Halaman

Senin, 06 November 2017

Menjadi Sarjana Unik




Prolog tulisan ini, perkenankan saya mengutip pesan Albert Einstein, Si Jenius, teoretikus terbesar bidang ilmu alam, kepada para mahasiswa California Institute Of Technology (1938). Pesan ini saya rasa relevan dengan peristiwa pelantikan (wisuda) kelompok anak muda, petualang intelektual berdarah segar yang dilantik hari ini.
… Saya merasa sangat bahagia melihat Anda semua di hadapan saya, sekumpulan orang muda yang sedang mekar yang telah memilih bidang keilmuan sebagai profesi. Saya berhasrat untuk menyanyikan himne yang penuh puji, dengan refrain kemajuan pesat di bidang keilmuan yang telah kita capai, dan kemajuan yang lebih pesat lagi yang akan Anda bawakan. Sesungguhnya kita berada dalam kurun waktu dan tanah air keilmuan… (Jujun S.Suriasumantri, 1999).

Zaman yang Fantastik

Perguliran zaman yang demikian fantastik dan hampir tak terjejaki oleh akal dan pikiran sederhana manusia telah mengubah perwajahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan tatanan berpikir juga mengalami perkembangan dari berpikir konvensional ke suatu tatanan berpikir yang bersifat penetratif, kompetitif, rasional, dan pragmatis. Tatanan berpikir demikian akan berpengaruh pada penyiapan dan pengembangan sumber daya insani dalam pendidikan. Sumber daya insani sebaiknya direncanakan dan dikembangkan agar menjadi sumber daya yang memiliki daya saing dan prakarsa serta kemampuan-kemampuan akademik personal. Keharusan untuk mengubah wajah dan kemampuan sumber daya insani tersebut merupakan suatu yang tidak dapat ditunda.
Kredo pengembangan sumber daya manusia Indonesia menjadi penting dan urgen demi kelestarian dan kejayaan bangsa. Ini berarti, bangsa dan masyarakat Indonesia tetap tidak menutup diri dan dengan tenang mengurus kepentingannya di dalam tapal batas wilayahnya sendiri, melainkan menyesuaikannya sesuai ciri-ciri dan karakteristik abad informasi, sebagai warga jaringan global yang pada dasarnya dipengaruhi oleh, serta berpengaruh terhadap berbagai kejadian di seantero dunia. Oleh karena itu, diperlukan manusia Indonesia untuk tetap survive di abad ini. Penegasan ini telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, alinea keempat, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Makna, mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat ditafsirkan sebagai berikut: (1) mencerdaskan kehidupan, artinya  membuat agar perkembangan hidup seseorang  atau sekelompok orang menjadi sempurna (sehat dan kuat); dan (2) membuat agar perkembangan akal budi seseorang atau sekelompok orang menjadi sempurna, dan membuat bangsa ini menjadi cerdas baik dalam segi intelektual, emosional, maupun spiritualnya (Sumarsono dalam Educare, April 2004: 31-32). Dalam konteks ini, koordinasi antara semua elemen atau sektor pembangunan,terutama sektor pendidikan di negeri ini tidak menjadi barang mewah. Dibutuhkan koordinasi yang selaras – seimbang untuk akselerasi pembangunan pendidikan demi tercapainya cita-cita luhur bangsa. Karena itu, euphoria bahwa bangsa ini memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah ruah, tetapi jangan lupa bahwa kualitas pembangunannya lebih ditentukan oleh ketersediaan, juga kesiapan sumber daya manusia (human resources) untuk mengolah dan memanfaatkannya demi kemaslahatan masyarakat banyak.

Kepekaan, Tanggung Jawab, dan Kemadirian

Menyadari eksistensi manusia Indonesia yang demikian, maka mutu manusia Indonesia harus ditingkatkan dalam tiga aspek penting yang meliputi: spiritual, kemasyarakatan dan kekaryaan (Emil Salim, 1989). Dengan memusatkan proses keterbentukannya sebagaimana yang dipersyaratkan di atas, dapatlah diupayakan melalui pendidikan formal, melalui tiga karakteristik khas yang dapat digunakan untuk melukiskan masa depan yang dikehendaki dan diidamkan, yang senantiasa berpijak pada landasan pandangan hidup bangsa: yakni Pancasila. Ketiga karakteristik khas tersebut adalah kepekaan, tanggung jawab dan kemandirian (Raka Joni, 2008). Kepekaan merupakan kemampuan yang tajam, baik kemampuan berpikir maupun kemudahtersentuhan hati nurani dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, yang juga mencakup kepentingan orang lain, termasuk mereka yang akan dilahirkan, yang juga niscaya sampai dengan kelestarian lingkungan hidup yang merupakan gubahan Sang Maha Pencipta. Tanggung jawab, merupakan kesediaan untuk menerima segala konsekuensi dari keputusan serta tindakan sendiri sehingga tidak etis jika dilemparkan kepada orang lain. Kemandirian, merupakan kemampuan serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar dan perlu, bukan saja bagi diri sendiri, namun sekaligus juga demi kemaslahatan umum. Oleh karena itu, ketiga sasaran operasional strategis tersebut harus dijadikan sebagai salah satu pilar dan acuan penting dalam merancang, serta menyelenggarakan program pendidikan nasional, yang tidak semata-mata merupakan proses penerusan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, melainkan juga merupakan penerjemahan dari nilai-nilai tersebut ke dalam lanskap dan latar masa kini dengan antisipasi masa depan secara bermakna bagi setiap peserta didik.
Dalam persepektif ini, upaya mencerdaskan kehidupan masa depan bangsa hanya mungkin membuahkan hasil seperti yang dikehendaki, jika pendidikan terhayati oleh peserta didik sebagai kesempatan untuk answering questioning, questioning answer, and questioning question (Raka Joni, 2008). Dalam sikap pandang dimaksud, sasaran ideal pembentukan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah pembentukan insan-insan intelek paripurna. Dengan demikian, rencana besar mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak sekedar simbol metaforis – retoris  semata, melainkan menjadi condition sine qua non dalam mencetak out put yang berkualitas dan kompetitif.
Di sini, saya tidak melukiskan betapa ingar bingar dan gegap gempitanya suasana wisuda hari ini, karena bagi saya itulah sekedar hasil yang Anda raih atas sebagian perjalanan hidup Anda. Saya mengajak Anda untuk tidak bereuphoria, tetapi lebih berpikir tentang proses yang pernah Anda lalui, alami untuk mencapai hasil hari ini. Selanjutnya mengkonstruk tapak-tapak baru buat melanjutkan peziarahan intelektual Anda. Sebagaimana, Albert Camus menggambarkan tokoh Sysiphus (The Myth Of Sysiphus), yang dengan keringat dan darah menggulingkan sebuah batu besar ke puncak gunung. Secara logika, ini merupakan pekerjaan sia-sia. Namun, ini bukan yang hendak disampaikan. Lewat tokoh Sysiphus, Camus hendak menandaskan betapa pentingnya menghargai sebuah proses panjang dalam menggapai tujuan, bukan hasil yang didapat. Kita diingatkan untuk mengerjakan apa yang memang seharusnya kita kerjakan, bukan hanya mengerjakan apa yang kita senangi. Oleh karena itu, hemat penulis, peristiwa pelantikan (wisuda) hari ini mensyaratkan tiga pesan penting untuk para sarjana baru.

3 Pesan untuk para Sarjana 

Pertama, para sarjana baru mesti memiliki konsep berpikir yang cerdas, istimewa, yang khas, unik dengan para sarjana terdahulu. Minimal Anda mampu melihat dan memanfaatkan setiap peluang yang ada dengan misalnya, membangun jiwa dan semangat enterpreunership (wiraswasta) sebagai alternatif pekerjaan, tanpa memaafkan diri Anda untuk sekedar menunggu antrian panjang tes karyawan dan pegawai negeri sipil. Aplikasikan ilmu pengetahuan yang Anda dapat dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang tersedia di mana-mana. Ketika berusaha, biasanya kita menghadapi tiga ketakutan, (http/www.medanbisnisonline.com, diakses, 15 November 2009). Ketakutan yang pertama adalah takut rugi. Memang usaha apa pun akan selalu berisiko untuk rugi tetapi juga berpeluang untuk untung. Dalam dunia kerja pun kita juga berpeluang untuk rugi. Ketakutan yang kedua adalah takut terhadap ketidakpastian, terutama ketidakpastian dalam penghasilan. Seperti dijelaskan di atas, dalam berusaha pasti kita akan selalu berpeluang untuk untung maupun rugi. Dunia kerja pun juga memiliki ketidakpastian. Ketakutan yang ketiga adalah takut mencoba. Sebenarnya takut mencoba tersebut dapat disamakan dengan takut tenggelam. Jika kita tidak pernah mencoba untuk berenang, kita tidak akan pernah dapat berenang. Kita hanya akan tahu teori berenang tanpa tahu bagaimana rasanya berenang. Demikian halnya dengan menjadi wirausaha. Kita dapat belajar teknik menjadi wirausaha. Jumlah buku tentang menjadi wirausaha juga sudah sangat melimpah. Kita tahu banyak pengusaha yang berhasil memiliki penghasilan yang sangat memadai. Tetapi, jika kita tidak pernah mencoba memulai usaha, kita akan terus bermimpi menjadi pengusaha. Iklim usaha secara umum memang tidak begitu baik. Akan tetapi, bukan berarti peluang usaha tidak ada. Peluang usaha akan selalu ada. Setiap manusia harus selalu mencukupi kebutuhannya. Kebutuhan tersebut ada lah awal dari peluang.
Kedua, Jadilah sarjana baru yang peka dan memiliki rasa percaya diri tinggi untuk menyongsong masa depan, bukan wisudawan yang takut untuk keluar dari kampus. Jadilah sarjana yang senantiasa menyadari kemampuan yang dimiliki, sehingga betapapun kerasnya kompetisi di luar, yang akan Anda hadapi, yakinlah dan bangun rasa optimisme bahwa Anda pasti bisa. Dengan demikian, Anda menghindari rasa pesimistis karena itu akan membunuh semangat dan kreativitas Anda. Ketiga, mulailah dari hal yang sederhana, sebagaimana orang bisa berkata-kata sekarang karena memang dimulai dengan mengeja huruf-huruf, begitu dan seterusnya. Anda pun demikian. Mulailah dengan prinsip coba dan gagal (trial anda error), dan hindari sikap putus asa. Kalau demikian, maka regenerasi pemimpin yang kita idamkan akan berjalan dengan baik. Benamkan tiga karakteristik yang disebutkan di atas sebagai ikthiar dan bentuk pertanggungjawaban ilmu kepada masayarakat.
Epilog pemikiran alakadar ini, saya kembali meneruskan pesan Albert Einstein, Si Jenius peraih nobel 1921, untuk sumbangannya dalam bidang ilmu fisika teori tersebut, buat Anda yang akan terpencar ke segala penjuru, pelosok desa, dan sudut kota demi aplikasi pekerjaan kemanusiaan. …Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda–agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan. (Jujun S.Suriasumantri, 1999). Selamat bergabung dalam jubelan kelompok  intelektual. Pekerjaan kemanusiaan sudah dan sedang menanti Anda. *




[1] Artikel ini pernah dimuat pada HU Flores Pos, Jumad, 22 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar