Terdapat prinsip-prinsip umum atau semacam undang-undang
kesusastraan dalam istilah George Henry Lewes untuk mengatur koridor penciptaan
karya sastra, yaitu intelek (principle of vision), moral (principle
of sincerity), dan estetika. Tiga undang-undang kesusastraan tersebut
merupakan batu tungku menghasilkan karya sastra yang baik. Ketiganya saling
menopang. Gairah pengarang untuk mempertahankan kaidah-kaidah kemanusiaan sebab
karya sastra juga mendetil tentang wawasan, pengalaman, imajinasi, memori,
idealisme, realitas, dan sebagainya.
Intelek, Moral, dan Estetika
Intelek menuntut sang
pengarang untuk menatap sesuatu secara jernih, jelas, apakah itu berupa
fakta-fakta atau ide-ide dalam kebeningan dalam hubungannya dengan obyek-obyek.
Ini agar pembaca juga mampu menangkap atau melihat dengan jernih dan jelas
fakta-fakta tersebut. Moral (sincerity) bermakna pengarang tidak
mengibuli publik karena ia bertolak dari keyakinan dan kesungguh-sungguhan.
Oleh karena itu, ia bertumpuh dari kejujuran dengan ketidakjujuran yang
disampaikan merupakan keyakinan untuk membuat publik percaya. Bukan sebaliknya.
Sebab ketidakjujuran adalah kelemahan, sedangkan kejujuran adalah kekuatan.
Estetika merupakan kemampuan menampilkan karya yang indah dari segala komposisi
dan gaya. Kemampuan ini bertolak dari apa yang disebut grace, sesuatu
yang meluhurkan budi nurani manusia.
Oleh sebab itu, kebenaran (truth)
adalah tujuan kesesastraan, kejujuran adalah moral kebenaran, dan kecantikan
adalah estetika kebenaran. Jika ketiganya dipadukan oleh pengarang dalam karya
sastra, maka karya sastra tersebut telah memberikan sumbangan berharga bagi
umat manusia secara khusus sumabngan bagi masyarakat pembaca. Ini
bertujuan untuk menjaga iklim pikir tentang pengalaman kehidupan kemasyarakatan
dan kemanusiaan. (Nadeak, 1984: 63–64).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar