Cogito Ergo Sum: (Saya berpikir maka saya ada),
demikian tesis Rene Descartes
Mempertalikan
hubungan antara bahasa dan pikiran, ibarat mempersoalkan mana yang lebih
dahulu: ayam atau telur. Memang secara kasat mata hampir saja tidak ada
perbedaan yang menyolok antara keduanya. Setelah dicermati, ditelisik secara
akademis, sesungguhnya terdapat nuansa-nuansa khas yang perlu diurai agar dapat
memberikan komperhensi tambahan, minimal menyodok pencerahan sehingga hubungan
antara bahasa dan pikiran yang juga menjadi masalah klasik yang tetap saja
relevan ini tidak tumpang tindih (overlap) antara satu dengan yang lain.
Penjelasan tentang hubungan ini diteropong dari tiga perspektif yang berbeda,
yakni: (a) bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda; (b) bahasa dan
pikiran amat erat hubungannya; dan (c) bahasa dan pikiran sebagai dua macam
penampilan kegiatan yang sama. Bagian pertama ini, akan dipaparkan tentang bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda.
Bahasa dan Pikiran Adalah Dua Hal yang Berbeda
Dikotomi ini sesungguhnya telah diretas jauh sebelumnya oleh Wilhelm Von Humboldt (Kadarisman, 2009: 33) yang pada akhirnya disebut sebagai hipotesis relativitas kebahasaan (Bdk. Djojosuroto, 2007). Menurut Humboldt, terdapat hubungan yang erat antara masyarakat, bahasa dan budaya. Hubungan ini oleh Gumperz (dalam Kadarisman, 2009: 34) sebagai tritunggal: satu bahasa, satu masyarakat, satu budaya. Setiap bahasa berbeda dari bahasa lainnya, dan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua entitas yang tak terpisahkan. Bahwa bahasa bertugas membentuk weltanshauung, atau pandangan dunia seseorang (Brown, 2008:232). Hipotesis Humboldt di atas menyiratkan dengan terus terang bahwa bahasa seseorang sangat mempengaruhi pikirannya. Batas bahasaku adalah batas duniaku, yang dicanangkan oleh Wittgenstein semakin memperkuat penalaran ini.
Ketika ada dua orang, katakan yang satu adalah pebelajar asing yang sedang belajar bahasa Indonesia, dan yang satunya adalah penutur bahasa Indonesia yang nota bene adalah cendik pandai, sama-sama diminta untuk menarasikan sebuah obyek yang sama (contohnya: buah apel), maka narasi yang dibeberkan akan sangat jauh berbeda antara keduanya. Penutur asing pasti akan sangat kesulitan bahkan mencari-cari, mungkin juga mengernyitkan dahi terus-menerus memilih kata bahasa Indonesia yang terkait dengan buah apel. Kita akan mendapatkan sebuah narasi yang terputus-putus, bahkan tidak merepresentasikan obyek yang ada. Hal ini dapat dipahami bahwa penutur asing masih sangat keterbatasan kosa akat bahasa Indonesia. Kondisi yang berbeda terjadi pada penutur asli bahasa Indonesia. Dia akan begitu mudah, gampang, dan tanpa kesulitan untuk mendeskripsikan buah apel secara jelas, bahkan mungkin disertai gaya dan pilihan kata yang sangat menarik dan elegan.
Ilustrasi ini bagi saya sangat bersimetris dengan pernyataan bahwa bahasa dan pikiran merupakan dua hal yang berbeda. Dengan demikian, penguasaan bahasa (kosa kata) sangat mempengaruhi kualitas berbahasa seseorang. Realitas dunia nyata, eksistensi kefanaan manusia dan kekuasaannya dapat terselami dengan dalam dan komperhensif hanya dengan bahasa, karena bahasa itulah menggerakkan pikirannya untuk mengungkap sesuatu yang ada di sekitarnya. Relativitas bahasa yang demikian, seaspirasi dengan pemikiran seorang Saussura tentang penanda (signifier), dan petanda (signified). Penanda (signifier) mengacu pada bentuk atau form sebuah bahasa, sedangkan petanda (signified) mengacu pada makna yang ada pada bentuk bahasa yang diacu. Namun demikian, hubungan antara penanda (signifier), dan petanda (signified) bersifat sewenang-wenang (arbitrer).(*)
Daftar Bacaan
Brown, H.Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.
(Diterjemahkan oleh Nor Cholos dan Yusi Avianto Pareanom). Jakarta: Kedubes
Amerika Serikat, Pearson Education Inc.
Bakker,
Anton. 1986. Metode-metode Filsafat.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bourdieu,
P. 1994. Language and Symbolic Power.
Cambridge, Massachussets: Havard University Press.
Clark,Herbert
H, dan Eve V. Clark. 1977. Psychology and
Language. New York: Harcourt Brace Juvanovich, Inc.
Djojosuroto,
Kinayati. 2007. Filsafat
Bahasa. Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.
Dardjowidjojo,Soenjono.
2008. Psikolinguistik: Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan OBOR Indonesia.
Ellis,Rod. 1994. The Study of Second Langage Acquicition. Oxford: Oxford University
Press.
Kadarisman, Efendi. 2009. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Saryono,Djoko.
2010. Pemerolehan Bahasa: Teori dan
Serpih Kajian. Malang: Nasa Media.
Wareing,
Shan &Thomas, Linda. 2007. Bahasa,
Masyarakat dan Kekuasaan. Abdul Syukur Ibrahim (Eds.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar