Dunia pendidikan kita terus digilir berbagai persoalan.
Setelah satu persoalan terlewati, muncul lagi persoalan lain. Begitu dan
seterusnya. Namun demikian, kita pantas mengucapkan selamat kepada para guru,
siswa dan semua penyelenggara pendidikan yang terus memiliki semangat dan kerja
keras untuk mendidik dan mencerdaskan sebuah generasi masa depan, generasi baru yang
kelak menahkodai daerah, bangsa dan negara ini. Terlepas apresiasi dan
penghargaan yang besar bagi mereka, saya mencatat beberapa problematik
pendidikan yang terjadi seputar penyelenggaraan dunia pendidikan kita dimaksud.
Setidak-tidaknya terbaca lewat pemberitaan media cetak, maupun elektronik yang berikhtiar
mengawal dan memberitakan proses pembelajaran di sekolah.
Harian ini, misalnya, menurunkan berita, Siswa Sekolah
di Gubuk Reot (31/1/2012). Ini terjadi di SDI Kecil Kelis Bundao Desa
Haitimuk Kecamatan Weliman Kabupaten Belu. “Kami tidak tahu apakah pejabat yang
lewat itu tidak dapat melihat sekolah ini, atau melihat tetapi sengaja tidak
tahu. Anak-anak kami meskipun menggunakan fasilitas apa adanya tapi mereka
tetap semangat. Kami tidak mau anak-anak tidak sekolah. Biar kami dengan
swadaya, tetapi berusaha agar sekolah itu tetap jalan, demikian disampaikan
Gabriel Kehi, seorang tokoh masyarakat Haitimuk”. Kasek SDI Kelis Bundao,
Petrus Seran Nahak, juga membenarkan bahwa “selama ini buku pegangan guru tidak
ada, kapur tulis dibeli dengan uang sendiri. Atap alang-alang bocor.
Mudah-mudahan ada kemauan baik petinggi kabupaten untuk merehab sekolah ini”.
Fakta juga keprihatinan sarana-prasarana pendidikan yang menggelisahkan
demikian, sedikit terobati karena untuk tahun 2012, NTT mendapat 4.009 ruang
kelas baru (RKB), sebagaimana dijanjikan Direktur Pembinaan SD Kemendikbud,
Prof.Dr.Ibrahim Bafadal,M.Pd. (PK, 28/1/2012). Mudah-mudahan SDI Kelis
Bundao di Belu mendapat pembangunan RKB dari kuota tahun ini, sebagaimana yang
diharapkan tokoh masyarakat dan kepala sekolah.
Guru: Ditiru dan Dituding
Kisah ini menjadi salah satu kisah dari sekian banyak kisah
di lingkungan kita, betapa telah ‘reot’ dan tertatih-tatihnya sektor sumber
daya manusia ini. Dengan sumber daya yang dipunyai, guru telah dengan susah
payah menjalankan tugasnya dengan baik.
Itulah sebabnya guru menjadi sosok yang digugu dan ditiru. Guru
memang merupakan komponen determinan dalam penyelenggaraan sumber daya manusia, sekaligus
menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional. Guru juga menjadi
pihak yang paling sering ‘dituding’ sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan pendidikan, meskipun ada sekian banyak
variabel yang
ikut menentukan kualitas pendidikan tersebut.
Dampak kualitas kemampuan profesional dan kinerja guru
bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan, melainkan akan
berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan dalam pembangunan, yang
pada gilirannya akan tampak pada kualitas peradaban dan martabat hidup
masyarakat, bangsa serta umat manusia. Begitu strategis dan
pentingnya posisi guru dalam pendidikan, terutama setelah lahirnya legalitas formal profesi melalui UU
No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin
kuat. Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas
tentu tidak dapat
terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan penyiapan dan
pengembangannya secara terus-menerus, terencana dan berkesinambungan.
Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu,
bahan ajar, metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki
keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan,
melainkan memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat utuh manusia dan
masyarakat. Untuk menjadi guru yang profesional, seorang guru harus
berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu
pendidikan. Karena berbagai
fenomena pendidikan akhir-akhir ini, menggiring kita untuk secara jujur
berpendapat bahwa pendidikan kita berkecenderungan dikelola dengan logika
pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter,
pengelolaan reaktif, dan
instan.
Dibutuhkan
keputusan dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem
pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli
pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan uji coba sistem di
lapangan. Mestinya para Magister, Doktor dan Profesor bidang pendidikan diperkenankan juga untuk tetap mengajar
pada lembaga pendidikan
dasar dan menengah sehingga mampu melahirkan sistem
pendidikan berbasis budaya, menemukan realitas-realitas yang bisa
dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk mengatur
pendidikan dari balik meja. Ini artinya, kita membutuhkan guru yang profesional, kreatif, inovatif, berpikiran
visioner dan unggul di masa depan, di bawah bimbingan para ahli-ahli pendidikan
yang cerdas dan kompeten.
Pendidikan Mahal
Seiring tumbuh dan berkembangnya
globalisasi, tuntutan perbaikan taraf kehidupan bangsa melalui pendidikan
menjadi agenda yang sangat mendesak. Terlebih setelah perekonomian Indonesia didera krisis moneter, cita-cita dan
harapan kolektif rakyat untuk memeratakan akses pendidikan demi peningkatan
taraf kemakmuran bangsa menjadi semakin jauh panggang dari api.
Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran 20% masih sebatas
retorika. Beragam alasan yang dikemukakan, semisal PAD belum memadai. Kalaupun
dianggap cukup memadai, implementasinya masih banyak dikeluhkan. Banyak aliran
dana edukatif yang putus di tengah jalan, entah itu di ‘makan’ pengelola,
maupun proses-proses administratif berbelit dan merepotkan, telah turut memperparah
penyelenggaraan pendidikan kita. Sementara pada aspek pandang masyarakat,
pendidikan kita tetap dikeluhkan semakin mahal, membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Di persimpangan ironi pendidikan ini, saya percaya kinerja dan
komitmen kita arahkan untuk menghasilkan generasi berikut dengan kemampuan yang
memadai untuk dapat bersaing pada masa yang akan datang, kendatipun harus
dibayar mahal. Itulah investasi yang kita tanam untuk kecemerlangan daerah dan
bangsa ini pada masa depan. Apalagi, bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa
yang kaya raya, bangsa yang serba ada.
Visi yang Belum Selesai
Visi Pendidikan Nasional
yang masih belum berpihak pada rakyat jelata. Dari kasus-kasus yang bisa kita ikuti melalui pemberitaan media massa
menggambarkan secara terang-benderang bahwa
pihak yang keluar
sebagai pemenangnya adalah mereka yang memiliki uang saja. Oleh karena itulah,
setiap kasus yang terjadi selalu meletakkan posisi rakyat jelata sebagai yang
kalah. Rakyat kecil berdiri
pada sebuah jurang yang belum bisa dijembatani secara baik. Jurang yang selalu
mendatangkan berbagai kemungkinan pertarungan juga perebutan antara para elite
dan rakyat kecil. Rakyat kecil menjadi lemah dan diam. Freire, ahli pendidikan
melukiskan kondisi ini sebagai budaya bisu. Kondisi rakyat selalu tertekan,
namun tidak kuasa untuk meluapkan seluruh aspirasi karena otoritas kekuasaan
pemerintah yang sangat dominan.
Pengelolaan pendidikan terlalu berlebihan menekankan
aspek kognitif dan mengabaikan dimensi-dimensi lainnya, sehingga melahirkan
generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang terpecah-pecah.
Dengan kata lain, pendidikan kita mengabaikan seruan Howard Gardner (1999)
tentang ‘kecerdasan berganda’. Tidak hanya aspek itu saja, melainkan berbagai
kecerdasan berganda dalam diri peserta didik yang dapat dikembangkan. Ataukah pendidikan
terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang
Jakarta sebagai satu-satunya tumpuan, tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia
di daerah masing-masing.
Munculnya reformasi dengan tendensi otonomi daerah
melahirkan keterkejutan budaya. Ibarat orang yang terkurung dalam penjara
selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Semua keluar mendapati
pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak
terbatas. Euforia
psikologis
demikian membuat masyarakat tidak bisa berpikir jernih, menuntut
hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik. Lagi-lagi birokrasi yang lamban,
korup dan tidak kreatif, merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang
rendah moralnya, pemimpin-pemimpin daerah yang
kebingungan. Pemimpin daerah tetap
mengharap kucuran dana dari pusat, bahkan menghambur-hamburkan
uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Dinas-dinas terkait berjalan tanpa koordinasi yang signifikan justru
memelihara keangkuhan egosektoral. Kasus, seperti pungutan liar di akhir tahun
ajaran dan saat pendaftaran siswa baru, dalam ucapan bibir sebagai biaya
pembuatan pagar, uang bayar tanda tangan, uang kursi, dan macam-macam tetek
bengek menjadi contoh nyata betapa tidak sinkronnya penerapan berbagai regulasi
pendidikan yang ada. Justru di sinilah memunculkan ironi pendidikan. Akhirnya,
pendidikan kita tetap dan akan terus menjadi kegelisahan sepanjang zaman.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar