Halaman

Rabu, 08 November 2017

Ende, Simbol Toleransi dan Multikearifan Lokal





Dua harian terkemuka NTT, HU Flores Pos dan HU Pos Kupang, edisi 8 April 2014,  memberitakan pesan Gubernur NTT Frans Leburaya ketika melantik Marsel Petu sebagai Bupati Ende, dan Djafar Achmad, sebagai Wakil Bupati Ende periode 2014–2019. HU Flores Pos menggambarkan dua figur ini sebagai simbol toleransi umat beragama di Ende yang sangat pluralis atau beranekaragam. Keanekaragaman ini menjadi kekuatan baru yang mesti terus dijaga dan dibina untuk tidak saling mencederai, agar kebersamaan yang telah dibangun tidak dirobek oleh primordialisme dan anarkisme dengan teladan kebersamaan. HU Pos Kupang memberitakan peristiwa pelantikan ini dengan ilustrasi retoris gubernur. Katanya, “Sejak dulu sampai sekarang ubi kayu Nuabosi dan pisang Beranga masih seperti dulu. Belum ada sentuhan teknologi pengolahan sebagai nilai tambah kesejahteraan rakyat dan daya tarik ekonomi”. Jawabannya seperti apa, tentu kita sangat berharap akan kiat dan strategi jitu, juga intervensi mengena Marsel–Djafar (Paket MJ) dalam merespon tanya retoris Pak Gubernur NTT di atas. Semuanya tentu menuju satu tekad, niat dan ikhtiar yang sama, yakni membangun dan menyejahterakan rakyat Kabupaten Ende, sebagaimana spirit politik yang diusung paket MJ: Membangun dari Desa dan Kelurahan.

Simbol Toleransi: Belajar dari Bung Karno
Ende kota kecil. Tengah-tengah Flores. Miniatur toleransi. Di antara gunung Meja, gunung Wongge. Persis di Pantai Selatan Laut Sawu. Kota ini jauh  dikenal sebelum alam kemerdekaan Indonesia diraih. Ia menjadi pusar turbin ekonomi, politik, juga pusat religi. Dalam aspek ekonomi, Ende dikenal dengan adanya sebuah jembatan besi (sekarang pelabuhan laut Ende). Ende menjadi terbuka, destinasi transaksi ekonomi antara pedagang Bugis, Jawa, Sabu, Arab, Bima, dan pedagang-pedagang lainnya di daerah Flores, Solor, dan Lomblen. Apalagi ketika itu, di Pulau Ende  (Eru Mbinge) diketahui menjadi kota beredarnya kain Sutra India yang sangat memikat hati para pedagang. Aspek politik, misalnya Bung Karno pernah mengalami politik pembuangan (internering) di Ende tahun 1934–1938. Ende, akhirnya menjadi ruang belajar toleransi. Di sinilah Bung Karno menjumpai sebuah keleluasaan ruang gerak untuk boleh berpolitik kontekstual dengan memanfaatkan kecerdasan intelektualnya melalui karya-karya politik imajiner berupa tonel, yang salah satu di antaranya adalah “1945”, yang meramalkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Ende baginya sangat kecil mungil sebagaimana diungkapkannya, “Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan raya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumpurnya menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari yang menghanguskan memancarkan dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja (Tim Nusa Indah Ende, 2006: 42-43).
Suasana kehidupan di Ende pada masa itu, “mengagetkan” Bung Karno akan kehidupan kerukunan yang sangat harmonis. Kita tentu sepakat bahwa nilai-nilai dasar yang merupakan ciri dan jati diri etnik-etnik di Flores tampak dalam keseharian pengalaman Bung Karno di antara masyarakat kota Ende. Oleh karena itu, pembuangan Bung Karno di Ende bukan merupakan hukuman, melainkan Perutusan  untuk mengkristalisasi berbagai konsep, gagasan, pengalaman yang beliau dapat, beliau belajar, dan beliau renungkan ke dalam lima butir prinsip yang kemudian disebut sebagai Pancasila. Ende menjadi tempat pembuangan sekaligus menjadi rumah pemulihan (Dhakidhae, 2013); tempat transformasi merajut candi intelektual menuju Indonesia baru (Djawanai, 2013); serta tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan penjara dengan panggung merdeka (Mukese, 2013).
Dari aspek religi, Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat, termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh politiknya. Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga, “nusa nipa nusa naga” dengan tautan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan senjata dari tangan kekuasaan kolonial Belanda dengan kelembutan agama Katolik yang mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau hitam (Dhakidhae, 2013). Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan yang ramah dengan jaringan yang luas. Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan, ideolog, dan seniman yang komplit.
Bagi orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u Jawa (orang pintar dari Jawa). Di Ende Bung Karno belajar tentang Agama Islam melalui seorang Haji Hasan dari Makassar, dan Agama Katolik dari seorang Uskup Anton Tejsen. Karena kehidupan yang toleran tersebut telah dipraktikkan etnik-etnik yang ada di Ende waktu itu, maka kehadiran agama-agama modern tak mengganggu sedikitpun relasi kekerabatan yang telah terjalin. Oleh karena itu, momentum pelantikan Marsel–Djafar tidak hanya menggenapi ritual administratif pemerintahan semata, tetapi hemat saya pelantikan ini sekaligus merupakan bentuk pertanggungjawaban Ende Rukun sebagaimana yang dilihat, dipelajari, bahkan dialami oleh Bung Karno dulu. Atas dasar itulah, Ende dalam kepemimpinan MJ mesti dijadikan model pembelajaran toleransi di Indonesia, karena dari tanah inilah Bung Karno telah membuktikan itu.

Ende Multikearifan Lokal
Kearifan lokal dimaknai sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang mampu memberikan komunitas tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas berada. Oleh karena itu, kearifan lokal dipandang sebagai jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Ciri dan fungsi kearifan lokal, misalnya (1) sebagai penanda identitas sebuah komunitas; (2) elemen perekat (kohesi sosial); (3) sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat, bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas; (4) memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok; dan (6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi. Demikianlah esensi kearifan rohaniah psikologis, kultural, dan emosional masyarakat yang  mestinya terus kukuh dipertahankan.
Ubi Nuabosi dan pisang Beranga yang dikedepankan oleh Gubernur Frans Leburaya adalah dua dari sekian banyak potensi yang memasyarakat di Ende. Inilah dua dari kearifan  lokal yang “diingat” dan diformalkan oleh gubernur dalam sambutannya. Ada semacam konvensi resiprokal antara gubernur dan Paket MJ. Dan, konvensi itu terstimulasi melalui “pesan”gubernur yang akhirnya akan direspon oleh Paket MJ lima tahun kepemimpinannya ke depan. Artinya, dari sisi pandang ekonomi, kepemimpinan MJ diharapkan menjaga bahkan mendayagunakan dan memaksimalkan potensi lokal yang ada untuk kemaslahatan masyarakat Ende. Persoalannya tidak saja pada bagaimana menjaga agar kearifan tersebut tetap eksis, tetapi pertanyaan retoris Sang Gubernur di atas hendak mengungkapkan bahwa apakah potensi lokal yang ada itu mampu direkayasa dengan memanfaatkan teknologi modern agar bisa tembus ke pasar global. Dengan kata lain, potensi tersebut tidak saja dikirim gelondongan, bahkan tidak saja mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya tetapi dikemas secara baik agar bisa berkontribusi di pasar global. Tentu dibutuhkan campur tangan pemerintah, mulai pendampingan, finansial, sampai pada pemasaran. Hal yang sama juga bagi potensi alam raya nan fana yang telah menjadi ikon Ende. Potensi-potensi yang indah ditata dan dijual untuk kemajuan masyarakat daerah ini.
Bagaimana membuka akses perekonomian rakyat di laut, udara, dan darat sebagaimana yang dikampanyekan pada helatan pilkada lalu, merupakan ujian keberhasilan pemerintah daerah periode ini, di samping terobosan lain semisal penataan birokrasi, pemenuhan infrastruktur jalan dan jembatan, serta pemerataan akses belajar sebagai upaya menemukan kembali kejayaan Ende sebagai kota pelajar, sambil menyediakan tempat-tempat pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi kesehatan masyarakat kabupaten ini. Dari sinilah kearifan lokal juga bermaksud kebijaksanaan kecerdasan pemimpin untuk sarana pencerdasan masyarakatnya. Karena kearifan yang dihasilkan merupakan proses pemikiran yang panjang disertai pengambilan keputusan yang bijaksana yang tidak merugikan semua pihak serta bermanfaat bagi siapapun. Secara substansial, kearifan lokal juga mewujud dalam nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, yang diyakini kebenarannya, dan menjadi acuan bertingkah laku sehari-hari. Inilah “energi” lebih dalam masyarakat kita yang perlu dijaga dan dilestarikan, termasuk dalam setiap pengambilan keputusan. Akhirnya, kendati terlambat saya mengucapkan profisiat buat Marselinus Petu dan Djafar Achmad, sebagai bupati dan wakil bupati Ende periode 2014–2019. Selamat membangun! (*)




[1]  Opini ini pernah dimuat dalam HU Flores Pos, 29 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar