingati Bulan Bahasa 2019, segenap civitas akademika Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) “menguatkan sumpah” dalam sebuah diskusi ringan di bawah tema “Sastra dan Ekolinguistik”. Diskusi yang dimoderatori oleh mahasiswa semester IV Anselmus Nong Sareng menghadirkan narasumber yang adalah dosen program studi antara lain: Dr. Yosef Demon, M. Hum., Dr. Petrus Pita, M.Hum, Dr. Veronika Genua, S.Pd., M.Hum, dan Dra. Maria Marietta Bali Larasati, M.Hum.

Pada kesempatan itu, bertempat di Anjungan Lantai 3 Gedung Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jalan Sam Ratulangi Ende, warga PBSI fokus pada perbincangan untuk “menguatkan sumpah” dalam tindak berbahasa, terutama berusaha menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar di tengah persaingan bahasa daerah dan bahasa asing dengan ragam penggunaannya yang banyak pula. Secara khusus, penggunaan bahasa di media sosial yang kaya dengan singkatan dan akronim. Sampai di titik ini, warga PBSI mesti menjadi contoh atau sosok yang perlu ditiru dalam penggunaan bahasa. “Harapan ini akan menjadi kenyataan, jika kita semua dari hari ke hari terus menata dan mengasah kemampuan dan keterammpilan berbahasa kita”, tegas Ketua Program Studi PBSI Dr. Yosef Demon, M. Hum., di hadapan peserta diskusi. Jika demikian, maka kita pantas “menguatkan sumpah” untuk setia dan loyal mengkampanyekan tidak saja bahasa Indonesia, namun juga bahasa daerah sebagai wahana filosofis yang padat dengan pandangan dan modal sosial hidup masyarakat, lanjut Dr. Petrus Pita, M.Hum.

Doktor Veronika Genua, M.Hum, saat menjawab pertanyaan tentang kapling ekolinguistik, menjelaskan tentang bagaimana kita menghargai dan melestarikan lingkungan. Verni mengilustrasikan bahwa semesta ciptaan Tuhan telah dilengkapi dengan bahasa. Jika kita merawat alam atau semesta, maka kita sedang merawat bahasa. Sebab, bahasa juga menekankan tentang keberlanjutan sebagaimana manusia membicarakan kelestarian dan keberlanjutan alam dan kehidupannya. Dalam soal yang sama, Ibu Eta Larasati menekankan tentang kontribusi sastra dalam kehidupan mahasiswa. Mahasiswa mesti selalu menajamkan daya imajinasinya dalam berpikir dan bertindak, asal tetap dalam konteks yang positif dan produktif.

 

Parade Budaya dan Invitasi Bola EGDC

Segenap civitas akademika Uniflor melakukan parade budaya, dengan titik start Lapangan Pancasila Ende hingga Stadion Marilonga. Pesertanya adalah mahasiswa, dosen, dan karyawan enam belas program studi. Mereka menampilkan budaya khas dari semua etnik Flobamorata. Sebagai missal, Program Studi Guru Sekolah Dasar menampilkan budaya Lamaholot Lembata. Tampak di atas sebuah pick up, animasi gambar ikan Paus yang sangat menarik perhatian massa. Dilengkapi dengan asesori khas Lembata: kain tenun, topi yang terbuat dari daun lontar, siri, pinang, parang, tombak, dan lain sebagainya. Para peserta menyanyikan yel-yel di setiap singgahan. Di depan para juri dan penonton yang berjubel sepanjang jalur perjalanan. Hal yang sama juga terlihat dari tampilan program studi lain.

Setibanya di Stadion Marilonga, peserta dihibur oleh 1.600 penari kolosal. Mereka datang dari utusan masing-masing program studi. Peragaan bentuk dan modifikasi aneka tarian khas Flobamorata menjadi tontonan ribuan penonton yang sudah mengantre.

Saat setelah hiburan, dilangsungkan pembukaan invitasi Sepak Bola Ema Gadi Djou Cup. Menurut Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi Flores, Dr. Lory Gadi Djou, invitasi sepak bola Ema Gadi Djou Cup adalah bagian dari napak tilas merunut kembali perjalanan pendiri lembaga Universitas Flores, yakni Bapak Herman Josef Gadi Djou. Beliau sendiri adalah sosok atau figur yang suka bermain bola.

Sebagaimana yang dikisahkan istri Almahrum, Mia Gadi Djou, dalam “Saita Kai Na” (tanpa tahun) bahwa pertemuan atau cinta mereka bersemi karena bola. “Kebetulan karena bola, kalau boleh saya menggunakan istilah ini untuk menggambarkan pertemuan saya dan Ema”, tulis mama Mia (hal. 23). Ema adalah pemain Bon Jogja dan PS GAMA. Hampir semua yang suka nonton bola pasti tahu Herman, karena Ema bermain sangat bagus dan pencetak gol (hal. 42). Karena bola pulalah Ema dikenal, dari pejabat, tukang becak, maupun pedagang di toko (hal. 25).

Cerita Mia Gadi Djou, dengan keterampilannya menggocek bola, maka baju klub gampang didapat untuk mahasiswa Flores. Tuturnya, terdapat dua klub elite Jogja yang kostum pemainnya hanya sekali dipakai langsung dibuang. Ema memulung kostum-kostum tersebut bagi mahasiswa (hal. 24). Lanjutnya, karena Ema adalah pencetak gol, maka setiap klub yang berhadapan dengan klub PS GAMA atau Bon Jogja selalu menghalau kelincahan Ema. Jika pertandingan tersebut ada taruhannya, akan lebih berhati-hati pemain lawan. Tentang ini, Mia Gadi Djou menulis, “Suatu kali di sebuah pertandingan di Jogja, saat turun minum (istirahat), seorang bapak datang bertemu, minta supaya Ema jangan lagi memasukkan gol. Karena taruhannya 1–2. Ema susah menolak karena kalau tambah 1 gol berarti bapak ini melarat bersama keluarganya. Ema berdoa, semoga Tuhan berkenan mengatur yang terbaik. Dan, Tuhan memang mengatur yang terbaik, karena bapak penjudi itu tidak bangkrut, dan Ema tidak punya beban. Lantas, si Bapak memeluk Ema dan bertanya mau minta apa, Ema menjawab: yang penting bapak dan keluarga senang (hal. 25).

Itulah mengapa invitasi sepak bola EGDC menjadi momentum mengenang dan terus menghidupi figur bola yang satu ini. Tentu tidak sekadar mencari bibit-bibit bola tanah Ende Sare Lio Pawe. Lebih dari itu, invitasi ini juga menjadi kaca cermin mengukur derajat kemajuan sepak bola kita.

Rangkaian acara menuju puncak Pancawindu terus bergulir. Ada Jalinan Kasih di bawah koordinasi Ibu Sri Hartati Gadi Djou, melalui kegiatan sosial karitatif dengan mengunjungi Panti Asuhan dan keluarga-keluarga fakir miskin di Kota Ende, yang dilaksanakan pada 14–16 Desember 2019. Setelah itu dilangsungkan konser Natal pada 19 Desember 2019, bertempat di Auditorium H.J. Gadi Djou. Dan, masih banyak lagi kegiatan yang telah dilaksanakan panitia di tengah pagebluk Covid-19, termasuk melaksanakan wisuda daring, 18 Juli 2020. Selamat ulang tahun Universitas Flores.(*)

 



[1] Artikel ini dimuat pada https://florespos.co.id/berita/detail/merayakan-kairos--pancawindu-uniflor-19-juli-2020

Kamis, 21 Desember 2017

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme: Sebuah Sentuhan Jurnalistik




Jelajahi dunia dan akhirat dengan membaca, dan
Ikatlah dengan menulisnya (anonim)

Mahasiswa Subyek Berkelimpahan Idealisme
Dunia jurnalistik mengajak Anda melalangbuana. Berpetualang sama ketika Anda sedang berselancar mengarungi area laut luas. Namun, saya hendak mengkapling dan mengerucutkan petualangan ini pada satu dua gagasan yang lebih merupakan sentuhan etis-psikologis-emosional untuk menginspirasi Anda dalam memahami hidup Anda (mahasiswa) sebagai satu kelompok  sosial kategorial yang “plus”.
Di dalam sebuah masyarakat, bangsa, dan negara, mahasiswa dapat di­kategorikan sebagai kelompok strategis. Ia diha­rapkan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dan memainkan peran-peran ter­tentu demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai kelompok strategis, mahasiswa dapat dikategorikan sebagai intele­gensia, bahkan intelektual (cendekiawan—cerdas, berakal, pikiran jernih berdasar ilmu pengetahuan).
             Sebagaimana umumnya kaum intelektual, mahasiswa sudah selayaknya (a) menunjukkan kemampu­an nalar (reasoning power) yang baik dan cemerlang, (b) menunjukkan ke­mampuan berpikir bebas dan kritis, (c) meminati persoalan-persoalan rohani (things of mind), dan (d) memiliki kemampuan mempertanyakan kebenaran-kebenar­an yang berlaku pada suatu saat demi kebenaran yang lebih hakiki, tinggi, dan luas.
            Di samping itu, mahasiswa sebagai kelompok intelektual harus memiliki asketisme (?) intelektual, gaya hidup atau gaya kerja yang tidak mengejar keun­tung­an-keuntung­an praktis kebendaan. Ia harus dapat hidup dan bekerja de­ngan penuh kegembiraan di segala lapangan kehidupan.
                Pemuda adalah subyek yang hidup dengan kelimpahan idealisme yang perlu dieksploitasi dalam kehidupan nyata. Namun, terkadang pemuda cenderung bersikap eksklusif dan radikal juga mengedepankan rasionalitas tujuan dan mengabaikan rasionalitas nilai. Dalam idealisme yang berkelimpahan tersebut, mesti ada signifikansi antara daya kecerdasan dan relevansi sosial, terutama relevansi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap teguh dan eksis berdiri di kepulauan di Nusantara ini. Oleh karena itu mahasiswa mesti sebagai “ragi” penggembur nilai-nilai kebaikan melalui “demonstrasi tulis”.
  Transformasi idealisme pemuda dalam membangun integritas bangsa mulai tampak pada peristiwa 28 Oktober 1928. Namun, sebuah dosa sejarah yang mesti ditanggung oleh pemuda rezim Orde Baru, bahwa posisinya yang partisan di hadapan politik penguasa. Ketika itu pemuda tidak berkembang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan penguasa. Sebagai bagian yang inheren dari rakyat, pemuda memiliki posisi tawar yang lemah, bahkan dalam banyak kasus pemuda justru tergoda dan terkooptasi dengan iming-iming pragmatisme politik dan ekonomi yang ditawar oleh rezim Orde Baru dan agen kapitalisme.
          Fakta yang menimpa pemuda dan mahasiswa semasa Orde Baru tentu saja tidak bersifat pars pro toto (generalisasi), karena dalam skala kecil dan bersifat sproradis, tumbuh pula gerakan kritis pemuda  terhadap hegemoni kekuasaan Orde Baru. Daya kritis pemuda yang terus tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu telah melahirkan gerakan reformasi 1998 yang akhirnya menggenjot dan menambah perbendaharaan peran historis pemuda. Modal terbesar pemuda adalah idealisme. Jika modal ini dipelihara, maka akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk menggilas penindasan, penipuan, kebohongan, praktik KKN, serta kebobrokan sosial lainnya. Tanpa idealisme, Ibu Pertiwi tak mungkin terlepas dari cengekeraman kolonialisme dan imperealisme. Tanpa idealisme tanah air kita akan tetap menjadi tanah jajahan tempat berkubangnya para perampok. Tanpa idealisme, negeri ini tak mungkin merdeka. Tanpa idealisme rezim represif Orde Baru yang mengingkari kedaulatan rakyat tidak mungkin lengser.
       Sajian singkat di atas, menyiratkan bahwa perlu adanya redefinisi peran pemuda. Perlu ada reorientasi paradigma terhadap eksistensi pemuda sebagai social-category. Hal demikian mengandung makna bahwa pemuda merupakan asset sosial dan asset bangsa yang paling strategis. Oleh karena itu, jiwa kepeloporan dan partisipasi perlu terus digali dan ditingkatkan kualitasnya dalam upaya pencarian dan penemuan tujuan kehidupan berbangsa dn bernegara sebagaimana teramanah dalam UUD 1945. Kesadaran pemuda dalam peta demografis bangsa amat strategis dari perspektif kuantitas. Hampir 80 juta orang dari 220 juta populasi masyarakat Indonesia terkategori sebagai pemuda atau generasi muda. Ini adalah potensi yang sungguh tinggi derajat eksistensialnya bagi konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara.



Jurnalis: Sebuah Pilihan Pekerjaan

      Menjadi Jurnalis adalah sebuah pilihan pekerjaan. Sebagaimana Anda sedang menimba ilmu sekarang ini dengan karakteristik disiplin ilmu yang berbeda. Anda sedang berorientasi menjadi guru bidang studi A, B, C, atau D. Maka, menjadi Jurnalis merupakan sebuah pilihan profesi yang menarik untuk digeluti. Sebagai guru, Anda perlu mengalami suasana tulis-menulis dan menjadikannya sebagai suasana yang lazim dan berkesinambungan. Mulai dari merancang rencana pembelajaran, penyusunan evaluasi, sampai proses dan penentuan penilaian. Itulah rangkaian kegiatan tulis-menulis seorang guru. Dengan demikian, menjadi jurnalis tidak saja harus menjadi “wartawan”, melainkan menjadi guru yang jurnalis atau guru yang wartawan.
        Hal ini penting saya ungkapkan di sini mengingat guru sekarang tidak sama dengan guru tempoe dulu. Guru sekarang adalah guru yang mesti menulis secara berkelanjutan. Untuk setiap kenaikan pangkat mulai dari Golongan IIIa ke IIIb, guru mesti menulis karya ilmiah, melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) secara reguler, menghasilkan berbagai karya ilmiah sampai menulis artikel ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal yang ber-ISSN (International Standard Serial Number).
         Inilah guru yang sebenarnya. Guru yang memiliki niat dan ikhtiar untuk maju terus dan pantang untuk mundur. Dalam mekanisme kenaikan pangkat dan golongan yang kian ketat dan menantang seperti inilah “memaksa” Anda yang masih mahasiswa ini untuk terus belajar tanpa henti. Menyiapkan diri dan mengasah kemampuan dan nalar Anda secara jernih untuk memperoleh banyak faedah dan keuntungan.
        Faedah yang paling tampak dari seorang mahasiswa adalah mengembangkan kemampuan literasi (membaca dan menulis). Alasannya membaca membuat seorang bisa (pandai) menulis, dan keterampilan menulis pada seseorang menjadi baik karena dipengaruhi oleh kebiasaan membaca. Jadi, membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang  inheren dan tidak terpisahkan dalam diri seorang mahasiswa. Ingat, ketika Anda mulia berusaha melatih keterampilan mengayuh sepeda onthel. Jatuh bangun sampai Anda mahir mengayuh sepeda itu. Begitu juga menulis.
        Tulisan telah menyelamatkan banyak orang dari amnesia. Tulisan telah mengawetkan hidup dan dunianya. Buah pikran hasil tulisan telah memantapkan kesinnambungan hidup manusia sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275).
    Rektor Uniflor, Profesor Stephanus Djawanai juga berpendapat yang sama bahwa dunia tulis-menulis merupakan sebuah dunia yang mengekspresikan ciri keintelektualan manusia, untuk mengenal inti budaya dan kehidupan manusia universal (Flores Pos, 23 Maret 2015). Jelaslah bahwa amnesia sejarah ini terjadi lantaran tak disangga oleh tulisan. Inilah pesan penting para pemashyur, pemikir dan penulis andal yang karyanya masih tetap unggul dan relevan bagi persemaian peradaban dan ilmu pengetahuan abad ini.
 Berpikir, membaca, dan menulis menurut Bacharuddin Jusuf Habibie  merupakan terapi-diri (self-healing). Untuk mencegah apa yang disebut sebagai “black-hole”, yaitu kondisi “psiko somatic malignan”, yakni gangguan emosional berdampak negatif pada sistem organ vital manusia. Untuk memperpanjang umurnya, Habibie memilih untuk melakukan kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya dengan menulis (Habibie & Ainun, 2012: xiv). 
 Bangsa-bangsa atau negara-negara yang memiliki tradisi ilmu yang kuat selalu memiliki tradisi berpikir-menulis-membaca yang baik dan tinggi. Tradisi menulis dan membaca tentu memerlukan tradisi berpikir–terutama berpikir kritis atau kreatif yang disangga oleh penalaran. Tradisi berpikir bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga peradaban keberaksaraan (literacy) yang berfondasikan teks, bukan kelisanan (orality) yang berfondasikan tuturan.
   Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai karya khasanah fatis yang ada, hidup, terawat dan awet dalam masyarakat kita. Kapan dan siapa yang bertanggung jawab mengaksarakan berbagai karya khasanah fatis dalam tradisi lisan tadi menjadi tradisi tulis. Paling kurang generasi yang akan datang dapat mengetahui dengan runut dan runtut khasanah-khasanah fatis dimaksud melalui tulisan. Ada pesan moral yang ditinggalkan untuk mereka, yakni bagaimana menghargai kehidupan ini dengan menulisnya. Lembaga-lembaga dan satuan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu pengemban amanat tradisi ilmu. Karena itu, harus memiliki sekaligus memelihara penguasaan tradisi berpikir-menulis-membaca secara baik. Ini artinya, kegiatan berpikir-menulis-membaca sekaligus kegiatan mengasah penguasaan bahasa Indonesia, diikuti dengan memberikan pelayanan yang memadai merupakan langkah konkrit memuliakan tulisan. Tentu ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari visi dan misi membangun Indonesia sejahtera.

Merubah Kultur, Merubah Mindset

Tidak mudah bagi seseorang dapat merubah kebiasaan atau kultur, lebih-lebih kebiasaan yang kurang bagus. Merubah mindset (cara pikir, cara pandang). Diperlukan keberanian ekstra untuk usaha merubah kebiasaan jelek. Satu contoh di masyarakat kita tumbuh kultur jam karet (sering terlambat, molor, menunggu teman, cepat puas dengan apa yang ada, putus asa) kurang disiplin dan kurangnya penghargaan terhadap waktu. Tidak heran bila ada satu orang mencoba tepat waktu, maka akan banyak komentar dari sekelilingnya. Namun, bagi Anda yang mau maju ikutilah hal ini. Niscaya, Anda berhasil. Kata orang  sedikit-sedikit menjadi bukit.

Memanfaatkan sampai Mencipta Peluang

Mahasiswa sebagai subyek “kreator” yang mesti terus berusaha, mencipta, memodifikasi segala sesuatu agar bisa menemukannya. Bicara, omong atau bertutur saja tidak cukup. Akan menguap begitu saja. Alangkah lebih bijak Anda mesti menguasainya secara berimbang: omong oke, tulis pun oke. Dalam konteks ini, daya, kemampuan, dan potensi yang ada pada diri Anda mesti dieksplorasi. Tinggalkan sikap malas dan “nrimo”, menerima saja nasib. Selalu berpikir positif. Buang jauh-jauh pikiran-pikiran yang membelenggu diri. Jadilah Anda kaum intelektual—cendikia yang bermartabat. Setia pada pilihan pekerjaan Anda. Kendati menjadi GURU. Guru yang Jurnalis.

Ende, 9 Desember 2016



[1] Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Jurnalistik yang Diselenggarakan Oleh BEM FKIP Universitas Flores, Bertempat di Aula FKIP Universitas Flores, Jumad, 9 Desember 2016
[2] Dosen Universitas Flores, Ende