Jumat, 28 Juni 2024
Cerpen "Lelaki Eukaliptus"
Walaupun memiliki banyak lahan, tapi, ya… Lelaki Eukaliptus merasa sesak di rongga dadanya. Ya, itu bukan lahan kita seorang diri. Itu merupakan milik bersama saudara-saudara bapakmu. Dan, kabar burung yang sempat menghinggap di telinga ibu bahwa kematian ayahmu ketika itu karena ada faktor perang dingin antarbersaudara tentang lahan-lahan tidur tersebut. Perkataan ibunya semacam memercik titik api di tengah ladang kering. Menyulut naluri kelelakiannya. Lelaki Eukaliptus terhentak oleh perkataan itu. Ia mengusap wajahnya. Menarik napas dalam-dalam. Menutupi wajahnya. Membiarkan barisan gigi bawah dan atas berkelahi gerham.
Protes! Protes! Protes!
Agak lama ibu termenung. Saya membaca kegelisahan pada pikiran dan raut wajah seorang ibu. Lusuh dan keriput. Ia menunduk lagi. Mengangkat kepala lagi. Menatapku dalam. Belum menyampaikan satu kata pun. Jauh. Ada beban pikiran di raut wajahnya yang kian keriput. Bukan tentang lahan pertanian tersebut, namun tentang kepemilikan lahan itu. Lahan itu bukan milik kami saja, tetapi milik keluarga besar. Ini tentu butuh waktu. Butuh energi dan pikiran untuk mendiskusikannya dengan keluarga besar.
Bapa Besa dan Mama Besa
Thres saling menatap. Diam seketika menghuni kamar tamu yang tadinya sedikit ada
percakapan. Mungkin saja mereka perlu membicarakannya di antara
saudara-bersaudara. Setidaknya aku telah mencoba menjadi mediator atas
lahan-lahan kosong milik keluarga besar tersebut.
Sabtu, 06 Mei 2023
Nilai Pendidikan dalam Sastra
Kehidupan manusia yang kian berkembang memaksa manusia itu sendiri saling bersaing merespon kemajuan dunia tersebut. Fenomena ini nyata, ketika perubahan-perubahan kehidupan yang hadir sebagai bukti perkembangan dan kemajuan zaman dimaksud menyata dalam realitas keseharian kita. Misalnya, dengan kemajuan alat-alat transportasi semakin memudahkan mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lain. Akselerasi arus informasi yang semakin memadai, menjadikan dunia ini semakin kecil, sempit dan mudah dijangkau. Kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun dapat kita amati, bahkan kita saksikan secara langsung pada belahan dunia yang lain. Inilah bukti bahwa manusia selalu berusaha mencari dan menemukan jalan keluar permasalahan dalam kehidupannya, sekaligus memberikan warna atau batas tertentu pergantian dan perubahan suatu zaman.
Terlepas dari perspektif positip atas kemajuan yang telah dicapai manusia, kemajuan-kemajuan yang disebutkan di atas mendatangkan malapetaka baru, apabila diteropong dari perspektif negatif. Beberapa kasus yang belakangan ini ramai diberitakan lewat berbagai media massa cetak, maupun elektronik, antara lain, pemerkosaan anak di bawah umur, perkelahian antargeng, perang tanding antardesa, tawuran antarpelajar, pembunuhan secara sadis orang yang tak bersalah, dan sebagainya, menggugat nurani kita untuk bertanya: di manakah nilai seorang manusia itu?Namun, yang pasti bahwa perilaku-perilaku negatif yang timbul demikian semakin “menantang” peran kita (orang tua, sekolah, dan masyarakat) untuk merapatkan barisan demi memberikan peran dan tanggung jawab secara lebih terarah dan berkesinambungan. Belum cukup di sana lingkungan yang kurang bersahabat turut memperparah pengendapan nilai yang sedang dikunyah generasi muda.
Nilai dalam Sastra
Menjamurnya tempat-tempat hiburan, penayangan berbagai adegan kejam lagi panas lewat televisi dan laser disc, merupakan contoh kasus yang tak pelak lagi didengar. Terhadap realitas yang kian mengkhawatirkan generasi muda ini tentunya langkah-langkah bijak perlu ditempuh untuk meminimalisir segala kerusuhan dan tindak kejahatan yang diduga telah turut memberikan kontribusi negatif, bahkan menurunkan degradasi moral anak bangsa.
Karya sastra adalah karya yang kreatif bukan semata-mata imajinatif. Kreatif dalam karya sastra berarti ciptaan dari tidak ada menjadi ada. Jika kesusastraan mengandung isi, sering dianggap sebagai karya sastra yang tidak bernilai. Dalam karya sastra khususnya novel merupakan karya yang naratif dengan mengandalkan kekuatan imajinasi dalam proses penciptaannya. Dalam novel terdapat unsur intrinsik seperti tema, latar, penokohan, gaya bahasa, diksi. Setiap unsur dalam karya sastra saling berkaitan dan mempunyai hubungan dengan unsur lain. Sastra tidak sekedar bahasa yang dituliskan atau diucapkan. Ia tidak sekedar cerminan bahasa, akan tetapi bahasa yang mengandung makna yang lebih. Ia mempunyai nilai-nilai yang memperkaya rohani dan mutu kehidupan. Meski keselarasan yang ada dalam karya sastra tidak secara otomatis berhubungan dengan keselarasan yang ada dalam masyarakat tempat sastra itu lahir. Karya sastra adalah karya yang otonomi, yang lebih kurang terlepas dari aspek di luar karya itu.
Novel Sayap-Sayap Patah ini merupakan salah satu karya dari banyaknya karya yang ditulis oleh seorang pengarang terkenal, yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia sastra. Ia adalah Kahlil Gibran. Novel ini sudah terkenal di dunia bahkan pernah menjadi buku terlaris di dunia.Novel Sayap-Sayap Patah mengupas kehidupan pengarangnya sendiri di masa lalunya dengan gemilang dan terbuka. Nilai-nilai sastra yang ada dalam novel ini merupakan kehidupan keseharian seorang Gibran sendiri sebagai novel yang mengandung unsur religusnya.
Novel adalah cerita yang berbentuk prosa yang menggambarkan pengalaman hidup seseorang atau suatu kelompok yang melukiskan watak, sifat dan perilaku. Secara garis besar, novel mempunyai dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intinsik adalah unsur yang membangun karya sastra seperti tema, latar, penokohan, gaya bahasa, alur, diksi, dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah segala unsur yang berada di luar karya sastra dan ikut mempengaruhi karya sastra tersebut seperti faktor kebudayaan, sosial, politik, keagamaan dan tata nilai. Selain dua unsur penting pembangun novel, di dalam sebuah karya sastra prosa (novel), seperti yang akan dianalisis pada bagian ini, juga mengandung berbagai nilai edukatif yang dapat menjadi panduan untuk para pembaca. (*)
Rabu, 19 April 2023
Undang-Undang Karya Sastra: Intelek, Moral, dan Estetika
Terdapat prinsip-prinsip umum atau semacam undang-undang
kesusastraan dalam istilah George Henry Lewes untuk mengatur koridor penciptaan
karya sastra, yaitu intelek (principle of vision), moral (principle
of sincerity), dan estetika. Tiga undang-undang kesusastraan tersebut
merupakan batu tungku menghasilkan karya sastra yang baik. Ketiganya saling
menopang. Gairah pengarang untuk mempertahankan kaidah-kaidah kemanusiaan sebab
karya sastra juga mendetil tentang wawasan, pengalaman, imajinasi, memori,
idealisme, realitas, dan sebagainya.
Intelek, Moral, dan Estetika