Ikatlah dengan menulisnya (anonim)
Terima kasih adalah kata yang paling tepat sekaligus doa
yang paling pantas untuk mengungkapkan rasa syukur atas buah pikiran para pemikir-pemikir
besar yang telah meninggalkan bekas, meratas jalan meretas jejak melalui jari
jemari dan buah pikirannya untuk kita sekarang ini. Atas kemasyhuran tulisan
mereka itulah kita dapat menyibak, mengenal memahami dunia secara lengkap.
Paling kurang tulisan tangan, dan buah pikran mereka telah meletakkan sebuah
landasan berpikir yang kokoh, kuat, dan bertanggung jawab bagi pewarisan
berbagai nilai, sikap, dan keterampilan manusia. Sebut saja, kita masih dapat
menikmati buah pikiran Socrates, Aristoteles, Plato, Ibnu Kaldun, Al-Ghazali,
Ibnu Sina, Francis Bacon, Newton, Thomas
Hobbes, Chomsky, dan pemikir-pemikir lain dari manapun mereka berasal.
Dari rentang waktu mereka hidup dan berkaraya, buah
pikiran mereka sudah menempuh perjalanan ratusan, bahkan ribuan tahun, melintasi batas-batas massa, etnis, bangsa, geografis, dan
budaya. Pertanyaannya
adalah mengapa
buah pikiran dan
gagasan-gagasan mereka terawat, awet, dan bertahan sehingga sampai kepada kita? Karena buah pikiran mereka terekam dalam
bahasa, khususnya tulisan.
Tulisan telah menyelamatkan, mengawetkan, dan memantapkan buah pikiran manusia
sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal
buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat
dunia tidak
mengalami keterputusan ilmu yang dapat
mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana
yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275). Dalam konteks dan niat yang sama, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi HU Flores Pos,
Pater Steph Tupeng Witin, dalam acara penandatanganan Memorandum of Understanding
(MoU) perpanjangan kerja sama dalam bidang publikasi menyebut penerusan
tradisi tulis akan senantiasa mencerdaskan publik sekaligus membuat sejarah
menjadi abadi. Rektor Uniflor, Profesor Stephanus Djawanai juga berpendapat
yang sama bahwa dunia tulis-menulis merupakan sebuah dunia yang mengekspresikan
ciri keintelektualan manusia, untuk mengenal inti budaya dan kehidupan manusia universal
(Flores Pos, 23 Maret 2015). Jelaslah bahwa amnesia
sejarah ini terjadi
lantaran tak disangga oleh tulisan.
Inilah pesan penting para pemashyur, pemikir dan penulis
andal yang karyanya masih tetap unggul dan relevan bagi persemaian peradaban
dan ilmu pengetahuan abad ini.
Berpikir, membaca, dan menulis menurut Bacharuddin Jusuf
Habibie merupakan terapi-diri (self-healing).
Untuk mencegah apa yang disebut sebagai “black-hole”, yaitu kondisi “psiko
somatic malignan”, yakni gangguan emosional berdampak negatif pada sistem
organ vital manusia. Untuk memperpanjang umurnya, Habibie memilih untuk melakukan
kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya dengan
menulis (Habibie & Ainun, 2012: xiv).
Bangsa-bangsa
atau negara-negara yang memiliki tradisi ilmu yang kuat selalu memiliki tradisi
berpikir-menulis-membaca yang baik dan tinggi. Tradisi menulis dan membaca tentu memerlukan tradisi berpikir–terutama
berpikir kritis atau kreatif yang disangga oleh penalaran. Tradisi berpikir
bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga
peradaban keberaksaraan (literacy) yang berfondasikan teks, bukan
kelisanan (orality) yang berfondasikan tuturan.
Soalnya adalah bagaimana dengan masyarakat kita? Antara
tradisi lisan dan tulis, hemat saya masyarakat kita lebih terpola dengan
tradisi lisan. Coba amati dan bandingkan, bagaimana para penumpang domestik dan
mancanegara di ruang tunggu bandara. Penumpang mancanegara akan terlelap dengan
bahan bacaan di tangannya, sedangkan penumpang domestik akan sibuk melisankan
berbagai aneka pengalaman di antara mereka. Perhatikan juga bagaimana para
turis mancanegara ini ketika berjalan. Yang digepit pastilah buku, peta, dan
bahan tulis yang lain untuk bacaan mengisi kekosongan waktu. Atau, kita semua
tentu punya pengalaman tentang kebiasaan masyarakat kita secara luas mengurusi
sesuatu, katakan pesta. Masyarakat akan rela mengurusi pesta itu berlama-lama.
Tercebur dalam cerita-cerita tanpa batas waktu. Fenomena ini juga acapkali
terjadi pada lingkungan atau kelompok masyarakat yang berpendidikan. Apakah
pola ini terus tertradisi tanpa niat dan kemauan untuk meninggalkan jejak tulis
kepada generasi yang akan datang bahwa tradisi tulis penting. Tentu tidak meremehkan
tradisi lisan. Kitapun sadar bahwa jadilah kita sekarang ini karena kita
memulainya dengan sesuatu yang lisani. Namun demikian, kita mencoba untuk
memulai sesuatu yang baru dengan mentradisikan dunia tulis-menulis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai karya khasanah
fatis yang ada, hidup, terawat dan awet dalam masyarakat kita. Kapan dan siapa
yang bertanggung jawab mengaksarakan berbagai karya khazanah fatis dalam
tradisi lisan tadi menjadi tradisi tulis. Paling kurang generasi yang akan
datang dapat mengetahui dengan runut dan runtut khazanah-khazanah fatis
dimaksud melalui tulisan. Ada pesan moral yang ditinggalkan untuk mereka, yakni
bagaimana menghargai kehidupan ini dengan menulisnya. Lembaga-lembaga dan
satuan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu
pengemban amanat tradisi ilmu. Karena
itu, harus memiliki sekaligus memelihara penguasaan tradisi berpikir-menulis-membaca
secara baik. Ini artinya, kegiatan
berpikir-menulis-membaca sekaligus kegiatan mengasah penguasaan bahasa
Indonesia, diikuti dengan memberikan
pelayanan yang memadai merupakan
langkah konkrit memuliakan tulisan. Tentu ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari visi
dan misi membangun Indonesia sejahtera. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar