Dua
harian terkemuka NTT, HU Flores Pos dan HU Pos Kupang, edisi 8
April 2014, memberitakan pesan Gubernur
NTT Frans Leburaya ketika melantik Marsel Petu sebagai Bupati Ende, dan Djafar
Achmad, sebagai Wakil Bupati Ende periode 2014–2019. HU Flores Pos
menggambarkan dua figur ini sebagai simbol toleransi umat beragama di Ende yang
sangat pluralis atau beranekaragam. Keanekaragaman ini menjadi kekuatan baru
yang mesti terus dijaga dan dibina untuk tidak saling mencederai, agar
kebersamaan yang telah dibangun tidak dirobek oleh primordialisme dan anarkisme
dengan teladan kebersamaan. HU Pos Kupang memberitakan peristiwa
pelantikan ini dengan ilustrasi retoris gubernur. Katanya, “Sejak dulu sampai
sekarang ubi kayu Nuabosi dan pisang Beranga masih seperti dulu. Belum ada
sentuhan teknologi pengolahan sebagai nilai tambah kesejahteraan rakyat dan
daya tarik ekonomi”. Jawabannya seperti apa, tentu kita sangat berharap akan
kiat dan strategi jitu, juga intervensi mengena Marsel–Djafar (Paket MJ) dalam
merespon tanya retoris Pak Gubernur NTT di atas. Semuanya tentu menuju satu
tekad, niat dan ikhtiar yang sama, yakni membangun dan menyejahterakan rakyat
Kabupaten Ende, sebagaimana spirit politik yang diusung paket MJ: Membangun
dari Desa dan Kelurahan.
Simbol
Toleransi: Belajar dari Bung Karno
Ende kota kecil. Tengah-tengah Flores. Miniatur
toleransi. Di antara gunung Meja, gunung Wongge. Persis di Pantai Selatan Laut
Sawu. Kota ini jauh dikenal sebelum alam
kemerdekaan Indonesia diraih. Ia menjadi pusar turbin ekonomi, politik, juga
pusat religi. Dalam aspek ekonomi, Ende dikenal dengan adanya sebuah jembatan
besi (sekarang pelabuhan laut Ende). Ende menjadi terbuka, destinasi transaksi
ekonomi antara pedagang Bugis, Jawa, Sabu, Arab, Bima, dan pedagang-pedagang
lainnya di daerah Flores, Solor, dan Lomblen. Apalagi ketika itu, di Pulau
Ende (Eru Mbinge) diketahui
menjadi kota beredarnya kain Sutra India yang sangat memikat hati para
pedagang. Aspek politik, misalnya Bung Karno pernah mengalami politik
pembuangan (internering) di Ende tahun 1934–1938. Ende, akhirnya menjadi
ruang belajar toleransi. Di sinilah Bung Karno menjumpai sebuah keleluasaan
ruang gerak untuk boleh berpolitik kontekstual dengan memanfaatkan kecerdasan
intelektualnya melalui karya-karya politik imajiner berupa tonel, yang salah
satu di antaranya adalah “1945”, yang meramalkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Ende baginya sangat kecil mungil sebagaimana
diungkapkannya, “Ende di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung
dunia. Jalan raya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui
hutan. Di musim hujan lumpurnya menjadi berbungkah-bungkah. Apabila matahari
yang menghanguskan memancarkan dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi
keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke
ujung dalam beberapa jam saja (Tim Nusa Indah Ende, 2006: 42-43).
Suasana
kehidupan di Ende pada masa itu, “mengagetkan” Bung Karno akan kehidupan kerukunan
yang sangat harmonis. Kita tentu sepakat bahwa nilai-nilai dasar yang merupakan
ciri dan jati diri etnik-etnik di Flores tampak dalam keseharian pengalaman
Bung Karno di antara masyarakat kota Ende. Oleh karena itu, pembuangan Bung
Karno di Ende bukan merupakan hukuman, melainkan Perutusan untuk mengkristalisasi berbagai konsep,
gagasan, pengalaman yang beliau dapat, beliau belajar, dan beliau renungkan ke
dalam lima butir prinsip yang kemudian disebut sebagai Pancasila. Ende menjadi
tempat pembuangan sekaligus menjadi rumah pemulihan (Dhakidhae, 2013); tempat
transformasi merajut candi intelektual menuju Indonesia baru (Djawanai, 2013); serta
tempat “perjumpaan” antara masa pembuangan penjara dengan panggung merdeka
(Mukese, 2013).
Dari
aspek religi, Ende telah menampakkan dirinya sebagai model belajar hidup
toleransi. Bung Karno mengalami dan merasakan sendiri sebuah relasi tanpa sekat,
termasuk dengan para Pastor Belanda, yang secara aktual adalah musuh
politiknya. Ende dan Flores umumnya yang ketika itu jauh dari riuh rendah
politik, menjadi destinasi yang sudah jinak laksana bunga, “nusa nipa nusa
naga” dengan tautan dua kekuatan sekaligus, yakni kekerasan senjata dari
tangan kekuasaan kolonial Belanda dengan kelembutan agama Katolik yang
mengajarkan “cintailah sesamamu” yang asing atau sebangsa, berkulit putih atau
hitam (Dhakidhae, 2013). Dengan demikian, Ende bagi Soekarno tidak sekadar kota
nelayan, melainkan sebuah kota pelabuhan yang ramah dengan jaringan yang luas.
Di Ende jugalah Soekarno telah menemukan dirinya sebagai seorang cendikiawan,
ideolog, dan seniman yang komplit.
Bagi
orang Ende sendiri, Soekarno adalah ata pita pu’u Jawa (orang pintar
dari Jawa). Di Ende Bung Karno belajar tentang Agama Islam melalui seorang Haji
Hasan dari Makassar, dan Agama Katolik dari seorang Uskup Anton Tejsen. Karena
kehidupan yang toleran tersebut telah dipraktikkan etnik-etnik yang ada di Ende
waktu itu, maka kehadiran agama-agama modern tak mengganggu sedikitpun relasi
kekerabatan yang telah terjalin. Oleh karena itu, momentum pelantikan
Marsel–Djafar tidak hanya menggenapi ritual administratif pemerintahan semata,
tetapi hemat saya pelantikan ini sekaligus merupakan bentuk pertanggungjawaban Ende
Rukun sebagaimana yang dilihat, dipelajari, bahkan dialami oleh Bung Karno
dulu. Atas dasar itulah, Ende dalam kepemimpinan MJ mesti dijadikan model
pembelajaran toleransi di Indonesia, karena dari tanah inilah Bung Karno telah
membuktikan itu.
Ende Multikearifan
Lokal
Kearifan
lokal dimaknai sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang mampu memberikan komunitas
tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah komunitas berada. Oleh karena itu, kearifan lokal
dipandang sebagai jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis,
historis, dan situasional yang bersifat lokal. Ciri dan fungsi
kearifan lokal, misalnya (1) sebagai penanda identitas sebuah komunitas; (2)
elemen perekat (kohesi sosial); (3) sebagai unsur budaya yang tumbuh dari
bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat, bukan unsur budaya yang
dipaksakan dari atas; (4) memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas;
(5) mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok; dan
(6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan mekanisme bersama
untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas
kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi. Demikianlah esensi
kearifan rohaniah psikologis, kultural, dan emosional masyarakat yang mestinya terus kukuh dipertahankan.
Ubi
Nuabosi dan pisang Beranga yang dikedepankan oleh Gubernur Frans Leburaya
adalah dua dari sekian banyak potensi yang memasyarakat di Ende. Inilah dua
dari kearifan lokal yang “diingat” dan
diformalkan oleh gubernur dalam sambutannya. Ada semacam konvensi resiprokal
antara gubernur dan Paket MJ. Dan, konvensi itu terstimulasi melalui
“pesan”gubernur yang akhirnya akan direspon oleh Paket MJ lima tahun
kepemimpinannya ke depan. Artinya, dari sisi pandang ekonomi, kepemimpinan MJ
diharapkan menjaga bahkan mendayagunakan dan memaksimalkan potensi lokal yang
ada untuk kemaslahatan masyarakat Ende. Persoalannya tidak saja pada bagaimana
menjaga agar kearifan tersebut tetap eksis, tetapi pertanyaan retoris Sang
Gubernur di atas hendak mengungkapkan bahwa apakah potensi lokal yang ada itu
mampu direkayasa dengan memanfaatkan teknologi modern agar bisa tembus ke pasar
global. Dengan kata lain, potensi tersebut tidak saja dikirim gelondongan, bahkan
tidak saja mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya tetapi dikemas secara baik
agar bisa berkontribusi di pasar global. Tentu dibutuhkan campur tangan
pemerintah, mulai pendampingan, finansial, sampai pada pemasaran. Hal yang sama
juga bagi potensi alam raya nan fana yang telah menjadi ikon Ende.
Potensi-potensi yang indah ditata dan dijual untuk kemajuan masyarakat daerah
ini.
Bagaimana
membuka akses perekonomian rakyat di laut, udara, dan darat sebagaimana yang
dikampanyekan pada helatan pilkada lalu, merupakan ujian keberhasilan
pemerintah daerah periode ini, di samping terobosan lain semisal penataan
birokrasi, pemenuhan infrastruktur jalan dan jembatan, serta pemerataan akses
belajar sebagai upaya menemukan kembali kejayaan Ende sebagai kota pelajar,
sambil menyediakan tempat-tempat pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi
kesehatan masyarakat kabupaten ini. Dari sinilah kearifan lokal juga bermaksud
kebijaksanaan kecerdasan pemimpin untuk sarana pencerdasan masyarakatnya. Karena
kearifan yang dihasilkan merupakan proses pemikiran yang panjang disertai
pengambilan keputusan yang bijaksana yang tidak merugikan semua pihak serta
bermanfaat bagi siapapun. Secara substansial, kearifan lokal juga mewujud dalam
nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, yang diyakini kebenarannya, dan
menjadi acuan bertingkah laku sehari-hari. Inilah “energi” lebih dalam
masyarakat kita yang perlu dijaga dan dilestarikan, termasuk dalam setiap
pengambilan keputusan. Akhirnya, kendati terlambat saya mengucapkan profisiat
buat Marselinus Petu dan Djafar Achmad, sebagai bupati dan wakil bupati Ende
periode 2014–2019. Selamat membangun! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar