Halaman

Selasa, 14 November 2017

Memuliakan Tulisan





Jelajahi dunia dan akhirat dengan membaca, dan
Ikatlah dengan menulisnya (anonim)

Terima kasih adalah kata yang paling tepat sekaligus doa yang paling pantas untuk mengungkapkan rasa syukur atas buah pikiran para pemikir-pemikir besar yang telah meninggalkan bekas, meratas jalan meretas jejak melalui jari jemari dan buah pikirannya untuk kita sekarang ini. Atas kemasyhuran tulisan mereka itulah kita dapat menyibak, mengenal memahami dunia secara lengkap. Paling kurang tulisan tangan, dan buah pikran mereka telah meletakkan sebuah landasan berpikir yang kokoh, kuat, dan bertanggung jawab bagi pewarisan berbagai nilai, sikap, dan keterampilan manusia. Sebut saja, kita masih dapat menikmati buah pikiran Socrates, Aristoteles, Plato, Ibnu Kaldun, Al-Ghazali, Ibnu Sina,  Francis Bacon, Newton, Thomas Hobbes, Chomsky, dan pemikir-pemikir lain dari manapun mereka berasal.
Dari rentang waktu mereka hidup dan berkaraya, buah pikiran mereka sudah menempuh perjalanan ratusan, bahkan ribuan tahun, melintasi batas-batas massa, etnis, bangsa, geografis, dan budaya. Pertanyaannya adalah mengapa buah pikiran dan gagasan-gagasan mereka terawat, awet, dan bertahan sehingga sampai kepada kita? Karena buah pikiran mereka terekam dalam bahasa, khususnya tulisan. Tulisan telah menyelamatkan, mengawetkan, dan memantapkan buah pikiran manusia sehingga menjadi warisan peradaban dunia. Tanpa tulisan, bisa jadi, masyarakat sekarang tak bakal mengenal buah pikiran mereka dan peradaban manusia akan mengalami keterputusan nilai dan pengetahuan yang bermartabat. Demikianlah maka, masyarakat dunia tidak mengalami keterputusan ilmu yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan masyarakat secara luas sebagaimana yang disebut oleh Anderson sebagai amnesia kultural (1996: 275). Dalam konteks dan niat yang sama, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi HU Flores Pos, Pater Steph Tupeng Witin, dalam acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) perpanjangan kerja sama dalam bidang publikasi menyebut penerusan tradisi tulis akan senantiasa mencerdaskan publik sekaligus membuat sejarah menjadi abadi. Rektor Uniflor, Profesor Stephanus Djawanai juga berpendapat yang sama bahwa dunia tulis-menulis merupakan sebuah dunia yang mengekspresikan ciri keintelektualan manusia, untuk mengenal inti budaya dan kehidupan manusia universal (Flores Pos, 23 Maret 2015). Jelaslah bahwa amnesia sejarah ini terjadi lantaran tak disangga oleh tulisan. Inilah pesan penting para pemashyur, pemikir dan penulis andal yang karyanya masih tetap unggul dan relevan bagi persemaian peradaban dan ilmu pengetahuan abad ini.
Berpikir, membaca, dan menulis menurut Bacharuddin Jusuf Habibie  merupakan terapi-diri (self-healing). Untuk mencegah apa yang disebut sebagai “black-hole”, yaitu kondisi “psiko somatic malignan”, yakni gangguan emosional berdampak negatif pada sistem organ vital manusia. Untuk memperpanjang umurnya, Habibie memilih untuk melakukan kegiatan yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya dengan menulis (Habibie & Ainun, 2012: xiv).  Bangsa-bangsa atau negara-negara yang memiliki tradisi ilmu yang kuat selalu memiliki tradisi berpikir-menulis-membaca yang baik dan tinggi. Tradisi menulis dan membaca tentu memerlukan tradisi berpikir–terutama berpikir kritis atau kreatif yang disangga oleh penalaran. Tradisi berpikir bersama-sama tradisi menulis dan membaca melahirkan sekaligus menyangga peradaban keberaksaraan (literacy) yang berfondasikan teks, bukan kelisanan (orality) yang berfondasikan tuturan.
Soalnya adalah bagaimana dengan masyarakat kita? Antara tradisi lisan dan tulis, hemat saya masyarakat kita lebih terpola dengan tradisi lisan. Coba amati dan bandingkan, bagaimana para penumpang domestik dan mancanegara di ruang tunggu bandara. Penumpang mancanegara akan terlelap dengan bahan bacaan di tangannya, sedangkan penumpang domestik akan sibuk melisankan berbagai aneka pengalaman di antara mereka. Perhatikan juga bagaimana para turis mancanegara ini ketika berjalan. Yang digepit pastilah buku, peta, dan bahan tulis yang lain untuk bacaan mengisi kekosongan waktu. Atau, kita semua tentu punya pengalaman tentang kebiasaan masyarakat kita secara luas mengurusi sesuatu, katakan pesta. Masyarakat akan rela mengurusi pesta itu berlama-lama. Tercebur dalam cerita-cerita tanpa batas waktu. Fenomena ini juga acapkali terjadi pada lingkungan atau kelompok masyarakat yang berpendidikan. Apakah pola ini terus tertradisi tanpa niat dan kemauan untuk meninggalkan jejak tulis kepada generasi yang akan datang bahwa tradisi tulis penting. Tentu tidak meremehkan tradisi lisan. Kitapun sadar bahwa jadilah kita sekarang ini karena kita memulainya dengan sesuatu yang lisani. Namun demikian, kita mencoba untuk memulai sesuatu yang baru dengan mentradisikan dunia tulis-menulis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai karya khasanah fatis yang ada, hidup, terawat dan awet dalam masyarakat kita. Kapan dan siapa yang bertanggung jawab mengaksarakan berbagai karya khazanah fatis dalam tradisi lisan tadi menjadi tradisi tulis. Paling kurang generasi yang akan datang dapat mengetahui dengan runut dan runtut khazanah-khazanah fatis dimaksud melalui tulisan. Ada pesan moral yang ditinggalkan untuk mereka, yakni bagaimana menghargai kehidupan ini dengan menulisnya. Lembaga-lembaga dan satuan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu pengemban amanat tradisi ilmu. Karena itu, harus memiliki sekaligus memelihara penguasaan tradisi berpikir-menulis-membaca secara baik. Ini artinya, kegiatan berpikir-menulis-membaca sekaligus kegiatan mengasah penguasaan bahasa Indonesia, diikuti dengan memberikan pelayanan yang memadai merupakan langkah konkrit memuliakan tulisan. Tentu ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari visi dan misi membangun Indonesia sejahtera. (*)



[1] Artikel ini dimuat dalam  HU Flores Pos, 28 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar