Halaman

Rabu, 08 November 2017

Ironi Pendidikan Kita



Dunia pendidikan kita terus digilir berbagai persoalan. Setelah satu persoalan terlewati, muncul lagi persoalan lain. Begitu dan seterusnya. Namun demikian, kita pantas mengucapkan selamat kepada para guru, siswa dan semua penyelenggara pendidikan yang terus memiliki semangat dan kerja keras untuk mendidik dan mencerdaskan  sebuah generasi masa depan, generasi baru yang kelak menahkodai daerah, bangsa dan negara ini. Terlepas apresiasi dan penghargaan yang besar bagi mereka, saya mencatat beberapa problematik pendidikan yang terjadi seputar penyelenggaraan dunia pendidikan kita dimaksud. Setidak-tidaknya terbaca lewat pemberitaan media cetak, maupun elektronik yang berikhtiar mengawal dan memberitakan proses pembelajaran di sekolah.
Harian ini, misalnya, menurunkan berita, Siswa Sekolah di Gubuk Reot (31/1/2012). Ini terjadi di SDI Kecil Kelis Bundao Desa Haitimuk Kecamatan Weliman Kabupaten Belu. “Kami tidak tahu apakah pejabat yang lewat itu tidak dapat melihat sekolah ini, atau melihat tetapi sengaja tidak tahu. Anak-anak kami meskipun menggunakan fasilitas apa adanya tapi mereka tetap semangat. Kami tidak mau anak-anak tidak sekolah. Biar kami dengan swadaya, tetapi berusaha agar sekolah itu tetap jalan, demikian disampaikan Gabriel Kehi, seorang tokoh masyarakat Haitimuk”. Kasek SDI Kelis Bundao, Petrus Seran Nahak, juga membenarkan bahwa “selama ini buku pegangan guru tidak ada, kapur tulis dibeli dengan uang sendiri. Atap alang-alang bocor. Mudah-mudahan ada kemauan baik petinggi kabupaten untuk merehab sekolah ini”. Fakta juga keprihatinan sarana-prasarana pendidikan yang menggelisahkan demikian, sedikit terobati karena untuk tahun 2012, NTT mendapat 4.009 ruang kelas baru (RKB), sebagaimana dijanjikan Direktur Pembinaan SD Kemendikbud, Prof.Dr.Ibrahim Bafadal,M.Pd. (PK, 28/1/2012). Mudah-mudahan SDI Kelis Bundao di Belu mendapat pembangunan RKB dari kuota tahun ini, sebagaimana yang diharapkan tokoh masyarakat dan kepala sekolah.

Guru: Ditiru dan Dituding

Kisah ini menjadi salah satu kisah dari sekian banyak kisah di lingkungan kita, betapa telah ‘reot’ dan tertatih-tatihnya sektor sumber daya manusia ini. Dengan sumber daya yang dipunyai, guru telah dengan susah payah menjalankan tugasnya dengan  baik. Itulah sebabnya guru menjadi sosok yang digugu dan ditiru. Guru memang merupakan komponen determinan dalam penyelenggaraan sumber daya manusia, sekaligus menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional. Guru juga menjadi pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan pendidikan, meskipun ada sekian banyak variabel yang ikut menentukan kualitas pendidikan tersebut.
Dampak kualitas kemampuan profesional dan kinerja guru bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan, melainkan akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan dalam pembangunan, yang pada gilirannya akan tampak pada kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa serta umat manusia. Begitu strategis dan pentingnya posisi guru dalam pendidikan, terutama setelah lahirnya legalitas formal profesi melalui UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin kuat. Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas tentu tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan penyiapan dan pengembangannya secara terus-menerus, terencana dan berkesinambungan.
Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, melainkan memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat utuh manusia dan masyarakat. Untuk menjadi guru yang profesional, seorang guru harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Karena berbagai fenomena pendidikan akhir-akhir ini, menggiring kita untuk secara jujur berpendapat bahwa pendidikan kita berkecenderungan dikelola dengan logika pragmatis, logika bisnis, pertimbangan politik praktis, pendekatan otoriter, pengelolaan reaktif, dan instan.
Dibutuhkan keputusan dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan uji coba sistem di lapangan. Mestinya para Magister, Doktor dan Profesor bidang pendidikan diperkenankan juga untuk tetap mengajar pada lembaga pendidikan dasar dan menengah sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realitas-realitas yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk mengatur pendidikan dari balik meja. Ini artinya, kita membutuhkan guru yang profesional, kreatif, inovatif, berpikiran visioner dan unggul di masa depan, di bawah bimbingan para ahli-ahli pendidikan yang cerdas dan kompeten.

Pendidikan Mahal

Seiring tumbuh dan berkembangnya globalisasi, tuntutan perbaikan taraf kehidupan bangsa melalui pendidikan menjadi agenda yang sangat mendesak. Terlebih setelah perekonomian Indonesia didera krisis moneter, cita-cita dan harapan kolektif rakyat untuk memeratakan akses pendidikan demi peningkatan taraf kemakmuran bangsa menjadi semakin jauh panggang dari api.
Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran 20% masih sebatas retorika. Beragam alasan yang dikemukakan, semisal PAD belum memadai. Kalaupun dianggap cukup memadai, implementasinya masih banyak dikeluhkan. Banyak aliran dana edukatif yang putus di tengah jalan, entah itu di ‘makan’ pengelola, maupun proses-proses administratif berbelit dan merepotkan, telah turut memperparah penyelenggaraan pendidikan kita. Sementara pada aspek pandang masyarakat, pendidikan kita tetap dikeluhkan semakin mahal, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di persimpangan ironi pendidikan ini, saya percaya kinerja dan komitmen kita arahkan untuk menghasilkan generasi berikut dengan kemampuan yang memadai untuk dapat bersaing pada masa yang akan datang, kendatipun harus dibayar mahal. Itulah investasi yang kita tanam untuk kecemerlangan daerah dan bangsa ini pada masa depan. Apalagi, bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yang kaya raya, bangsa yang serba ada.

Visi yang Belum Selesai

Visi Pendidikan Nasional yang masih belum berpihak pada rakyat jelata. Dari kasus-kasus yang bisa kita ikuti melalui pemberitaan media massa menggambarkan secara terang-benderang bahwa pihak yang keluar sebagai pemenangnya adalah mereka yang memiliki uang saja. Oleh karena itulah, setiap kasus yang terjadi selalu meletakkan posisi rakyat jelata sebagai yang kalah. Rakyat kecil berdiri pada sebuah jurang yang belum bisa dijembatani secara baik. Jurang yang selalu mendatangkan berbagai kemungkinan pertarungan juga perebutan antara para elite dan rakyat kecil. Rakyat kecil menjadi lemah dan diam. Freire, ahli pendidikan melukiskan kondisi ini sebagai budaya bisu. Kondisi rakyat selalu tertekan, namun tidak kuasa untuk meluapkan seluruh aspirasi karena otoritas kekuasaan pemerintah yang sangat dominan.
Pengelolaan pendidikan terlalu berlebihan menekankan aspek kognitif dan mengabaikan dimensi-dimensi lainnya, sehingga melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang terpecah-pecah. Dengan kata lain, pendidikan kita mengabaikan seruan Howard Gardner (1999) tentang ‘kecerdasan berganda’. Tidak hanya aspek itu saja, melainkan berbagai kecerdasan berganda dalam diri peserta didik yang dapat dikembangkan. Ataukah pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta sebagai satu-satunya tumpuan, tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
Munculnya reformasi dengan tendensi otonomi daerah melahirkan keterkejutan budaya. Ibarat orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Euforia psikologis demikian membuat masyarakat tidak bisa berpikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi. Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik. Lagi-lagi birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif, merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya, pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Pemimpin daerah tetap mengharap kucuran dana dari pusat, bahkan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis. Dinas-dinas terkait berjalan tanpa koordinasi yang signifikan justru memelihara keangkuhan egosektoral. Kasus, seperti pungutan liar di akhir tahun ajaran dan saat pendaftaran siswa baru, dalam ucapan bibir sebagai biaya pembuatan pagar, uang bayar tanda tangan, uang kursi, dan macam-macam tetek bengek menjadi contoh nyata betapa tidak sinkronnya penerapan berbagai regulasi pendidikan yang ada. Justru di sinilah memunculkan ironi pendidikan. Akhirnya, pendidikan kita tetap dan akan terus menjadi kegelisahan sepanjang zaman. (*)



[1] Artikel ini pernah dimuat dalam Muat HU Pos Kupang, 7 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar