Pasti kita sudah gerah. Berbagai kisah getir kekerasan
yang terkuak secara masif akhir-akhir ini telah turut menggetarkan nadi setiap kita
sebagai sebuah bangsa. Kita pun telah kenyang dengan asupan dan makanan berita buruk
yang terus-menerus kita santap dan merecoki semangat dan gairah hidup. Nurani
kemanusiaan kita pun terus bersarang rasa duka nestapa. Film-film tentang bencana,
juga skenario-skenario mimpi buruk yang diluncurkan oleh para pemikir prestisius
dengan jelas mengabsahkan bahwa masyarakat sekarang ini tidak dapat diarahkan ke
suatu masa depan karena memang tidak ada masa depan. Bagi mereka bumi sedang berlarian dan tinggal beberapa menit lagi kita diarak menuju sebuah kengerian akan perubahan besar yang paling
akhir.
Beragam nada kesal juga amarah meluap-luap masyarakat saat
menyaksikan kisah-kisah kebrutalan yang
tiada henti mendera bangsa ini. Seakan tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti
berada pada satu titik nadir: aforisme bangsa ini gemah santun, namun
penghuninya pars pro toto banal dan kanibal. Kalau kemajuan ilmu
pengetahuan yang sangat pesat ini memandu hidup kita, mengapa justru sekarang merajalela
masalah kritis, genting, dan sangat membahayakan kehidupan berbangsa? Berbagai
pertanyaan pun mengusik tajam. Mengapa kehidupan kita terus dipenuhi fundamentalisme,
radikalisme, terorisme, sadisme, kekerasan, ketimpangan kemakmuran, dan berbagai
bentuk penindasan yang tampak menafikan peran ilmu pengetahuan dan teknologi? Mengapa
paranormal, peramal, ahli nujum, penghipnotis, dukun, “dunia lelembut”,
iming-iming sulapan, dan sejenisnya makin hari justru makin marak, naik daun,
popular menguasai hidup sekalian kita, sampai-sampai mengalahkan agamawan juga ilmuwan?
Mengapa kehidupan kita makin saling curiga, saling membenci, saling berpandangan negatif, saling tidak memercayai,
saling tuduh, saling menohok kawan seiring yang adalah mencerminkan hati dan jiwa
kita?
Mengapa egosentrisme, egoisme, narsisme, hedonisme, premanisme,
erotisme, tipu-muslihat, amoralitas kian hari kian mengendalikan hidup kita dan
membuat kita pusing? Mengapa stress, stroke, disorientasi, kehampaan hidup makin
meroket, sehingga makin laris pula para ahli terapi jiwa atau pemandu rohani,
bahkan penyembuh badan menawarkan jasa dan budi baik untuk mengatasinya? Mengapa
gosip, rumor, kasak-kusuk, omong kosong dan berita burung semakin naik daun mewarnai
hidup kita, di samping tayangan infotainment alias gosip gombal dan kabar
angin selalu menempati rating tertinggi media massa elektronik yang semuanya menggambarkan
tidak berfungsinya hati nurani atau jiwa kita?
Pendek kata, mengapa hal-hal yang disebutkan di atas semakin
meroyak kehidupan kita? Jangan-jangan akal pikiran kita telah tersesat atau menyimpang
dari jalan sebenarnya: bukannya mendukung, melainkan malah menelikung kebebasan
dan kelangsungan hidup rekan dan hidup manusia? Jangan-jangan akal pikiran,
pengetahuan, dan hati nurani kita sudah “mati suri” sehingga dikuasai dan dikendalikan
oleh hasrat, nafsu, dan mimpi-mimpi semata?
Inikah sebuah peradaban baru yang senantiasa memberi manusia
gaya-gaya baru, cara-cara baru untuk bekerja, mencintai, dan hidup makin berubah,
sebuah ekonomi baru, konflik-konflik politik baru, dan yang terpenting sebuah kesadaran
yang juga berubah. Tanpa disadari kita sedang terikat dalam suatu rekayasa, sebuah
peradaban baru yang luarbiasa, melompat dari dasar ke atas yang oleh Alvin
Tofler dalam Future Shock (1970)
disebut lompatan kuantum ke depan.
Menurut mereka umat manusia
(kita) tengah menghadapi sebuah lompatan kuantum ke depan dalam tiga gelombang besar. Gelombang Pertama disebutnya
sebagai gelombang perubahan, secara khusus bangkitnya revolusi pertanian. Sebagian
besar manusia hidup dan membentuk diri dalam kelompok-kelompok kecil,
berpindah-pindah, dan mencari makanan dengan cara berburu, mengembara, meramu,
memancing. Revolusi ini mengandaikan bahwa semua orang tanpa membedakan asal,
bahasa, agama, suku bangsa, mesti menancapkan akarnya di bumi. Bahkan, hingga kini
tidak sedikit orang pun mati dalam perjuangan keras di atas tanah, namun tidak menghasilkan
apa-apa. Itulah kehidupan nenek moyang kita dahulu. Hingga paling terakhir pun,
pejuang-pejuang kemanusiaan di bidang pertanian rela meregang nyawa demi membela
kebenaran dan keadilan. Revolusi pertanian ini mulai bergerak kendati lambat ke
seluruh penjuru planet dan merambah masuk ke desa-desa, pemukiman-pemukiman,
areal cocok tanam, dan menjadi sebuah pandangan hidup baru.
Belum selesai pergerakan revolusi Gelombang Pertama,
kira-kira akhir abad ke-17 pecah revolusi industri di Eropa, ketika banyak negara
yang masih mencari format dan model pertanian yang baku pertanian, bahkan banyak
pula yang hingga kini masih berbasis pertanian. Proses baru ini dimulai dan sekaligus
dinilai bergerak lebih cepat ke semua penjuru bangsa dan benua. Dua revolusi
tengah menggulung bumi, walaupun dengan kecepatan yang berbeda. Petanda bangkitnya
peradaban industri di mana terjadilah pembangunan pabrik-pabrik baja,
berdirinya perusahan-perusahan otomobil, pabrik-pabrik tekstil dan makanan, rel
kereta api, yang begitu terasa di belahan dunia, terutama Eropa dan Amerika
Utara merespons kehadiran Gelombang Kedua ini.
Kehidupan fundamental manusia dan bangsa mulai berubah seiring
munculnya berbagai penemuan ilmu pengetahuan di Eropa. Kaum Nwetonian muncul dengan
pemanfaatan mesin uap di bidang ekonomi dan pabrik-pabrik. Gagasan-gagasan baru
mulai dimunculkan: tentang kemajuan, hak-hak individu, pemimpin hendaknya dipilih
atas kehendak rakyat, bukan hak ilahiah. Pokoknya, perubahan yang sangat cepat sedang
terjadi dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat. Dimulailah pengenalan komputer,
perjalanan jet komersial, pil KB, inovasi-inovasi yang berdampak besar.
Gelombang Ketiga,
muncul dengan ledakan yang eksplosif. Lahir berbagai pandangan hidup baru
yang asli berdasarkan sumber-sumber energi
yang beragam yang pengaplikasiannya menyandarkan diri pada metode dan pendekatan-pendekatan mutakhir berbasis ilmu pengetahuan canggih melalui penguatan berbagai lembaga
formal. Kepesatan informasi dengan berbagai rekayasa teknologi
yang masif inilah melahirkan apa
yang disebut “persinggahan elektronik” (electronic cottage). Jagat ini lebur dalam
dunia tanpa sekat, hasil kemajuan teknologi ke dalam sebuah kampung besar yang
oleh Mcluhan disebut “kampung global” (Muslich, 2009: 11). Arena besar, lapang
tempat semua orang dari berbagai kampung (dunia) saling berinteraksi,
bersosialisasi, berasosiasi, bertransaksi, berdialog, dan lain sebagainya. Kita
pun diajak untuk lebur dalam arena lapang itu asal tetap teguh pada prinsip dan
ajaran “kampung asal”, yakni ajaran-ajaran adiluhung dari budaya lokal yang dipandang
penting untuk menjaga dan mengatur perilaku, tindak tanduk selama berada di dalam
kampung besar tersebut.
Sekali lagi kita perlu mewaspadai ‘gelombang depan’ (wavefront) sebagai tindak antisipatif berbagai inovasi dan terobosan-terobosan pesat yang
semakin menggeliat. Teknologi informasi intensif yang sedang tumbuh begitu
cepat sekarang ini dengan konsentrasi
pada teknologi tinggi (high-tect). Sangat terang benderang kita saksikan fakta ini. Belum
cukup waktu untuk proses internalisasi sejumlah nilai pengetahuan yang akarnya
dari nilai-nilai budaya lokal, kita malah diterpa berbagai kemajuan teknologi
pada saat yang bersamaan. Daya tahan diri diuji oleh kepesatan media. Jadilah
kita bangsa konsumtif. Bangsa yang menjadi tempat tumpah ruahnya berbagai
produk legal maupun ilegal. Bangsa yang menjadi tempat eksperimen berbagai
tindak teror. Bangsa tempat eksploitasi sumber daya (alam dan manusia). Bangsa
yang saban hari menjadi eksperimen berbagai hasil teknologi.
Jika demikian, maka langkah efektif yang segera dilakukan
adalah merevitalisasi berbagai ajaran, prinsip hidup berlandaskan ketahanan
budaya melalui berbagai lembaga, seperti lembaga keluarga, lembaga formal,
institusi pemerintah, kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan, lembaga
spiritual, paguyuban, dan lembaga-lembaga yang peduli akan perkembangan
generasi bangsa ini. Semuanya bahu-membahu memerangi berbagai bentuk kekerasan
ini. Dan, satu hal ini juga menjadi perhatian bersama.
Pancasila
Gagasan cemerlang Ir.
Soekarno dalam Pancasila sebagai dasar negara adalah hasil yang digali dari
bumi dan kebudayaan suku-suku bangsa sendiri harus dilakukan secara
terus-menerus dan dengan sungguh-sungguh. Secara aksiologis, jika tidak, seluruh
nilai dan penjiwaannya akan luntur dan kita pun akan kehilangan jati diri,
kehilangan kemandirian sehingga mudah diombang-ambingkan oleh paradigma asing
yang kini mendasari tata kehidupan global (Djawanai, 2014: 258 –261).
Jajak Pendapat “Kompas” (30/5), menegaskan sangat terang bahwa Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia sudah bersifat final (95,8%). Masyarakat Indonesia mendambakan
“penularan” kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai Pancasila perlu diajarkan kembali
di sekolah-sekolah (99,2%). Artinya, Pancasila telah menjadi “obat penawar”
atas berbagai persoalan bangsa. Pendidikan Pancasila
di semua jenjang formal disimplifikasi menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan
membawa konsekuensi makin ditinggalkannya pemahaman normatif tentang Pancasila.
Selain itu, nilai-nilai Pancasila seperti saling menghormati, musyawarah,
gotong royong, solidaritas, kerukunan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari
semakin dipinggirkan. Jadi, Pancasila dan seluruh nilainya dapat dikembalikan
dan menjadi dasar pembenihan, penanaman, dan pengembangan berbagai nilai pembelajaran
formal untuk kehidupan masa depan para peserta didik di kehidupan masyarakat.
Dengan
demikian, adalah suatu komitmen bersama untuk menjadikan bangsa ini bebas dari
segala kekerasan. Tentunya, generasi muda menjadi prioritas. Sebab
mereka adalah pemegang estafet masa depan bangsa. Kalau pendidikan nilai dan proses
internalisasi tidak mendapat skala prioritas dalam pembangunan
ke depan, maka bukan tidak mungkin kita akan menghadapi badai beruntun yang tanpa disadari
akan menggoyahkan bangsa ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar